• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 14 Januari 1973, sebagai anak pertama dari empat bersaudara dalam keluarga bapak Joazab B L Lekahena dan ibu Neltje L Abel. Tahun 1992 memasuki jenjang pendidikan S1 di Fakultas Perikanan, Jurusan Teknologi Hasil Perikanan (THP), Universitas Pattimura dan diselesaikan tahun 1997. Pada tahun 2009, penulis diterima di PS Ilmu Pangan (IPN) pada Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa pendidikan pascasarjana (BPPS) melalui Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia selama 2 tahun pertama dan selanjutnya dengan biaya sendiri.

Sejak tahun 2005, Penulis diterima sebagai staf pengajar (dosen PNS) pada Kopertis (Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta) Wilayah XII (Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat) dipekerjakan (dpk) pada Universitas Al-Amin, Sorong di PS Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan tahun 2007 dipindah tugaskan pada Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate di PS Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Pertanian.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penanganan limbah industri pengolahan hasil ikan merupakan salah satu permasalahan dalam industri pengolahan perikanan. Masalah limbah ini harus ditangani dan diatasi dengan baik dan terencana sehingga dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan serta menghindari terjadinya pencemaran lingkungan.

Produksi tahunan ikan nila dunia adalah sekitar 1 500 000 ton atau senilai 1.8 miliar dolar US, hampir sama dengan total nilai produksi tahunan ikan salmon dan trout (Hemung 2013). Pengolahan ikan nila dalam bentuk fillet ikan yang dilakukan oleh P.T. Aqua Farm di Semarang, Jawa Tengah, menghasilkan limbah tulang ikan sebanyak 4500 kg per hari (10% dari total produksi harian sebesar 45 ton)1 dan belum dapat diolah serta dimanfaatkan untuk menjadi produk yang bernilai ekonomis.

Pemanfaatan tulang ikan nila sebagai sumber mineral terutama kalsium dan fosfor merupakan upaya peningkatan nilai ekonomis limbah tulang ikan, karena selama ini pemanfaatan tulang ikan tersebut masih terbatas pada pembuatan tepung tulang untuk pakan ternak atau dibuang sehingga menimbulkan masalah lingkungan, padahal tulang ikan nila memiliki kandungan mineral seperti kalsium dan fosfor yang bermanfaat.

Fraksi limbah padatan tulang ikan berkisar 10-15% dari berat ikan secara keseluruhan tidak termasuk kulit, dan merupakan sumber protein yang potensial, asam lemak tak jenuh esensial, vitamin, antioksidan, asam amino dan mineral (60- 70%) dalam bentuk garam anorganik terutama kalsium fosfat, kreatin fosfat dan hidroksiapatit (Kim dan Mendis 2006; Malde et al. 2010; Huang et al. 2011).

Kalsium merupakan mineral yang paling banyak dalam tubuh yaitu > 99% dari tubuh manusia atau sekitar 1000-1200 g mengandung kalsium yang terkonsentrasi pada tulang dalam bentuk kalsium fosfat dan hidroksiapatit [Ca10(OH)2(PO4)6] dalam bentuk kristal yang melekat pada kolagen fibril. Selain

berperan penting dalam kekakuan dan kekuatan tulang, kalsium juga berperan penting dalam sebagian besar proses metabolisme, termasuk proses pembekuan darah, adhesi sel, kontraksi otot, sistem hormon, pelepasan neurotransmitter dan metabolisme glikogen, serta proliferasi dan diferensiasi sel (WHO 2006; Malde et al. 2010; Huang et al. 2011).

Beberapa kajian mengenai pemanfaatan tulang ikan dan potensi aplikasinya sebagai sumber kalsium alami telah dilakukan, diantaranya kalsium dalam tulang ikan cakalang dapat diekstrasi dengan teknik deproteinasi (Murtiningrum 1997); limbah tulang ikan patin sebagai alternatif sumber kalsium dalam produk mi kering (Mulia 2004); pemanfaatan tepung tulang ikan patin sebagai sumber kalsium dan fosfor dalam pembuatan biskuit (Kaya et al. 2007); limbah tulang ikan tuna sebagai sumber kalsium dengan metode hidrolisis protein (Trilaksani et al. 2006); tepung tulang ikan kakap merah dalam susu kedelai (Dongoran et al. 2008), dari hasil kajian-kajian tersebut diketahui bahwa limbah tulang ikan

1

2

berpotensi sebagai sumber kalsium alami yang dapat difortifikasi pada produk pangan untuk mencukupi asupan kalsium harian.

Produk pangan yang difortifikasikan dengan kalsium tulang akan menghasilkan produk yang kaya kalsium, untuk itu kalsium pada tulang harus diubah menjadi bentuk yang dapat dicerna melalui perubahan struktur matriks tulang dengan proses pelunakan yang dapat dilakukan dengan menggunakan metode ekstraksi dengan air panas dan larutan asam panas (Kim dan Mendis 2006). Penggunaan larutan asam (HCl, asam asetat, asam sitrat) dalam ekstraksi nanokalsium (Suptijah et al. 2010b) dan ekstraksi menggunakan NaOH 3% dalam pembuatan tepung tulang ayam sebagai sumber kalsium (Sittikulwitit et al. 2004). Penentuan efesiensi dan efektifitas keberhasilan fortifikasi kalsium dalam bahan pangan terhadap proses penyerapannya maka dilakukan analisis bioavailabilitas kalsium baik secara in vitro dan in vivo.

Analisis bioavailabilitas kalsium digunakan untuk menjelaskan proses fisikokimia dan fisiologis yang mempengaruhi penyerapan fraksional kalsium dalam tubuh sehingga mineral tersebut dapat digunakan oleh tubuh untuk menjalankan fungsi metabolisme (Trilaksani et al. 2006). Bioavailabilitas merupakan pertimbangan penting untuk mengembangkan strategi guna mencegah defisiensi kalsium melalui peningkatan ketersedian kalsium dalam bahan pangan. Faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium, bentuk kalsium yang digunakan untuk fortifikasi dan suplemen, serta metode yang digunakan untuk menjelaskan dan menilai bioavailabilitas kalsium, merupakan gambaran fortifikasi dan alternatif pemanfaatan kalsium untuk pemenuhan kebutuhannya (Fairweather- Tait dan Teucher 2002).

Pengujian bioavailabilitas kalsium tulang ikan yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya antara lain, kalsium tulang ikan salmon 21.9%, cod 22.5% dan dibandingkan dengan suplemen kalsium (CaCO3) 27.4% sebagai

kontrol (Malde et al. 2010), sedangkan bioavaibilitas kalsium hasil ektraksi dari tulang ikan lele, salmon dan kakap yang difortifikasi pada roti tawar putih menggunakan metode in vitro adalah 34.5-35.7% (Luu dan Nguyen 2009). Kalsium dalam bentuk tepung tulang ikan tuna memiliki penyerapan sebesar 0.86% atau 337.46 mg/100 g tepung tulang ikan (Trilaksani et al. 2006), sedangkan bioavailabilitas kalsium tulang ikan nila yaitu 9.38% atau 116.56 mgL-1, dikatakan pula bahwa penyerapannya lebih rendah jika dibandingkan kalsium kontrol tetapi dapat meningkatkan aktifitas transglutaminase (tTGase) dalam proses metabolisme (Hemung 2013).

Mineral kalsium umumnya tersedia dalam bentuk mikro, yang diduga dalam proses metabolisme tubuh terserap hanya mencapai 50% dari total kalsium yang dikonsumsi (Guyton 1987), sehingga alternatif terbaik untuk meningkatkan penyerapan kalsium secara maksimal adalah dengan membentuk nanokalsium (Suptijah et al. 2012). Nanokalsium merupakan mineral predigestif yang sangat efiesien dalam memasuki sel tubuh karena ukuran yang super kecil menyebabkan mudah memasuki reseptor sehingga dapat terabsorpsi secara cepat dan sempurna ke dalam tubuh (Park et al. 2007).

Bioavailabilitas nanokalsium yang diuji pada tikus yang diberi pakan nanokalsium memiliki buangan kalsium yang rendah pada feses dan urin dibandingkan tikus yg diberi pakan mikrokalsium (Gao et al. 2007), selain itu

Park et al. (2007) menjelaskan bahwa penggunaan nanokalsium sebagai suplemen dalam susu yang diujikan pada tikus, lebih efektif dalam meningkatkan metabolisme kalsium dan massa tulang tikus tersebut, hal ini membuktikan bahwa ukuran partikel kalsium mempengaruhi tingkat penyerapannya, seperti yang dijelaskan oleh Chen et al. (2010) bahwa ukuran partikel merupakan faktor penting yang menjadi pertimbangan dalam ilmu formulasi ketika berhubungan dengan formulasi sistem disperse pangan.

Sintesis nanomaterial dapat dilakukan secara top down dan bottom up. Top down merupakan pembuatan struktur nano dengan memperkecil ukuran material, sedangkan bottom-up adalah dengan cara merangkai atom atau molekul dan menggabungkannya melalui reaksi kimia untuk membentuk nano struktur (Greiner 2009). Metode top down adalah penggerusan dengan alat milling, sedangkan teknologi bottom up yaitu menggunakan teknik sol-gel, presipitasi kimia, dan aglomerasi fasa gas (Dutta dan Hofmann 2005) dan penelitian ini menggunakan metode top down melalui proses penepungan.

Pemanfaatan teknologi nano untuk menghasilkan nanokalsium yang dilakukan oleh Suptijah et al. (2010a) dengan mengisolasi dan karakterisasi mineral crustacea sebagai sumber potensial nanokalsium dengan perlakuan lama waktu perendaman, tahapan ekstraksi dengan berbagai konsentrasi HCl dan lama waktu ekstraksi menjelaskan bahwa kondisi perendaman selama 1 hari, menggunakan konsentrasi HCl 1.0 N dan waktu ekstraksi 60 menit merupakan tahapan proses yang paling efisien dalam pembuatan nanokalsium dengan rendemen 61.7%. Nanokalsium dapat dimanfaatkan dalam berbagai produk dan fortifikasi pangan sebagai bentuk pangan fungsional yang bermanfaat untuk kesehatan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan nanokalsium dari tulang ikan nila (Oreochromis niloticus) melalui tahapan ekstraksi menggunakan jenis pelarut yang berbeda yang dilanjutkan dengan proses milling serta mempelajari karakterisasi perubahan sifat fisikokimianya.

Manfaat Penelitian

1. Sumber informasi pemanfaatan limbah hasil produksi perikanan khususnya limbah tulang ikan nila sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis.

2. Kandungan kalsium tulang ikan nila dapat dimanfaatkan sebagai sumber kalsium alami untuk memenuhi kebutuhan asupan kalsium harian karena memiliki potensi sumber daya yang besar dan bioavailabilitas yang baik. 3. Kalsium tulang ikan dalam bentuk nanokalsium mampu meningkatkan

penyerapan kalsium sehingga pemanfaatannya sebagai fortifikan pada bahan pangan lebih efektif dan efisien.

4

Hipotesis

Proses ekstraksi menggunakan jenis pelarut yang berbeda akan menghasilkan nanokalsium yang berbeda karakteristik fisikokimia dibandingkan dengan kalsium pada tulang ikan yang belum diekstraksi.

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Nila

Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan bentuk tubuh memanjang dan pipih kesamping dan warna putih kehitaman. Ikan nila adalah jenis ikan ekonomis penting dalam ekologi daerah tropis dan sub tropis termasuk Mesir. Ikan ini berasal dari Sungai Nil dan danau- danau sekitarnya dan merupakan spesies yang paling populer dari ikan bertulang di Afrika. Hal ini disebabkan ikan ini memiliki beberapa sifat yang menguntungkan yaitu mampu bertoleransi terhadap kualitas air yang buruk, berbagai macam makanan, plastisitas dalam pertumbuhan, daging ikan yang tebal dan rasa yang enak dan mampu untuk mengubah sampah organik dan domestik menjadi protein kualitas tinggi. Sifat yang menguntungkan lainnya yaitu waktu pemijahan yang panjang dan biologi reproduksi dengan waktu generasi pendek (Kariman et al. 2008).

Saat ini ikan nila telah tersebar ke negara-negara di lima benua yang beriklim tropis dan subtropis. Sedangkan di wilayah yang beriklim dingin, ikan nila tidak dapat hidup baik (Priatman 2000). Bibit ikan didatangkan ke Indonesia secara resmi oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar pada tahun 1969. Setelah melalui masa penelitian dan adaptasi, barulah ikan ini disebarluaskan kepada petani di seluruh Indonesia. Nila adalah nama khas Indonesia yang diberikan oleh Pemerintah melalui Direktur Jenderal Perikanan.

Klasifikasi ikan nila adalah sebagai berikut: Kelas : Osteichthyes Sub-kelas : Acanthoptherigii Crdo : Percomorphi Sub-ordo : Percoidea Famili : Cichlidae Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromis niloticus.

Ciri-ciri nila adalah bentuk badan pipih kesamping memanjang; mempunyai garis vertikal sepanjang tubuh 9-11 buah; garis-garis pada sirip ekor berwana merah sejumlah 6-12 buah; pada sirip pungung terdapat garis-garis miring; dan mata tampak menonjol dan besar, tepi mata berwarna putih. Nila merupakan ikan sungai atau danau yang cocok dipelihara di perairan tawar yang tenang, kolam dapat berkembang pesat pada perairan payau misalnya tambak.

Produksi perikanan budidaya ikan nila meningkat sebesar 23.96% per tahun dimana produksi pada tahun 2004 sebesar 7116 ton menjadi 220 900 ton pada tahun 2008. Pada tingkat dunia Indonesia berada pada peringkat empat negara produsen nila terbesar setelah Cina, Mesir dan Filipina (DKP 2009).

Secara umum ikan dan kandungan nutrisinya memiliki peran penting dalam ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan, tetapi sedikit yang diketahui tentang nutrisi ikan yang dapat dikonsumsi baik segar atau diawetkan. Pengetahuan yang lebih baik dari nutrisi ikan, yang berhubungan erat dengan

6

spesies ikan dan memberikan kontribusi untuk pemahaman variabilitas dalam kualitas daging dari spesies yang berbeda (Elagba et al. 2010).

Komponen zat gizi ikan air tawar berbeda antara spesies, jenis kelamin, ukuran, musim pemijahan, dan sebaran geografis (Zenebe et al. 1998). Selain itu, proses pasca panen dan pengolahan akan mempengaruhi umur simpan ikan (Clement dan Lovelli 1994). Pada Tabel 1 dan Tabel 2 menunjukkan komposisi proksimat dan komposisi mineral 5 species ikan nila.

Tabel 1 Komposisi Proksimat (g/100g berat kering) dan total kalori dari 5 jenis ikan nila yang komersil (Elagba et al. 2010)

Parameter L. niloticus B. Bayad O. niloticus S. schall T. lineatus

Total lipid (TL) 6.8 13.2 5.3 17.3 1.8 Total protein (TP) 77.9 77 78.4 59.8 79.1 Moisture (M) 75 76 76 73 80 TL:M * 9.1 13.6 6.6 23.7 2.3 TL:TP ** 8.8 13.4 6.4 28.8 2.3 Total kalori (Kj/100g) 396.9 424.8 382.6 413.7 356.5

* Persentasi konsentrasi TL terhadap M ** Rasio konsentrasi TL terhadap konsentrasi protein (100 g, bk)

Kandungan mineral ikan bergantung pada spesies, jenis kelamin, siklus biologis dan bagian tubuh yang dianalisis. Selanjutnya dijelaskan bahwa faktor ekologis seperti musim, tempat pengembangan, ketersediaan jumlah nutrisi, suhu dan salinitas air juga mempengaruhi kandungan mineral (Martinez et al. 1998). Umumnya hampir sama berbagai spesies ikan dibandingkan dengan makro nutrien yang mempunyai variabilitas yang lebih besar (Tee et al. 1989).

Tabel 2 Komposisi mineral (ppm, µg/g berat kering) dan rasio (%) dari 5 jenis ikan nila komersil (Elagba et al. 2010)

Mineral L. niloticus B. Bayad O. niloticus S. schall T. lineatus

Potassium 11550 (40) 12100 (41) 9545 (37) 10175 (36) 9990 (33) Phosphorous 7270 (25) 7730 (26) 9350 (36) 7370 (26) 7885 (26) Selenium 4565 (16) 3610 (12) 3610 (14) 4328 (15) 3925 (13 Calcium 2305 (8) 2920 (10) 1075 (4) 3113 (11) 5880 (19) Sodium 2395 (8) 2360 (8) 1800 (7) 2805 (10) 2035(6.6) Magnesium 705 (2) 748 (3) 687 (3) 696 (2) 751 (2) Zinc 62 51 46 53 88 Iron 26 17 26 60 48 Copper 0.9 1.0 1.0 1.4 1.3 Total mineral 28870 29537 26161 28641 30664.3

Kandungan kalsium (Ca) ikan adalah sekitar 20-35 mg, fosfor (P) sekitar 190 mg dan zat besi (Fe) 1.0 mg. Sementara konsentrasi natrium (Na) untuk hampir semua jenis ikan adalah 20-50 mg dan kalium (K) 250-300 mg (Tee et al. 1989).

Tulang Ikan

Tulang umumnya terdiri dari air, materi anorganik dan anorganik, masing- masing diperkirakan 15, 55 dan 30% (Aiko 1991). Total dari susunan tubuh ikan 10% adalah limbah tulang ikan yang memiliki kadar kalsium yang tinggi sekitar 14% dalam bentuk kalsium fosfat (Subasinghe 1996). Unsur utama dari tulang ikan adalah kalsium, fosfor dan karbonat, sedangkan yang terdapat dalam jumlah kecil yaitu magnesium, sodium, stronsium, fitat, klorida, hidroksida dan sulfat (Halver 1989). Abu dari tulang ikan terdiri dari kalsium sebanyak 34-36% dalam bentuk kalsium fosfat (Hamada et al. 1995). Beberapa mineral pada ikan merupakan unsur pokok dari jaringan keras seperti tulang, sirip dan sisik. Persentase berat kalsium pada ikan secara umum adalah 0.1-1% dengan rasio kalsium dan fosfor adalah 1.6:0.7 (Lovell 1989).

Tabel 3 Komposisi proksimat (g/100 g), energi (Kcal/100 g) dan mineral (mg/100 g) tepung tulang ikan nila (Petenuci et al 2008)

Komposisi Proksimata Energi Mineral Kadar Air Protein b Lemak Kadar Abu Kalsium (Ca) Zat Besi (Fe) Fosfor (P) Tepung tulang ikan 14.2 40.8 25.3 18.3 1636/391 2715.9 1.3 1132.7

a nilai rata-rata dan SD dengan 3 kali ulangan; b kandungan nitrogen (N x 6.25)

Tulang merupakan jaringan pengikat yang sangat khusus bentuknya. Tulang dibentuk dalam dua proses yang terpisah, yaitu pembentukan matriks dan penempatan mineral kedalam matriks tersebut. Tiga jenis komponen seluler terlibat didalamnya dengan fungsi yang berbeda-beda yaitu osteoblast dalam pembentukan tulang, osteocyte dalam pemeliharaan tulang, dan osteoclast dalam penyerapan kembali tulang. Osteoblast membentuk kolagen tempat mineral mineral melekat. Mineral utama di dalam tulang adalah kalsium dan fosfor, sedangkan mineral lain terdapat dalam jumlah kecil yaitu natrium, magnesium dan flour (Winarno 2008).

Kalsium

Kalsium merupakan makro elemen yang banyak terdapat pada kerangka dan gigi (99%), sisanya (1%) pada syaraf, otot dan darah. Sebagai komponen struktural, kalsium dan fosfor pada tubuh memiliki peranan dalam pembentukan dan perkembangan tulang dan gigi dan sebagai komponen metabolik, proses biokimia dan fisiologis termasuk fungsi normal otot, pembekuan darah, transfer ion anorganik melintasi membran, sekresi hormon, pelepasan enzim pada sistem selular, transduksi signal, dan fungsi reproduksi (Gaman dan Sherrington 1990; Sittikulwitit et al. 2004).

Kalsium pada struktur tulang berupa kalsium fosfat dan hidroksiapatit [Ca10(OH)2(PO4)6] dalam bentuk kristal yang melekat pada kolagen fibril

8

(Phiraphinyo et al. 2006). Ion kalsium pada permukaan tulang dapat berinteraksi dengan ion pada cairan tubuh sehingga berperan sebagai proses pertukaan ion. Sifat penting ini berhubungan peranan tulang sebagai sumber pertukaran kalsium untuk membantu mempertahankan konsentrasi konstan kalsium dalam darah (Gurr 1999).

Di dalam darah kalsium berada dalam tiga bentuk, yaitu : (1) kalsium yang terikat dengan protein (protein bound calcium atau nondiffusible calcium). Dalam keadaan ini kalsium sebagian besar berikatan dengan albumin dan sebagian kecil lagi berikatan dengan globulin. (2) Dalam bentuk ion (Ca2+), dan (3) Kalsium

kompleks yaitu yang berikatan dengan fosfat, bikarbonat atau sitrat (Piliang dan Djojosoebagio 2006).

Pangan Sumber Kalsium

Sumber kalsium utama adalah susu dan hasil olahan susu seperti keju. Ikan yang dikonsumsi dengan tulang, termasuk ikan kering serta tepung ikan yang dibuat dari keseluruhan tubuh ikan termasuk tulangnya merupakan sumber kalsium yang baik. Serealia seperti kacang-kacangan dan hasil olahan kacang- kacangan seperti tahu, tempe dan sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga, tetapi bahan makanan ini banyak mengandung zat yang dapat menghambat penyerapan kalsium seperti serat, fitat dan oksalat (Almatsier 2002; (Guthrie 1975). Bahan pangan yang mengadung kalsium seperti pada Tabel 3.

Kalsium pada ikan terutama pada tulang membentuk kompleks dengan fosfor dalam bentuk apatit atau trikalsiumfosfat (Lovell 1989). Tulang ikan tinggi kandungan kalsium atau sekitar 2% (20 g/kg berat kering) dari berat total ikan (Malde et al. 2010). Bentuk ini terdapat pada abu tulang yang dapat diserap dengan baik oleh tubuh yaitu berkisar 60-70% (Lutwak 1982).

Tabel 4 Pangan sumber kalsium dan bioavailabilitasnya

Pangan Ukuran sajian (g) Kadar kalsium (mg) Fraksi terabsorpsi Kemampuan terabsorpsi / mg sajian Sajian = 1 gelas susu Susu

(1 gelas yogurt atau 150 g keju) 240 300 32.1 96.3 1.0 Kacang-kacangan 177 50 15.6 7.8 12.3 Brokoli 71 35 61.3 21.5 4.5 Kol 85 79 52.7 41.6 2.3 Bayam 90 122 5.1 6.2 15.5 Tahu 126 258 31.0 80 1.2

Sumber : Weaver dan Heany (1999)

Defisiensi Kalsium

Asupan kalsium harian umumnya diduga lebih rendah dibandingkan dengan yang direkomendasikan ketika asupan susu dan produk susu rendah. Hampir sebagian negara industri maju pemenuhan kebutuhan kalsium sebesar 50-80% berasal dari produk susu, sisanya 25% berasal tanaman. Kandungan kalsium dari

sumber pangan lainnya umumnya relatif kecil. Efisiensi penyerapan kalsium meningkat jika diet yang dilakukan rendah kalsium. Penyerapan kalsium secara homeostatik bersamaan dengan penyerapan vitamin D. Inhibitor penyerapan kalsium dalam diet adalah oksalat dan asam fitat (WHO 2006).

Kemampuan penyerapan kalsium pada manusia akan menurun seiring bertambahnya usia karena itu sangatlah penting memiliki asupan kalsium yang cukup pada proses penuaan. Kebutuhan kalsium pada setiap individu dan kelompok tertentu bervariasi, kurangnya asupan kalsium diakibatkan karena pola makan dan kebiasan mengkonsumsi makanan tertentu (Gerstner 2003).

Kurangnya asupan kalsium dari makanan merupakan salah satu faktor dalam penyebab penyakit tertentu (Sittikulwitit et al. 2004). Konsumsi kalsium yang rendah bisa menyebabkan defisiensi dan bila berlanjut dapat mengakibatkan

rickets, tetany, osteomalacia (tulang rapuh), dan osteoporosis yaitu kegagalan pertumbuhan tulang (Mervyn 1989).

Osteoporosis telah menjadi penyakit degeneratif penting di dunia terutama di Asia. Patah tulang akibat osteoporosis dapat terjadi pada salah satu tulang akan tetapi umumnya akan terjadi pada pinggul, tulang belakang tulang belakang, dan pergelangan tangan (NIH 2001). Patah tulang pinggul merupakan masalah kesehatan utama pada masyarakat di Asia bahkan diperkirakan pada abad berikutnya, 50% dari kasus patah tulang pinggul di dunia akan terjadi di Asia (Sittikulwitit et al. 2004). Peluang terjadi patah tulang pinggul pada usia 50 tahun dengan persentasi 14% pada wanita dan 5-6% pada pria. Masalah patah tulang menjadi masalah bagi wanita pada usia diakhir 70an hingga 80an. 80% wanita akan mengalami masalah patah tulang dan pengapuran pada usia diatas 75 tahun (NIH 2001).

Rekomendasi Asupan Kalsium

Referensi diet asupan kalsium seperti terlihat pada Tabel 3. ditentukan dengan mempertimbangkan penelitian terbaru dalam pencegahan osteoporosis. Rekomendasi ini ditetapkan pada tingkat yang dipercaya dapat memberikan manfaat maksimal untuk optimalisasi kepadatan tulang. Meskipun penting untuk mengkonsumsi kalsium yang cukup untuk memenuhi rekomendasi yang ditetapkan akan tetapi konsumsi kalsium yang berlebihan dapat membahayakan organ tubuh. Asupan kalsium yang direkomendasikan pada table tersebut merupakan toleransi konsumsi maksimum. Tujuan rekomendasi tersebut bukan untuk asupan, melainkan merupakan jumlah yang terbaik untuk menjaga kesehatan tulang (Digitale et al. 2008).

Asupan kalsium selama pertumbuhan sangat penting untuk pencapaian massa tulang yang dapat mengurangi risiko osteoporosis. Selain itu, asupan kalsium yang cukup telah dikaitkan dengan mengurangi risiko hipertensi dan kanker usus besar (Sittikulwitit et al. 2004). Meningkatkan komsumsi kalsium dapat menurunkan kolesterol dan kolesterol LDL pada tikus jantan (Malekzadeh

et al. 2007).

Upaya mencegah kekurangan kalsium yaitu dengan meningkatkan asupan kalsium harian dengan pola makan yang berimbang dengan mengkonsumsi makanan yang kaya akan kalsium seperti susu, produk susu dan beberapa jenis

10

sayuran (brokoli, kol dan polong-polongan), tahu yang di proses dengan kalsium sulfat, ikan serta merubah pola konsumsi yang rendah kalsium. Alternatif lainnya yaitu menggunakan suplemen kalsium atau dengan mengkonsumsi produk pangan yang difortifikasi dengan kalsium sebagai suatu nilai tambah. Untuk pemenuhan sumber kalsium dan ketersediannya dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu bentuk garam anorganik (kalsium karbonat dan kalsium fosfat) dan bentuk garam organik seperti kalsium sitrat, kalsium laktat dan kalsium glukonat (Gerstner 2003; Digitale et al. 2008).

Konsumsi kalsium sebaiknya tidak melebihi 2500 mg sehari karena dapat mengakibatkan hiperkalsemia. Hiperkalsemia dapat menyebabkan hiperkalsiuria yaitu kondisi dimana kadar kalsium dalam urin melebihi 300 mg/hari. Kelebihan kalsium dapat menimbulkan batu ginjal atau gangguan ginjal, disamping itu dapat menyebabkan konstipasi (susah buang air besar). Kelebihan kalsium jarang terjadi akibat konsumsi makanan alami dan biasanya terjadi bila mengkonsumsi suplemen kalsium berupa tablet atau bentuk lain (Almatsier 2002). Rekomendasi asupan kalsium harian berdasarkan kelompok umur seperti terlihat pada Tabel 5. Tabel 5 Rekomendasi asupan kalsium terhadap beberapa kelompok umur

Kel. Umur, Ibu Hamil dan Ibu Menyusui

Rekomendasi Asupan Kalsium / hari

(mg)

Toleransi Tingkat Maksimum Asupan / hari

(mg) Bayi 0-6 bln 210 Tidak ditetapkan

7-12 bln 270 Tidak ditetapkan Anak 1-3 thn 500 2 500 4-8 thn 800 2 500 Remaja 9-13 thn 1 300 2 500 14-18 thn 1 300 2 500 Dewasa 19-30 thn 1 000 2 500 31-50 thn 1 000 2 500 51-70 thn 1 200 2 500 >70 thn 1 200 2 500 Ibu Hamil ≤ 18 thn 1 300 2 500 19-50 thn 1 000 2 500 Ibu Menyusui ≤ 18 thn 1 300 2 500 19-50 thn 1 000 2 500

Sumber : Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes, Food and Nutrition Board, Institute of Medicine. 1997.

Beberapa studi menunjukkan adanya persentasi yang signifikan terhadap kegagalan akan asupan sehingga dibuatlah rekomendasi sehubungan dengan ukuran asupan kalsium untuk melawan kekurangan kalsium dan mengurangi resiko terjadinya osteoporosis. Untuk hal itu maka US National Institute of Health

(NIH) akhirnya meningkatkan jumlah optimal asupan harian kalsium dan menentukan nilai yang spesifik untuk setiap kelompok usia dalam populasi. Contohnya asupan kalsium harian untuk usia dewasa (25-65 tahun) yaitu 1000 mg/hari dan 1500 mg/hari untuk usia diatas 65 tahun. Sementara rekomendasi

asupan harian kalsium oleh Scientific Committee on Food adalah 800 mg/hari (Gerstner 2003).

Bioavailabilitas Kalsium

Bioavailabilitas atau ketersediaan biologis adalah ukuran kuantitatif dari

Dokumen terkait