• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ABORSI DAN KAIDAH ISTINBATH HUKUM

B. KAIDAH ISTINBATH HUKUM ISLAM

Sebagaimana dikehendaki oleh aturan baku dalam ilmu ushul fiqh bahwa setiap akan menetapkan suatu fatwa terlebih dahulu harus merujuk kepada Al-Qur‟an dan Sunah.

Selanjutnya, jika permasalahan yang akan difatwakan hukumnya itu tidak ditemukan dalam kedua sumber hukum itu, perlu diteliti dan diperhatikan apakah mengenainya pernah ada ijma‟ dari ulama terdahulu. Jika ternyata telah terdapat ijma‟, fatwa harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan ijma‟. Hal ini mengingat bahwa ijma‟ memiliki otoritas kuat, bersifat absolut dan berlaku universal. Kemudian, jika tidak terdapat ijma‟, fatwa dikeluarkan setelah melalui proses ijtihad dengan menggunakan perangkat-perangkat

53 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer. 195.

54 Gulardi H. Wiknjosastro, dkk, Aborsi Dalam Persperktif Fiqh Kontemporer (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002), 219. Di Indonesian sendiri Dalam kaitan ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang hukum aborsi sebagai respon pertanyaan masyarakat. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005, tentang Aborsi menetapkan ketentuan hukum Aborsi sebagai berikut; Pertama, Aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu (nidasi). Kedua, Aborsi dibolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun hajat. Darurat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mati atau hampir mati. Sedangkan Hajat adalah suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan maka ia akan mengalami kesulitan besar. Lihat Setiawan Budi Utomo dalam, http://www.dakwatuna.com/2009/10/4181/aborsi-perspektif-syariah.

ijtihad yang memadai serta berpegang pada dalil-dalil hukum lain, seperti qiyas dan sebagainya.

Disamping itu didalam menetapkan suatu fatwa selain merujuk kepada kedua sumber hukum Islam (Al-Qur‟an dan As- sunnah) juga dengan cara merujuk dan mengkaji pendapat dari imam madzhab terdahulu. Pengkajian terhadap pendapat para imam madzhab ini harus dilakukan secara komprehensif, menyeluruh dan seksama. Artinya, jika mengenai masalah yang akan difatwakan terdapat beberapa pendapat, semua pendapat itu harus diperhatikan dan diteliti, kemudian dikaji dalil-dalil yang dikemukakan masing-masing, baru kemudian diputuskan pendapat mana yang akan ditetapkan sebagai fatwa. Pendapat yang diambil sebagai fatwa ini sudah barang tentu harus merupakan pendapat yang dipandang paling kuat dalilnya serta membawa kemaslahatan umat.

“Dalam masalah yang terjadi khilafiyah (perbedaan pendapat) dikalangan madzhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih setelah memperhatikan fiqh muqaran (perbandingan dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh muqaran yang berhubungan dengan pentarjihan”.55

Selanjutnya sebelum memberikan fatwa terlebih dahulu mendengarkan serta memperhatikan keterangan para ahli mengenai bidang yang akan di fatwakan hukumnya. Artinya, jika masalah yang dihadapi merupakan masalah-masalah kontemporer misalnya masalah kedokteran, masalah

ekonomi dan sebagainya, terlebih dahulu harus mendengarkan penjelasan dari para ahlinya sehingga jelas letak permasalahnnya. Setelah itu, barulah dilakukan ijtihad untuk menentukan hukumnya. Dengan cara demikian, diharapkan fatwa yang dikeluarkan mempunyai dasar dan landasan yang benar secara ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam hal ini salah satu metode istinbath hukum yang digunakan dalam menentukan suatu hukum adalah istihsan.

1. Pengertian Istihsan

Istihsan menurut bahasa adalah: menganggap sesuatu itu baik. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqh istihsan ialah berpalingnya seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang jaliy (nyata) kepada tuntutan qiyas yang khafiy (samar), atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum istitsnaiy (pengecualian) karena ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini.

Pada pokoknya istihsan mencakup dua pola: (1) Menguatkan qiyas khafiy (yang tersembunyi) atas qiyas jaliy (nyata) karena ada suatu dalil. (2) Pengecualian kasuistis (juz‟iyyah) dari suatu hukum kulli (umum) dengan adanya suatu dalil.56

2. Rukun Istihsan

Ada beberapa rukun yang harus dipenuhi ketika hendak mengambil hukum dengan jalan istihsan, yaitu;

1) Dalil kulli (dalil umum) atau qiyas jaliy, yaitu dalil yang berlaku sebagai ketentuan umum;

2) Kasus yang belum ada nashnya sebagai far‟ yang mengandung karakter khusus sehingga dalil umum tidak dapat diberlakukan dan membutuhkan hukum yang khusus pula;

3) Alasan hukum yang berupa kemaslahatan yang lebih kuat dari dalil umum atau qiyas jaliy sebagai „illat yang berlaku secara khusus;

4) Al-hukm al-asl atau hukm al-kulliy, yaitu hukum yang ada dalam dalil umum atau hasil qiyas jaliy;

5) Hukm al-far‟i, yaitu hukum yang dihasilkan oleh adanya dalil khusus yang berbeda dengan hukm al-kulliy.

3. Macam-macam Istihsan

Karena dalil yang dikemukakan untuk memindahkan hukum dari ketentuan umumnya itu beragam bentuknya, maka atas dasar ini istihsan dibagi dalam enam kategori, yaitu:57

1. Istihsan bi an-nash, yaitu istihsan yang didasarkan atas nash yang bersifat khusus. Artinya ada hukum yang berlaku berdasarkan ketentuan umum, namun justru ada nash khusus yang membuat perlakuan khusus dalam kasus-kasus tertentu. Contohnya, pada dasarnya setiap muslim

57 Ahmad Hafidh, Meretas Nalar Syariah Konfigurasi Pergulatan Akal Dalam Pengkajian Hukum Islam (Yogyakarta: Teras 2011), hlm. 105-108

wajib menjalankan ibadah puasa pada bulan Ramadlan (QS. Al-Baqarah ayat 183-185). Namun dalam kasus seorang yang karena hal0hal tertentu tidak mampu melaksanakan puasa seperti sakit atau sedang musafir, maka ia mendapat perlakuan khusus yamg juga ada landasan nashnya yaitu QS. Al-Baqarah ayat 184.

2. Istihsan bi al-ijma‟, yaitu istihsan yang didasarkan atas ijma‟ para ulama‟.

3. Istihsan bi al-qiyas al-khafiy, yaitu istihsan yang mendasarkan pengambilan hukumnya atas qiyas khafiy.

4. Istihsan bi al-maslahah, yaitu Istihsan yang mendasarkan pilihan hukumnya atas kemaslahatan. Sebagai contoh adalah peristiwa melihat aurat lawan jenis bagi dokter demi kepentingan medis. Berdasarkan dalil umumnya seseorang diharamkan untuk melihat aurat lawan jenisnya, kecuali ia isteri kepada suami dan sebaliknya, anak kepada orang tua dan sebaliknya, dan golongan lain yang diperkenankan menurut syara‟. Namun dalam kebutuhan medis untuk melakukan operasi atau pertolongan persalinan, seorang dokter diperkenankan untuk melihat aurat lawan jenisnya karena untuk kemaslahatan pasien.

5. Istihsan bi al-„Urf, yaitu istihsan yang didasarkan atas kebiasaan („urf) masyarakat.

6. Istihsan bi al-Darurah, yaitu Istihsan dengan mendasarkan pilihan hukumnya atas pertimbangan darurat.

Darurat secara bahasa bermakna keperluan yang sangat mendesak atau teramat dibutuhkan. Yang dimaksud darurat dalam kaidah ini adalah seseorang apabila tidak melakukan hal tersebut maka ia akan binasa atau hampir binasa. Contohnya, kebutuhan makan demi kelangsungan hidup di saat ia sangat kelaparan.

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam rahimahullah mendefinisikan makna darurat sebagai uzur yang menyebabkan bolehnya melakukan suatu perkara yang terlarang.58

Sedangkan mahzhurat adalah hal-hal yang dilarang atau diharamkan oleh syariat Islam. Mahzhurat mencakup segala hal terlarang yang berasal dari seseorang, baik berupa ucapan yang diharamkan semisal ghibah, adu domba, dan sejenisnya, atau berupa amalan hati seperti dengki, hasud, dan semisalnya, atau juga berupa perbuatan lahir semacam mencuri, berzina, minum khamr, dan sebagainya.59

4. Kehujjahan Istihsan

Dari definisi istihsan dan penjelasan terhadap kedua macamnya jelaslah bahwasanya pada hakekatnya istihsan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum istihsan bentuk yang pertama berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa faktor yang memenangkannya yang

58 Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. 1416 H. Taudhih Ahkam fi Bulugh al-Maram. Dar al-Qiblah li ats-Tsaqafah al-Islamiyah: Jeddah – KSA. Cetakan ke-1. Jilid ke-1. Halaman 80

59 Lihat As-Sadlan, Shalih bin Ghanim. 1418 H. Al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra‟a „Anha. Dar Balnasiyah: Riyadh – KSA. Cetakan ke-1. Halaman 256

membuat tenang hati mujtahid. Sedangkan bentuk yang kedua dari istihsan ialah bahwa dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum).60

Mereka yang mempergunakan hujjah berupa istihsan, mereka ini kebanyakan dari ulama Hanafiyyah, maka dalil mereka terhadap kehujjahannya ialah: bahwasanya beristidlal dengan istihsan merupakan istidlal dengan dasar qiyas yang nyata, atau ia merupakan pentarjihan suatu qiyas atas qiyas yang kontradiksi dengannya, dengan adanya dalil yang menuntut pentarjihan ini, atau ia merupakan istidlal dengan kemaslahatan mursalah (umum) berdasarkan pengecualian kasuistis dari hukum yang kulli (umum). Semuanya ini merupakan istidlal yang shahih.61

Dokumen terkait