• Tidak ada hasil yang ditemukan

pada metabolisme rutin sebesar 2,5 kali nilai metabolisme basal. Hasil penelitian ini ternyata lebih tinggi daripada yang diperoleh Brett dan Grovers (1979) pada pengukuran metabolisme rutin ikan. Tingginya nilai ini diduga karena kijing yang diukur berada pada kondisi kenyang (lambungnya penuh makanan).

Hasil pengukuran kadar kalsium hemolimf kijing dengan jumlah inti dan diameter berbeda selama masa pemeliharaan 9 bulan nampak pada Gambar 25 dan Lampiran 5A. Penurunan kadar kalsium hemolimf terjadi seiring dengan penambahan jumlah dan inti yang diimplantasi.

Gambar 25 Kadar kalsium hemolimf (µg Ca l-1

perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm ) kijing yang diimplantasi dengan

selama pemeliharaan

Menurut Moura et al. (2000), moluska bivalvia seperti A. cygnea, menunjukkan perubahan musiman dalam kalsifikasi. Siklus kalsifikasi ini sebagai akibat dari fluktuasi musiman dari komposisi organik cairan tubuh kijing, yaitu hemolimf dan cairan ekstrapalial, yang merupakan media cair untuk biomineralisasi. Dalam cairan kijing A. cygnea sepanjang setahun siklus, terdapat fluktuasi konstituen organik, yaitu protein, glycosaminoglycans (GAGs) dan hexosamines yang diketahui sangat penting dalam biomineralisasi. Seluruh fluktuasi yang terdeteksi dalam cairan biologis kijing ini menandakan bahwa variasi yang berhubungan dengan siklus kalsifikasi dapat dihitung, yaitu berdasarkan perbedaan komponen biomineralisasi dalam periode spesifik, sehingga didapatkan hasil spesifik pula.

Penurunan tingkat Ca hemolimf akibat stress oleh bahan pencemar cobalt pada siput Lymnaea stagnalis telah diteliti oleh Schamphelaere et al. (2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan siput yang terekspos oleh 79 µg Co l-1 dan konsentrasi yang lebih tinggi lebih telah menyebabkan kerusakan pada akhir 2 minggu pemaparan dan diikuti oleh penurunan konsentrasi Ca hemolimf pada akhir pemaparan. Mekanisme yang

mungkin dari toksisitas Co terhadap pertumbuhan siput diduga menurunkan pengambilan Ca dan menghalangi aktivitas makan. Kadar Ca hemolimf pada siput kontrol (yang tidak mengalami pemaparan Co) tidak lebih dari 590,00 µg Ca l-1 sedangkan siput yang mengalami stress sebesar 270 µg Ca l-1

Kadar Ca hemolimf pada penelitian ini berkisar antara 328,83 hingga 538,00 µg Ca l

. Respons fisiologis siput Lymnaea stagnalis terhadap bahan pencemar Co berupa penurunan tingkat Ca hemolimf akibat stress. Hal yang sama juga terjadi pada A. woodiana yang mengalami stress akibat implantasi inti.

-1

, kisaran nilai tersebut berbeda nyata terhadap Ca hemolimf kijing kontrol (yang tidak diimplantasi inti) yaitu 592,17 µg Ca l-1

Hasil analisis varian (Lampiran 5B) menunjukkan bahwa jumlah dan diameter inti berpengaruh nyata terhadap kadar kalsium hemolimf (P < 0,05) dan terdapat pengaruh interaksi (P > 0,05) antara jumlah inti dengan diameter inti. Perlakuan I (jumlah inti dua per individu) dan diameter 10 mm memiliki nilai kadar kalsium hemolimf tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Berdasarkan hasil analisis regresi (Lampiran 5C), respons kadar kalsium hemolimf (Y) terhadap jumlah inti (X), berbentuk linear negatif dengan persamaan: Y = -90,16x + 606,5 dengan R

. Hal tersebut menunjukkan bahwa penyisipan inti berpengaruh terhadap kadar Ca hemolimf kijing, yaitu mengakibatkan penurunan kadar Ca hemolimf kijing. Diduga penyisipan inti mengakibatkan berkurangnya pengambilan Ca (Ca intake) oleh kijing dan menghalangi aktivitas makan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada pertumbuhan A.woodiana.

2

Hasil yang sama terjadi pula pada kasus implantasi inti pada Pinctada fucata. Pertumbuhan yang relatif rendah pada fase awal setelah implantasi inti mungkin disebabkan oleh tidak diadaptasikannya tiram P. fucata pada air yang mengalir dan tanpa pemberian antibiotik untuk menyembuhkan luka akibat implantasi (Kripa et al. 2007). Kehilangan cairan tubuh teramati pada tiram yang diimplantasi sebanyak sepertiga hemolimf dapat hilang akibat luka pada mantel saat penyisipan inti.

= 0,98. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang erat antara kadar kalsium hemolimf dengan jumlah inti yang diimplantasi. Nilai kadar kalsium hemolimf kijing menurun dengan semakin meningkatnya jumlah inti.

III. Pengaruh Beban (Jumlah dan Diameter Inti) terhadap Survival Rate, Pertumbuhan, dan Pelapisan mutiara

A. Survival Rate A.woodiana

Nilai survival kijing dengan jumlah inti dan diameter berbeda selama masa pemeliharaan 9 bulan disajikan pada Gambar 26 dan Lampiran 6A. Laju survival rate menurun sejalan dengan semakin besar jumlah inti blister yang diimplantasi. Implantasi 4 inti menurunkan survival rate hingga 45% dan 6 inti menurunkan survival rate 56%, sedangkan implantasi 2 inti hanya menurunkan survival sebesar 15% saja.

Gambar 26 Survival rate (%) kijing pada berbagai macam implantasi dengan perlakuan 0, 2, 4 dan 6 inti per individu dan diameter 10 dan 12 mm selama pemeliharaan

Menurut Gricourth et al. (2006) untuk memproduksi induk kijing yang baik secara kualitas maupun kuantitas diperlukan kondisi pemeliharaan, perkembangan dan proses-proses fisiologis, termasuk jumlah dan diameter inti yang optimal bagi pertumbuhan.

Mortalitas kijing yang diimplantasi bervariasi tergantung pada lokasi budi daya kijing (Alagarswarni 1991, Victor et al. 2003) dan diameter inti (Dharmaraj dan Sukumaran, 2003). Penggunaan diameter inti yang lebih besar menurunkan tingkat pelapisan mutiara dari 70% hingga 40% pada tiram Akoya di Jepang (Shirai 1981). Jagadis et al. (2003) mengemukakan bahwa kelangsungan hidup bervariasi bergantung pada

kedalaman tempat budi daya tiram, di Gulf Mannar. Alagarswarni (1991) melaporkan bahwa jumlah inti yang diimplantasi pada tiram berperan penting dalam survivalnya. Menurut Kripa et al. (2007), di Southwest Coast, India, kematian pada tiram yang diimplantasi dengan inti berdiameter 6 mm lebih tinggi dibandingkan dengan yang berdiameter 5 mm.

Berdasarkan hasil kajian survivalA. woodiana, implantasi inti dua per individu dan diameter 10 mm tidak mengganggu proses-proses fisiologis yang mengatur organisme tetap dalam kondisi seimbang dan terkontrol. Nilai kematian yang tinggi pada awal fase budi daya mungkin disebabkan beberapa faktor, seperti treatment sebelum penyisipan (Taylor dan Knauer, 2002) dan sesudah penyisipan inti yang tidak benar (Meng dan Xing, 1991).

Hasil analisis varian (Lampiran 6B) menunjukkan bahwa jumlah dan diameter inti berpengaruh nyata terhadap survival (P < 0,05) dan tidak ada interaksi (P > 0,05) antara jumlah inti dengan diameter inti. Perlakuan I (jumlah inti dua per individu) dan diameter 10 mm memiliki nilai survival tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Terdapat kecenderungan penurunan survival rate dengan semakin meningkatnya jumlah dan diameter inti. Berdasarkan hasil analisis regresi Lampiran 6C), respons survival (Y) terhadap jumlah inti (X), berbentuk linear negatif dengan persamaan: Y = -18,75x + 97,98 dengan R2

Menurut Smaal dan Widdows (1994), pada metabolisme rutin tingkat konsumsi oksigen tertinggi akan diikuti oleh survival yang tinggi pula. Kajian ini juga mencatat hal yang sama, yaitu pada tingkat konsumsi oksigen tertinggi (0,179 mg O

= 0,96. Artinya, bahwa terdapat hubungan yang erat antara survival dengan jumlah inti yang diimplantasi. Nilai survival kijing menurun dengan semakin meningkatnya jumlah inti.

2 g-1 jam-1)

Dokumen terkait