• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERAN KEARIFAN LOKAL SASI BAGI

D. Kaitan Kearifan Lokal Sasi dengan Kelestarian

Maluku disebut dengan Seribu Pulau karena secara geografis Maluku memiliki 812 pulau yang terdiri dari pulau kecil dengan luas laut 92,4% dan luas darat 7,5% dari total luas wilayah Maluku. Dari total luas tersebut, makan luas laut Maluku sekitar 12 kali luas daratannya. Indonesia memang kaya akan sumber daya alamnya, namun pulau-pulau kecil di Maluku memiliki sumber daya alam yang jauh lebih terbatas untuk digunakan sebagai sumber kehidupan masyarakat di Maluku.

Rumah Bibit sebagai upaya pelestarian lingkungan alam. (Foto: Dok. Puslitbangbud)

Kondisi fisik Maluku memang sangat berbeda dengan kondisi fisik di wilayah lainnya. Kepulauan Maluku terdiri atas pulau-pulau vulkanis dan rangkaian terumbu karang yang tersebar di sepanjang lautan dalam di dunia, bahkan Maluku tidak memiliki pulau besar seperti Pulau Jawa dan Sumatera.

Kita bisa bayangkan bagaimana luasnya lautan di Maluku daripada pulau-pulau kecil yang tersebar di Maluku. Setiap wilayah memiliki hukum dan adat istiadatnya tersendiri, semua itu digunakan untuk menjaga kestabilan wilayahnya termasuk menjaga keselarasan alam. Hal ini juga berlaku di masyarakat Maluku. Adat istiadat menjadi salah satu cara yang digunakan masyarakat untuk menjaga keseimbangan ekologi. Kondisi sumber daya alam yang terbatas membuat masyarakat Maluku harus sebisa mungkin menjaga sumber daya alam mereka agar tetap seimbang. Salah satunya dengan hukum adat sasi. Sasi inilah yang digunakan oleh masyarakat Maluku untuk menjaga laut, hutan dan alam sekitarnya.

Di Maluku terdapat banyak kepercayaan bahwa manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah, secara umum kepercayaan ini juga terdapat di berbagai suku bangsa di Indonesia, bahkan suku bangsa di dunia. Namun, masyarakat Maluku juga banyak memiliki kepercayaan bahwa tumbuhan dan binatang mempunyai arti spritual yang sangat penting, nenek moyang mereka sangat dipercayai memberikan banyak pengaruh dalam kehidupan masyarakat Maluku.

Hubungan antara kepercayaan masyarakat dan pengertian mengenai kondisi ekologi lingkungan mereka dapat ditunjukkan melalui pengetahuan yang mereka pelihara secara turun temurun. Hutterer dan Ramboo menyimpulkan bahwa alih pengetahuan dari generasi ke

generasi tersebut meliputi “pengaturan dan perilaku tetumbuhan dan

binatang yang dianggap sebagai asal usul manusia, yang perlu mereka pelihara, susunan geografi tempat tinggal mereka dan ruang gerak mereka, tata cara pengaturan ruang sosial dan peranan setiap individu tertentu di dalam ruang sosial ini dan aturan tentang perilaku yang dianggap tepat untuk mengkaitanya dengan aspek-aspek lingkungan

Perairan Maluku, wilayah Seribu Pulau. (Foto: Dok. Puslitbangbud)

Maluku tidak hanya dikenal dengan Seribu Pulau, namun Maluku juga dikenal sebagai provinsi penghasil rempah-rempah, meskipun nilai ekspor rempah-rempah dilampaui oleh hasil perikanan, kehutanan, dan pertambangan. Bicara tentang pertambangan, hasil tambang memang menjadi komoditi yang dapat dijumpai di daratan maupun lautan. Contohnya, minyak bumi di Bula telah dieksploitasi, Pulau Seram dengan produksi 900 barel per harinya, kemudian ada nikel di Pulau Gebe dengan produksi 500 ribu ton per tahun, mangan di Pulau Doi, Halmahera dengan produksi 10.000 ton per tahun, belerang di Pulau Damar dengan produksi sebanyak 2.000 ton per tahun, tembaga di Pulau Bacan dengan produksi 100 juta ton per tahun, asbes di Pulau Halmahera, dan batu perhiasan di Pulau Bacan.

Hasil tambang ini pula yang membuat pihak-pihak tertentu berusaha untuk menguasai dan mengekploitasi sumber daya alam di Maluku, pada intinya hasil tambang ini pula yang menjadi nilai plus

bagi provinsi Seribu Pulau ini. Masyarakat Maluku memang telah memberlakukan sasi sebagai upaya menjaga sumber daya alam yang tersedia di laut, namun kekayaan sumber daya alam di Maluku tidak hanya masalah laut saja, namun juga sumber daya alam yang ada di darat dan udara sudah pasti menjadi sumber daya alam yang perlu dijaga. Upaya kawasan konservasi merupakan salah satu cara untuk melindungi flora dan fauna yang berada di Maluku, karena keberadaan flora dan fauna tersebut dapat menjadi sumber daya alam langka jika pemerintah lalai dalam menjamin keamanan penjagaan sumber daya alam dari pihak-pihak tidak bertanggung jawab.

Menyadari keterbatasan sumber daya alam, dan mengingat jumlah penduduk yang makin meningkat, para tetua adat dan masyarakat di masa lampau kemudian mencarikan aturan-aturan atau seperangkat pranata adat yang bertujuan untuk menjaga keberlangsungan sumber daya alam tersebut. Maka diciptakanlah kearifan lokal yang disebut sasi itu, yang dalam pelaksanaannya merupakan pelarangan-pelarangan atau pembatasan dalam konsumsi sumberdaya alam, baik di laut maupun darat (hutan dan kebun).

Manusia hendaknya tidak boleh rakus dalam mengambil sumberdaya alam, tidak boleh diambil sampai habis. Seperti tatacara mengambil daun sagu atau rumbia, sekali ambil satu pohon hanya tiga, harus disisakan agar pohon tersebut masih bisa meneruskan hidupnya. Demikian pula tata cara dalam penambilan ikan lompa. Aturan-aturan sasi yang ada dimaksudkan agar komunitas ikan lompa tidak berkurang saat bibit-bibit ikan sedang proses pembesaran. Manusia tidak boleh mengganggu apalagi menangkap ketika ikan-ikan tersebut belum siap ditangkap.

Sasi Aman Haru-ukui atau sasi Negeri Haruku adalah kearifan adat di Haruku yang berfungsi sebagai fungsi hukum adat terkait pengelolaan sumberdaya alam. Dalam arti harfiahnya sasi adalah larangan, sasi dapat pula diartikan sebagai larangan mengambil sumberdaya alam sampai pada jangka waktu yang di tentukan. Di

Negeri Haruku, sasi dibagi menjadi empat yaitu Sasi Laut, Sasi Kali, Sasi Hutan Sasi dalam Negeri. Sasi lain yang menarik minat khusus, karena keunikannya telah mendapat perhatian dunia akademik dan internasional adalah sasi lompa (prosesi adat mulai dari tutup sasi, hingga buka sasi), adapun sasi lompa merupakan perpaduan antara sasi laut dan sasi kali dimana ikan laut dipanggil masuk ke dalam kali dengan upacara adat kemudian di panen di kali.

Contoh fungsi hukum adat pada sasi laut misalnya, kelompok masyarakat yang ingin melindungi jenis ikan tertentu maka akan dipasangi tanda sasi. Dalam waktu tertentu, tiga bulan, enam bulan atau satu tahun kawasan laut yang sedang disasi diberi tanda, itu berarti bahwa disana dilarang mengambil ikan. Demikian juga fungsi hukum adat pada sasi hutan, masyarakat dilarang mengambil hasil hutan seperti kelapa, kenari, pinang, cempedak dalam waktu tertentu. Jika dilanggar maka akan dikenakan sanksi moral dan sanksi material berupa uang untuk orang dewasa sedangkan untuk anak-anak hanya dipukul dengan rotan yang berlaku untuk semua pelanggar sasi. Sementara fungsi hukum adat pada sasi dalam negeri di Haruku lebih mengutamakan pada soal etika, misalnya laki-laki dilarang bersarung diluar rumah pada siang hari kecuali sakit, ada juga perempuan dilarang berjalan memakai kain sebatas dada pada waktu pulang mandi atau mencuci di dalam kampung. Biasanya sasi berlaku dalam hitungan jangka waktu tertentu, yakni selama tiga bulan, enam bulan, bahkan tahunan. Pemangku adat atau Kewang juga berfungsi untuk menimbang perlu tidaknya memperpanjang waktu sasi, sekali dalam seminggu di adakan persidangan adat, saat sasi di buka maka masyarakat adat beramai-ramai mengambilnya dengan penuh suka-cita dan damai. Berbagai macam bentuk sasi tersebut bermuara pada satu hal, yakni kearifan manusia terhadap alamnya agar tetap lestari.

Masyarakat Haruku menjaga kelestarian alam dan keseimbangan ekologi dengan pranata adat. (Foto: Dok. Puslitbangbud)

Dampak perubahan iklim secara tidak langsung telah mengganggu pola buka tutup Sasi lompa Negeri Haruku, dimana dampak perubahan iklim membuat muara sungai menjadi tertutup. Akibat pengikisan air laut terhadap daratan pemukiman selama 5 tahun terakhir ini, telah terjadi degradasi pesisir pantai akibat gelombang besar.

Dokumen terkait