• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kaitan Antara Kondisi Geografis Dengan Keadaan Penduduknya

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.3. Kondisi Alam (Geografis) Yang Mempengaruhi Kehidupan

2.3.2. Kaitan Antara Kondisi Geografis Dengan Keadaan Penduduknya

Kondisi geografis suatu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya, kondisi geografis mempengaruhi kondisi sosial ekonomi penduduk wilayah tertentu. Oleh sebab itu manusia dengan segala kecerdasan dan kemauannya berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan geografisnya atau berupaya mengubah kondisi

24

lingkungan tersebut sesuai dengan kepentingannya. Adanya keragaman kondisi geografis tiap wilayah memunculkan corak mata pencaharian, pola-pola pemukiman, tradisi, adat-istiadat, dan aspek kehidupan sosial lainnya. 2013, pukul 10:37 WIB).

2.4.Kemiskinan Nelayan.

Menurut Imron (dalam Indra Fitri 2012:20), kemiskinan adalah suatu konsep yang cair, serba tidak pasti dan bersifat multidimensional. Disebut cair karena kemiskinan dapat bermakna subjektif, tetapi juga bermakna objektif. Secara objektif bisa saja masyarakat tidak dikatakan miskin karena pendapatannya sudah berada diatas batas garis kemiskinan, yang menurut ahli diukur menurut standar kebutuhan pokok berdasarkan atas kebutuhan beras dan gizi. Akan tetapi apa yang tampak secara objektif tidak miskin itu, bisa saja dirasakan sebagai kemiskinan oleh pelakunya karena adanya perasaan tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonominya, atau bahkan membandingkan dengan kondisi yang dialami oleh orang lain yang pendapatannya lebih tinggi dari dirinya (Mulyadi 2005: 47).

Terdapat begitu beragam pengertian yang dikemukakan oleh para ahli tentang kemiskinan. Pada dasarnya kemiskinan merujuk pada suatu kondisi kekurangan harta benda materi atau pemenuhan kebutuhan dalam rangka mempertahankan atau meningkatkan kesejahteraan hidup, suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Menurut Suparlan (dalam Indra Fitri 2012:21),

34

tingkat kesejahteraan hidup yang rendah dapat secara langsung tampak pengaruhnya terhadap:

1. Tingkat pemenuhan kebutuhan primer seperti kesehatan, makanan yang dikonsumsi, pakaian yang disandang, kondisi rumah yang dihuni, dan kondisi pemukiman tempat tinggal.

2. Tingkat atau bentuk pemenuhan kebutuhan sekunder untuk mengembangkan diri dalam kehidupan sosial yang lebih luas, yang mampu memperjuangkan kepentingan sesama orang miskin untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. 3. Secara tidak langsung tampak dalam kehidupan moral, etika, dan estetika,

yang digunakan oleh mereka yang hidup dalam kondisi miskin sebagai pedoman hidup, harapan dan harga diri yang mereka punya sebagaimana tercermin dalam sikap-sikap dan tindakan mereka (Tjeptjep 2000: 25).

Pada masyarakat yang heterogen, faktor-faktor penyebab kemiskinan juga beragam. Terdapat lima masalah pokok yang terkait penyebab kemiskinan masyarakat nelayan yaitu:

1. Kondisi alam. Kompleksnya permasalahan kemiskinan masyarakat nelayan terjadi karena masyarakat nelayan hidup dalam kondisi suasana alam yang keras yang selalu diliputi ketidakpastian dalam menjalankan usahanya.

2. Tingkat pendidikan nelayan. Nelayan yang miskin umumnya belum benyak tersentuh teknologi modern, kualitas sumber daya manusia rendah, dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah.

3. Pola kehidupan nelayan. Pola hidup konsumtif menjadi masalah laten pada masyarakat nelayan, dimana pada saat penghasilan banyak tidak ditabung untuk persiapan paceklik, melainkan dijadikan kesempatan untuk membeli kebutuhan sekunder.

4. Pemasaran hasil tangkapan. Tidak semua daerah pesisir memiliki Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal tersebut membuat para nelayan terpaksa untuk menjual hasil tangkapan mereka kepada tengkulak dengan harga dibawah harga pasar.

5. Program pemerintah yang belum memihak pada nelayan. Kebijakan pemerintah yang tidak memihak masyarakat miskin, banyak kebijakan terkait penanggulangan kemiskinan bersipat top down dan selalu menjadikan masyarakat sebagai objek, bukan subjek. Kebijakan yang pro nelayan mutlak diperlukan yakni sebuah kebijakan sosial yang akan mensejahterakan masyarakat dan kehidupan para nelayan.

Menurut Raymond Firth (dalam Indra Fitri 2012:22), kemiskinan nelayan paling tidak dicirikan oleh lima karakteristik. Pertama pendapatan nelayan bersifat harian dan jumlahnya sulit ditentukan, selain itu pendapatannya juga sangat bergantung dengan musim dan status nelayan itu sendiri, dalam arti dia sebagai juragan (nelayan pemilik alat produksi) atau nelayan pekerja. Dengan pendapatan yang bersifat harian, tidak dapat ditentukan, dan sangat tergantung pada musim, mereka (khususnya nelayan pekerja) sangat sulit dalam merencanakan penggunaan

36

pendapatannya, keadaan demikian mendorong nelayan untuk membelanjakan uangnya segera setelah mendapatkan penghasilan. Implikasinya, nelayan sulit untuk mengakumulasikan modal atau menabung. Pendapatan yang mereka peroleh pada musim penangkapan ikan habis digunakan untuk menutupi kebutuhan keluarga sehari-hari bahkan sering tidak menutupi kebutuhan tersebut.

Kedua, dilihat dari pendidikannya, tingkat pendidikan nelayan atau anak-anak nelayan pada umumnya rendah. Kondisi demikian akan mempersulit mereka dalam memilih atau memperoleh pekerjaan lain, selain meneruskan pekerjaan orang tuanya sebagai nelayan. Ketiga, dibandingkan dengan sifat produk yang dihasilkan nelayan lebih banyak berhubungan dengan ekonomi tukar-menukar karena produk tersebut merupakan bukan makanan pokok. Selain itu, sifat produk yang mudah rusak atau baru harus segera dipasarkan, menimbulkan ketergantungan yang besar bagi nelayan kepada pedagang. Hal ini menyebabkan harga ikan dari nelayan dikuasai oleh pedagang. Keempat, bidang perikanan membutuhkan investasi yang cukup besar dan cenderung mengandung resiko yang besar jika dibandingkan dengan sektor usaha lainnya. Oleh karena itu, nelayan cenderung menggunakan armada dan peralatan tangkap yang sederhana ataupun hanya menjadi anak buah kapal (ABK). Kelima,

kehidupan nelayan yang miskin diliputi oleh kerentanan, misalnya ditunjukkan oleh terbatasnya anggota keluarga yang secara langsung dapat ikut dalam kegiatan produksi dan ketergantungan nelayan yang sangat besar pada suatu mata pencaharian, yaitu menangkap ikan. Keluarga nelayan memiliki kebiasaan tidak mengikutsertakan perempuan dan anak-anak dalam penangkapan ikan.

28

Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut (Soekanto, 2006). Sedangkan menurut Depsos, kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada dibawah garis standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poperty line). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan serta 2.100 kilo per kalori per orang setiap harinya dan kebutuhan non makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan non makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (Suharto, 2005).

Pada dasarnya kemiskinan terbagi kedalam berbagai ciri atau SMERU memberikan identifikasi kemiskinan (Suharto, 2005), sebagai berikut:

1. Ketidakmampuan memenuhi konsumsi dasar (pangan, sandang, dan papan). 2. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan,

pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).

3. Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).

4. Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat.

5. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.

6. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental. 7. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun missal. 8. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya

alam.

9. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).

Kriteria untuk Rumah Tangga Miskin untuk daerah Kabupaten Serdang Bedagai berdasarkan data Badan Meteorologi Klimatoligi dan Geofisika (BMKG) terdapat 14 kriteria untuk mengukur tingkat kemiskinan sebuah keluarga, yaitu:

38

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.

2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan. 3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu, rumbia, kayu berkualitas

rendah atau tembok tanpa diplester.

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar atau bersama-sama dengan rumah tangga lain.

5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

6. Sumber air minum berasal dari sumber atau mata air tidak terlindungi/sungai/air hujan.

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar, arang, atau minyak tanah.

8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu. 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.

10.Hanya sanggup makan sebanyak satu atau dua kali dalam sehari.

11.Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas atau poliklinik. 12.Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5

Ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp.600.000 per bulan.

13.Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.

14.Tidak memiliki tabungan atau barang yang mudah dijual dengan harga senilai Rp.500.000, seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

30

Melalui kriteria kemiskinan tersebut masih banyak keluarga di Indonesia yang masuk kategori dibawah garis kemiskinan, keluarga pra sejahtera, keluarga miskin dan sebutan lainnya, dan kemiskinan dominan dirasakan oleh masyarakat yang berdomisili di daerah pesisir atau masyarakat yang bermatapencaharian utamanya sebagai nelayan tradisional.

Dokumen terkait