• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. PENUTUP

2. Kadar Abu

2. Kadar Abu

Sebanyak 1 g ekstrak ditimbang dan dimasukkan ke dalam krus porselen yang sebelumnya telah dipijarkan dan ditimbang. Setelah itu ekstrak dipijar dengan menggunakan tanur secara perlahan-lahan (dengan suhu dinaikkan secara bertahap hingga 600° ± 25° C) hingga arang habis. Kemudian ditimbang hingga bobot tetap (Anonim, 2000).

3.3.3.2 Uji Organoleptis

Pemeriksaan secara fisik menggunakan panca indera yang meliputi pemeriksaan bentuk, warna, bau, dan rasa (Anonim, 2000).

3.3.4 Penapisan Fitokimia

a. Identifikasi golongan alkaloid

Sampel dicampur dengan 5 mL kloroform dan 5 mLamoniak kemudian dipanaskan, dikocok dan disaring. Ditambahkan 5 tetes asam sulfat 2 N pada masing-masing filtrat, kemudian dikocok dan didiamkan. Bagian atas dari masing-masing filtrat diambil dan diuji dengan pereaksi Meyer dan Dragendorff. Terbentuknya endapan putih dan jingga yang menunjukkan adanya alkaloid (Anonim, 2000).

b. Identifikasi golongan flavonoid

Sampel dicampur dengan 5 mL etanol, dikocok, dipanaskan, dan dikocok lagi kemudian disaring. Kemudian ditambahkan serbuk Mg 0,2 g dan 3 tetes HCl pada masing-masing filtrat. Terbentuknya warna merah pada lapisan etanol menunjukkan adanya flavonoid (Anonim, 2000).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

c. Identifikasi golongan saponin

Sampel dididihkan dengan 20 mLair dalam penangas air. Filtrat dikocok dan didiamkan selama 15 menit. Terbentuknya busa yang stabil berarti positif terdapat saponin (Anonim, 2000).

d. Identifikasi golongan steroid

Sampel diekstrak dengan etanol dan ditambah 2 mL asam sulfat pekat dan 2 mL asam asetat anhidrat. Perubahan warna dari ungu ke biru atau hijau menunjukkan adanya steroid (Anonim, 2000).

e. Identifikasi golongan triterpenoid

Sampel dicampur dengan 2 mL kloroform dan 3 mL asam sulfat pekat. Terbentuknya warna merah kecoklatan pada antar permukaan menunjukkan adanya triterpenoid (Anonim, 2000).

f. Identifikasi golongan tannin

Sampel didihkan dengan 20 mL air lalu disaring. Ditambahkan

beberapa tetes FeCl3 1% dan terbentuknya warna coklat kehijauan atau

biru kehitaman menunjukkan adanya tannin (Anonim, 2000).

3.3.5 Formulasi Sediaan Lipstik

Total sediaan yang dibuat untuk satu formula adalah 5 g.

Tabel 3.1 Formula Sediaan Lipstik Ekstrak Ubi Jalar Ungu

Komposisi Formula (%) I II III

Ekstrak ubi jalar ungu Cera alba Carnauba wax Vaselin Minyak jarak Isopropil miristat Adeps lanae Propil paraben BHT 5 15 9 8 40,88 10 12 0,1 0,02 7 15 9 8 37,88 10 12 0,1 0,02 9 15 9 8 35,88 10 12 0,1 0,02 Keterangan :

Formulasi I : Sediaan dengan konsentrasi ekstrak 5%

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Formulasi III : Sediaan dengan konsentrasi ekstrak 9%

3.3.6 Pembuatan Sediaan Lipstik

Lebur cera alba, carnauba wax, minyak jarak, propil paraben, BHT dan ekstrak ubi jalar ungu di atas hot plate. Setelah melebur, campuran digerus hingga homogen (M1). Lebur adeps lanae, vaselin dan isopropil miristat (M2). Campurkan M2 ke dalam M1 dan kemudian digerus hingga homogen (M3). Lebur M3 di atas hot plate dan setelah melebur segera dimasukkan ke dalam cetakan lipstik. Diamkan ± 10 menit sampai lipstik mengeras. Keluarkan lipstik dari cetakan dan dimasukkan ke dalam wadah lipstik.

3.3.7 Evaluasi Fisik Sediaan Lipstik 3.3.7.1 Uji Organoleptis

Pengujian ini meliputi pemeriksaan warna, bentuk, dan bau sediaan yang dihasilkan (Anvisa, 2005).

3.3.7.2 Uji Titik Lebur

Pengamatan dilakukan terhadap titik lebur lipstik dengan cara melebur lipstik. Sediaan lipstik yang baik adalah sediaan lipstik dengan titik lebur dengan suhu di atas 50ºC. Lipstik dimasukkan dalam pipa piler kaca hingga membentuk kolom di dasar tabung dengan tinggi 2,5 mm hingga 3,5 mm setelah diisi semampat mungkin dengan cara mengetukkan secukupnya pada permukaan padat. Panaskan tangas hingga suhu lebih

kurang 10o di bawah suhu lebur yang diperkirakan, dan naikkan suhu

dengan kecepatan 1o ± 0,5o per menit. Masukkan kapiler, bila suhu

mencapai 5o di bawah suhu terendah yang diperkirakan, lanjutkan

pemanasan hingga melebur sempurna. Catat jarak lebur (Anonim, 1995).

3.3.7.3 Uji Kekuatan

Pengamatan dilakukan terhadap kekuatan lipstik dengan cara lipstik diletakkan horizontal kemudian digantungkan beban yang berfungsi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai penekan. Tiap 30 detik berat penekan ditambah (10 gram). Penambahan berat sebagai penekanan dilakukan terus menerus sampai lipstik patah, pada saat lipstik patah merupakan nilai kekuatan lipstiknya (Vishwakarma et al., 2011).

3.3.7.4 Uji Homogenitas

Masing-masing sediaan lipstik yang dibuat diperiksa

homogenitasnya dengan cara mengoleskan sejumlah tertentu sediaan pada kaca yang transparan. Sediaan harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya butir-butir kasar (Risnawati, 2012).

3.3.7.5 Uji Daya Oles

Uji oles dilakukan secara visual dengan cara mengoleskan lipstik pada kulit punggung tangan kemudian mengamati banyaknya warna yang menempel dengan perlakuan 5 kali pengolesan. Sediaan lipstik dikatakan mempunyai daya oles yang baik jika warna yang menempel pada kulit punggung tangan banyak dan merata (Risnawati, 2012).

3.3.7.6 Uji Stabilitas

Pengujian dilakukan dengan menyimpan sediaan pada suhu tinggi

(40oC) dan suhu kamar (25oC) selama 1 bulan, dan dilakukan pengamatan

setiap 1 minggu sekali terhadap adanya perubahan warna, bentuk dan bau (Anvisa, 2005).

3.3.7.7 Uji Cycling Test

Pemeriksaan stabilitas dengan cara sediaan lipstik dari masing-masing formula disimpan secara bergantian pada suhu dingin (4˚C) pada

24 jam pertama dan suhu tinggi (40oC) pada 24 jam berikutnya (1 siklus),

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Determinasi Tanaman

Hasil determinasi tanaman yang telah dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Puslit Biologi, Bogor menunjukkan bahwa tanaman yang digunakan adalah ubi jalar ungu (Ipomea batatas (L.) Poir) famili Convolvulaceae. Hasil determinasi dapat dilihat pada Lampiran 2.

4.2 Metode Ekstraksi

Ekstraksi ubi jalar ungu dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut akuades. Akuades dipilih sebagai pelarut karena zat warna antosianin merupakan senyawa polar yang akan larut di dalam pelarut yang bersifat polar dan juga didasarkan pada keamanan ketika digunakan dalam sediaan lipstik.

Saat proses maserasi ditambahkan pula asam sitrat sebanyak 30 gram. Menurut Robinson (1995) dalam Surianti 2012), ekstraksi senyawa golongan flavonoid dianjurkan dilakukan pada suasana asam karena asam berfungsi mendenaturasi membran sel tanaman, kemudian melarutkan pigmen antosianin sehingga dapat keluar sel serta dapat mencegah oksidasi flavonoid yang berhubungan dengan kestabilan warna pigmen. Semakin rendah nilai pH maka semakin tinggi warna merah yang dihasilkan dan sebaliknya semakin tinggi nilai pH maka semakin rendah warna merah yang dihasilkan (Ali et al., 2013). Setelah proses maserasi, filtrat kemudian di-freeze dry dan didapatkan ekstrak air kering dengan persentase rendemen ekstrak sebesar 7,4%.

4.3 Karakterisasi Ekstrak Ubi Jalar Ungu

Ekstrak yang telah didapat kemudian dilakukan karakterisasi yang meliputi parameter spesifik dan nonspesifik. Karakterisasi ini menandakan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bahwa ekstrak tersebut memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Hasil karakterisasi ekstrak ubi jalar ungu dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Hasil Karakterisasi Ekstrak Ubi Jalar Ungu Jenis Karakterisasi Hasil

Parameter Spesifik a. Identitas : b. Organoleptis:  Warna  Bau  Rasa  Bentuk

Parameter Non Spesifik

a. Kadar air b. Kadar abu

Ekstrak air ubi jalar ungu (Ipomea

batatas (L.) Poir Merah Khas Asam Ekstrak kering 1,07% 4,62%

Pengamatan yang meliputi identitas dan organoleptis bertujuan untuk memberikan objektifitas dari nama dan spesifikasi tanaman serta sebagai pengenalan awal dengan mendeskripsikan bentuk, warna, bau dan rasa menggunakan panca indra (Anonim, 2000). Berdasarkan hasil pengamatan yang didapat adalah ekstrak air ubi jalar ungu (Ipomea batatas (L.) Poir) dengan warna merah, berbau khas, memiliki rasa asam dan berbentuk ekstrak kering.

Pengujian kadar air ekstrak ubi jalar ungu diperoleh hasil sebesar 1,07%. Hasil ini telah sesuai dengan persyaratan dimana batas kadar air adalah ≤5%. Hal ini bertujuan untuk menghindari cepatnya pertumbuhan jamur dalam ekstrak sehingga akan mempengaruhi stabilitas pada saat penyimpanan (Anam, 2011). Selanjutnya, pada pengujian kadar abu diperoleh hasil sebesar 4,62%. Hasil ini memenuhi persyaratan batasan kadar abu yaitu ≤16%. Penentuan kadar abu bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral dan unsur anorganik.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.4. Penapisan Fitokimia

Penapisan fitokimia bertujuan untuk mengetahui keberadaan golongan senyawa metabolit sekunder yang ada dalam ekstrak. Pada penelitian ini dilakukan penapisan fitokimia senyawa golongan alkaoid, flavonoid, tanin, saponin, steroid dan triterpenoid. Hasil penapisan fitokimia pada ekstrak ubi jalar ungu dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Ubi Jalar Ungu Golongan Hasil Alkaloid Flavonoid Tanin Saponin Steroid Triterpenoid - + - - - - Keterangan: (+) = ada; (-) = tidak ada

Hasil penapisan fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak air ubi jalar ungu positif mengandung flavonoid yang ditandai dengan terbentuknya warna merah pada lapisan amil alkohol. Flavonoid merupakan golongan pigmen organik yang membentuk pigmentasi pada daun, bunga, buah dan biji tanaman (I.D.A.D.Y, Dewi, 2013). Flavonoid memiliki sejumlah gugus hidroksil yang tak tersulih atau suatu gula yang menyebabkan flavonoid bersifat polar yang dapat terlarut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, dan air sehingga ekstrak yang dihasilkan mengandung flavonoid (Markham, 1988). Flavonoid merupakan senyawa yang juga memiliki potensi sebagai antioksidan (Bhat, 2009 dalam Putranti 2013). Dengan adanya antioksidan alami ini dapat memberikan keuntungan dalam aplikasi ekstrak ubi jalar ungu sebagai pewarna alami untuk mencegah atau menghambat oksidasi pada sediaan lipstik.

Berdasarkan uji penapisan fitokimia yang telah dilakukan, memberikan hasil positif pada uji flavonoid sedangkan uji alkaloid, saponin, tannin, steroid dan triterpenoid memberikan hasil negatif karena tidak adanya endapan maupun perubahan warna yang terjadi saat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta penambahan pereaksi. Hasil ini sesuai dengan literatur (Sulastri, 2013) yang menunjukkan bahwa dalam ubi jalar ungu terdapat kandungan flavonoid dan tidak mengandung alkaloid, saponin, tannin, steroid dan triterpenoid.

4.5 Pembuatan Sediaan Lipstik

Secara umum komponen utama sediaan lipstik terdiri dari minyak, lilin (wax), lemak dan zat warna. Dalam pembuatan sediaan lipstik dilakukan percobaan pendahuluan agar mendapatkan sediaan lipstik memenuhi persyaratan. Formula sediaan lipstik yang dibuat pada awalnya mengacu pada penelitian Risnawati (2012) yang menggunakan cera alba, lanolin anhidrat, vaselin, setil alkohol, carnauba wax, minyak jarak, propilen glikol, tween 80, BHT dan nipagin menghasilkan tekstur lipstik tidak lembab dan lengket ketika dioleskan. Kemudian coba dibuat dengan menggunakan bahan-bahan seperti cera alba, carnauba wax, vaselin, adeps lanae, minyak jarak, isopropil miristat, propil paraben dan BHT menghasilkan sediaan lipstik yang lembab dan tidak lengket ketika dioleskan.

Pembuatan sediaan lipstik selanjutnya dicoba dengan 2 metode pembuatan. Metode pembuatan sediaan lipstik pertama dibuat dengan cara ekstrak ubi jalar ungu dilakukan dengan cara massa 1 (cera alba, carnauba

wax, adeps lanae, vaselin dan isopropil miristat) yang dilebur bersama di

atas hot plate pada suhu ±70oC dicampurkan dengan massa 2 (ekstrak ubi

jalar ungu, BHT dan propil paraben yang telah dicampur dengan minyak jarak). Campuran kemudian diaduk dan dimasukkan dalam cetakan (Risnawati, 2012). Warna sediaan lipstik yang dihasilkan masih kurang terdispersi dengan baik karena ekstrak ubi jalar ungu yang mengendap di bagian bawah lipstik. Dengan menggunakan metode ini sediaan lipstik yang dihasilkan tidak homogen. Sediaan lipstik yang tidak memenuhi persyaratan dapat dilihat pada Gambar 4.1.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 4.1 Sediaan Lipstik Tidak Homogen

[Sumber: Koleksi Pribadi]

Metode pembuatan sediaan lipstik kedua dilakukan dengan cara meleburkan massa 1 (cera alba, carnauba wax, minyak jarak, propil paraben, BHT dan ekstrak ubi jalar ungu) di atas hot plate pada suhu

±70oC. Setelah melebur sempurna, campuran digerus hingga homogen.

Selanjutnya massa 2 (adeps lanae, vaselin dan isopropil miristat) dilebur di atas hot plate. Massa 2 yang telah dilebur dicampurkan ke dalam massa 1 dan kemudian digerus kembali hingga homogen. Campuran yang digerus ini berwarna merah muda dan berbentuk seperti pasta. Campuran

kemudian dilebur di atas hot plate pada suhu ±50oC dan dimasukkan ke

dalam cetakan. Sediaan lipstik yang dihasilkan berwarna merah muda dan terdispersi secara merata. Hasil sediaan lipstik dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2 Sediaan Lipstik Homogen

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pembuatan sediaan lipstik dengan metode pertama menghasilkan sediaan yang tidak memenuhi persyaratan diduga disebabkan oleh cara pembuatan yang hanya menggunakan batang pengaduk saat proses pengadukan dan juga ketika proses memasukan campuran ke dalam cetakan yang dilakukan pada suhu tinggi ketika campuran berbentuk cair. Hal ini menyebabkan ekstrak cepat mengendap dan tidak terdispersi merata dalam sediaan. Berbeda halnya dengan cara pembuatan metode pertama, dimana dalam metode kedua dilakukan penggerusan dengan menggunakan alu. Tekanan yang dihasilkan dengan menggunakan alu lebih besar dibandingkan menggunakan batang pengaduk dan proses memasukan campuran ke dalam cetakan dilakukan pada suhu yang lebih rendah dan sambil terus diaduk sehingga dapat membuat ekstrak menjadi lebih mudah terdispersi merata dalam sediaan.

Proses pengadukan pada pembuatan lipstik dengan metode pertama coba dilakukan penggantian dengan cara digerus namun pasta yang dihasilkan lebih kaku sehingga sulit untuk digerus sedangkan pada cara pembuatan metode kedua semua bahan tidak dilebur langsung menjadi satu. Adeps lanae, vaselin dan isopropil miristat yang telah dilebur ditambahkan sedikit demi sedikit ke dalam pasta sehingga ketika digerus tidak kaku. Berdasarkan sediaan lipstik yang dihasilkan maka dipilihlah metode pembuatan kedua untuk membuat sediaan lipstik ekstrak ubi jalar ungu.

4.6 Evaluasi Fisik Sediaan Lipstik

Evaluasi sediaan lipstik ini merupakan langkah pemeriksaan mutu untuk melihat kestabilan sediaan selama penyimpanan. Evaluasi dilakukan terhadap masing-masing sediaan lipstik yang mengandung konsentrasi pewarna yang berbeda. Pada proses evaluasi, ketiga sediaan lipstik

disimpan pada 3 kondisi yang berbeda yaitu pada suhu kamar (25oC), suhu

tinggi (40oC), dan cycling test.

Untuk penyimpanan pada suhu kamar (25oC) dan suhu tinggi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dilakukan pengamatan sedangkan cycling test dilakukan selama 12 hari (6

siklus) pada suhu dingin (4oC) dan suhu tinggi (40oC) secara bergantian

dengan masing-masing suhu selama 24 jam dan setiap pergantian siklus dilakukan pengamatan. Pengamatan yang dilakukan meliputi organoleptis, homogenitas, kekuatan, titik lebur, dan daya oles. Kestabilan sediaan lipstik dapat dilihat dengan cara membandingkan kondisi sebelum penyimpanan dan sesudah penyimpanan.

4.6.1 Evaluasi Awal Sediaan Lipstik

Evaluasi awal sediaan lipstik masing-masing formula berwarna merah muda dengan aroma khas wax, homogen namun memiliki daya oles yang kurang baik karena ketika dioleskan warna tidak menempel. Kekuatan dan titik lebur yang dihasilkan dari tiap formula pun bervariasi. Adapun hasil evaluasi awal sediaan lipstik dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Hasil Evaluasi Awal Sediaan Lipstik

Parameter Formula I Formula II Formula III

Organoleptis Homogenitas Kekuatan Titik lebur Daya oles Warna merah muda dan beraroma khas wax Homogen 94,44 gram 55oC Kurang baik (warna tidak menempel) Warna merah muda dan beraroma khas wax Homogen 124,44 gram 58oC Kurang baik (warna tidak menempel) Warna merah muda dan beraroma khas wax Homogen 134,44 gram 60oC Kurang baik (warna tidak menempel)

4.6.2 Pengamatan Organoleptis Sediaan Lipstik

Hasil sediaan lipstik setelah dilakukan proses penyimpanan pada

suhu kamar (25oC) dan suhu tinggi (40oC) tidak menunjukkan adanya

perubahan organoleptis. Ketiga formula sediaan lipstik tetap berwarna merah muda dan beraroma khas wax sampai akhir penyimpanan. Adapun hasil pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 8.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.6.3 Uji Homogenitas Sediaan Lipstik

Sediaan lipstik dikatakan homogen apabila tidak terdapat butir-butir kasar atau grity ketika dioleskan pada kaca objek. Adanya butir-butir-butir-butir kasar atau grity menandakan sediaan lipstik tidak homogen karena tidak terdispersinya antar komponen lipstik (Utami, 2013). Hasil pengujian homogenitas menunjukkan bahwa sediaan lipstik yang dihasilkan tidak memperlihatkan adanya butir-butir kasar atau grity saat dioleskan pada kaca objek. Selain diuji dengan cara tersebut, sediaan lipstik juga dilihat homogenitas warnanya sampai ke bagian dalam dengan cara sediaan lipstik dibelah membujur dan dilihat apakah warna merata sampai ke bagian dalam lipstik. Setelah sediaan lipstik dibelah terlihat bahwa seluruh sediaan lipstik memiliki warna yang merata sampai ke bagian dalam. Hal ini menujukkan bahwa sediaan lipstik homogen pada penyimpanan suhu

kamar (25oC) maupun suhu tinggi (40oC). Hasil uji homogenitas sediaan

lipstik dapat dilihat pada Lampiran 8.

4.6.4 Uji Titik Lebur Sediaan Lipstik

Berdasarkan hasil pengujian titik lebur pada suhu yang bebeda terlihat bahwa ketiga formula memiliki titik lebur yang bervariasi. Hasil

uji titik lebur sediaan lipstik selama penyimpanan pada suhu ruang (25oC)

cenderung memiliki titik lebur yang tetap. Pada kondisi penyimpanan suhu

tinggi (40oC) terlihat bahwa terjadi penurunan titik lebur sediaan lipstik

bila dibandingkan dengan hasil uji kekuatan pada evaluasi awal. Hal ini

kemungkinan karena kondisi penyimpanan dengan suhu tinggi (40oC)

mendekati suhu lebur sediaan lipstik sehingga ketika dilakukan penyimpanan selama 4 minggu sediaan lipstik sedikit melunak dan titik leburnya menurun.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 4.4 Hasil Uji Titik Lebur Sediaan Lipstik Suhu Minggu

Ke- Formula I Formula II Formula III

Ruang (25oC) Tinggi (40oC) 1 2 3 4 1 2 3 4 55oC 55oC 55oC 55oC 53oC 52oC 52oC 52oC 58oC 58oC 58oC 58oC 57oC 56oC 55oC 55oC 60oC 60oC 60oC 60oC 59oC 58oC 58oC 56oC

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa ketiga formulasi sediaan lipstik

pada penyimpanan suhu kamar (25oC) memiliki titik lebur pada kisaran

55-60oC dan pada penyimpanan suhu tinggi (40oC) memiliki titik lebur

pada kisaran 52-59oC. Titik lebur sediaan lipstik yang ideal yaitu di atas

50oC. Titik lebur sediaan lipstik sebaiknya melebihi kisaran suhu yang

ideal. Hasil titik lebur ini menunjukkan bahwa sediaan lipstik yang dibuat memenuhi persyaratan.

4.6.5 Uji Kekuatan Sediaan Lipstik

Uji kekuatan sediaan lipstik dilakukan dengan menggunakan alat seberat 4,44 gram yang digantungkan pada sediaan lipstik. Dari hasil pengujian kekuatan sediaan lipstik ketiga formula pada suhu yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan kemampuan sediaan lipstik menahan beban. Sediaan lipstik pada formula I memiliki kekuatan yang lebih rendah bila dibandingkan dengan sediaan lipstik pada formula II dan formula III. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan konsentrasi pewarna ekstrak ubi jalar ungu yang digunakan dalam formulasi. Semakin besar konsentrasi pewarna yang digunakan, maka minyak jarak yang digunakan pun berkurang sehingga jumlah wax akan meningkatkan jumlah padatan dalam emulsi sehingga sediaan lipstik yang terbentuk akan semakin keras, sebaliknya bila konsentrasi pewarna yang digunakan berkurang maka minyak jarak yang digunakan akan bertambah sehingga

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta akan menambah jumlah cairan dalam emulsi dan sediaan lipstik yang terbentuk semakin lunak (Perdanakusuma dan Wulandari, 2003).

Kekuatan sediaan lipstik dapat pula dipengaruhi oleh titik lebur dimana kekuatan akan meningkat seiring dengan titik lebur sediaan lipstik yang dihasilkan. Jika dilihat hasil antara uji kekuatan dan uji titik lebur sediaan lipstik memiliki kesinambungan yaitu pada formula I memiliki kakuatan paling rendah dibandingkan formula II dan formula III. Hal tersebut mungkin diakibatkan karena sediaan lipstik formula I memiliki titik lebur yang lebih rendah dibandingkan formula II dan formula III sehingga kekuatan yang dihasilkan juga lebih rendah.

Tabel 4.5 Hasil Uji Kekuatan Sediaan Lipstik Suhu Minggu

Ke- Formula I Formula II Formula III

Ruang (25oC) Tinggi (40oC) 1 2 3 4 1 2 3 4 94,44 gram 94,44 gram 94,44 gram 94,44 gram 84,44 gram 84,44 gram 84,44 gram 74,44 gram 124,44 gram 124,44 gram 124,44 gram 124,44 gram 104,44 gram 104,44 gram 94,44 gram 94,44 gram 134,44 gram 134,44 gram 134,44 gram 134,44 gram 124,44 gram 114,44 gram 114,44 gram 114,44 gram

Hasil uji kekuatan sediaan lipstik selama penyimpanan pada suhu

ruang (25oC) terlihat bahwa formula I, formula II, dan formula III

cenderung memiliki kekuatan yang tetap bila dibandingkan dengan hasil uji kekuatan pada evaluasi awal. Berbeda dengan kondisi penyimpanan

pada suhu tinggi (40oC) terlihat bahwa terjadi penurunan kekuatan sediaan

lipstik bila dibandingkan dengan hasil uji kekuatan pada evaluasi awal.

Hal ini dikarenakan titik lebur sediaan lipstik pada suhu tinggi (40oC)

mengalami penurunan sehingga kekuatannya pun ikut mengalami penurunan.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.6.6 Uji Daya Oles Sediaan Lipstik

Daya oles merupakan hal penting yang akan menjadi patokan dalam memilih sediaan lipstik karena banyak orang cenderug memilih lipstik yang warnanya menempel di bibir. Hasil pengujian daya oles

sediaan lipstik pada suhu kamar (25oC) dan suhu tinggi (40oC) dapat

dikatakan tidak memenuhi standar karena ketika sediaan lipstik dioleskan ke bagian punggung tangan warnanya tidak menempel di kulit hanya terlihat mengkilap. Hal ini kemungkinan disebabkan kurang optimalnya proses ekstraksi yang dilakukan. Salah satu faktor yang berpengaruh pada proses ekstraksi zat warna adalah jenis pelarut (Lestari et al., 2013). Pada ekstraksi dengan menggunakan air, umumnya menghasilkan rendemen yang cukup banyak namun kandungan zat warna yang didapat sedikit. Untuk mendapatkan ekstrak zat warna yang maksimal, maka perlu digunakan larutan pengekstrak yang cocok dengan sifat zat yang akan diekstrak (Putri, 2005 dalam Lestari et al. 2013). Dalam hal ini diduga zat warna dari ubi jalar ungu yaitu antosianin memiliki kepolaran yang berbeda dengan pelarut akuades sehingga proses ekstraksi antosianin menjadi tidak optimal.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Saati (2002), pelarut yang paling baik digunakan untuk ekstraksi antosianin dari Bunga Pacar Air adalah etanol 95%. Begitu juga dengan penelitian Wijaya (2001) tentang ekstraksi pigmen dari kulit buah rambutan. Hal ini disebabkan tingkat kepolaran antosianin hampir sama dengan etanol 95 % sehingga dapat larut dengan baik pada etanol 95 % (Samsudin dan Khoirudin, 2011 dalam Siregar et al., 2011).

Penelitian yang dilakukan oleh Risnawati (2012), memformulasi sediaan lipstik dari ekstrak biji coklat. Biji coklat diekstrak dengan menggunakan pelarut etanol 95% yang telah dicampur dengan asam sitrat, menghasilkan sediaan lipstik dengan daya oles yang baik. Hal ini ditandai dengan 4 kali pengolesan sediaan telah memberikan warna yang intensif, merata dan homogen saat dioleskan pada kulit punggung tangan.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.6.7 Uji Cycling Test Sediaan Lipstik

Cycling test merupakan uji yang berguna sebagai simulasi apabila

terjadi perubahan suhu setiap tahun bahkan setiap hari. Uji cycling test dilakukan pada suhu dengan interval waktu tertentu sehingga sediaan akan mengalami tekanan yang bervariasi.

Hasil pengamatan selama uji cycling test menunjukkan bahwa

Dokumen terkait