• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. Kadar Low Density Lipoprotein-cholesterol

Penentuan kolesterol-LDL dalam percobaan ini tidak dilakukan secara langsung, tapi menggunakan formula Friedewald. Formula ini dapat digunakan bila spesimen dari hewan percobaan diambil dalam keadaan puasa, atau kadar trigliserida dalam darah tidak tinggi (Johnson et al. 1997). Berdasarkan formula tersebut, ditunjukkan bahwa kadar kolesterol-LDL dipengaruhi oleh kadar kolesterol total, trigliserida, dan kolesterol-HDL. Kadar trigliserida normal kelinci adalah 124-156 mg/dl (Malole dan Pramono 1989). Hal tersebut sejalan dengan penelitian ini dimana spesimen (darah) kelinci diambil setelah dipuasakan selama 12 jam, dan kadar trigliserida tidak melampaui batas normal minimal dari trigliserida kelinci.

Hasil analisis kovariat (ANCOVA) juga menunjukkan bahwa kadar kolesterol-HDL pada nol bulan tidak berpengaruh nyata terhadap terhadap kadar

63

kolesterol-HDL pada dua bulan percobaan (Lampiran 29 dan 30). Rata-rata kadar kolesterol-LDL perlakuan kelinci sebelum perlakuan relatif kecil yaitu berkisar antara -3,84 mg/dl (P4) hingga 9,25 mg/dl (P5). Sedangkan setelah satu percobaan rata-rata kadar kolesterol-LDL berkisar antara -1,29 mg/dl hingga 85,03 mg/dl (Tabel 17). Pemberian perlakuan selama dua bulan telah menaikkan kadar kolesterol-LDL perlakuan kelinci P1 (K+) sebesar 163,08 mg/dl dan berbeda nyata (p<0,05) dengan perlakuan P0, P2, P4, dan P5.

Pada Tabel 17 tampak kadar kolesterol-LDL setelah dua bulan percobaan umumnya menurun. Perlakuan P3 (bubuk Cu-turunan klorofil) mempunyai kadar kolesterol-LDL yang lebih rendah dibanding P2 (bubuk klorofil alami), namun tidak berbeda nyata. Setelah percobaan berlangsung dua bulan, tampak bahwa kelinci perlakuan P4, dan P5 mempunyai kadar kolesterol-LDL relatif paling rendah, dan berbeda nyata dengan kontrol positif (P1), namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan P3. Hal ini berarti, perlakuan P4 dan P5 cenderung lebih dapat menekan peningkatan kadar kolesterol-LDL dibanding perlakuan lainnya. Terjadinya penghambatan peningkatan kolesterol-LDL oleh perlakuan P4 dan P5 dapat dipahami karena kedua perlakuan ini, kadar klorofil bubuknya relatif tinggi dibanding perlakuan P3 dan P2, seperti tampak pada Tabel 12. Kalau dibandingkan kadar kolesterol total (Tabel 14) dan LDL (Tabel 17) tampak bersinergi, dimana bila kadar kolesterol total tinggi, maka kadar LDL juga demikian, begitu pula sebaliknya.

Tabel 17 Rata-rata kadar kolesterol-LDL pada awal, satu, dan dua bulan percobaan

Rata-rata kolesterol-LDL (mg/dl) selama percobaan Perlakuan

Awal Satu bulan Dua bulan

P0 3,45 ± 7,77a 20,34 ± 19,39a 5,51 ± 4,10a P1 5,87 ± 4,70a 31,12 ± 32,62a 168,95 ± 123,63b P2 6,81 ± 9,07a 85,03 ± 117,52a 57,18 ± 75,48a P3 2,29 ± 7,069a 78,00 ± 42,92a 47,68 ± 38,93ab P4 -3,84 ± 6,15a -1,29 ± 11,09a 24,12 ± 16,82a P5 9,25 ± 18,00a 54,04 ± 30,56a 21,98 ± 10,14a

Angka dengan huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α=0,05

64

Kadar Klorofil dalam Serum Kelinci

Uji ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya klorofil terserap dalam darah setelah kelinci diberikan pakan yang mengandung Cu-turunan klorofil. Pada Tabel 18 tampak bahwa klorofil ditemukan pada serum kelinci, namun dengan konsentrasi yang relatif kecil. Hal ini berarti bahwa masih ada Cu-turunan klorofil yang bisa eksis walaupun telah melewati pH yang sangat asam pada lambung dengan pH sekitar 2. Sisa Cu-turunan klorofil lainnya diduga telah berubah menjadi metabolit lain yang karakternya berbeda dengan Cu-turunan klorofil.

Hasil penelitian ini sejalan dengan laporan Egner et al. (2000) yang

pertama kali membuktikan adanya turunan klorofil dalam serum manusia yang diberi SCC (Sodium Copper Chlorophyllin) secara oral 3 x 100 mg/hari selama 16 minggu. Mereka memperkirakan bahwa dengan mengonsumsi 3 tablet x 100 mg klorofilin dapat memberikan asupan CuCle4/hari sebesar 12 mg dan konsentrasi

steady-state dalam plasma sekitar 2 μg/ml. Artinya perlu konsentrasi asupan yang tinggi agar dapat terdeteksi. Selain itu asupan diberikan dalam 3 kali sehari. Tingkat penyerapan klorofil memang rendah, bahkan sebelum publikasi Egner et al. (2001), klorofil dianggap tidak diserap oleh tubuh.

Tabel 18 Rata-rata kadar klorofil dalam serum kelinci

Perlakuan Kadar klorofil (mg/L)

P0* - P1* - P2 1,516 P3 3,530 P4 1,211 P5 4,235 *

= Pakannya tidak ditambahkan bubuk Cu-turunan klorofil

Sejalan dengan hasil tersebut, Fernandes et al. (2007) melaporkan bahwa absorpsi turunan klorofil berkisar antara 2,5 hingga 4,0% dengan rata-rata 3,4%. Namun berbeda pada eksperimen keduanya, dimana anjing yang mengonsumsi

65

klorofil yang ditemukan dalam darah peripheral sampai 150 menit sesudah

konsumsi. Hal ini menandakan bahwa absorpsi turunan klorofilnya relatif rendah. Hasil ini berbeda dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Prangdimurti (2007), dimana turunan klorofil daun suji (Pleomele angustifolia N.E.Brown) tidak terdeteksi dalam serum dan hati tikus. Ekstrak klorofil dari penelitian ini tidak ditambahkan mineral (logam) tertentu, sebagai pengstabil warna klorofil.

Potensi Antiaterosklerosis dari Bubuk Cu-turunan Klorofil 1. Rasio Kolesterol Total dengan HDL

Tujuan perhitungan rasio kolesterol total dan kolesterol-HDL adalah untuk mengetahui besarnya peluang (hewan percobaan) mengalami risiko aterosklerosis. Dari Tabel 19 tampak bahwa pada 0 bulan penelitian, rasio kolesterol total: kolesterol-HDL semua perlakuan kelinci berkisar antara 1,37:1 – 2,04 : 1. Rasio terendah terjadi pada perlakuan kelinci P1, dan tertinggi pada P3. Pengamatan 1 bulan berikutnya, umumnya terjadi peningkatan rasio kolesterol total: kolesterol- HDL, dan yang tertinggi adalah perlakuan P2 yaitu 3,34 : 1. Sedangkan perlakuan kelinci yang mengalami penurunan rasio kolesterol total: kolesterol-HDL adalah perlakuan P4 yaitu 1,08 : 1.

Tabel 19 Rata-rata rasio kadar kolesteol total dan kolesterol-HDL pada awal, satu, dan dua bulan percobaan

Rasio kolesterol total : kolesterol-HDL Perlakuan

0 bulan 1 bulan 2 bulan

P0 2,02 ±0.74 2,03 ±0,65 1,70 ±0.12 P1 1,37±0.04 2,14 ±1,30 7,82 ±4.00 P2 1,49 ±0.15 3,34 ±3,01 3,01 ±2.48 P3 2,04 ±0.49 2,89 ±0,99 2,73 ±1.30 P4 1,46 ±0.21 1,08 ±0,18 2,03 ±0.63 P5 1,93 ±0.85 2,12 ±0,92 2,04 ±0.53

Pada Tabel 19 ditunjukkan bahwa setelah percobaan berlangsung dua bulan, perlakuan P3 memiliki rasio kolesterol total: kolesterol- HDL yang lebih rendah, dibanding perlakuan P2 (klorofil alami). Hal ini berarti bahwa perlakuan P3 lebih kurang berisiko untuk mengalami aterosklerosis di banding P2. Pada

66

Tabel tersebut juga tampak bahwa perlakuan kelinci P1 mempunyai nilai rasio kolesterol total: kolesterol-HDL paling tinggi yaitu 7,82 : 1, sehingga dengan demikian perlakuan P1 mempunyai risiko sangat tinggi untuk mengalami aterosklerosis dibanding perlakuan kelinci lainnya. Rasio kolesterol total: kolesterol-HDL yang dianjurkan adalah kurang dari 5 : 1, dengan rasio optimum sekitar 3 : 1 (AHA 2001).

Lemieux et al. (2001) menekankan bahwa rasio kolesterol total:kolesterol- HDL lebih banyak digunakan untuk memprediksi risiko penyakit jantung iskemik (IHD) dari pada variasi rasio kolesterol-LDL:kolestrol-HDL. Perhitungan rasio kolesterol-LDL:koleterol-HDL mempunyai perkiraan yang lebih rendah (underestimate) terhadap risiko IHD beberapa pasien dibandingkan dengan kualitas estimasi dari rasio kolesterol total :kolesterol-HDL.

Dokumen terkait