• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.5 Kadar Hematokrit

Pengamatan terhadap nilai hematokrit dalam darah ikan mas pada perlakuan yang berbeda, menunjukan nilai yang berfluktuasi. Nilai tertinggi terdapat pada perlakuan B yaitu 39.3±3.1% pada hari ke-7 setelah ikan divaksinasi. Nilai terrendah yaitu 21±6 % pada perlakuan B hari ke-63. Dari analisa statistik ragam (ANOVA) pada selang kepercayaan 95%, diperoleh hasil bahwa pada masa vaksinasi maupun masa uji tantang tidak terdapat perlakuan yang berbeda nyata.

Tabel 14. Nilai Rataan Hematokrit Pada Setiap Perlakuan (%) Selama Vaksinasi

Perlakuan Masa Vaksinasi (hari)

7 14 21 28 35 42

A 35.2±5.8 27±4.5 21±8.7 27.2±3.3 28.5±4.8 30.3±5.5 B 39.3±3.1 24.5±4.7 23±7.4 27.2±3.3 23.8±8.8 26.5±6.3 C 37.3±3.8 28.7±7.5 31.7±3.1 21±12 24.5±10 25.3±11

Tabel 15. Nilai Rataan Hematokrit Pada Setiap Perlakuan (%) Selama Uji Tantang

Perlakuan Masa Uji Tantang (hari)

49 56 63 70 A 29.7±5.0 26±2.7 26.3±5.5 B 27.7±2.9 27.3±4.5 21±6 C 30.7±5.1 30.7±2.1 30.3±7.5 30.2±7.5 K 23.7±9.3 28.5±4 23.3±2.9 4.1.6 Indeks Fagositik

Pengamatan terhadap nilai indeks fagositik dalam darah ikan mas pada perlakuan yang berbeda, menunjukan nilai yang berfluktuasi. Nilai tertinggi terdapat pada perlakuan C yaitu 24±1% pada hari ke-49 (seminggu setelah uji tantang). Nilai terendah terdapat perlakuan kontrol yaitu 7±1%, pada hari ke-42. Dari analisa statistik ragam (ANOVA) dan uji lanjutan Duncan pada selang kepercayaan 95%, diperoleh hasil bahwa pada masa vaksinasi kontrol berbeda nyata dengan ketiga perlakuan yang lain pada hari ke-28, 35, 42 dan 49. Sedangkan pada masa uji tantang kontrol berbeda nyata dengan perlakuan A, B dan C pada hari ke-49, namun pada hari ke-63 perlakuan C berbeda nyata dengan perlakuan B, C dan kontrol.

Tabel 16. Nilai Rataan Indeks Fagositik Pada Setiap Perlakuan (%) Selama Vaksinasi

Perlakuan Masa Vaksinasi (hari)

21 28 35 42

A 7.7±1.5 12.7±1.5c 11.7±2.1ab 9.3±1.5b B 8.7±0.6 16.7±1.5b 13.3±3.1b 10.3±0.6b

C 10±2 13.7±1.5b 14±1b 11±1b

K 7.3±1.2 8.3±1.2a 8±1a 7±1a

Tabel 17. Nilai Rataan Indeks Fagositik Pada Setiap Perlakuan (%) Selama Uji Tantang

Perlakuan Masa Uji Tantang (hari)

49 56 63 70

A 23±1b 19±2 17±1b

B 23.7±0.6b 20.3±1.5 18.3±1.5b

C 24±1b 17±2.6 10±1a 12.7±1.5

K 20±1a 19.3±2.1 17±2.6b

Keterangan : Huruf superscrift yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh berbeda nyata (p<0,05)

y = -0.1355x2 + 2.1261x + 8.2864 R2 = 0.9996 y = -0.0576x2 + 1.1559x + 8.3953 R2 = 0.9551 y = -0.0328x2 + 0.6993x + 7.2747 R2 = 0.949 y = -0.0455x2 + 0.8437x + 20.409 R2 = 0.8961 y = -0.1278x2 + 1.1131x + 16.31 R2 = 0.9307 0 5 10 15 20 25 30 0 2.5 5 7.5 10 12.5 15 Dosis R a ta a n (% ) H+28 H+35 H+42 H+49 H+63

Gambar 6. Hubungan tingkat dosis (X) dengan persentase rataan indeks fagositik (Y) ikan mas pada hari ke-28, 35, 42, 49 dan 63

Pada gambar 7 menunjukkan peningkatan persentase rataan indeks fagositik dalam darah ikan mas yang diberi perlakuan vaksin dengan dosis 0, 2,5, 7,5, dan 12,5 µg/100µl pada hari ke-28, 35, 42, 49 dan 63 membentuk pola kuadratik. Nilai korelasi yang diperoleh masing-masing sebesar 0.99, 0.97, 0.97, 0.94 dan 0.96 yang berarti hubungan tingkat dosis dengan persentase rataan indeks fagositik sangat tinggi. Nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh masing-masing sebesar 0.9996, 0.9551, 0.949, 0.8961 dan 0.9307. Nilai determinasi yang didapat menunjukkan variabel dosis dapat menerangkan variabilitas sebesar 99.96%, 95.51%, 94.9%, 89.61% dan 93.07% dari variabel indeks fagositik.

4.2 Pembahasan

Pengamatan gambaran darah ikan selama penelitian meliputi jumlah eritrosit, kadar hemoglobin, hematokrit, leukosit total dan hitung jenis (diferensial) leukosit dan indek fagositik. Pemberian vaksin DNA (vaksinasi) terhadap ikan mas memberikan pengaruh terhadap jumlah sel darah putih (leukosit) dalam darah ikan.

Berdasarkan analisis statistik pada masa vaksinasi perlakuan kontrol

berbeda nyata dengan perlakuan B pada hari ke-21 dan 42, namun pada hari ke-28 perlakuan kontrol berbeda nyata dengan perlakuan A dan B, yaitu total leukosit kontrol lebih rendah dari kedua perlakuan tersebut (Tabel 2). Sedangkan setelah

ikan diuji tantang (diinfeksi KHV) jumlah rataan leukosit masing-masing perlakuan tidak ada yang berbeda nyata (Tabel 3).

Pada tabel 2 menunjukan jumlah total rata-rata leukosit pada ikan mas yang divaksinasi lebih besar dibanding dengan ikan kontrol dan semakin tinggi seiring dengan bertambahnya hari. Dapat dikatakan vaksinasi meningkatkan jumlah leukosit. Hal ini berkaitan dengan fungsi sel darah putih dalam tubuh yaitu sebagai alat pertahanan. Namun seminggu setelah uji tantang dengan KHV (hari ke-49), secara umum jumlah total rata-rata leukosit pada ikan mas menurun.

Penurunan ini menandakan virus KHV yang diinfeksikan ke ikan mulai aktiv. Hal ini turut pula didukung, dari hasil pengukuran suhu harian diperoleh kisaran suhu harian 23,5-25oC (lampiran 5), kisaran tersebut berada pada kisaran optimum bagi kehidupan (replikasi) KHV yaitu 18-25oC (Ronen et al. 2003). Penurunan tersebut masih berada di kisaran normal total leukosit ikan mas yaitu 20.000-150.000 sel/mm3. Diduga penurunan terjadi karena kuatnya infeksi virus, leukosit yang ada pada pembuluh darah sangat berkurang, karena sebagian besar leukosit bergerak maju menuju jaringan-jaringan yang terinfeksi. Hal ini merupakan respon ikan dalam upaya mengenal dan mengingat kembali jenis virus yang masuk.

Pengenalan terhadap virus yang menginfeksi merupakan implementasi respon imun spesifik pada ikan. Namun seiring dengan lamanya pemeliharaan, kembali terjadi peningkatan total sel darah putih dalam darah ikan. Peningkatan jumlah rataan sel darah putih pada penginfeksian virus mengindikasikan bahwa ikan memberi respon tanggap kebal terhadap adanya benda asing yang masuk ke dalam tubuh.

Gambar 1 menunjukan garis trend hubungan tingkat dosis dengan jumlah total rataan leukosit pada hari ke-21 dan 42 berbentuk kuadratik dengan nilai koefisien determinasi (R2) masing-masing 0.9469 dan 0.9904 menunjukkan pengaruh dosis vaksin DNA yang diuji sangat besar terhadap perubahan total leukosit ikan mas yakni masing-masing sebesar 94.69% dan 99.04%.

Diferensial leukosit meliputi limfosit, monosit dan neutrofil. Persentase rataan limfosit pada hari yang sama dari hari ke 7 – 21 dan hari ke 35 - 56 tidak berbeda nyata, sedangkan pada hari ke-28 perlakuan B berbeda nyata (p<0.05)

dengan perlakuan C dan kontrol. Tiga minggu setelah uji tantang (hari ke-63) perlakuan C berbeda nyata (p<0.05) dengan ketiga perlakuan yang lain, dimana perlakuan C menunjukan nilai limfosit tertinggi. Gambar 2 menunjukan garis trend hubungan tingkat dosis dengan persentase limfosit pada hari ke-28 dan 63 berbentuk kuadratik dengan nilai koefisien determinasi (R2) ) masing-masing 0.9491 dan 0.9054 menunjukkan pengaruh dosis vaksin DNA yang diuji sangat besar terhadap persentase limfosit ikan mas yakni masing-masing sebesar 94.91% dan 90.54%.

Seminggu setelah uji tantang (hari ke-49), terjadi penurunan persentase limfosit pada ikan yang divaksin maupun ikan kontrol (tidak divaksin), kemudian pada minggu ke-2 (hari ke-56) persentase limfosit kembali meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa ikan memberi respon tanggap kebal terhadap adanya benda asing yang masuk ke dalam tubuh.

Diduga penurunan limfosit pada hari ke-49 menunjukan bahwa virulensi virus pengaruhnya lebih dominan dibanding sistem pertahanan ikan pada semua perlakuan, namun infeksi lebih kuat terjadi pada perlakuan A, B dan kontrol. Respon imunitas ikan pada perlakuan C terlihat lebih dominan pada minggu ke-2 dan 3 setelah infeksi virus, terlihat dari peningkatan limfosit yang lebih tinggi.

Peningkatan persentase limfosit tersebut terkait dengan peran sel limfosit sebagai sel pertahanan tubuh. Pada dasarnya sel limfosit terdiri dari dua populasi : sel B dan sel T. Sel B mempunyai kemampuan untuk bertransformasi menjadi sel plasma yaitu sel yang memproduksi antibodi. Sedangkan sel T sangat berperan dalam kekebalan berperantara sel (sel T sitotoksik) dan mengontrol respon imun (sel T supresor) (Kresno 2001). Setelah terjadi pengikatan antigen dengan reseptor antigen sel limfosit, maka sel limfosit akan membelah dan berdiferensiasi menjadi sel efektor dan sel memori (Tizard 1988).

Persentase rataan monosit (Tabel 6) pada berbagai perlakuan selama masa vaksinasi tidak menunjukan perbedaan yang nyata. Pada tabel 7 menunjukan bahwa seminggu pasca infeksi KHV persentase monosit semua perlakuan meningkat tajam. Hal ini menunjukan infeksi KHV meningkatkan jumlah monosit dalam darah ikan, hal ini terkait dengan peran monosit sebagai makrofag yaitu sel fagosit utama untuk menghancurkan partikel asing dan jaringan mati, serta

mengolah bahan asing demikian rupa sehingga bahan asing itu dapat membangkitkan tanggap kebal (Tizard 1988).

Kemudian dua minggu pasca infeksi KHV, persentase monosit cenderung menurun. Diduga penurunan ini disebabkan infeksi KHV mulai merusak jaringan-jaringan tubuh ikan sedemikian sehingga merangsang sel monosit keluar dari sirkulasi darah dengan menembus dinding pembuluh darah kemudian masuk ke jaringan yang terinfeksi dengan berdiferensiasi menjadi makrofag (Affandi dan Tang 2002), akibatnya jumlah monosit dalam pembuluh darah menurun. Pada minggu ketiga (hari ke-63) pasca infeksi perlakuan C (dosis 12.5 µg/100µl) berbeda nyata dengan ketiga perlakuan yang lain (perlakuan A, B dan kontrol) yaitu lebih rendah, dimana persentase rataan monosit pada perlakuan A, B dan kontrol kembali meningkat.

Gambar 3 menunjukan garis trend hubungan tingkat dosis dengan persentase monosit pada hari ke-63 berbentuk kuadratik dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.965 menunjukkan pengaruh dosis vaksin DNA yang diuji sangat besar terhadap perubahan persentase monosit ikan mas yaitu sebesar 96.5%. Pada gambar tersebut menunjukan perlakuan C memiliki persentase yang lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan A, B dan kontrol hal ini mengindikasikan pada perlakuan A, B dan kontrol infeksi KHV semakin mengganas, sehingga monosit masih diproduksi untuk melawan infeksi virus ataupun infeksi sekunder oleh bakteri, sedangkan pada perlakuan C infeksi KHV dapat ditekan, sehingga produksi monosit tidak diperlukan, atau juga dapat diduga bahwa sistem pertahanan tubuh ikan pada perlakuan C tetap bekerja dengan baik, dimana sebagian besar monosit masih melakukan migrasi dari pembuluh darah menuju ke sel-sel yang terinfeksi virus dan berdiferensiasi menjadi sel makrofag yang berperan dalam memfagosit dan menyajikan antigen kepada sel limfosit.

Persentase neutrofil perlakuan B pada hari ke-28 berbeda nyata (p<0,05) dengan perlakuan C dan kontrol, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan A. Peningkatan jumlah netrofil pada perlakuan B bahkan melebihi kisaran normal persentase netrofil ikan mas yaitu 2 – 10%. Hal ini disebabkan oleh adanya infeksi bakteri yang terjadi pada minggu keempat setelah vaksinasi.

Pada hari ke-63 (minggu ke-3 pasca infeksi KHV) perlakuan kontrol yang berbeda nyata (p<0,05) dengan perlakuan B dan C, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan A. Perlakuan kontrol dan A memiliki persentase neutrofil lebih tinggi dari kisaran normal. Hal ini diduga akibat infeksi KHV yang semakin virulen yang menyebabkan terjadinya penurunan kondisi tubuh sehingga terjadi infeksi sekunder oleh bakteri (Puspitaningtyas 2006). Hasil identifikasi bakteri (lampiran4) yang diisolasi dari ginjal menunjukan bakteri yang menyerang adalah Aeromonas sp. identifikasi bakteri merujuk pada Cowan (1974). Takashima dan Hibiya (1995) mengatakan bahwa fungsi neutrofil adalah untuk menahan serangan atau infeksi bakteri. Menurunnya jumlah neutrofil dalam darah disebabkan neutrofil sudah melakukan aktivitas fagositik di dalam sel dan neutrofil berumur pendek (Tizard 1988).

Gambar 4 menunjukan garis trend hubungan tingkat dosis dengan persentase neutrofil pada hari ke-14 dan 63 berbentuk kuadratik dengan nilai koefisien determinasi (R2) masing-masing sebesar 0.9213 dan 0.8807 menunjukkan pengaruh dosis vaksin DNA yang diuji cukup besar terhadap perubahan persentase neutrofil ikan mas, baik sebelum maupun sesudah uji tantang dengan virus KHV.

Jumlah rataan sel darah merah (eritrosit) dalam darah ikan mas pada masing-masing perlakuan, menunjukan tidak berbeda nyata pada hari yang sama dari hari ke-7 sampai hari ke-56. Sedangkan pada hari ke-63 jumlah rataan eritrosit pada kontrol berbeda nyata (p<0,05) dengan pelakuan A, B dan C. Rendahnya jumlah rataan eritrosit pada kontrol (710.000 sel/mm3), mengindikasikan virulensi KHV semakin mengganas, diduga telah terjadi pendarahan (hemoragi) yang cukup parah disekitar pangkal dan ujung sirip serta permukaan tubuh lainnya. Selain itu ada kemungkinan organ penghasil darah (hemopoietik) ikan yaitu ginjal telah mengalami kerusakan.

Gambar 5 menunjukan garis tren hubungan tingkat dosis dengan jumlah total rataan eritrosit pada hari ke-63 berbentuk kuadratik dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.5773 menunjukkan pengaruh dosis vaksin DNA yang diuji terhadap perubahan total eritrosit ikan mas hanya 57.73% sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain.

Gambar 7. Sel Darah Pada Ikan Mas : Eritrosit (E), Monosit (M), Neutrofil (N), Limfosit (L). bar = 10 μm

Gambar 8. Proses fagositosis (F) pada : a = Monosit; b = Neutrofil; c = Limfosit, bar = 10 μm

Kadar hemoglobin (Hb) pada masing-masing perlakuan menunjukan nilai yang fluktuatif, namun jumlahnya masih berada dalam kisaran kadar Hb normal ikan mas (6 - 10 g%). Pada tabel 13 menunjukan seminggu pasca infeksi virus. Kadar Hb pada masing-masing perlakuan cenderung menurun. Diduga hal ini disebabkan kadar oksigen dalam darah menurun. Ikan yang terserang KHV akan sulit mendapatkan oksigen karena produksi lendir di insang yang berlebih dan terjadi nekrosis pada insang.

Nilai hematokrit dalam darah ikan mas pada perlakuan yang berbeda, menunjukan nilai yang berfluktuasi. Secara umum tidak terdapat perbedaan yang nyata pada masing-masing perlakuan di hari yang sama. Namun bila dilihat pada tabel 15, pasca infeksi KHV perlakuan C terlihat memberikan respon peningkatan hematokrit yang paling tinggi dibandingkan perlakuan yang lain. Hal ini menggambarkan bahwa sistem pertahanan pada ikan perlakuan C mampu merespon lebih baik terhadap infeksi KHV dibanding perlakuan yang lain.

Nilai indeks fagosistik pada hari 28, 35, 42 dan 49 menunjukan terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) antara perlakuan kontrol dengan ketiga perlakuan

E L M N a b c

yang lain. Nilai indeks fagositik perlakuan kontrol lebih rendah dibanding ketiga perlakuan yang lain. Dapat dikatakan nilai indek fagositik pada ikan yang divaksinasi lebih tinggi dibanding yang tidak divaksinasi. Selain itu, seminggu setelah ikan diinfeksi KHV, cenderung terjadi peningkatan nilai indeks fagositik. Hal ini menunjukan terjadi peningkatan kekebalan tubuh.

Gambar 6 menunjukan garis trend hubungan tingkat dosis dengan indeks fagositik pada hari ke-28, 35, 42 dan 63 berbentuk kuadratik dengan nilai koefisien determinasi (R2) masing-masing sebesar 0.9996, 0.9551, 0.949, 0.8961 dan 0.9307 menunjukkan pengaruh dosis vaksin DNA yang diuji sangat besar terhadap perubahan nilai indeks fagositik ikan mas, baik sebelum maupun sesudah uji tantang dengan virus KHV.

Pola peningkatan persentase indeks fagositik ini adalah fungsi dari peningkatan total leukosit maupun persentase jenis darah leukosit masing-masing pada limfosit, monosit dan neutrofil. Proses fagositosis (gambar 8) terhadap bakteri Staphylococcus aureus menunjukan terjadinya tahapan dari proses fagositosis. Pada proses tersebut meliputi tahap kemotaksis, tahap pelekatan, tahap penelanan dan tahap pencernaan (Tizard 1988).

Nilai indeks fagositik yang tinggi pada perlakuan vaksinasi menggambarkan pula bahwa proses fagositosis yang terjadi dengan cepat berkontribusi dalam mekanisme penyajian antigen (antigen presenting cells) untuk merangsang respon sel limfosit (Santika 2007). Partikel antigen yang difagosit, diproses dan dipresentasikan sebagai peptide antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas II pada permukaan sel fagosit. Sub populasi sel T yang disebut sel T-helper (Th) akan mengenali mikroorganisme bersangkutan melalui MHC kelas II. Sinyal ini menginduksi sel limfosit untuk memproduksi berbagai jenis limfokin, termasuk diantaranya adalah interferon yang dapat membantu makrofag menghancurkan mikroorganisme tersebut. Disamping itu pengikatan MHC kelas II dengan sel Th akan memberi sinyal supaya sel limfosit B berproliferasi dan berdiferensiasi untuk membentuk antibodi (Kresno 2001).

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait