• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

D. FRAKSINASI DAN KRISTALISAS

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kadar air dan kotoran

Kadar air dihitung sebagai berat yang hilang akibat pemanasan CPO pada suhu 103°C ± 2°C selama 3 jam. Umumnya air dalam minyak hanya dalam jumlah kecil. Hal ini dapat terjadi akibat perlakuan di pabrik serta penimbunan CPO. Air digunakan sebagai bahan penolong pada ekstraksi minyak, baik dalam bentuk cair maupun dalam bentuk uap. Air banyak dipakai untuk proses pencucian dan bahan pengisi ketel uap. Uap panas dipakai pada proses sterilisasi, pemanasan, dan sebagai sumber tenaga (Ketaren 2008). Air yang terdapat dalam minyak dapat ditentukan dengan cara penguapan dalam alat pengering. Hasil analisis kadar air sampel CPO dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Kadar air sampel CPO

Standar CPO yang berlaku di Indonesia yang tertuang dalam dokumen SNI 01-2901- 2006 ditetapkan bahwa kadar air dan kotoran CPO maksimal 0.5%. Dokumen SNI 01-2901- 1992 memisahkan antara standar maksimum kadar air dan kotoran. Standar kadar air maksimum sebesar 0.45% dan standar kadar kotoran maksimum 0.05%. Pada Gambar 3 dapat dilihat kadar air untuk lima sampel CPO berkisar antara 0.23 – 0.55%. Empat sampel

0.23 0.49 0.55 0.38 0.38 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6

CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E

k ad ar ai r (% b b ) Sampel CPO

CPO memenuhi nilai standar maksimum kadar air menurut SNI 01-2901-1992 dan hanya terdapat satu sampel CPO yang tidak memenuhi standar yaitu sampel CPO C.

Kadar air memegang peranan penting dalam mutu CPO, kadar air CPO diharapkan tidak terlalu besar karena hal ini berkaitan dengan reaksi hidrolisis yang dapat terjadi pada CPO dan akan mengakibatkan kerusakan pada CPO. Dalam reaksi hidrolisis minyak akan diubah menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Reaksi ini dipercepat oleh basa, asam, dan enzim. Asam lemak bebas yang terbentuk dari hasil hidrolisis menghasilkan flavour dan bau tengik pada minyak terutama asam lemak rantai pendek seperti asam butirat dan kaproat (Ketaren 2008). Persamaan reaksi hidrolisis minyak oleh air dapat diihat pada Gambar 4.

Faktor yang mempengaruhi kadar air pada CPO antara lain adalah efektifitas pada tahap pengolahan buah sawit menjadi CPO. Tahapan pengolahan yang memegang peranan penting dalam mengendalikan kadar air CPO yaitu tahap pemurnian minyak (Basiron 2005). Pada tahap ini terjadi pemisahan antara air yang secara alami terdapat pada buah dan yang digunakan pada proses sterilisasi dengan minyak/CPO menggunakan prinsip pengendapan dan pengeringan dengan menggunakan vacum dryer.

Gambar 4. Reaksi hidrolis minyak oleh air (Ketaren 2008)

Kotoran pada CPO mencakup kotoran-kotoran kecil atau serabut yang terdapat pada CPO dan bahan yang terkandung pada CPO yang tidak larut pada n-heksana. Kadar kotoran menjadi salah satu parameter yang perlu diperhatikan karena CPO umumnya digunakan sebagai bahan baku dalam industri pangan. Dalam dokumen SNI 01-2901-1992 ditetapkan kadar kotoran maksimum CPO sebesar 0.05%.

Berdasarkan hasil analisis lima sampel CPO, kadar kotoran CPO memiliki kisaran antara 0.3%-4.84% dengan kadar kotoran terkecil dimiliki oleh sampel CPO A dan kadar kotoran terbesar dimiliki oleh sampel CPO C. Nilai kadar kotoran lima sampel CPO yang dianalisis berada di atas nilai kadar kotoran dalam syarat mutu SNI 01-2901-1992. Tingginya kadar kotoran yang dimiliki oleh sampel C bisa disebabkan oleh sumber CPO yang diberikan oleh perusahaan C kemungkinan bukan CPO yang akan digunakan untuk bahan baku industri pangan tetapi CPO yang akan digunakan untuk bahan baku industri non pangan seperti untuk bahan baku biofuel ataupun untuk bahan baku pelumas. Gambar 5 menunjukkan hasil analisis kadar kotoran lima sampel CPO.

Gambar 5. Kadar kotoran CPO

Standar SNI 01-2901-2006 melakukan penggabungan nilai kandungan maksimal terhadap parameter kadar air dan kadar kotoran. Nilai maksimal yang ditetapkan Badan Standarisasi Nasional terhadap kedua parameter tersebut yaitu maksimal 0.5%. Apabila nilai kedua parameter tersebut digabungkan maka akan didapat nilai kandungan kadar air dan kadar kotoran seperti yang ditampilkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Kadar air dan kotoran lima sampel CPO

Berdasarkan data yang diperoleh kandungan kadar air dan kotoran pada lima jenis sampel CPO berkisar antara 0.33% sampai 5.39 %. Jika mengacu pada standar SNI 01-2901- 2006 hanya satu sampel CPO yang memenuhi standar yaitu sampel CPO A sedangkan empat sampel CPO lainnya tidak memenuhi standar.

Tingginya kadar air dan kotoran empat sampel CPO tersebut dapat dipengaruhi oleh efektivitas selama proses pengolahan terutama pada tahap pemurnian minyak dan pengeringan hampa. Pada tahap pemurnian, minyak sawit diendapkan dalam tangki pengendapan. Kotoran dan air yang masih terdapat pada minyak terpisah karena adanya perbedaan bobot jenis. Bobot jenis minyak lebih kecil daripada bobot jenis air dan kotoran sehingga air dan kotoran akan mengendap dan proses pemisahan dapat dilakukan. Apabila lama pengendapan terlalu pendek dan suhu dalam tangki pengendapan terlalu rendah maka

0.1 0.2 4.84 0.29 0.3 0 1 2 3 4 5 6

CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E

k ad ar k o to r an (% b b ) Sampel CPO 0.33 0.69 5.39 0.67 0.68 0 1 2 3 4 5 6

CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E

K ad ar ai r d an k o to r an (% b b ) Sampel

pemisahan kotoran dan air tidak optimal. Pengeringan dengan pengering hampa dilakukan setelah kotoran terpisah dari minyak.

2. Kadarasam lemak bebas

Karakteristik mutu suatu minyak atau lemak dipengaruhi oleh kadar asam lemak bebasnya (ALB). Kadar ALB yang tinggi menunjukkan bahwa minyak atau lemak memiliki kualitas yang buruk. Tingginya kadar ALB dapat memperbesar risiko kerusakan minyak lebih lanjut akibat oksidasi. Kenaikan ALB pada CPO disebabkan adanya reaksi hidrolisis pada minyak. Reaksi ini dipercepat dengan adanya asam, panas, air, dan enzim.

Salah satu enzim yang berperan dalam peningkatan ALB pada minyak yaitu enzim lipase (triacylglycerol acylhydrolase) (Sambanthamurthi et al. 2000). Enzim ini secara alami terdapat pada buah kelapa sawit. Aktivitas enzim ini berperan dalam peningkatan ALB pada CPO. Semakin matang buah sawit maka aktivitas enzim lipase semakin meningkat yang mengakibatkan peningkatan ALB pada minyak. Sebaliknya buah sawit yang belum matang memiliki aktivitas lipase yang rendah namun rendamen minyaknya juga rendah. Selain faktor kematangan buah, lama waktu antara pemanenan buah hingga pengolahan juga turut mempengaruhi kandungan ALB pada minyak. Buah yang sudah dipanen harus segera diolah untuk mengurangi kandungan ALB pada CPO (Tan et al. 2009).

Kandungan ALB yang tinggi pada minyak dapat dikurangi dengan melakukan proses netralisasi pada minyak tersebut sebelum digunakan sebagai bahan baku (Ketaren 1986). Selain itu menurut Tan (2009) pengeringan buah sawit pada suhu 66.8 °C selama 12.8 jam sebelum ekstraksi dapat mengurangi kandungan ALB pada CPO.

Hasil analisis lima sampel CPO menunjukkan bahwa kandungan ALB CPO pada kelima sampel berkisar antara 3.84-5.8%. Kandungan ALB tertinggi terdapat pada sampel CPO A sedangkan kandungan asam lemak terendah terdapat pada sampel CPO C. Untuk CPO di Indonesia, standar kandungan ALB-nya ditetapkan maksimal 5%. Kandungan ALB kelima sampel CPO tersebut sudah cukup baik, hanya satu sampel yaitu sampel CPO A yang memiliki kadar asam lemak bebas diatas standar SNI. Perbedaan kandungan ALB pada sampel CPO tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: kondisi kematangan buah sawit saat dipanen, efektivitas pengolahan, dan lama waktu penimbunan. Kandungan ALB pada lima sampel CPO dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Kandungan Asam lemak bebas CPO 5.8 3.88 4.6 3.84 4.58 0 1 2 3 4 5 6 7

CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E

as am l e m ak b e b as (% ) Sampel CPO

3. Bilangan iod

Bilangan iod digunakan untuk mengukur derajat ketidakjenuhan suatu minyak atau lemak. Ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak tidak jenuh dapat diadisi oleh senyawa iod sehingga menghasilkan senyawa dengan ikatan jenuh. Semakin tinggi bilangan iod maka semakin banyak ikatan rangkap yang diadisi dan semakin tinggi derajat ketidakjenuhan minyak tersebut. Penetapan bilangan iod dilakukan dengan menambahkan iod secara berlebih ke dalam sampel minyak. Kelebihan iod dititrasi dengan natrium tiosulfat sehingga iod yang digunakan untuk mengadisi minyak dapat diketahui jumlahnya (Kusnandar 2010). Reaksi adisi ikatan rangkap asam lemak oleh senyawa iod pada penelitian ini menggunakan larutan KI 10% sebagai carrier. Reaksi yang terjadi dalam penentuan bilangan iod dapat dilihat pada Gambar 8 berikut.

Gambar 8. Reaksi penentuan bilangan iod

Asam lemak penyusun CPO didominasi oleh asam lemak jenuh (50% ) dan asam lemak tidak jenuh (50%). Asam lemak jenuh penyusun CPO terdiri dari asam palmitat (C16:0) dengan komposisi 44.02% dan asam stearat (C18:0) dengan komposisi sekitar 4.54%. Sedangkan asam lemak tidak jenuh terdiri dari asam oleat (C18:1) yang terdapat sekitar 39.15% dan asam linoleat (C18:2) sekitar 10.2% (Basiron 2005). Dengan komposisi asam lemak yang seperti ini menyebabkan bilangan iod CPO berada dikisaran 50-55 g iod/100 g sampel.

Tingkat ketidakjenuhan suatu minyak sangat menentukan kondisi minyak pada suhu ruang. Minyak dengan ketidakjenuhan yang tinggi akan berwujud cair pada suhu ruang. Sebaliknya minyak dengan ketidakjenuhan yang rendah cenderung berbentuk padat suhu ruang (Patterson 2009). CPO memiliki tingkat ketidakjenuhan yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah sehingga pada suhu ruang CPO akan berbentuk semipadat dan cenderung lebih tahan terhadap oksidasi dibanding minyak nabati lain (Basiron 2005).

Metode yang sering digunakan dalam menentukan bilangan iod ada dua, yaitu metode Hanus dan metode Wijs. Dalam penelitian ini digunakan metode Wijs. Kusnandar (2010) menyatakan bahwa ada sedikit perbedaan hasil yang diperoleh dengan kedua metode ini, akan tetapi variasi perbedaan ini tidak lebih besar dari variasi bilangan iod dalam minyak itu sendiri. Namun pada kenyataannya metode Wijs memberikan hasil yang lebih baik dibanding metode Hanus.

Hasil analisis dari lima sampel CPO menunjukkan bahwa bilangan iod dari kelima sampel CPO yang dianalisis menunjukkan jumlah bilangan iod berkisar antara 50.38-54.15 g iod/100 g sampel. Standar CPO berdasarkan SNI 01-2901-2006 menetapkan standar bilangan iod untuk CPO sebesar 50-55 g iod/100 sampel. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai bilangan iod lima sampel CPO yang dianalisis masih memenuhi standar bilangan iod berdasarkan SNI 01-2901-2006. Hasil analisis bilangan iod sampel CPO dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Bilangan iod sampel CPO

4. Analisis karoten

CPO umumnya mengandung 500-700 ppm karoten. Selain sebagai pemberi warna, karoten juga berfungsi sebagai antioksidan dalam tubuh serta berfungsi sebagai prekursor

vitamin A khususnya dalam bentuk β-karoten (Mustapa et al. 2010). Codex Alimentarius Commission (2003) yang digunakan sebagai acuan dalam perdagangan internasional menetapkan bahwa persyaratan kadar karoten CPO berkisar antara 500-2000 ppm sebagaimana tercantum dalam Codex Standar for Named Vegetables Oil CODEX STAN 210. Sementara itu Badan Standardisasi Nasional (BSN) selaku organisasi yang menetapkan standar di Indonesia belum mencantumkan standar kandungan karoten pada CPO.

Gambar 10 menunjukkan kandungan karoten yang terdapat pada lima sampel CPO yang dianalisis. Dari data yang diperoleh terdapat variasi nilai karoten CPO yang berkisar antara 428.28-815.56 ppm. Kandungan karoten tertinggi dimiliki oleh sampel CPO A dengan kandungan karoten sebesar 815.56 ppm dan sampel yang mengandung karoten terendah adalah sampel CPO C dengan kandungan karoten 428.28 ppm. Sedangkan CPO B, D, dan E masing-masing memiliki kandungan karoten 772.43 ppm, 668.31 ppm, dan 500.95 ppm. Dari kelima sampel tersebut terdapat satu sampel yang mengandung kadar karoten di bawah kadar karoten CPO yang ditetapkan oleh CODEX(2003).

Gambar 10. Kandungan karoten sampel CPO 50.38 51.3 50.79 52.47 54.15 0 10 20 30 40 50 60

CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E

b il an gan yo d iu m Sampel 815.56 772.43 428.28 668.31 500.95 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900

CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E

K ar o te n (p p m ) Sampel

3.11 1.68 1.34 3.06 2.15 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E

D

O

B

I

Sampel

Perbedaan kandungan karoten pada masing-masing sampel tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: varietas kelapa sawit, tingkat kematangan buah kelapa sawit, dan pemanasan di unit proses pengolahan kelapa sawit. Selain itu, infrastruktur kebun kelapa sawit yang tidak baik dan cuaca buruk menyebabkan buah kelapa sawit tidak langsung diolah menjadi CPO dapat menurunkan kandungan karoten CPO (Hasibuan & Harijanto 2008).

Penyimpanan CPO ditangki timbun yang terlalu lama juga dapat menyebabkan penurunan kandungan karoten yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan karena pada tangki timbun tidak bisa dihindari pemanasan yang berulang-ulang pada saat loading ke truk pengangkut dan kapal. Padahal karoten relatif lebih cepat terdegradasi dengan pemanasan yang berlebihan serta pemanasan yang berulang (Hasibuan & Harijanto 2008).

5. DOBI (Deterioration of Bleachability Index)

DOBI adalah angka perbandingan serapan CPO pada panjang gelombang 446 nm dan 269 nm (Gee 2005). Angka DOBI dapat digunakan sebagai indikator kerusakan CPO akibat oksidasi. Selain itu angka DOBI ini juga digunakan oleh industri yang akan mengolah CPO menjadi minyak goreng untuk menentukan jumlah bleaching earth yang akan digunakan untuk pemucatan CPO sehingga menghasilkan warna yang dapat diterima oleh konsumen minyak goreng (Lin 2004).

Berdasarkan nilai DOBI, CPO dapat dikelompokkan menjadi lima kelas. CPO dengan angka DOBI < 1.68, termasuk ke dalam CPO yang memiliki kualitas buruk. Sementara itu CPO dengan angka DOBI antara 1.78 – 2.30 memiliki mutu yang kurang baik. Kemudian CPO dengan angka DOBI 2.30 – 2.92 mengindikasikan bahwa CPO ini memiliki mutu cukup baik. Angka DOBI 2.93 – 3.23 memperlihatkan indikasi CPO dengan mutu baik, dan angka DOBI di atas 3.24 berarti CPO memiliki kualitas yang sangat baik. Sementara itu negara tujuan ekspor menetapkan angka DOBI CPO yang dapat diterima harus memiliki angka DOBI lebih besar atau sama dengan 2.8 (Anonim 2004). Di Indonesia sendiri standar mengenai mutu CPO belum memasukkan nilai DOBI sebagai salah satu parameter dalam menentukan kualitas CPO.

Hasil analisis dari kelima sampel CPO yang diuji menunjukkan nilai DOBI seperti pada Gambar 11. Dari hasil analisis didapat nilai DOBI berkisar antara 1.34–3.11. Hanya ada dua CPO yang memenuhi standar nilai DOBI yaitu sampel CPO A dan CPO D.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilai DOBI antara lain: (1) kualitas buah, menyangkut kondisi buah saat dipanen apakah masih dalam kondisi utuh atau banyak mengalami luka karena benturan saat pemanenan, (2) derajat kematangan buah sawit, (3) kondisi saat proses pengolahan buah sawit menjadi CPO, (4) selang waktu antara pemanenan dengan sterilisasi buah sawit, dan (5) suhu serta kondisi penyimpanan CPO (Lin 2004).

B.PENENTUAN TAHAP FRAKSINASI MINYAK SAWIT KASAR

Proses fraksinasi minyak sawit kasar menghasilkan dua produk utama, yaitu olein dan stearin yang bisa digunakan untuk berbagai aplikasi, seperti minyak goreng, minyak salad, margarin, dan shortening.

Kondisi proses fraksinasi melibatkan pengaturan suhu, agitasi, kontrol waktu kristalisasi, dan metode separasi yang digunakan. Keberhasilan proses fraksinasi sangat ditentukan oleh parameter tersebut. Keterbatasan peralatan dilaboratorium mengakibatkan kesulitan selama penelitian untuk melakukan kontrol terhadap parameter tersebut secara keseluruhan.

Pada penelitian ini, ada tiga proses yang dilakukan untuk memperoleh proses fraksinasi yang menghasilkan olein dan stearin dengan mutu yang diharapkan. Proses tersebut adalah Proses I, II, dan III. Langkah-langkah yang dilakukan dan kondisi tiap proses dijelaskan dibawah ini.

a. Proses I

Pada proses I tahap kristalisasi dilakukan dengan mula-mula sampel CPO dipanaskan dalam wadah logam berukuran 2 liter sampai suhu CPO 70 °C sambil diaduk menggunakan agitator dengan kecepatan tertentu. Setelah suhu mencapai 70°C pemanasan dihentikan. Wadah logam yang berisi CPO tersebut dimasukkan ke dalam wadah yang berukuran lebih besar (semacam baskom) yang telah berisi air dan ditambahkan es agar suhu air konstan pada suhu 5 °C sambil dilakukan pengadukan terhadap CPO dengan agitator. Kondisi ini dipertahankan sampai suhu CPO mencapai 15 °C. Setelah suhu CPO mencapai 15 °C dilakukan separasi menggunakan kain saring.

Proses I tidak menghasilkan olein maupun stearin. Produk yang dihasilkan masih berupa CPO namun memiliki viskositas yang tinggi. Kegagalan mungkin disebabkan karena waktu fraksinasi yang tidak mencukupi. Menurut Timms (1997) waktu kristalisasi pada proses fraksinasi pada umumnya dilakukan selama 10-30 jam. Sedangkan waktu kristalisasi Proses I tidak mencapai 10 jam. Salah satu kesulitan pada tahap ini yaitu diperlukannya banyak es untuk menurunkan suhu CPO. Disamping itu saat proses kristalisasi dilakukan, tidak semua bagian CPO yang mendapatkan suhu rendah hal ini disebabkan wadah kristalisasi yang cukup tebal dan kemungkinan suhu rendah hanya pada CPO yang paling dekat dengan dinding wadah. Karena proses I ini tidak menghasilkan olein seperti yang diharapkan maka proses I tidak dipilih sebagai proses fraksinasi yang akan digunakan untuk menghasilkan olein dan stearin.

b. Proses II

Karena proses I tidak menghasilkan olein dan stearin maka dilakukan uji coba proses fraksinasi selanjutnya. Proses fraksinasi yang dicobakan tetap berdasarkan prinsip dalam proses fraksinasi yaitu kristalisasi dan separasi.

Pada proses II ini tahap kristalisasi dilakukan dengan memanaskan CPO pada erlenmeyer sampai suhu 50 °C. Setelah suhu mencapai 50 °C erlenmeyer yang berisi CPO dimasukkan ke dalam pendingin yang bersuhu 20 °C selama 6 jam. Setelah 6 jam dalam pendingin, sampel CPO yang membeku kemudian dibiarkan semalaman dalam suhu ruang sehingga terlihat fraksi olein terpisah dengan fraksi stearin dalam erlenmeyer. Kemudian dilakukan tahap separasi dengan kertas Whatman dengan bantuan penyaring vakum.

penyimpanan. Fase yang mengendap diperkirakan stearin yang masih terdapat dalam olein. Hal ini tidak inginkan karena mengindikasikan olein masih tercampur dengan stearin dan memberikan kenampakan visual yang kurang baik.

Kegagalan dalam proses II ini dapat disebabkan karena laju pendinginan yang terlalu cepat. CPO yang bersuhu 50 °C dan langsung dimasukkan ke dalam pendingin bersuhu 20 °C mengakibatkan laju pendinginan yang cepat. Laju pendinginan yang cepat akan menghasilkan kristal yang berukuran kecil dan seragam. Kristal seperti ini mengakibatkan kesulitan dalam tahap separasi sehingga olein yang dihasilkan tidak memiliki mutu yang baik (Che & Swe 1995). Selain itu proses penyimpanan CPO selama semalaman pada suhu ruang setelah proses kristalisasi mengakibatkan kristal yang terbentuk menjadi rusak, sehingga sulit untuk melakukan separasi.

Secara umum proses II yang dicobakan belum memberikan hasil yang baik sehingga proses II ini tidak dipilih sebagai proses fraksinasi yang digunakan untuk menghasilkan olein dan stearin.

c. Proses III

Proses III ini didisain dengan memodifikasi proses fraksinasi yang dilakukan Zaliha et al. (2004). Suhu kristalisasi yang dipilih yaitu 12 °C dengan mempertimbangkan suhu terendah yang dapat dicapai oleh alat pendingin yang terdapat di laboratorium.

Proses III ini juga dilakukan dengan memvariasikan waktu kristalisasi yaitu selama 16, 24, dan 48 jam dan kemudian dipilih waktu kristalisasi yang memberikan karakteristik olein terbaik. Sampel CPO dalam erlemeyer 250 ml mula-mula dipanaskan hingga suhu 50 °C dengan menggunakan hotplate. Setelah suhu 50 °C tercapai, dilakukan penurunan suhu CPO dengan laju 5 °C/30 menit sampai suhu CPO mencapai 15 °C. Penurunan suhu ini dilakukan dalam waterbath. Setelah selesai proses penurunan suhu sampel CPO kemudian dimasukkan dalam refrigerator yang bersuhu 12 °C, tahapan ini disebut kristalisasi. Waktu kristalisasi dilakukan pada 3 waktu berbeda, yaitu 16, 24, 48 jam. Setelah selesai tahap kristalisasi maka dilanjutkan ke tahap separasi menggunakan kertas saring Whatman dengan bantuan penyaring vakum. Setelah diperoleh fraksi olein, dilakukan analisis terhadap olein untuk menentukan metode dengan waktu yang tepat untuk menghasilkan olein dengan karakter terbaik.

Proses III secara keseluruhan menghasilkan olein dan stearin dengan mutu yang baik secara visual serta stabil dalam penyimpanan suhu ruang. Untuk memperoleh kondisi proses terbaik maka dilakukan analisis terhadap olein yang dihasilkan dari masing-masing waktu kristalisasi. Analisis yang dilakukan meliputi analisis bilangan iod dan kandungan karoten. Proses fraksinasi yang menghasilkan olein dengan bilangan iod dan kandungan karoten tertinggi dipilih sebagai proses fraksinasi yang digunakan untuk fraksinasi selanjutnya.

Hasil analisis bilangan iod dan kandungan karoten olein yang dihasilkan pada proses III dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Hasil analisis olein Proses III Waktu kristalisasi (jam) Bilangan iod (g iod/100 g) Kadar karoten (ppm) 16 59.66 536.24 24 59.65 473.46 48 58.82 460.16

Berdasarkan Tabel 5. dapat dilihat bahwa proses fraksinasi yang menghasilkan olein dengan karakter terbaik yaitu waktu fraksinasi proses III dengan lama waktu kristalisasi 16 jam. Proses fraksinasi tersebut menghasilkan olein dengan rata-rata bilangan iod sebesar 59.66 g iod/100 g sampel dan kadar karoten oleinnya rata-rata 536.24 ppm. Dari data tersebut akhirnya dipilih metode fraksinasi proses III dengan waktu kristalisasi 16 jam. Diagram alir proses fraksinasi terpilih tersebut dapat dilihat pada Gambar 12 berikut.

Gambar 12. Diagram alir proses fraksinasi CPO terpilih

Proses fraksinasi terpilih tersebut dilakukan secara manual dengan memanfaatkan peralatan yang ada di laboratorium. Skala kerja fraksinasi metode terpilih tersebut hanya dalam skala kecil dengan volume sampel CPO 250 ml, dimana penurunan suhu dilakukan pada waterbath berukuran kecil. Pada Gambar 13 terlihat kondisi CPO setelah pemanasan, dimana pemanasan dilakukan di atas hotplate dan sampel ditempatkan dalam erlenmeyer 250 ml.

Gambar 13. CPO setelah pemanasan 50 °C CPO

Pemanasan sampai suhu 50 0C

Pendinginan sampai 15 0C dengan laju 5 0C/30 menit

Kristalisasi pada suhu 12 0C selama 16 jam

Separasi/pemisahan

Olein Stearin

Setelah dipanaskan CPO tersebut kemudian didinginkan dengan laju penurunan suhu 5 °C/30 menit dalam waterbath (Gambar 14). Asmaranala (2004) melakukan fraksinasi NDRPO skala pilot plan dengan laju penurunan suhu yang bervariasi. Penurunan suhu pertama dilakukan dengan laju 13.33 °C/jam. Penurunan suhu ini dilakukan selama 3 jam dari suhu 75 °C sampai menjadi 35 °C. Penurunan suhu kedua dilakukan dengan laju 6.67 °C/jam selama 3 jam dari suhu 35 °C sampai menjadi 15 °C.

Sampel CPO yang telah mencapai suhu 15 °C kemudian dimasukkan ke dalam pendingin bersuhu 12 °C selama 16 jam dan dihasilkan CPO yang berbentuk kristal. Gambar 15 menunjukkan CPO setelah dikristalisasi.

Gambar 14. Penurunan suhu CPO dalam waterbath

Gambar 15. CPO setelah proses kristalisasi dan siap untuk diseparasi

Dokumen terkait