• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

ENZIM ALFA AMILASE DAN ALFA GLUKOSIDASE SECARA IN VITRO

C. Kadar Total Fenol

Senyawa fenol adalah aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan dengan ciri-ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung gugus hidroksil dirangkai pada suatu atom karbon dari lingkar benzena. Pengujian hanya dilakukan pada ekstrak awal. Penentuan kadar total fenol dilakukan dengan menggunakan kurva larutan standar asam galat seperti terdapat pada Lampiran 20 dan Lampiran 21. Nilai total fenol dinyatakan dalam Gallic Acid Equivalent (GAE) dan masing-masing kandungan total fenol sampel penyeduhan dengan suhu 70oC selama 5 menit, 70oC selama 15 menit, 70oC selama 30 menit, 100oC selama 5 menit, 100oC selama 15 menit, dan suhu penyeduhan 100oC

17 selama 30 menit adalah 36.85 GAE/g, 31.14 GAE/g, 36,88 GAE/g, 49.15 GAE/g, 38.47 GAE/g, dan 22.36 GAE/g seperti yang tertera pada Gambar 4. Menurut Anesini et al. (2008) jumlah total fenol teh hijau sebesar 21.02 GAE. Perbedaan ini mungkin terjadi karena perbedaan cara ekstraksi yang dilakukan. Mereka mengekstrak teh hijau dengan menggunakan 0.200 + 0.001 g sampel dalam tabung ekstraksi dan menggunakan 5 mL metanol 70% dengan suhu 70oC sebagai pelarut dan dilakukan selama 10 menit.

Pada pengujian total fenol ini, dapat dilihat bahwa faktor waktu dan faktor interaksi antara waktu dan suhu memberikan pengaruh terhadap konsentrasi total fenol (p<0.05) untuk itu perlu dilakukan uji lanjut. Uji lanjut yang digunakan adalah uji lanjut Duncan. Sedangkan untuk faktor suhu tidak memberikan pengaruh terhadap konsentrasi total fenol (p>0.05), seperti yang tertera pada Lampiran 22.

Keterangan : Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p <0,05) dengan uji lanjut Duncan Gambar 4. Total fenol ekstrak awal teh hijau

Suhu tinggi pelarut dapat meningkatkan efisiensi dari proses ekstraksi karena panas dapat meningkatkan permeabilitas dinding sel, meningkatkan kelarutan dan difusi dari senyawa yang diekstrak dan mengurangi viskositas pelarut, namun suhu tinggi juga dapat mendegradasi senyawa polifenol (Escribano dan Santos 2002). Namun pada percobaan ini faktor suhu tidak memengaruhi jumlah total fenol (p>0.05). untuk faktor waktu berdasarkan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa waktu penyeduhan 5 menit, 15 menit, dan 30 menit saling memberikan respon yang berbeda. Dapat dilihat dalam Lampiran 23, bahwa waktu penyeduhan 5 menit memberikan nilai total fenol terbesar dan penyeduhan selama 30 menit memberikan nilai terkecil. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu penyeduhan maka semakin besar pula kemampuan komponen fenol untuk teroksidasi.

Pada uji Anova menunjukkan bahwa interaksi antara suhu dan waktu penyeduhan memengaruhi nilai total fenol (p<0.05), seperti yang tertera pada Lampiran 24. Dapat dilihat bahwa sampel teh hijau dengan interaksi suhu 100oC selama 5 menit memberikan nilai total fenol tertinggi, sedangkan untuk sampel dengan dengan interaksi suhu 70oC selama 5 menit, 70oC selama 30 menit, dan 100oC selama 15 menit menunjukkan bahwaf ketiga sampel ini tidak berbeda nyata dan mempunyai nilai total fenol tertinggi kedua. Lalu sampel teh hijau dengan interaksi suhu 70oC selama

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 70 C, 5' 70 C, 15' 70 C, 30' 100 C, 5' 100 C, 15' 100 C, 30' 36,85 c 31,14 b 36,88 c 49,15 d 38,47 c 22,36 a T o ta l fe n o l (m g G A E / g )

18 15 menit mempunyai nilai total fenol yang berada pada posisi ketiga. Untuk sampel dengan nilai total fenol terkecil adalah sampel dengan interaksi suhu penyeduhan 100oC selama 30 menit (Lampiran 25). Hal ini menunjukkan pada suhu 100oC selama 5 menit komponen bioaktif dapat terekstrak dengan baik dan semakin lamanya waktu pengekstrakan nilai total fenol akan semakin menurun karena teroksidasi oleh panas, sehingga pada penyeduhan 100oC selama 30 menit menunjukkan nilai total fenol terkecil. Telah diyakini sebelumnya bahwa waktu ekstraksi yang terlalu lama akan memicu pemaparan oksigen lebih banyak yang akan meningkatkan peluang terjadinya oksidasi senyawa fenolik (Shahidi dan Naczk 2004). Menurut Marostica et al. (2010) beberapa komponen fenol bersifat termosensitif dan semakin tinggi suhu ekstraksi maka harus ditangani dengan hati-hati. Menurut Pardo et al. (2010) procyanidin yang merupakan salah satu komponen fenol, banyak terdegradasi pada pemanasan dengan suhu 98oC selama 90 menit dan suhu 120oC selama 20 menit. Fenol teroksidasi menghasilkan produk hasil oksidasi berupa p-benzokuinon, asam dikarboksilat, dan karbondioksida. (Volgina et al. 2005). Geldenhuys (2009) mengukur dan membandingkan total fenol pada wine belum teroksidasi dan wine yang sudah teroksidasi (telah diberi penambahan oksigen) dengan metode folin- ciocalteau. Hasil penelitian tersebut memberikan informasi bahwa kandungan fenol pada wine yang diberi penambahan oksigen mengalami penurunan walaupun tidak signifikan. Telah diketahui bahwa pada pengukuran total fenol dengan metode folin ciocalteau, fosfotungstat-fosfomolibdat tereduksi oleh gugus OH pada senyawa fenol menghasilkan molibdenum-tungsten. Produk fenol teroksidasi telah kehilangan atom hidrogen sehingga sebagian dari fosfotungtat-fosfomolibdat tidak dapat tereduksi sehingga mengurangi intensitas warna biru yang terukur pada spektrofotometer.

Sudah banyak penelitian yang melaporkan bahwa senyawa polifenol memiliki andil dalam menghambat aktivitas enzim. Gugus OH pada senyawa tersebut diyakini dapat berikatan dengan protein. Haslam et al. (1999) diacu dalam Ali (2002) menyatakan bahwa pembentukan kompleks protein-fenol disebabkan salah satunya oleh adanya ikatan hidrogen antara gugus hidroksil fenolik dengan gugus NH- dan CO- pada protein, selain itu dilaporkan juga adanya ikatan kovalen dan hidrofobik pada reaksi tersebut. Kompleks protein-fenol ada yang bersifat dapat balik maupun tidak dapat balik. Polifenol teroksidasi berinteraksi lebih kuat dengan protein (Siebert 1999 diacu dalam Ali 2002) dan dapat berinteraksi dengan asam amino yang dapat menghambat aktivitas enzim (Millic et al. 1968 diacu dalam Ali 2002).

D.Kadar Tanin

Tannin pada umumnya terdapat pada setiap tanaman yang letak dan jumlahnya berbeda tergantung pada jenis tanaman, umur, dan organ dari tanaman itu sendiri. Pengukuran kadar tanin dilakukan dengan menimbang berat dari endapan ekstrak sampel teh hijau dan membaginya dengan berat dari ekstrak teh itu sendiri (Nugraha, 1999). Tanin merupakan kompleks polifenolik berbobot molekul tinggi yang dihasilkan melalui reaksi polimerisasi senyawa polifenol sedarhana (Rangari 2007).

Pengujian kadar tanin ini hanya dilakukan pada ekstrak awal saja. Nilai kadar tanin pada keenam sampel ekstrak teh hijau dengan suhu penyeduhan 70oC selama 5 menit, 70oC selama 15 menit, 70oC selama 30 menit, 100oC selama 5 menit, 100oC selama 15 menit, dan 100oC selama 30 menit masing-masing sebesar 4.76%, 4.02%, 6.18%, 8.05%, 6.06%, dan 5.58% (Gambar 5). Menurut Atanassova dan Christova (2009) kadar tanin dari ekstrak kering teh hijau adalah sebesar 55.89%. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena perbedaan cara ekstraksi. Mereka mengekstraksi dengan memasukan 3 gram sampel dan 250 mL air destilasi ke dalam volumetric flask selama 4 jam.

19 Keterangan : Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) dengan uji lanjut Duncan

Gambar 5. Kadar tanin pada ekstrak awal teh hijau

Analisis statistik menunjukkan bahwa faktor waktu tidak memengaruhi kadar tanin yang ada pada sampel (p>0.05). Sedangkan faktor suhu dan faktor interaksi suhu dan waktu memengaruhi kadar tanin yang ada pada sampel (p<0.05), untuk itu diperlukan adanya uji lanjut (Lampiran 31). Pada suhu penyeduhan 70oC rata-rata kadar tanin yang dihasilkan adalah 4.99% sedangkan pada suhu 100oC rata-rata kadar taninnya adalah 6.60% (Lampiran 28). Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu 100oC tanin dapat terekstrak lebih baik dibandingkan suhu 70oC. Escribiano dan Santos (2002) menyatakan bahwa semakin tinggi suhu pelarut dapat meningkatkan efisiensi dari proses ekstraksi karena panas dapat meningkatkan permeabilitas dinding sel, meningkatkan kelarutan dan difusi dari senyawa yang diekstrak dan mengurangi viskositas pelarut, namun jika suhu terlalu tinggi dapat mendegradasi senyawa polifenol.

Uji anova menunjukkan bahwa interaksi antara suhu dan waktu penyeduhan memengaruhi kadar tanin (p<0.05) (Lampiran 29). Dapat dilihat bahwa ekstrak teh hijau dengan suhu penyeduhan 70oC selama 5 menit dan 70oC selama 15 menit tidak berbeda nyata, sedangkan sampel ekstrak teh hijau dengan suhu penyeduhan 70oC selama 5 menit, 70oC selama 30 menit, 100oC selama 15 menit, dan 100oC selama 30 menit juga tidak berbeda nyata. Menurut Pardo et al. (2010) banyak terjadi penurunan kadar tanin dari 422 mg CyE/g (cyanidin equivalents/gram berat kering) menjadi 50-70 mg CyE/g (cyanidin equivalents/gram berat kering) karena proses pemanasan dengan suhu 93oC selama 30 menit, suhu 98oC selama 90 menit dan suhu 120oC selama 20 menit. Nilai kadar tanin tertinggi ada pada ekstrak dengan suhu penyeduhan 100oC selama 5 menit dapat dilihat pada Gambar 5.

Kawamoto et al. (1997) membagi mekanisme pembentukan kompleks tanin-protein pada dua tahap, proses pembentukan kompleks awal (initial complexation) dan kemudian dilanjutkan dengan proses pengendapan (precipitation). Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa konsentrasi protein merupakan faktor yang lebih dominan dalam pembentukan tahap pertama yaitu pembentukan kompleks sedangkan suhu, pH, dan kekuatan ionik memengaruhi proses pengendapan. Tanin yang digunakan pada penelitiannya adalah jenis galloylglucose.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 70 C, 5' 70 C, 15' 70 C, 30' 100 C, 5' 100 C, 15' 100 C, 30' 4,755 ab 4,02 a 6,18 b 8,05 c 6,06 b 5,68 b K a d a r T a n in ( % )

20 Kawamoto et al. (1997) melaporkan bahwa pengendapan tanin-protein terlarut terjadi secara maksimal pada pH mendekati titik isoelektrik (pI) protein. Pengendapan maksimum tanin-tripsin dan tanin-lisosim terjadi pada pH lebih dari 8 (pI pepsin: 10.1, pI lisosim: 11.0), tanin-ovalbumin dan tanin-BSA terjadi pada pH 3-5 (pI ovalbumin: 4.6, pI BSA: 4.9), serta pengendapan tanin-pepsin terjadi pada pH 3 (pI pepsin: 1.0) (Hagerman dan Butler 1978 diacu dalam Kawamoto et al. 1997). Enzim alfa amilase pankreas memiliki titik isoelektrik 6.6 (Ferey-Roux et al. 1998) dan enzim alfa glukosidase memiliki titik isoelektrik 5.4 (Siro et al. 1978). Berdasarkan hal tersebut, pembentukan kompleks tanin-protein yang memberikan peluang terjadinya penghambatan aktivitas enzim dapat terjadi secara optimal pada sekitar pH lingkungan yang mendekati titik isoelektriknya. Ekstrak awal memiliki pH yang mendekati titik isoelektrik kedua enzim tersebut, yaitu 5.42-5.66.

E.Inhibisi Enzim Alfa-amilase

Hasil uji nilai inhibisi enzim alfa-amilase terhadap ekstrak teh hijau pada sampel dengan suhu penyeduhan 70oC selama 5 menit, 70oC selama 15 menit, 70oC selama 30 menit, 100oC selama 5 menit, 100oC selama 15 menit, dan 100oC selama 30 menit masing-masing memberikan nilai 65.15%, 58.44%, 63.26%, 89.28%, 86.90%, dan 53.54% untuk pH awal, sedangkan untuk pH setelah melalui proses pencernaan (pH 6.8) memberikan nilai sekitar 46.75%, 39.39%, 43.85%, 56.35%, 47.70%, dan 15.08%. Adapun nilai dari inhibisi enzim alfa-amilase pada pH awal ekstrak dan pada pH 6.8 ekstrak, dapat dilihat pada gambar 6. Menurut Qiang et al. (2006) teh hijau memiliki daya inhibisi enzim alfa- amilase sebesar 61%. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena perbedaan cara ekstraksi dan metode yang dilakukan. Qiang et al (2006) merefluks teh dengan air dan kemudian dipekatkan dengan rotary evaporator dan dilakukan penambahan kloroform untuk menghilangkan kafein, lipid, dan klorofil.

Keterangan : Huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p <0,05) dengan uji lanjut Duncan. Gambar 6. Nilai inhibisi enzim alfa-amilase dari ekstrak pH awal dan ekstrak pH 6,8.

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% 70 C, 5' 70 C, 15' 70 C, 30' 100C, 5' 100C, 15' 100C, 30' acar bose 65,15 ab 58,44 a 63,26 a 89,28 c 86,90 bc 53,54 a 99,12 c 46,75 qr 39,39 q 43,65 qr 56,35 r 47,70 qr 15,08 p 85,19 s d a y a in h ib is i α -a m ila se ( % ) perlakuan

21

1.

Inhibisi Enzim Alfa-Amilase Dari Ekstrak Awal Teh Hijau

Berdasarkan uji statisitika ekstrak teh hijau pada pH awal menunjukkan bahwa suhu dan waktu penyeduhan tidak berpengaruh terhadap nilai inhibisi enzim alfa-amilase ekstrak teh hijau pada (p> 0,05) (Lampiran 6). Sedangkan untuk faktor kombinasi interaksi antara suhu dan waktu memberikan hasil bahwa faktor tersebut berpengaruh terhadap nilai inhibisi enzim alfa-amilase pada (p < 0,05), sehingga diperlukan adanya uji lanjut.

Pada uji lanjut Duncan didapatkan hasil bahwa terdapat dua sampel yang nilai inhibisinya tidak berbeda nyata dengan acarbose sebagai kontrol positif pada (p < 0,05) (Lampiran 8). Kedua sampel tersebut adalah sampel teh hijau dengan suhu penyeduhan 100oC selama 5 menit dan sampel teh hijau dengan suhu penyeduhan 100oC selama 15 menit. Kedua sampel ini mempunyai nilai inhibisi sebesar 89.28% dan 86.90%. Kedua sampel tersebut mempunyai nilai inhibisi yang setara dengan nilai inhibisi acarbose yang sebesar 99.12% (Lampiran 8). Hal tersebut dapat diartikan bahwa kedua sampel dengan perlakuan tersebut menunjukkan interaksi antara suhu dan waktu terbaik, sehingga komponen bioaktif tersebut dapat terekstrak dan dapat bekerja dengan baik sehingga nilai dari inhibisi kedua tersebut setara dengan acarbose sebagai kontrol positif. Sedangkan untuk keempat sampel lainnya, yaitu sampel dengan kombinasi suhu penyeduhan 70oC selama 5 menit, 70oC selama 15 menit, 70oC selama 30 menit, dan 100oC selama 30 menit didapatkan bahwa nilai inhibisinya lebih rendah jika dibandingkan dengan acarbose sebagai kontrol positif. Hal ini diperkirakan karena pada kondisi suhu penyeduhan 70oC diduga senyawa bioaktif yang mampu menghambat enzim alfa-amilase belum banyak terekstrak, sedangkan pada kondisi suhu penyeduhan 100oC dan kondisi lama waktu penyeduhan yang mencapai waktu 30 menit akan menyebabkan komponen bioaktif yang diduga dapat menghambat kerja dari enzim alfa-amilase terlalu lama terekpos oleh panas sehingga komponen tersebut teroksidasi dan menyebabkan terjadi kerusakan pada komponen itu dan akan menurunkan nilai inhibisi dari enzim alfa-amilase. Selain itu, mungkin saja pada kombinasi suhu dan waktu tersebut ada senyawa bioaktif jenis lain yang terekstrak yang memiliki kemampuan inhibisi enzim alfa amilase yang rendah yang memengaruhi nilai inhibisi secara keseluruhan karena senyawa bioaktif terekstrak pada waktu dan kondisi yang berbeda-beda.

Tadera et al. (2006) menemukan bahwa senyawa flavonoid yang memiliki potensi dalam menghambat enzim porcine pancreatic amylase adalah senyawa luteolin, myricetin dan quersetin. Teh hijau yang telah diseduh mengandung luteoin, myricetin dan quersetin masing-masing sebesar 0.17, 1.10, dan 2.69 mg/100 g (United States Departement of Agriculture 2003).

2.

Inhibisi Enzim Alfa-Amilase dari Ekstrak Teh Hijau setelah melalui

simulasi sistem pencernaan

Analisis statistik menunjukkan bahwa faktor suhu tidak berpengaruh terhadap nilai inhibisi alfa-amilase (p >0,05) pada pH 6.8 (setelah melalui proses pencernaan secara in vitro) ekstrak teh hijau (Lampiran 9). Namun, faktor waktu berpengaruh terhadap nilai inhibisi enzim alfa-amilase (p < 0,05) pada pH 6.8 ekstrak teh hijau.

Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa waktu penyeduhan selama 30 menit memberikan nilai inhibisi yang berb1eda dengan lama waktu penyeduhan 5 menit dan 15 menit pada (p <0,05). Sedangkan lamanya waktu penyeduhan 5 menit dan 15 menit tidak memberikan hasil yang berbeda nyata, seperti yang dapat dilihat pada Lampiran 10. Pada waktu penyeduhan selama 5 menit memberikan nilai inhibisi terhadap enzim alfa-amilase tertinggi yaitu 51.55%, namun hal ini tidak berbeda nyata dengan nilai inhibisi dari waktu penyeduhan selama 15 menit yaitu sebesar 43.54% (p <0,05). Sedangkan waktu penyeduhan selama 30 menit memberikan nilai inhibisi

22 terkecil yaitu 29,37%. Berdasarkan hasil tersebut, dapat diketahui bahwa komponen bioaktif sangat beragam sehingga waktu pengekstrakannya pun berbeda-beda. Hal ini mungkin terjadi karena senyawa bioaktif yang diduga mempunyai sifat dalam menghambat kerja dari enzim alfa- amilase dapat terekstrak dengan baik pada lama waktu penyeduhan 5 menit, namun pada waktu penyeduhan selama 15 menit dan 30 menit komponen bioaktif ini diduga mengalami kerusakan karena teroksidasi. Pada waktu penyeduhan 30 menit nilai inhibisinya pun telah jauh berkurang dibandingkan di awal waktu penyeduhan.

Interaksi antara suhu dan waktu ekstrak teh hijau pada pH 6.8 berpengaruh terhadap nilai inhibisi enzim alfa-amilase pada uji ANOVA (p<0.05 ) (Lampiran 11), untuk itu perlu digunakan uji lanjut Duncan. Berdasarkan Lampiran 12 menunjukkan bahwa keenam sampel ekstrak teh hijau mempunyai nilai yang berbeda nyata dengan acarbose sebagai kontrol positif. Hal ini menunjukkan bahwa dari keenam sampel dengan interaksi antara suhu dan waktu masing-masing, tidak ada satu pun sampel yang dapat menyamai nilai inhibisi acarbose sebagai kontrol positif. Namun dapat dilihat bahwa terdapat empat sampel yang tidak berbeda nyata (p<0.05). Keempat sampel tersebut adalah sampel teh hijau dengan suhu penyeduhan 70oC selama 5 menit, 70oC selama 15 menit, 70oC selama 30 menit, dan sampel dengan suhu penyeduhan 100oC selama 15 menit. Dapat juga dilihat bahwa sampel teh hijau dengan suhu penyeduhan 70oC selama 5 menit, 70oC selama 30 menit, 100oC selama 5 menit, dan sampel dengan suhu penyeduhan 100oC selama 15 menit juga memberikan hasil yang tidak berbeda nyata. Sedangkan sampel dengan suhu penyeduhan 100oC selama 30 menit memberikan nilai terkecil dibandingkan dengan acarbose sebagai kontrol positif. Hal ini disebabkan karena pada suhu 100oC dan dengan 30 menit lamanya waktu pemanasan, menyebabkan komponen bioaktif yang diduga dapat menghambat kerja dari enzim alfa-amilase banyak yang teroksidasi sehingga menyebabkan menurunnya kemampuan inhibisi sampel tersebut.

Pada uji T-test berpasangan menunjukkan bahwa ekstrak sampel pada pH awal dan ekstrak sampel pada pH 6.8 memberikan hasil yang berbeda nyata (p<0.05) (Lampiran 35). Dari data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa, daya hambat enzim alfa-amilase mengalami penurunan setelah melalui proses pencernaan. Hal ini diduga karena senyawa bioaktif yang diduga dapat menghambat kerja dari enzim alfa-amilase cenderung mengalami perubahan struktur dan bersifat tidak stabil saat melewati pH asam. Menurut Peleg et al. (1998), menyatakan bahwa penambahan asam pada kelompok polifenol seperti katekin, asam galat, dan tanin akan meningkatkan rasa sepat atau astringency yang disebabkan oleh pengikatan senyawa fenolik dengan enzim saliva amilase. Bayer et al. (1995) menambahkan bahwa struktur dan fungsi amilase saliva dan amilase pankreas tidak jauh berbeda.

Untuk memilih perlakuan terbaik dari hasil kombinasi antara suhu dan lamanya waktu penyeduhan teh hijau, maka faktor yang diperhatikan adalah nilai inhibisi dari kedua nilai pH, yakni pada pH awal yang menggambarkan nilai inhibisi dari enzim saliva amilase yang ada di dalam mulut dan nilai inhibisi dari pH 6,8 yang menggambarkan nilai inhibisi dari enzim amilase yang ada di dalam usus manusia. Maka dari nilai inhibisi enzim alfa-amilase pada pH awal dan pada pH 6.8 serta dari hasil uji T-test berpasangan maka dapat dilihat bahwa terdapat dua sampel dengan interaksi antara suhu dan waktu terbaik yang memiliki kesetaraan dengan nilai inhibisi dari acarbose sebagai kontrol positif. Kedua sampel tersebut adalah sampel dengan suhu penyeduhan 100oC selama 5 menit dan sampel dengan suhu penyeduhan 100oC selama 15 menit. Kedua sampel tersebut dapat memberikan kombinasi terbaik antara suhu dan waktu dalam hal mengekstrak komponen bioaktif yang sehingga komponen bioaktif tersebut dapat terekstrak dan bekerja dengan baik. Dapat dilihat pula dari kedua sampel terbaik tersebut, memiliki suhu penyeduhan 100oC, hal

23 tersebut dapat menjelaskan bahwa komponen bioaktif yang dapat menghambat kerja dari enzim alfa-amilase diduga adalah komponen fenolik yang tahan terhadap panas dan tidak tahan terhadap perubahan pH simulasi pencernaan manusia. Hal tersebut dikarenakan komponen tersebut masih dapat terekstrak pada suhu penyeduhan 100oC dan masih dapat memberikan nilai inhibisi yang setara dengan acarbose sebagai kontrol positif. Menurut Friedman dan Jurgen (2000) asam klorogenat merupakan komponen yang tahan terhadap pH asam dan panas.

3.

Hubungan Inhibisi Enzim Alfa-Amilase dan Total Fenol

Hubungan antara nilai total fenol dan nilai inhibisi enzim alfa-amilase menunjukkan terdapat korelasi yang signifikan pada taraf (p<0.05) dan memiliki nilai Pearson korelasi sebesar 0.852 (Lampiran 31). Hal ini menunjukkan bahwa korelasi antara nilai total fenol dan nilai inhibisi enzim alfa-amilase yang tinggi. Dapat pula disimpulkan bahwa kandungan total fenol yang ada dalam teh hijau memiliki nilai korelasi yang tinggi dengan daya inhibisi enzim alfa- amilase dan fenol merupakan salah satu komponen bioaktif yang dominan yang dapat menghambat kerja dari enzim alfa-amilase. pembentukan kompleks protein-fenol disebabkan salah satunya oleh adanya ikatan hidrogen antara gugus hidroksil fenolik dengan gugus NH- dan CO- pada protein, selain itu dilaporkan juga adanya ikatan kovalen dan hidrofobik pada reaksi tersebut. Kompleks protein-fenol ada yang bersifat dapat balik maupun tidak dapat balik (Haslam et al. 1999 diacu dalam Ali 2002). Gambar 7 memperlihatkan grafik hubungan total fenol dengan nilai inhibisi alfa-amilase.

Gambar 7. Grafik hubungan total fenol dengan nilai inhibisi enzim alfa-amilase dari ekstrak awal

4.

Hubungan Inhibisi Enzim Alfa-Amilase dan Kadar Tanin

Hubungan antara kadar tanin dan nilai inhibisi enzim alfa-amilase menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan pada taraf (p>0.05) diantara keduanya (Lampiran 33). Maka dapat disimpulkan bahwa tanin bukan merupakan salah satu komponen bioaktif yang dominan yang dapat menghambat kerja dari enzim alfa-amilase dan ada komponen lain yang diduga berperan dalam penghambatan kerja enzim alfa-amilase. Tanin yang dihilangkan dari teh dengan cara pengikatan oleh gelatin akan menghilangkan kemampuannya dalam menghambat

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 10 20 30 40 50 60 n il ai i n h ib is i (% )

total fenol (mg GAE/G) Pearson

correlation : 0,852

24 amilase saliva (Zhang dan Kashket 1998). Menurut Kawamoto et al. (1997), mekanisme pembentukan kompleks protein-tanin terjadi dalam dua tahap yaitu tahap pembentukan kompleks awal (initial complexation) dan dilanjutkan dengan tahap pengendapan (precipitation). Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa konsentrasi protein merupakan faktor dominan dalam pembentukan tahap kompleks awal (initial complexation) sedangkan faktor dominan yang berperan dalam tahap pengendapan (precipitation) adalah faktor suhu, pH, dan kekuatan ionik. Pengendapan tanin-protein terlarut terjadi secara maksimal pada pH mendekati titik isoelektrik protein (Kawamoto et al. 1997) dan enzim alfa-amilase pankreas memiliki titik isoelektrik 6.6 (Ferey-Roux et al. 1998). Untuk melihat hubungan antara kadar tanin dengan nilai inhibisi enzim alfa-amilase dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Grafik hubungan kadar tanin dengan nilai inhibisi enzim alfa-amilase dari ekstrak awal

F.

Inhibisi Enzim Alfa-glukosidase

Enzim α-glukosidase adalah enzim yang mengkatalisasi pemecahan ikatan 1.4 α-glikosida dan ikatan 1.6 α-glikosida. Enzim ini berfungsi untuk melanjutkan kerja α-amilase, yaitu menghidrolisis lanjut α-limit dextrin menjadi glukosa (Berdanier et al. 2006). Berbeda dengan enzim alfa-amilase, pada inhibisi enzim alfa-glukosidase faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan kombinasi antara suhu dan waktu terbaik hanya dilihat berdasarkan nilai inhibisi pada pH 6,8. Hal ini dikarenakan bahwa pada jalur pencernaan tubuh manusia enzim alfa-glukosidase tidak terdapat pada saliva dan enzim ini hanya terdapat pada usus manusia dengan kondisi pH 6,8.

Nilai inhibisi enzim alfa-glukosidase pada penelitian ini berkisar 92.25% - 99.63%. Menurut Wei et al. (2010) daun teh kering yang diekstraksi dengan air mendidih memiliki daya hambat enzim alfa-glukosidase sebesar 86.67%. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan cara ekstraksi. Menurut Wei et al. (2010) ekstraksi dilakukan dengan menyeduh 80 g daun teh kering dalam 800 mL air destilasi dengan suhu 100oC selama 2 jam, lalu disaring dan diekstrak lagi dengan 640 mL air destilasi dengan suhu 100oC selama 2 jam lagi. Adapun nilai dari inhibisi enzim alfa-glukosidase pada pH awal dan pada pH proses pencernaan (pH 6.8) dapat dilihat pada gambar 9.

Dokumen terkait