BAB II KAJIAN PUSTAKA
C. Kaitan Kebiasaan, Karakter, dan Kecerdasan Seseorang
Secara umum, kecerdasan dibagi menjadi tiga jenis yaitu, kecerdasan
intelektual (Inteligent Quotient / IQ), kecerdasan emosional (Emotional Quotient/ EQ), dan kecerdasan spritual (Spiritual Quotient/ SQ). Kecerdasan intelektual atau Intelegent Quotient (IQ) merupakan bentuk kemampuan
individu untuk berfikir, mengolah, dan menguasai lingkungannya secara
maksimal serta bertindak secara terarah. Kecerdasan Intelektual berperan
dalam pemecahan masalah secara logika. Kecerdasan emosional atau
Emotional Quotient (EQ) merupakan kemampuan untuk mengenali, mengendalikan, dan menata perasaan sendiri dan perasaan orang lain secara
mendalam sehingga kehadirannya menyenangkan dan didambakan orang lain.
Kecerdasan ini berperan dalam pemberian kesadaran kepada seseorang
mengenai perasaan milik diri sendiri dan juga perasaan milik orang lain,
memberi rasa empati, cinta, motivasi, dan kemampuan untuk menanggapi
kesedihan atau kegembiraan secara tepat. Kecerdasan spiritual atau Spiritual Quotient (SQ) merupakan sumber yang mengilhami seseorang dengan mengikatkan diri pada nilai-nilai kebenaran tanpa batas waktu. Kesadaran ini
berperan pada diri seseorang dalam membedakan baik dan buruk, benar dan
salah, dan pemahaman terhadap standar moral.
Berdasarkan kajian artikel, secara spesifik, untuk mencapai tujuan
menghasilkan manusia yang utuh. Berbagai hasil kajian dan pengalaman
menunjukkan bahwa pembelajaran komponen emosional lebih penting
daripada intelektual. Jika kualitas pendidikan diharapkan tercapai secara
optimal, perlu diupayakan bagaimana membina peserta didik untuk memiliki
kecerdasan emosi yang stabil sebagai penyeimbang dari intelegensi yang ada.
Sebab, melalui kecerdasan emosional peserta didik dapat memahami diri dan
lingkungannya secara tepat, memiliki rasa percaya diri, tidak mudah putus
asa, dan dapat membentuk karakter peserta didik secara positif.
(http://makassar.tribunnews.com)
Dari kajian diatas, kemampuan emosional seseorang menjadi
pendorong kebiasaan peserta didik dalam menentukan sikapnya terhadap
masalah yang dihadapi dalam mengembangkan kecerdasan intelektualnya.
Menurut Stephen R. Covey (The 7 Habits of Highly Effective People), ada tujuh kebiasaan manusia yang sangat efektif. Kebiasaan-kebiasaan itu adalah:
1. Kebiasaan 1: Proaktif(Be Proactive)
Proaktif adalah tentang bagaimana mengambil tanggung jawab
bagi hidup seseorang. Orang-orang proaktif mengakui bahwa mereka ada
karena dirinya sendiri. Mereka mengakui bahwa mereka tidak bisa terus
menerus menyalahkan semuanya pada genetika, situasi, kondisi, atau
pengkondisian untuk perilaku mereka. Mereka paham bahwa mereka yang
Kebalikan dari proaktif adalah reaktif. Orang reaktif adalah orang
yang sering dipengaruhi oleh lingkungan fisik mereka. Mereka cenderung
menyalahkan hal-hal eksternal untuk disalahkan atas perilaku mereka.
Segala sesuatu yang terjadi pada orang tersebut tergantung pada keadaan
di luar mereka. Semua kekuatan eksternal seolah-olah sebagai stimulus
yang menentukan keadaan orang reaktif ini.
Setiap orang memiliki kebebasan untuk menentukan respon. Salah
satu hal penting yang dapat dipilih adalah apa yang seseorang katakan.
Bahasa seseorang adalah indikator yang menggambarkan bagaimana diri
seseorang tersebut. Orang proaktif memfokuskan waktu dan energi pada
hal-hal yang dapat mereka kontrol.
2. Kebiasaan 2: Memulai dengan Tujuan Akhir(Begin with the End in Mind)
Kebiasaan 2 didasarkan pada imajinasi atau kemampuan untuk
membayangkan dalam pikiran seseorang apa yang tidak bisa dilihat dengan
mata saat ini. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa segala sesuatu
diciptakan dua kali. Ada mental (pertama) penciptaan, dan fisik (kedua)
penciptaan. Penciptaan fisik mengikuti mental, seperti bangunan mengikuti
cetak biru.
Jika seseorang tidak membuat usaha sadar untuk memvisualisasikan
seseorang memberdayakan orang lain dan keadaan untuk membentuk
seseorang dan kehidupannya tanpa keputusan. Ini tentang menghubungkan
kembali dengan keunikan seseorang itu sendiri dan kemudian
mendefinisikan pedoman pribadi, moral, dan etika di mana seseorang dapat
paling bahagia mengekspresikan dan memenuhi diri sendiri.
Memulai dengan tujuan akhir berarti untuk memulai setiap hari
baru, tugas, atau proyek dengan visi yang jelas tentang arah yang seseorang
inginkan dan tuju, dan kemudian dilanjutkan dengan meregangkan
otot-otot proaktif seseorang untuk membuat sesuatu terjadi.
Salah satu cara terbaik untuk memasukkan Kebiasaan 2 ke dalam
hidup seseorang adalah dengan mengembangkan misi pribadi (Personal Mission Statement). Ini berfokus pada apa yang seseorang ingin wujudkan dan lakukan. Ini adalah rencana seseorang untuk sukses. Ini menegaskan
kembali siapa diri seseorang itu, menempatkan tujuan seseorang dalam
fokus utama, dan menggerakkan ide-ide seseorang ke dalam dunia nyata.
3. Kebiasaan 3: Dahulukan yang Utama(Put First Things First)
Demi menjalani kehidupan yang lebih seimbang, seseorang perlu
mengakui bahwa tidak melakukan segala sesuatu yang datang adalah tidak
dibutuhkan adalah menyadari bahwa tidak apa-apa mengatakan tidak bila
diperlukan, kemudian fokus pada prioritas tertinggi.
Kebiasaan 1 mengatakan, "You're in charge. You're the creator."
Menjadi proaktif adalah pilihan. Kebiasaan 2 adalah yang utama, atau
mental, penciptaan. Memulai dengan Tujuan Akhir adalah tentang visi.
Kebiasaan 3 adalah ciptaan kedua, ciptaan fisik. Kebiasaan ini adalah di
mana Kebiasaan 1 dan 2 datang bersama-sama. Ini terjadi hari demi hari,
saat demi saat. Ini berkaitan dengan banyak pertanyaan yang dibahas dalam
bidang manajemen waktu. Tapi tidak serta merta begitu. Kebiasaan 3
adalah tentang manajemen kehidupan juga , tujuan Anda, nilai-nilai, peran,
dan prioritas.
Apakah yang dimaksud dengan "hal utama"? Hal utama adalah hal-hal
yang seseorang, secara pribadi temukan yang menjadi paling berharga. Jika
seseorang menempatkan hal utama yang pertama, seseorang mengatur dan
mengelola waktu dan peristiwa sesuai dengan prioritas pribadi seseorang
didirikan pada Kebiasaan 2.
4. Kebiasaan 4: Berpikir Menang-Menang(Think Win-Win)
Berpikir Menang-Menang bukanlah tentang bersikap baik, juga bukan
teknik yang cepat-fix. Sebagian besar dari kita belajar untuk mendasarkan diri kita pada perbandingan dan persaingan. Kami berpikir tentang berhasil
dalam hal orang lain gagal, yaitu jika saya menang, Anda kehilangan atau
Win-win melihat kehidupan sebagai arena kooperatif, bukan arena kompetitif. Win-win adalah kerangka pikiran dan hati yang terus-menerus mencari keuntungan bersama dalam semua interaksi manusia. Win-win
berarti kesepakatan atau solusi yang saling menguntungkan dan
memuaskan.
Seseorang atau organisasi yang mendekati konflik dengan sikap
menang-menang memiliki tiga karakter yang penting:
a. Integritas (Integrity): Menempel dengan perasaan sejati Anda, nilai-nilai, dan komitmen
b. Kedewasaan (Maturity): Mengekspresikan ide dan perasaan dengan keberanian dan pertimbangan untuk ide-ide dan
perasaan orang lain
c. Abundance Mentality: Percaya bahwa ada kapasitas mental yang berlimpah untuk semua orang.
Banyak orang berpikir pada jangka waktu tertentu apakah seseorang
itu baik maupun seseorang itu tidak baik. Win-win mengharuskan seseorang menjadi keduanya. Ini adalah tindakan menyeimbangkan antara
keberanian dan pertimbangan. Untuk menjadi win-winini, seseorang tidak hanya harus empatik, tetapi seseorang itu juga harus percaya diri.
harus berani. Untuk melakukan itu, untuk mencapai keseimbangan antara
keberanian dan pertimbangan, yang merupakan inti dari kedewasaan yang
sebenarnya dan merupakan dasar untuk menjadiwin-win.
5. Kebiasaan 5: Berusaha Memahami Dahulu, Baru Dimengerti(Seek First to Understand, Then to Be Understood)
Komunikasi adalah keterampilan yang paling penting dalam hidup
manusia. Kita menghabiskan bertahun-tahun belajar bagaimana membaca
dan menulis, dan tahun-tahun belajar bagaimana berbicara. Tapi bagaimana
dengan mendengarkan? Apa pelatihan yang telah kita miliki yang
memungkinkan kita untuk mendengarkan sehingga kita benar-benar sangat
memahami orang lain? Mungkin tidak ada, kan?
Jika kita seperti kebanyakan orang, kita mungkin mencari yang
harus dipahami dahulu. Dalam melakukannya, kita mungkin mengabaikan
orang lain sepenuhnya, berpura-pura bahwa kita mendengarkan, namun
sebenarnya memilah-milah dan hanya mendengar bagian-bagian tertentu
dari percakapan atau penuh perhatian fokus hanya pada kata-kata yang
dikatakan, tetapi tidak mampu memaknainya sama sekali. Jadi mengapa hal
ini terjadi? Karena kebanyakan orang mendengarkan dengan maksud untuk
membalas, namun tidak mengerti. Dengarkan diri kita seperti
pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan dan sebagainya. Kita menyaring segala
sesuatu yang kita dengar melalui pengalaman hidup kita, kerangka acuan
kita.
Akibat seseorang sering mendengarkan autobiographically, seseorang cenderung untuk merespon dengan salah satu dari empat cara
berikut ini:
a. Evaluating: Anda menilai dan kemudian setuju atau tidak setuju.
b. Probing: Anda mengajukan pertanyaan dari kerangka referensi Anda sendiri.
c. Advising: Anda memberikan nasihat, saran, dan solusi untuk masalah.
d. Interpreting: Anda menganalisis motif dan perilaku orang lain berdasarkan pengalaman Anda sendiri.
6. Kebiasaan 6: Bersinergi(Synergize)
Secara sederhana, sinergi berarti "dua kepala lebih baik dari satu."
Bersinergi adalah kebiasaan kerjasama kreatif. Ini adalah kerja sama tim,
keterbukaan pikiran, dan sebuah petualangan untuk menemukan solusi baru
untuk masalah lama. Tapi itu tidak hanya terjadi dengan sendirinya. Ini
pengalaman dan keahlian pribadi mereka ke meja. Bersama-sama, mereka
dapat menghasilkan hasil yang jauh lebih baik bahwa mereka secara
individual bisa. Sinergi memungkinkan kita menemukan hal-hal
bersama-sama kita jauh lebih kecil kemungkinannya untuk menemukan oleh diri
kita sendiri. Ini adalah gagasan bahwa keseluruhan lebih besar daripada
jumlah bagian-bagiannya. Satu ditambah satu sama dengan tiga, atau enam,
atau enam puluh.
Ketika orang mulai berinteraksi bersama-sama benar-benar, dan
mereka terbuka untuk mempengaruhi satu sama lain, mereka mulai
mendapatkan wawasan baru. Kemampuan menciptakan pendekatan baru
meningkat secara eksponensial karena perbedaan. Menilai perbedaan
adalah apa yang sebenarnya menggerakkan sinergi. Apakah Anda
benar-benar menghargai perbedaan mental, emosional, dan psikologis antara
orang-orang? Atau apakah Anda ingin semua orang hanya akan setuju
dengan Anda sehingga Anda semua bisa akur? Banyak orang salah dalam
mengartikan keseragaman persatuan untuk kesatuan. Perbedaan harus
dilihat sebagai kekuatan, bukan kelemahan. Hal itu menambahkan
semangat untuk hidup.
7. Kebiasaan 7: Mengasah Gergaji(Sharpen the Saw)
Mengasah Gergaji berarti melestarikan dan meningkatkan aset
seimbang untuk pembaruan diri dalam empat bidang kehidupan seseorang,
yaitu: fisik, sosial atau emosional, mental, dan spiritual. Berikut adalah
beberapa contoh kegiatan:
a. Fisik(Physical): Makan, olahraga, dan istirahat.
b. Sosial atau Emosional (Social atau Emotional): Hubungan sosial dan emosional yang bermakna dengan orang lain
c. Mental: Belajar, membaca, menulis, dan mengajar
d. Spiritual: Menghabiskan waktu di alam, memperluas spiritual
diri melalui meditasi, musik, seni, doa, atau layanan
Ketika seseorang memperbaharui diri pada keempat bidang
tersebut, berarti seseorang menciptakan pertumbuhan dan perubahan dalam
hidup seseorang itu sendiri. Mengasah gergaji membuat seseorang segar
kembali, sehingga seseorang dapat terus melatih keenam kebiasaan yang
efektif lainnya. Seseorang meningkatkan kapasitas untuk memproduksi dan
menangani tantangan di sekitar. Tanpa pembaharuan ini, tubuh menjadi
lemah, pikiran menjadi mekanis, emosi mentah, roh tidak peka, dan orang
egois. Merasa baik tidak terjadi begitu saja. menghidupkan kehidupan
dalam keseimbangan berarti mengambil waktu yang diperlukan untuk
memperbaharui diri sendiri. Ini semua terserah pribadi. Seseorang dapat
memperbaharui diri melalui relaksasi. Seseorang dapat memanjakan diri
menyadari kesejahteraannya. Anda dapat merevitalisasi diri sendiri dan
menghadapi hari baru dalam damai dan harmoni. Ingat bahwa setiap hari
memberikan kesempatan baru untuk pembaharuan - kesempatan baru untuk
mengisi ulang sendiri bukannya memukul dinding. Yang dibutuhkan
adalah keinginan, pengetahuan, dan keterampilan.
Dari penjabaran mengenai kebiasaan, karakter, dan kecerdasan
seseorang diatas, menunjukkan bahwa kecerdasan intelektual akan tumbuh
dengan baik dan optimal jika dikembangkan dengan adanya keseimbangan
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual melalui pengembangan
kebiasaan yang efektif. Kebiasaan yang efektif tersebut diantaranya yang
diungkapkan oleh Stephen R. Covey. Dengan adanya keterkaitan ini,
kemampuan peserta didik dalam pembelajaran matematika yang merupakan
pengembangan kecerdasan intelektual memang sebaiknya didampingi dengan
mengoptimalkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dengan
melatih kebiasaan-kebiasaan efektif melalui pendidikan matematika. Hal ini
diharapkan mampu menumbuhkan sikap yang baik dan membentuk peserta
didik yang cerdas, berpengetahuan luas, dan berkarakter sebagaimana
mestinya.
Seperti yang tercantum dalam buku panduan Pelatihan Pengembangan
Kepribadian Mahasiswa (PPKM) di Universitas Sanata Dharma (Panitia
tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk mengolah pengalaman dan
kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari mahasiswa. Dalam buku tersebut
disebutkan bahwa mahasiswa diajak untuk mencapai kesadaran terhadap diri
dan apa yang tengah dijalani, meng-eksplorasi diri, menemukan potensi, dan
menyusun strategi agar dapat meningkatkan kompetensi dan integritas
kepribadian. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa kualitas pribadi tidak
dapat lepas dari kebiasaan-kebiasaan hidup. Hidup seseorang sekarang
terbangun dari kebiasaan-kebiasaan hidup seseorang tersebut.
Hasil kajian buku tersebut menunjukkan bahwa ketujuh kebiasaan
efektif menurut Stephen R. Covey tersebut dapat diterapkan dalam dunia
pendidikan. Tujuan utama implementasinya dalam dunia pendidikan adalah
untuk dijadikan sarana bagi guru dan peserta didik untuk mulai menanamkan
kebiasaan-kebiasaan yang menunjang bagi pertumbuhan peserta didik,
sehingga hasil dari sebuah pembelajaran di institusi pendidikan terhadap
peserta didik, selain cerdas secara intelektual juga memiliki karakter yang
baik.
Seperti disebutkan dalam Martini (2011, p.1) bahwa pengembangan
nilai-nilai pendidikan karakter dan budaya bangsa tidak dimasukkan sebagai
pokok bahasan tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran, pengembangan
yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa kedalam
kurikulum, silabus, dan Rencana Pembelajaran (RPP) yang telah ada.
Penilaian pencapaian nilai-nilai pendidikan karakter dan budaya
bangsa dan implementasi ketujuh kebiasaan efektif menurut Stephen R. Covey
tersebut dapat didasarkan pada indikator. Sekolah menetapkan indikator
sekolah dan indikator kelas berdasarkan nilai-nilai pendidikan karakter dan
budaya bangsa dan tujuh kebiasaan efektif menurut Stephen R. Covey yang
disesuaikan dengan kondisi sekolah dan kondisi kelas masing-masing.
D. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa dalam