• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. Kadar Lemak

Kadar lemak tulang ikan berkisar antara 1-27% (Johns 1977), sedangkan kadar lemak sampel BB (2.85%), sementara sampel A (2.53%) merupakan sampel dengan kadar lemak tertinggi diantara sampel nanokalsium lainnya dan

terendah pada sampel C (0.86%) sedangkan untuk sampel B (0.94%) dan sampel D (1.78%). Analisis statistik menunjukkan kadar lemak sampel berbeda nyata pada p<0.05 (Lampiran 17).

Kadar lemak sampel pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan pada tepung tulang ikan cod (perebusan) dan ikan salmon (protease dan perebusan) yaitu 3%-17.8% serta lebih tinggi dibandingkan kadar lemak tepung tulang ikan cod (protease) yaitu <0.2% (Malde et al. 2010) dan tepung tulang ikan nila (TBP) yaitu 5.82% (Hemung 2013) seperti terlihat pada Tabel 9.

Perbedaan kadar lemak pada ikan berbeda tergantung pada spesies, lokasi geografis, makanan yang dimakan dan musim (Piggot dan Tucker 1990). Kadar lemak yang rendah diduga akibat proses perebusan berulang untuk melakukan penghilangan lemak dan minyak. Menurut Zaitsev et al. (1969), perebusan dapat menyebabkan lemak mengalami hidrolisis atau autooksidasi sebagian serta ada yang berinteraksi dengan protein. Kadar lemak produk yang rendah mempunyai daya awet yang lebih lama karena resiko terjadinya resiko ketengikan produk akibat oksidasi lemak lebih rendah.

Hasil analisis proksimat semua sampel pada penelitian ini dibandingkan dengan penelitian Malde et al. (2010), menunjukkan bahwa ekstraksi kalsium dapat dilakukan selain menggunakan pelarut asam dan basa dapat juga dilakukan dengan menggunakan enzim protease, sementara ekstraksi dengan metode perebusan menggunakan air panas dilakukan pada kedua penelitian ini. Proses ekstraksi dengan berbagai metode yang dilakukan tujuannya untuk menghasilkan kalsium dari tulang ikan yang memiliki bioavailabilitas yang baik jika digunakan sebagai bahan tambahan dalam produk olahan.

Analisis Kalsium dan Fosfor

Kadar kalsium dan fosfor semua sampel seperti ditunjukkan pada Tabel 10, kadar kalsium sampel BB (18.70%), A (18.72%), B (20.67%), C (22.56%) dan D (21.47%) dan hasil analisis statistik kadar kalsium berbeda nyata pada p<0.05

(Lampiran 18).

Tabel 10 Kadar kalsium dan fosfor sampel (g/100 g, % bk)

Sampel Kalsium (Ca) Fosfor (P) Rasio Ca/P

BB 18.70d 8.91d 2.10

A 18.72d 8.86d 2.11

B 20.66c 10.09c 2.05

C 22.56a 12.05a 1.87

D 21.47b 11.77b 1.82

Ket: BB (bahan baku), A (akuades), B (NaOH), C (NaOH+HCl), D (HCl)

Kadar kalsium tertinggi terdapat pada sampel C yaitu 24.27 % dan terendah pada pada sampel A yaitu 18.72% dan kadar kalsiumnya tidak berbeda dengan kalsium sampel BB. Kadar kalsium pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan kadar kalsium hasil penelitian Suptijah et al. (2012) yaitu 84.67%-85.68% dan penelitian Trilaksani et al. (2006) yaitu 23.72%-39.24% (%bb). Menurut Malde

35

et al. (2010) perlakuan menggunakan larutan asam dan enzim yang dipanaskan pada proses maserasi kalsium dari tulang ikan meningkatkan ketersediaan kalsium dalam sampel.

Hasil analisis fosfor pada penelitian ini (Tabel 10), menunjukkan bahwa sampel BB (8.91%), A (8.86), B (10.09%), C (12.05%) dan D (11.77%) dan secara statistik berbeda nyata pada p<0.05 (Lampiran 19). Kadar fosfor pada penelitian Trilaksani et al. (2006) memiliki nilai rata-rata 11.34%-14.25% (%bb) pada tepung tulang ikan tuna dengan berbagai variasi waktu autokafling dan frekuensi perebusan lebih tinggi dari kadar fosfor pada penelitian ini, sementara tidak berbeda dengan hasil penelitian Luu dan Nguyen (2009) pada tepung tulang ikan lele (10.5%), kakap (12.8%) dan salmon (11.0%).

Rasio perbandingan Ca/P (Tabel 10) nanokalsium ekstraksi menggunakan akuades (A) dan NaOH (B) adalah  2.05, sedangkan pada sampel C dan D rasionya ≤ 1.87, dan hasil ini sama dengan beberapa penelitian sebelumnya pada tulang hewan dan tulang ikan (Sittikulwitit et al. 2006, Luu dan Nguyem 2009, Malde et al. 2010). Beberapa kajian mengatakan bahwa fosfat dibutuhkan untuk transport kalsium dalam sistem metabolisme (Kim dan Mendis 2006), selanjutnya dikatakan bahwa dengan rasio Ca/P (2:1) pada tulang ikan merupakan rasio optimum untuk transpor kalsium atau puncak massa tulang yang optimum.

Analisis Gugus Fungsi Menggunakan FTIR

Analisis menggunakan FTIR dilakukan untuk mengidentifikasi gugus fungsi yang terbentuk pada sampel tulang ikan nila sebelum diekstraksi dan setelah mengalami perlakuan ekstraksi, dengan spektra dan peta pita absorpsi (Gambar 5; Tabel 11). Gugus fungsi yang terindikasi pada nanokalsium diantaranya gugus fosfat (PO43-), karbonat (CO32-) dan gugus hidroksil (OH). Apatit karbonat adalah

komponen anorganik dalam tulang dan gigi, berdasarkan lokasinya subtitusi CO32-

terdiri dari 2 tipe yaitu apatit karbonat tipe A (AKA) terbentuk jika ion karbonat menggantikan posisi OH- dan apatit karbonat tipe B (AKB) jika karbonat menggantikan posisi ion PO43- (Mathai dan Takagi 2001).

Spektra pita absorpsi fosfat (PO43-) 1 (vibrasi simetris strectching) dan

fosfat 2 (vibrasi simetris bending) tidak tampak pada sampel BB dan A, sementara pada sampel B, C dan D fosfat 1 secara berturut terdapat pada bilangan gelombang 961, 903, 960 dan 959 cm-1, sedangkan pita absorpsi fosfat

2 di daerah 469, 471, dan 474 cm-1.

Absorpsi fosfat 3 (vibrasi asimetris strectching) pada semua sampel tampak

di daerah 1035 cm-1 untuk sampel BB, A dan B, sementara sampel C pada bilangan gelombang 1027 cm-1 dan D di daerah 1031 cm-1. Kehadiran pita absorpsi fosfat 3 menunjukkan bahwa kalsium fosfat pada tulang ikan nila hadir dalam bentuk campuran fasa amorfus dan fasa kristalin atau derajat kristalinitas kalsium fosfat, hal sama juga terbentuk pada tulang tikus dimana pada pita absorpsi 1036 cm-1 mengindikasi adanya campuran fasa amorfus dan fasa kristalin (Dahlan et al. 2006).

Pita absorpsi fosfat 4 (vibrasi asimetris bending) sebagai bentuk belah pita absorpsi yang ditunjukkan pada bilangan gelombang disekitar 563 dan 603 cm-1 pada semua spektra sampel yang menunjukkan kehadiran kristal hidroksiapatit

(HAp). Derajat belah pita absorpsi fosfat 4 selain mengindikasi adanya kehadiran kristal apatit tapi juga menunjukkan kandungan fasa kristal dalam sampel (Dahlan

et al.2006).

Tabel 11 Peta absorpsi FTIR sampel

Gugus fungsi Sampel BB A B C D cm-1 %T cm-1 %T cm-1 %T cm-1 %T cm-1 %T 1 PO43- - - 961 25.4 903 30.58 959 33.9 - - - 960 13.77 - 2 PO43- - - 469 43.15 471 32.06 474 50.29 3 PO43- 1035 12.63 1034 37.56 10.35 0.00 1027 0.00 1031 6.67 4 PO43- 563 25.08 563 47.8 564 2.94 563 1.00 562 18.75 603 28.66 602 50.78 603 4.72 603 2.44 603 24.5 AKA (CO32-) - 1545 61.36 1547 41.73 1555 37.12 1563 50.48 AKB (CO32-) 1455 38.06 1453 59.40 1455 19.06 1455 21.98 1456 46.66 1417 37.9 1413 60.21 1416 19.35 1416 22.40 1415 47.30 872 47.09 871 62.37 873 41.10 873 28.21 873 46.64 OH permukaan 1648 40.79 1656 58.22 1634 42.06 1635 32.34 1647 43.79 3430 36.55 3429 57.58 3435 13.97 3435 10.78 3430 38.24 OH Kristal 3698 59.83

Ket: BB (bahan baku), A (akuades), B (NaOH), C (NaOH+HCl), D (HCl) Sumber: Huang et al. (2011), Dahlan et al.(2006),

Pita absorpsi spektra FTIR sampel untuk apatit karbonat (CO32-) tipe A

(AKA) tidak tampak pada sampel BB, sedangkan untuk sampel A, B, C dan D secara berturut-turut terlihat pada bilangan gelombang 1545, 1547, 1555 dan 1563 cm-1. Apatit karbonat tipe B (AKB) sampel BB terlihat pada intensitas pita absorpsi 872, 1417 dan 1455 cm-1, sedangkan pita absorpsi sampel A di daerah 871, 1413 dan 1453 cm-1, sampel B pada 873, 1416 dan 1455 cm-1, dan sampel C pita absorpsi di daerah 873, 1416 dan 1455, sementara pita absorpsi sampel D pada 873, 1415 dan 1456 cm-1. Secara biologi, apatit karbonat tipe B lebih mendominasi dalam struktur apatit tulang dibandingkan tipe A (Mathai dan Takagi 2001) dan hal ini juga ditunjukkan dari hasil penelitian ini dimana karbonat tipe B lebih mendonimasi dalam sampel.

Gugus hidroksil (OH-) semua sampel ditunjukkan dengan pita absorpsi lebar di daerah sekitar 1634-1656 dan 3429-3435 cm-1 sementara pada sampel bahan baku tampak pita absorpsi kecil pada bilangan gelombang 3698 cm-1 yang menunjukkan terbentuknya gugus hidroksil kristal atau air kristal.

Pita absorpsi spektra FTIR pada penelitian ini memiliki kemiripan dengan penelitian Huang et al. (2011) melaporkan tentang karakteristik spektra bubuk FHAP (fish hidroxyapatite) menunjukkan gugus fosfat (PO43-) terdapat di daerah

563, 957 dan 1030 cm-1,sedangkan gugus apatit karbonat (CO32-) terindikasi pada

876 dan 1412-1547 cm-1. Hasil analisis FTIR untuk HAp (hidroxyapatite) isolasi dari tulang ikan tuna terlihat sejumlah pita pada spektra yang terbentuk pada

37

daerah 601, 631, 873, 962, 1027, 1088, 1413, 1454 cm-1 dan pita yang lebar pada daerah antara 3300-3600 cm-1, yang menunjukkan karakteristik puncak-puncak spektra HAp (Venkatesan dan Kim 2010).

Pita absorpsi gugus fosfat (PO43-) pada spektra FTIR terdapat dalam bentuk

vibrasi simetris strectching, vibrasi simetris bending, vibrasi asimetris strectching, dan vibrasi asimetris bending. Bentuk pita absorpsi fosfat 3 dan 4 adalah pita asimetris yang mengindikasikan bahwa senyawa sampel tidak seluruhnya dalam bentuk amorf. Pita absopsi apatit karbonat (CO32-) terindikasi dalam tipe AKA

yang terbentuk pada sampel A, B, C dan D serta tidak terbentuk pada sampel BB, sementara tipe AKB terbentuk pada semua sampel yang ditunjukkan oleh 3 bilangan gelombang di sekitar 873, 1415 dan 1455 cm-1.

Berdasarkan persen transmitan (Tabel 11) menunjukkan makin rendah persen transmitan pada gugus fosfat (PO43-) dan apatit karbonat (CO32-) sampel

semakin tinggi kristalitinasnya, hal ini terlihat pada sampel B dan C yang memiliki persen transmitan gugus fosfat lebih rendah memiliki derajat kristalinitas lebih tinggi dibandingkan dengan sampel lainnya.

Analisis Morfologi Menggunakan SEM/EDS

Scanning electron microscopy (SEM) adalah jenis mikroskop elektron yang menggunakan berkas electron untuk menggambarkan profil permukaan benda dan prinsip kerjanya adalah menembak permukaan benda dengan berkas elektron berenergi tinggi, sehingga permukaan benda yang dikenai berkas akan memantul kembali berkas tersebut atau menghasilkan elektron sekunder ke segala arah (Mikrajuddin dan Khairurrijal 2008).

Analisis morfologi permukaan semua sampel menggunakan SEM dengan pembesaran 2500x dan 5000x seperti terlihat pada Gambar 5. Hasil analisis menunjukkan bahwa sampel BB memiliki permukaan yang kasar, tidak beraturan

Gambar 5 Mikrograf SEM sampel

A BB 1 BB 2 A 1 A 2 B 1 B 2 C 1 C 2 D 1 D 2

39

dan sedikit berpori, sementara sampel A terlihat lebih datar, tidak beraturan dan cenderung padat, sedangkan tampak permukaan sampel B terlihat lebih padat, tidak beraturan dan berbentuk bongkahan dengan butiran sampel yang cenderung mengembang dan tampak hidroskopis (hal ini juga ditunjang dengan hasil FTIR, terlihat pita absorpsi OH permukaan dengan intensitas persen transmitan yang kecil). Permukaan sampel C tampak tidak beraturan dengan banyak serpihan kecil butiran sampel, tajam dan lebih berpori dibandingkan dengan sampel lainnya, sementara sampel D terlihat serpihan sampel yang lebih halus dan membulat, serta sedikit berpori.

Tabel 12 Hasil analisis unsur sampel menggunakan EDS

Unsur Sampel BB A B C D % Massa % Atom % Massa % Atom % Massa % Atom % Massa % Atom % Massa % Atom C K 13.55 24.41 13.86 22.56 14.69 23.95 8.22 14.95 8.44 15.69 O K 33.98 45.98 45.88 56.06 43.55 53.31 39.2 53.52 36.39 50.78 Na K - - 0.35 0.3 1.5 1.28 0.68 0.65 0.53 0.51 P K 8.02 5.6 8.02 5.6 12.4 7.84 16.07 11.33 15.07 10.87 Cl K - - - 0.42 0.26 1.37 0.86 Ca K 44.45 24.01 44.45 24.01 27.72 13.54 35.4 19.29 38.2 21.28

Analisis EDS adalah suatu teknik yang diterapkan dalam penentuan komposisi unsur pada permukaan suatu sampel. Teknik ini menggunakan sinar-X yang dipancarkan oleh unsur-unsur pada permukaan sebagai respon terhadap bombardir elektron (Zunbul 2005). Hasil analisis menggunakan EDS menunjukkan terdapat 4 unsur utama dalam semua sampel yaitu karbon (C), oksigen (O), fosfor (P) dan kalsium (Ca) dengan persen massa dan persen atom seperti pada Tabel 12.

Hasil analisis unsur menggunakan EDS menunjukkan bahwa persen massa kalsium menurun sedangkan persen massa fosfor yang meningkat pada sampel hasil ekstraksi menggunakan asam ataupun basa. Sampel BB dan A memiliki kesamaan pada persen massa kalsium, fosfor dan karbon sedangkan untuk oksigen mengalami peningkatan pada sampel A dan tampak persen massa natrium dengan jumlah yang sangat kecil. Sampel B, menunjukkan persen massa kalsium mengalami penurunan menjadi 27.72% sementara terjadi peningkatan pada fosfor dan sejumlah kecil karbon, sehingga dapat dikatakan bahwa terjadi perubahan struktur senyawa dalam sampel. Sampel C dan D terlihat terjadi penurunan persen massa karbon dan kalsium sementara fosfor dan oksigen meningkat.

Analisis Kristal Menggunakan XRD

Profil hasil analisis XRD (X-ray Diffraction) disesuaikan dengan data JCPDS (Joint Comitte on Powder Diffraction Standart) dan karakterisasi dilakukan untuk mengetahui fasa yang terbentuk pada sampel, derajat kristalinitas sampel dan ukuran kristal sampel.

Senyawa yang terbentuk dalam sampel adalah kalsium fosfat dengan rumus kimia Ca4P2O9, dalam bentuk kristalin dan amorf. Fasa kristalin yang terbentuk

dan mendominasi sampel BB dan A adalah fasa apatit karbonat atau [Ca10(PO4)3(CO3)3(OH)2], sedangkan fasa kristalin pada sampel B, C dan D selain

apatit karbonat, terbentuk juga hidroksiapatit [Ca5(PO4)3(OH)]. Kehadiran fasa

amorf pada tulang menunjukkan bahwa pembentukan kristal stabil apatit didahului oleh pembentukan kristal non apatit.

Tabel 13 Puncak-puncak profil XRD sampel

Fasa BB A B C D 2 () 2 () 2 () 2 () 2 () AKA - 25.88 25.9 46.66 33.9 - 29.02 53.18 49.5 39.68 - 51.52 - 53.28 53.28 AKB 25.92 31.9 28.6 25.9 25.96 31.84 39.66 46.74 28.92 28.6 40.1 46.68 - - 46.4 46.82 49.44 - - 49.36 49.47 - - - - HAP - - 31.86 31.66 30.2 - - 40.1 34.64 31.6 - - 49.64 39.66 -

Apatit karbonat pada sampel BB merupakan bentuk apatit karbonat tipe B (AKB) atau [Ca10(PO4)3(CO3)3(OH)2] yang terbentuk pada sudut 25.92, 31.84,

40.1, 46.82 dan 49.47, sementara untuk sampel A terlihat pada sudut 2 = 31.9; 39.66, 46.68 dan 49.44. Pada sampel B terbentuk pada sudut 2 = 28.6 dan 46.74, sedangkan AKB pada sampel C terbentuk di sudut 2 = 25.9 dan 31.66, dan sampel D terbentuk pada sudut 2 = 25.96, 28.6, 46.4 dan 49.36.

Apatit karbonat tipe A (AKA) atau [Ca10(PO4)6CO3] tidak terlihat pada

sampel BB, sedangkan pada sampel A terlihat pada sudut 2 = 25.88, 29.02 dan 51.52, sementara untuk sampel B terbentuk pada sudut 2 = 25.9 dan 53.18, sampel C untuk AKA terbentuk pada sudut 2 = 46.66, 49.5, dan 53,28 sampel D terlihat pada sudut 2 = 33.9, 39.68 dan 53.28.

Fasa kristalin pada sampel B, C dan D selain apatit karbonat juga terbentuk fasa HAp (hidroksiapatit). Fasa HAp sampel B terbentuk pada sudut 2 = 31.86, 40.1 dan 49.64, sedangkan sampel C pada sudut 2 = 31.66; 34.64 dan 39.66, pada sampel D terbentuk pada sudut 2 = 30.2 dan 31.6.

Derajat kristalinitas yaitu besaran yang menyatakan banyaknya kandungan kristal dalam suatu material dengan membandingkan luasan area kristal dengan total luasan area amorf dan area kristal.

Hasil pengukuran derajat kristalinitas sampel (Tabel 14), menunjukkan sampel B lebih kristalin dibanding sampel lainnya, sementara secara alami tulang ikan nila memiliki derajat kristalinitas yang lebih rendah (sampel BB)

41

dibandingkan dengan sampel hasil ekstraksi menggunakan asam dan basa, hal ini diduga berhubungan dengan hilangnya sejumlah senyawa organik selama proses ekstraksi. Derajat kristalinitas sampel secara berturut-turut adalah sampel BB (71.4%), A (71.9%), B (78.4%), C (77.9%) dan D (73.5%). Proses isolasi hidroksiapatit (HAp) dari tulang ikan tuna menggunakan suhu tinggi mengakibatkan hilangnya senyawa organik sehingga meningkatkan kemurnian, stabilitas dan kristalinitas HAp yang terbentuk (Venkatesan dan Kim 2010).

Ukuran kristal, seperti terlihat pada Tabel 14 merupakan hasil perhitungan menggunakan persamaan Scherrer yaitu:

= 

( )

Dari rumus tersebut diketahui bahwa k adalah konstanta yang nilainya bervariasi, untuk tulang nilainya adalah 0.9 (Bigi et al. 1992),  adalah panjang gelombang sinar-X yang digunakan yaitu 1.540958(Å), merupakan panjang gelombang Cu sebagai sumber sinar-X, adalah sudut Bragg, B adalah FWHM (full with half maximum) yang dipilih. Harga FWHM berbanding terbalik dengan ukuran kristal, makin kecil harga FWHM maka ukuran kristal yang dihasilkan semakin besar.

Tabel 14 Derajat kristalinitas dan ukuran kristal sampel

Sampel Kristalinitas (%) 2 () FWHM () () (rad) D (002) (nm) BB 71.4 25.92 0.504 0.252 0.00440 283.68 A 71.9 25.88 0.678 0.339 0.00591 210.95 B 78.4 25.9 0.332 0.166 0.00290 430.69 C 77.9 25.9 0.914 0.457 0.00797 156.44 D 73.5 25.96 0.894 0.447 0.00780 159.87

Ukuran kristal pada sudut 2 = 25.8-25.96, menunjukkan sampel B memiliki ukuran kristal lebih besar dibandingkan dengan sampel lainnya, sedangkan ukuran kristal terkecil terbentuk pada sampel C. Hasil ini menunjukkan bahwa ekstraksi menggunakan asam akan menghasilkan ukuran kristal lebih kecil dibandingkan penggunaan larutan basa.

Secara keseluruhan puncak maksimum intensitas fasa (Gambar 6) pada semua sampel secara berturut-turut terbentuk pada sudut 2 = 31.84 (BB), 31.9

(A), 31.86 (B); 31.66 (C) dan 31.6 (D), disimpulkan bahwa metode ekstraksi yang

digunakan tidak mempengaruhi sudut dengan intensitas maksimum kalsium pada sampel, akan tetapi jenis pelarut untuk ekstraksi mempengaruhi perubahan fasa yang terbentuk pada puncak tertinggi. Pada sampel BB dan A, puncak tertinggi merupakan apatit karbonat tipe B [Ca10(PO4)3(CO3)3(OH)2], sedangkan pada

sampel B, C dan D merupakan fasa kalsium hidroksiapatit [Ca5(PO4)3(OH)].

Deklinasi spektrum pada 2 sudut 20 hingga 25 menunjukkan adanya fasa amorfus sedangkan puncak pada 2 sudut 30 hingga 35 menunjukkan bahwa kristal mineral kedua nano kalsium memiliki partikel berukuran kecil dalam skala nano. Hasil yang sama ditunjukkan pada difraksi sinar-X tulang tikus (Dahlan et al. 2006).

Hasil analisis FTIR menunjukkan gugus fungsi terbentuk pada sampel adalah gugus fosfat (PO43-), karbonat (CO32-) dan hidroksil (OH-) dalam fasa

amorf dan kristalin, yang ditandai dengan 4 fosfat dalam bentuk pita belah pada

bilangan gelombang 563 dan 603 cm-1. Hasil ini didukung oleh data analisis

menggunakan XRD yang menunjukkan adanya fasa amorf dan kristalin pada semua sampel, yang didominasi oleh fasa apatit karbonat pada sampel BB dan A, sedangkan sampel B, C dan D selain apatit karbonat, terbentuk juga hidroksiapatit [Ca5(PO4)3(OH)]. Analisis morfologi menggunakan SEM terlihat bahwa sampel

yang diekstraksi menggunakan NaOH (sampel B) memiliki permukaan yang tidak beraturan, datar dan berbentuk bongkahan serta terlihat hidroskopis, sedang sampel yang diekstraksi menggunakan HCl (sampel D) permukaan sampel terlihat lebih berpori. Analisis menggunakan EDS menunjukkan bahwa persen massa kalsium dan karbon mengalami penurunan ketika diekstraksi menggunakan larutan asam maupun basa (sampel B, C dan D), sedangkan persen massa fosfor meningkat. Hasil ini didukung oleh analisis XRD, yang menunjukkan bahwa pada sampel BB dan A lebih didominasi oleh fasa apatit karbonat karena persen massa unsur karbon dan oksigen yang tinggi, sementara pada sampel B, C dan D selain terbentuk fasa apatit karbonat terbentuk pula hidroksiapatit sebagai akibat meningkatnya persen massa fosfor.

Dokumen terkait