• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KETERKAITAN PENYEBARAN Pb, DEBU dan CO DENGAN KESEHATAN MASYARAKAT

3. Kabupaten / Kota

Semua kegiatan pengendalian pencemaran udara yang bukan wewenang pemerintah pusat dan propinsi menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten / kota.

Menteri Kesehatan RI melalui Pedoman Pengendalian Dampak Pencemaran Udara (2002) menjelaskan bahwa Pembinaan pengendalian dampak pencemaran udara dapt dilaksanakan melalui pendekatan :

1. Daerah Binaan

Menentukan beberapa daerah binaan untuk melaksanakan pengawasan pencemaran udara secara intensif. Penentuan lokasi daerah binaan diprioritaskan pada daerah binaan yang telah ada yaitu daerah yang melaksanakan program kabupaten / kota sehat.

2. Program Kemitraan

Menciptakan lingkungan udara bersih dengan mengikut sertakan dalam pelaksanaan program yang mendukung pengendalian pencemaran udara, seperti program langit biru. Dalam pelaksanaan kegiatannya bermitra dengan sektor yang terkait, seperti Kementrian Lingkungan Hidup, Departemen Perindustrian dan Perdagangan dan lain-lain. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah melaksanakan kegiatan yang belum ditangani oleh Kementrian Lingkungan Hidup tetapi berdampak kepada kesehatan masyarakat.

3. Promosi Kesehatan

Meningkatkan promosi tentang pemeliharaan kualitas udara dilakukan melalui penetapan strategi komunikasi yang tepat sesuai dengan sasaran, seperti: seminar, lokakarya, penulisan pada media massa, media elektronik, dan media cetak.

4. Pendekatan Epidemiologi

Mengendalikan dan menanggulangi kasus pencemaran udara dengan cara pendekatan epidemiologi, dan dilaksanakan secara lintas program serta lintas sektor. Pendekatan ini difokuskan pada simpul III dan IV, dengan tidak melupakan simpul I dan II terutama pada indoor polution, serta mengutamakan kelompok resiko tinggi, yang tinggal dipemukiman, fasilitas / sarana transportasi, tempat-tempat umum, lingkungan kerja perkantoran & industri dan lingkungan lainnya.

Penyakit berbasis lingkungan yang berkaitan dengan udara antara lain adalah Tuberkulosis Paru, Infeksi Saluran Pernafasan Atas, legionellosis, kanker, kecelakaan, kardiovaskuler, gangguan sistim syaraf dan sebagainya. Pendekatan paradigma sehat adalah upaya yang menekankan kepada upaya promotif - preventif dibanding upaya kuratif - rehabilitatif. Dengan demikian penyakit-penyakit dapat dicegah melalui pengendalian pada faktor sumber penyebab kejadian. Agar pengendalian lebih efisien dan efektif perlu ditetapkan suatu strategi khusus.

5. Pemberdayaan Masyarakat dan Swasta

Mendorong dan mengembangkan peran serta masyarakat / swasta dalam peningkatan kualitas udara pada lingkungannya. Dalam hal ini dilakukan dengan memberikan informasi / data dampak lingkungan terhadap kesehatan dan produktivitas ekonomi masyarakat, yang dimaksudkan masyarakat adalah termasuk tokoh masyarakat, pakar dan industriawan. Pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian dampak pencemaran udara mutlak diperlukan, model pendekatan yang dipergunakan adalah pendekatan kota sehat.

Di perkotaan pencemaran udara terutama bersumber dari sektor transportasi disamping sektor industri, sedangkan di pedesaan pencemaran udara berasal dari kebakaran hutan dan bahan bakar yang digunakan untuk memasak di dapur yang menggunakan kayu bakar dimana hasil sisa pembakarannya dapat mengganggu kesehatan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut dalam rangka mendorong pelaksanaan pengendalian pencemaran udara secara terintegrasi antar sektor dan program sesuai tugas, fungsi dan kewenangan

masing-masing, maka perlu ada koordinasi jajaran kesehatan baik di daerah Propinsi maupun daerah kabupaten / kota dalam hal ini di DKI Jakarta.

Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum (2005) ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengendalikan pencemaran udara, yaitu:

a) Pencanangan Gerakan Bangun, Pelihara, dan Kelola RTH (contoh Gerakan Sejuta Pohon, Hijau royo-royo, Satu pohon satu jiwa, Rumah dan Pohonku, Sekolah Hijau, Koridor Hijau dan Sehat, dll).

b) Penyuluhan dan pendidikan melalui berbagai media. c) Penegasan model kerjasama antar stake holders.

d) Perlombaan antar kota, antar wilayah, antar subwilayah untuk meningkatkan apresiasi, partisipasi, dan responsibility terhadap ketersediaan tanaman dan terhadap kualitas lingkungan kota yang sehat dan indah.

Untuk dapat melaksanakan pencegahan, pengawasan dan penanggulangan pencemaran udara, maka pada setiap kegiatan harus ada unit yang menangani masalah pengendalian pencemaran udara. Apabila dari hasil pengamatan pencemaran udara ternyata telah jauh melewati baku mutu lingkungan yang berlaku, dan juga dijumpai adanya keluhan masyarakat berupa kejadian penyakit yang diduga berkaitan dengan sumber pencemaran, maka Dinas Kesehatan setempat dapat melakukan kegiatan Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan. Dipihak lain Sektor Kesehatan dapat melakukan uji petik untuk mengetahui kondisi kualitas udara dan dampak kesehatan yang terjadi pada daerah yang diduga mengalami penurunan kualitas udara. Hasil uji petik oleh tingkat Pusat ini dapat digunakan sebagai bahan dalam pembuatan pedoman, kriteria dan standar yang berkaitan dengan pengendalian dampak pencemaran udara.

Sementara Saidari dari Kementrian Lingkungan Hidup dalam Iyan (2006) menambahkan, sekitar 70-80 persen kontribusi pencemaran udara di kota besar berasal dari sektor transportasi, yakni sebanyak 81 persen energi dihabiskan di sektor tranportasi. Oleh karena itu Kementrian Lingkungan Hidup telah menetapkan kebijakan Pengendalian Pencemaran Emisi Sumber Bergerak. Meliputi pengembangan standar emisi dan kebisingan kendaraan bermotor sesuai

perkembangan teknologi, pengadaan bahan bakar bersih (bensin tanpa timbal, solar berkadar sulfur rendah, bahan bakar alternatif) pengembangan kapasitas daerah dan peran masyarakat melalui pemeriksaan dan perawatan kendaraan bermotor, manajemen transportasi dan mendorong peralihan transportasi ke arah angkutan masal. Ditambahkan, untuk mendorong masing-masing kota agar menjaga wilayahnya dari pencemaran, pemerintah menyelenggarakan penilaian kota bersih dan kotor. Bagi kota terbersih mendapat Adipura. Dalam penghargaan Adipura tersebut dilakukan penetapan kriteria dan indikator manajemen transportasi berkelanjutan untuk penilaian kualitas udara kota-kota besar di Indonesia.

Sebagai perwujudan kewenangan yang dimilikinya, KLH telah mengeluarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 141 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Kendaraan Tipe Baru. Dalam SK tersebut dinyatakan bahwa mulai tahun 2005 setiap kendaraan dengan tipe baru wajib mematuhi standar emisi EURO II, sedangkan tipe yang sedang berjalan diberi kesempatan hingga 2007. Dengan demikian, mulai 2007 setiap kendaraan yang dijual di Indonesia harus memenuhi standar EURO II.

Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Udara

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada beberapa titik pengamatan di Jakarta, diperoleh hasil bahwa kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara. Berbagai sumber pencemar udara yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor seperti Hidrokarbon (HC), Karbonmonoksida (CO), Sulfur Dioksida (SO ), Nitrogen Oksida (NO ), Timbal dan debu, serta kebisingan.

2 2

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dirumuskan kebijakan “pengelolaan lingkungan pencemar udara di DKI Jakarta melalui pembatasan usia pakai kendaraan bermotor”.

Menurut Syafruddin (2005), strategi pembatasan usia kendaraan baik kendaraan pribadi maupun kendaraan umum akan lebih efektif dalam mengurangi pencemaran udara di kota Jakarta. Pembatasan usia kendaraan untuk angkutan

umum 10 tahun dan kendaraan pribadi 15 tahun akan mengurangi pencemaran udara akibat emisi kendaraan bermotor sampai 30 persen. Lebih lanjut Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta, Effendi (2005) mengatakan, selain untuk menekan tingkat pencemaran udara, pembatasan usia kendaraan bermotor merupakan bagian dari traffic management. Dikemukakan, di beberapa negara, pembatasan usia kendaraan bermotor bukan hanya untuk mengurangi pencemaran udara, tetapi juga menekan jumlah kendaraan yang dapat berimbas pada kemacetan.

Salah satu faktor besar yang mempercepat pertumbuhan lalu lintas adalah pertumbuhan kepemilikan kendaraan pribadi. Fenomena besarnya jumlah kendaraan pribadi ini tidak akan menguntungkan dalam upaya penyelesaian sistem mobilitas perjalanan orang dan barang. Di sisi yang lain, banyaknya kendaraan berbahan bakar vosil ini akan semakin meningkatkan produksi gas-gas yang beracun serta gas yang berefek pada pembentukan efek rumah kaca. Padahal kesemerawutan lalu lintas dan tingginya tingkat polusi di Jakarta itu bersumber pada buruknya sistem manajemen lalu lintas dan longgarnya aturan layak jalan kendaraan. Contoh: adanya pembangunan sejumlah mal yang tidak diimbangi dengan pembenahan sistem manajemen lalu lintas di sekitarnya. Akibatnya, di lokasi-lokasi keramaian baru itu muncul kesemerawutan baru juga.

Kepala Dinas Perhubungan DKI Nurachman (2007), menyebutkan bahwa dapat didorong upaya perpindahan penggunaan kendaraan pribadi ke kendaraan umum melalui penyediaan park and ride (fasilitas parkir di terminal atau stasiun) dan perbaikan kualitas layanan angkutan umum. Namun hal yang tak kalah penting adalah penerapan kebijakan pembatasan operasional kendaraan pribadi yang diberlakukan pada waktu yang tepat. Dengan kondisi itu, warga Jakarta akan lebih memilih menggunakan transportasi publik untuk beraktivitas, tentu saja sarana itu harus memadai dan nyaman.

Pembatasan penggunaan kendaraan pribadi sendiri sudah banyak diterapkan di sejumlah negara seperti Thailand dan cukup efektif dalam menekan lalu lalang jumlah kendaraan di jalan. Saat ini pemerintah dinilai lebih memilih membangun jalan tol layang dibandingkan membatasi penggunaan kendaraan.

Padahal, paradigma membangun jalan tol di kota besar sudah ketinggalan zaman. (Nurachman 2007).

Strategi pengelolaan lingkungan wilayah pencemar udara di DKI Jakarta melalui pembatasan usia pakai kendaraan bermotor ini semestinya disusun dengan mengacu pada kebijakan nasional, dikaitkan dengan kondisi wilayah setempat atas pertimbangan tingginya beban bahan pencemar udara dan tingkat kemacetan lalu lintas yang sudah semakin tinggi, serta tingkat kemampuan masyarakat terutama dalam melakukan peremajaan kendaraan bermotor yang dimilikinya. Ini dimaksudkan untuk memberi kebijakan umum kepada pemerintah daerah agar dapat menindak lanjutinya kedalam kerangka program pengelolaan lingkungan. Untuk mendukung kebijakan pembatasan usia pakai kendaraan bermotor di Jakarta, maka dalam penerapannya harus didukung oleh beberapa hal antara lain : 1. Dukungan kelembagaan yang kuat oleh berbagai pihak yang terkait.

Permasalahan yang sering menjadi hambatan dalam pengelolaan kendaraan bermotor adalah ketidak-sinkronan dan tidak terpadunya perencanaan, penyusunan program dan kegiatan, pemantauan dan evaluasi pembangunan yang dilakukan berbagai pihak terkait seperti masyarakat, dunia usaha dan pemerintah. Hal tersebut semakin rumit manakala masih ada fanatisme ego-sektoral.

2. Dukungan dana dan finansial dalam pembatasan usia kendaraan bermotor yang beroperasi di Jakarta. Implementasi program ini sangat tergantung dari ketersediaan dana dari berbagai sumber pendanaan terutama anggaran pemerintah melalui pemberian dana insentif kepada pengusaha angkutan yang harus meremajakan kendaraannya dengan modal yang sangat minim kendaraan. Kecilnya dana yang dimiliki pemilik kendaraan bermotor menjadi faktor penyebab kurang optimalnya upaya pengelolaan lingkungan yang dapat dilakukan melalui pengurangan emisi kendaraan bermotor dengan membatasi usia kendaraan yang layak pakai.

3. Penataan dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku yang melanggar aturan yang telah disepakati bersama. Instrumen pengawasan dan pengendalian untuk perlidungan lingkungan dari beban pencemar udara akan

lebih optimal baik jika landasan undang dan/atau peraturan undang-undangan yang ada tidak menimbulkan kesenjangan khususnya yang menyangkut tentang kewenangan dan tanggung jawab, pembedaan sanksi administrasi dan sanksi pengadilan. Hal ini pula harus didukung oleh komitmen yang kuat dari aparat yang berwenang dalam penegakan hukum penerapan kebijakan pembatasan usia kendaraan.

Kebijakan Pemda DKI dalam Sistem Pengelolaan Lingkungan Pengendalian Pb Kendaraan Bermotor

Berkaitan dengan sistem pengelolaan lingkungan terutama pada lingkungan udara tercemar akibat gas buang kendaraan bermotor, berbagai upaya yang dapat dilakukan, antara lain :

a. Larangan Masuk Truk dan Bis

Kebijakan larangan masuk pada kendaraan-kendaraan tertentu di Jakarta telah dilaksanakan seperti melarang semua kendaraan masuk pada jalan-jalan protokol pada hari-hari tertentu, melarang kendaraan melewati jalan-jalan tertentu kecuali pada kendaraan berpenumpang tiga atau lebih pada jam-jam tertentu. Kebijakan larangan kendaraan masuk pada jalan-jalan tertentu telah lama diterapkan pada beberapa Negara seperti di Buenos Aires. Menurut Moore (2008) pada tahun 1977 Buenos Aires melarang kendaraan pribadi memasuki jalan-jalan pusat keramaian kota dari pukul 10 pagi sampai 7 malam pada hari-hari kerja. Bus dan taksi diperbolehkan hanya pada beberapa jalan tertentu. Larangan ini mengatasi kepadatan lalu lintas dan pencemaran udara yang disebabkan oleh satu juta orang yang memadati pusat kota Buenos Aires setiap hari kerja.

Selanjutnya menurut Moore (2008) larangan bagi mobil secara sebagian atau total sudah pula diberlakukan di sebagian besar kota besar Italia, termasuk Roma, Florensia, Napoli, Bologna, dan Genoa dan di kota-kota kecil. Dari pukul 7.30 pagi sampai 7.30 malam, hanya bus, taksi, kendaraan pengirim barang, dan mobil-mobil pemilik rumah di daerah itu yang boleh memasuki daerah pusat Roma dan Florensia. Larangan serupa juga diberlakukan di Athena, Amsterdam, Barcelona, Budapest, Kota Mekiko, dan Munich. Dalam waktu sepuluh tahun

mendatang Bordeaux, Prancis, berniat menghapus kendaraan bermotor dari separo jalan-jalan di kota ini, dan memberikan jalan-jalan itu pada para pejalan kaki dan pengendara sepeda.

b. Larangan Parkir

Larangan parkir bertujuan untuk membatasi jumlah mobil yang boleh parkir di suatu daerah, tetapi tidak berpengaruh apapun pada jumlah mobil yang boleh lewat. Perda nomor 2 tahun 2005 Kota Jakarta mengeluarkan kebijakan untuk melarang kendaraan parkir pada tempat-tempat tertentu seperti di pusat-pusat keramaian, di pingir-pinggir jalan raya atau di kawasan wisata. Cara ini bertujuan untuk mengatasi berlimpahnya kendaraan di pusat-pusat keramaian sekaligus sebagai suatu cara untuk mengurangi pencemaran udara.

c. Mengatur Zona Lalu Lintas

Mengatur zona lalu lintas juga merupakan salah satu cara menurunkan pencemaran udara yang berasal dari kendaraan bermotor. Ini dilakukan dengan membatasi kendaraan-kendaraan tertentu seperti truk untuk masuk ke pusat kota tetapi hanya diperbolehkan untuk melewati pinggiran kota.

Menurut Moore (2008) di Gothenburg Swedia sejak tahun 1970, pemerintah setempat membagi pusat kotanya menjadi lima sektor berbentuk pastel sebagai suatu cara untuk membatasi lalu lintas yang lewat dan menggalakkan transportasi umum. Kendaraan darurat, angkutan lokal masal, sepeda dan moped dapat melintas dari satu zona ke zona lain, tapi mobil tidak dapat. Berkurangnya kepadatan di pusat kota Gothenburg telah menimbulkan layanan transit yang lebih baik dan tingkat kecelakaan yang lebih rendah.

d. Hari Tanpa Mengemudi

Cara ini juga merupakan cara yang efektif dalam menurunkan beban pencemar udara yang berasal dari kendaraan bermotor. Pada akhir 1991, Roma, Milano, Napoli, Turino, dan tujuh kota lain di Italia mencanangkan "perang" terhadap pencemaran dengan cara membatasi jumlah mobil di jalan. Dalam peraturan ini, mobil berplat nomor ganjil dilarang berjalan di satu hari, sedang

mobil berplat nomor genap dilarang berjalan hari berikutnya. Banyak pengemudi yang merasa jengkel dengan adanya kekangan dan larangan atas hak mereka untuk mengemudi, lalu mengabaikan aturan genap-ganjil ini. Dalam satu hari saja di bulan Desember, para polisi lalu lintas mencatat 12.983 pelanggaran, menilang para pelanggar aturan yang mengemudi di hari yang salah, atau yang mengubah plat nomor kendaraan mereka. Namun demikian, dengan penggalakan peraturan secara keras, menteri lingkungan hidup Italia yakin larangan mengemudi berseling hari itu dapat mengurangi polusi sebesar 20 sampai 30 persen (Moore 2008).

e. Bersepeda

Membiasakan diri bersepada terutama di kota-kota besar yang padat lalu lalang kendaraan bermotor selain bertujuan sebagai sarana olaha raga juga efekteif menurunkan kadar pencemaran udara karena dapat mengurangi jumlah pemakaian kendaraan bermotor.

Agar upaya ini dapat berjalan dengan baik, perlu dukungan dari pemerintah untuk menggalakkan bersepeda melalui program khusus seperti penyediaan fasilitas-fasilitas pendukung kegiatan bersepeda secara lengkap dan memadai, misalnya tersedianya persewaan sepeda dengan uang jaminan yang akan dikembalikan bagi yang belum memiliki sepeda, bahkan garasi khusus sepeda dan penyediaan jalan yang khusus untuk dilalui oleh sepeda atau dengan upaya-upaya lainnya. Semua upaya tersebut dalam rangka untuk lebih menggalakkan kegiatan bersepeda. Program semacam itu mempunyai dampak sangat besar terhadap cara orang melihat pilihan yang mereka miliki untuk sarana transportasi.

f. Penerapan Pembatasan Usia Kendaraan Masuk Kota

Menurut Moore (2008), sejumlah teknologi yang lebih baru menjanjikan pengurangan emisi cukup besar bila dibandingkan dengan sistem-sistem yang ada saat ini. Dengan beroperasi menggunakan zat hidrogen, beberapa temuan mutakhir ini bahkan dapat mencapai tingkat emisi nol, atau sangat mendekati nol, sampai selisihnya tak dapat diukur dengan piranti yang ada sekarang. Bahkan bila dioperasikan dengan bahan bakar fosil pun, seperti gas alam, temuan-temuan itu

masih mampu mencapai tingkat emisi nol untuk polutan-polutan tertentu, dan mendekati nol untuk beberapa jenis polutan lain.

g. Penanaman Vegetasi

Menaman vegetasi merupakan salah upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan kadar pencemar udara yang berasal dari kendaraan bermotor. Vegetasi mempunyai kemampuan yang besar dalam mengabsorpsi bahan-bahan pencemar. Bahan pencemar yang masuk ke dalam tanaman dapat melalui pori-pori seperti stomata yang ada pada tanaman atau masuk melalui serapan akar. Namun permasalahan penerapan kebijakan penanaman vegetasi di kota-kota besar adalah keterbatasan lahan dimana lahan-lahan kosong di sekitar pinggiran jalan raya sudah sangat terbatas dan kebanyakan sudah tertutup oleh trotoar sehingga menyilitkan untuk menanam vegetasi.

Analisis Hirarki Proses Dapat Menyusun Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Udara.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Vegetasi dan manusia dapat menjadi media yang baik bagi terakumulasinya bahan pencemar udara seperti Pb, debu dan CO yang berasal dari kendaraan bermotor.

2. Hasil penelitian menujukkan akumulasi Pb pada tiga tanaman sampel di enam lokasi pengamatan menunjukan kandungan Pb rata-rata berada di atas ambang baku mutu lingkungan. Demikian pula dalam tubuh manusia rata-rata berada di atas batas baku mutu lingkungan, namun kadarnya lebih rendah dibandingkan dengan yang terakumulasi dalam tanaman.

3. Keberadaan Pb di udara mempunyai efek toksik yang luas pada manusia dengan mengganggu fungsi ginjal, saluran pencernaan, dan sistem saraf pada remaja, menurunkan fertilitas, menurunkan jumlah spermatozoa, dan meningkatkan spermatozoa abnormal, menurunkan Intellegent Quotient (IQ)

pada anak–anak, menurunkan kemampuan berkonsentrasi, gangguan pernapasan, kanker paru–paru dan alergi.

4. Untuk menurunkan kadar pencemaran udara terutama Pb, debu dan CO yang berasal dari kendaraan bermotor diperlukan sistem pengelolaan lingkungan yang baik dengan melibatkan semua pihak melalui beberapa upaya seperti larangan masuk, larangan parkir, mengatur zona lalu lintas, hari tanpa mengemudi, bersepeda, penerapan pembatasan usia kendaraan masuk kota, penanaman dan pemeliharaan vegetasi.

5. Hasil AHP menunjukan bahwa pembatasan usia kendaraan bermotor melintas di jalan tol, penanaman vegetasi / RTH, menjadi desain dalam pengelolaan pencemaran udara terhadap Pb, debu dan CO.

Patokan Dengan Kota Kembar (Sister City)

Pengelolaan polusi di DKI Jakarta adalah mengadopsi pada tata kelola kota Bern di Swiss dan Kota Den Hagg di Negeri Belanda. Bern mencapai indeks polutan sebesar 13,75 dan Den Hagg 42,50 dan Jakarta indeks polutannya mencapai 133,75 (www.numbeo.com./pollution). Pencapaian yang mendekati sempurna sesuai dengan Sister City adalah suatu keniscayaan, maka dari itu disusunlah pilihan-pilihan atau option yang mendekati kota Jakarta sebagai

Ecocity atau kota berwawasan lingkungan dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Kerangka pilihan 5 tahun kedepan yaitu tahun 2012-2017 setara dengan kota Kuala Lumpur tahun 2011 index sebesar 70 dan DKI Jakarta 87,50.

2. Untuk 10 Tahun kedepan yaitu tahun 2012-2022 kerangka pilihan jatuh pada kota Singapura yakni sebesar 62,50 dan Jakarta 70.

Kebijakan-kebijakan yang di lakukan oleh kota Kuala Lumpur dan Singapura untuk mengurangi pencemaran udara.

1. Kebijakan yang dilakukan oleh kota Kuala Lumpur:

a. Mobil besar yang bertonase lebih dari 25 ton keatas tidak boleh masuk kota.

b. Mobil-mobil tua tidak dipergunakan lagi (mobil yang berusia diatas lebih dari 10 tahun), karena ada pemotongan kendaraan yang sudah tua.

c. Bahan bakar di setiap kendaraan sudah bebas timbal (Pb).

d. Adanya pengecekan kendaraan untuk emisi gak buang / knalpot. (Sumber : Perda nomor 5 Tahun 2005)

2. Kebijakan yang dilakukan oleh kota Singapura: a. Adanya regulasi ketat oleh pemerintah.

b. Tidak boleh membeli atau memiliki kendaraan, jika si pembeli tidak mempunyai tempat untuk parkir kendaraannya.

c. Mobil-mobil tua tidak dipergunakan lagi (mobil yang berusia diatas lebih dari 10 tahun), karena ada pemotongan kendaraan yang sudah tua.

d. Bahan bakar di setiap kendaraan sudah bebas timbal (Pb).

e. Pajak kendaraan di Kota Singapura bersifat progresif dan satu keluarga hanya boleh memiliki satu kendaraan dan tidak boleh lebih dari satu. f. Kendaraan berat tidak boleh masuk kota, karena kota Singapura untuk

angkutan berat menggunakan angkutan kereta api / laut. (Sumber : Perda nomor 5 Tahun 2005)

Perbedaan mendasar antara kota Jakarta dengan Kuala Lumpur adalah dibedakan dari lokasi geografinya, dimana Kuala Lumpur berada didataran tinggi sedangkan kota Jakarta didataran rendah (dengan pantai), sedangkan kota Singapura walapun sama-sama berada di tepi pantai, namun Singapura berhasil melakukan dalam mempertahankan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Kebijakan penguranan polusi udara

Untuk menghitung tingkat pencemaran CO di cawing-Semanggi dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Berdasarkan pengamatan satu mobil dapat menempuh jarak 1 (satu) km pada saat kemacetan memerlukan bahan bakar 0,075 ml premium/km. Dengan perhitungan 1 (satu) jam mobil dapat menempuh jarak 5 km. Jadi per 5 (lima) jam mobil memerlukan 0,375 ml. Jumlah mobil yang melintas di daerah Cawang-Semanggi adalah 1600 kendaraan, sehingga dalam 1 (satu) jam bahan bakar yang digunakan untuk menempuh jarak 5 km/jam adalah 600 liter/jam.

b. Berdasarkan pengamatan tahun 2008 di DKI Jakarta kendaraan (Mobil) dapat mengeluarkan CO sebanyak 103,05227 µg/Nm perkendaraan, dengan jumlah kendaraan yang melintasi jalan tersebut adalah 1600 mobil. Maka dapat

Dokumen terkait