• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. Treatment Recommendation , elemen ini menekankan penyelesaian masalah dan menawarkan atau menjustifikasi suatu cara penanggulangan masalah dan

2.3.6. Kajian Berita Menurut Pandangan Kaum Konstruktivis

Pendekatan konstruksionis melihat proses framing/ pembingkaian berita sebagai proses konstruksi sosial untuk memaknai realitas. Proses ini bukan hanya terjadi dalam level wacana, tetapi juga dalam struktur kognisi individu dengan adanya konsep frame dalam level individual atau skemata interpretasi. Frame dalam level wacana dan level individual ini merupakan dua sistem yang saling berkaitan dalam proses konstruksi sosial untuk memaknai realitas.

Dalam konteks inilah Gamson melihat adanya hubungan antara wacana media dan opini publik yang terbentuk di masyarakat. Framing dapat dimaknai sebagai strategi pembentukan dan operasionalisasi wacana media, serta di sisi lain karakteristik wacana media itu sendiri. Media massa pada dasarnya adalah wahana diskusi atau konservasi tentang suatu masalah yang melibatkan dan mempertemukan tiga pihak, yakni wartawan, sumber berita, dan khalayak.

Sedangkan Zhongdang Pan, ketiga pihak itu mendasarkan keterlibatannya pada peran sosial masing-masing, dan hubungan diantara mereka terbentuk melalui operasionalisasi wacana yang mereka konstruksi dan transmisikan. Analisa Berger dan Luckmann tentang peran pengetahuan yang dihasilkan dari proses dialektika antara individu dan masyarakat, antara identitas pribadi dan struktur sosial, menghasilkan perspektif yang penting dalam bidang sosial.

Berger bermaksud mengusulkan adanya pengintegrasian hasil analisis atas fenomena sosial ke dalam perangkat teori sosiologi yang menuntut pengakuan pada faktor manusiawi di balik data struktural yang terungkap. Pengintegrasian tersebut, menuntut penjelasan yang sistematik mengenai hubungan dialektik antara kenyataan struktural dan kegiatan manusiawi dalam membangun kenyataan. Tentu sebagai teori, apa yang digagas Berger dan Luckmann pasti memiliki kelemahan. Misalnya, dalam konteks kekinian terasa kurang karena tidak memasukan media massa dalam proses konstruksi sosialnya.

Namun demikian, sebagai akademisi yang berada dalam tradisi fenoemenologi, Berger dan Luckmann telah memberi pemikiran yang signifikan dalam membangun teori-teori sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge) yang juga dapat dirujuk oleh keilmuan komunikasi. Membahas teori konstruksi sosial (social construction), tentu tidak bisa terlepaskan dari bangunan teoritik yang telah dikemukakan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckmann. Peter L Berger merupakan sosiolog dari New School for Social Reserach, New York.

Sementara Thomas Luckman adalah sosiolog dari University of Frankfurt. Teori konstruksi sosial, sejatinya dirumuskan kedua akademisi ini sebagai suatu kajian teoritis dan sistematis mengenai sosiologi pengetahuan. Sebagai catatan akademik, pemikiran Berger dan Luckmann ini, terlihat cukup utuh di dalam buku

mereka berjudul “the Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (Bungin, 2008).

Publikasi buku ini mendapat sambutan luar biasa dari berbagai pihak, khususnya para ilmuan sosial, karena saat itu pemikiran keilmuan termasuk ilmu-ilmu sosial banyak didominasi oleh kajian positivistik. Berger dan Luckmann

meyakini secara substantif bahwa realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif

melalui kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial di seklilingnya, “reality is socially constructed”.

Tentu saja, teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu yang merupakan manusia bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya. Manusia dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya dimana individu melalui respon-respons terhadap stimulus dalam dunia kognitif.

Dalam proses sosial, individu manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas, didalam dunia sosialnya. Prof. Deddy N. Hidayat, memberi penjelasan bahwa ontologi paradigma konstruktivis memandang realitas sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian, kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial (Hidayat, 1999).

Melihat berbagai karakteristik dan substansi pemikiran dari teori konstruksi sosial nampak jelas, bahwa teori ini berparadigma konstruktivis. Asal usul kontruksi sosial dari filsafat Kontruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean P iaget. Namun apabila ditelusuri, sebenarnya gagasan-gagsan pokok Konstruktivisme sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemologis dari Italia, ia adalah cikal bakal Konstruktivis (Bungin, 208).

Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan pikiran. Gagasan tersebut semakin lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, subtansi, materi, esensi, dan sebagainya.

Ia mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah fakta (Suparno,

1997). Rene Descrates pulalah yang telah memperkenalkan ucapannya „Cogito ergo sum‟yang berarti “saya berfikir karena itu saya ada”.

Kata-kata Aristoteles yang terkenal itu menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini. Pada tahun 1710, Vico dalam „De Antiquissima Italorum Sapientia‟, mengungkapkan filsafatnya dengan berkata „Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaanNya‟.

Dia menjelaskan bahwa „mengetahui‟ berarti „mengetahui bagaimana membuat sesuatu ‟ini berarti seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia

menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico bahwa hanya Tuhan sajalah yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa ia membuatnya, sementara itu orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikan (Eriyanto, 2002)

Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L Berger dan Luckmann telah direvisi dengan melihat fenomena media massa sangat substantif dalam proses eksternalisasi, subyektivasi dan internalisasi inilah yang kemudian dikenal sebagai “konstruksi sosial media massa”. Menurut perspektif ini

tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan konstruksi; tahap konfirmasi (Bungin, 2008) Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Tahap menyiapkan materi konstruksi : Ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni: keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum.

2. Tahap sebaran konstruksi: prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi khalayak.

3. Tahap pembentukan konstruksi realitas: Pembentukan konstruksi berlangsung melalui: (1) konstruksi realitas pembenaran; (2) kedua kesediaan dikonstruksi oleh media massa ; (3) sebagai pilihan konsumtif. 4. Tahap Konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa

maupun masyarakat pembaca memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembetukan konstruksi (Suparno, 1997).

2.4 Kerangka Pemikiran

Perkembangan media massa di tanah air tidak terlepas dari perubahan politik di Indonesia. Situasi politik di Indonesia pada pasca reformasi diwarnai euforia masyarakat akan kebebasan berpendapat dan dalam hal mengartikulasikan kepentingan yang telah lama terkungkung oleh rezim Orde Baru. Situasi politik zaman Orde Baru yang sangat represif tidak memungkinkan masyarakat untuk

bebas berpendapat atau mengkritik suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Saat itu, rezim Orde Baru melakukan depolitisasi massa.

Dengan dilakukannya depolitisasi massa oleh penguasa maka masyarakat ditekan sebisa mungkin untuk tidak bersuara menentang penguasa atau melakukan kegiatan politik yang bertentangan dengan kepentingan penguasa (Orde Baru). Lembaga pers pun tidak luput dari pengaturan yang otoriter rezim Orde Baru.

Pada saat itu, pemerintah mengeluarkan Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP) yang wajib dimiliki oleh semua lembaga penerbitan pers di Indonesia. Dalam hal isi berita pun, pemerintah mengatur supaya tidak ada berita atau opini yang isinya menghujat atau mengkritik kebijakan pemerintah.

Pemerintah dengan kata lain, rezim Orde Baru sangat anti terhadap segala macam kritik walaupun sebenarnya kritik itu ditujukan untuk sebuah perbaikan kinerja pemerintahan. Akibatnya, pers yang seharusnya menjadi penampung aspirasi dan opini dari masyarakat tidak bisa berfungsi dengan baik. Pemerintah era Orde Baru juga diwarnai dengan banyaknya kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang melibatkan para pejabat tinggi negara.

Jabatan strategis dalam pemerintahan banyak diisi oleh orang-orang yang dekat dengan Presiden Soeharto. Rezim Orde Baru bersifat sangat paternalistik dan cenderung otoriter. Kehidupan kepartaian pun tidak lepas dari aturan yang represif. Partai politik yang ada diharuskan menganut asas tunggal yaitu Pancasila.

Ideologi di luar Pancasila dilarang hidup dan berkembang. Selain itu, pemerintah rezim Orde Baru menerapkan sistem kepartaian yang hegemonik. Dalam sistem hegemonik ini, partai politik ada partai yang sangat berkuasa yaitu

partai pemerintah dalam hal ini Golkar dan tetap membiarkan partai lain hidup

tetapi hanya sebagai “ornamen” belaka.

Dalam kehidupan politik seperti itu, regenerasi pemimpin dan rotasi kekuasaan adalah sesuatu yang diharamkan. Masalah Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) juga sering terjadi. Pelanggaran HAM tersebut seringkali dilakukan oleh pemerintah. Rezim Orde Baru melakukan pelanggaran HAM dengan membantai para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), pengecapan KTP pada orang yang diduga terlibat PKI, dan kebijakan yang tidak adil yang dikeluarkan pemerintah terhadap kebijakan penerapan daerah operasi militer (DOM) di Aceh, tahun 1988 – 2005.

Kehidupan politik sangat represif yang dipraktekan rezim Orde Baru akhirnya mendapatkan kecaman yang keras dari berbagai kalangan terutama dari kalangan mahasiswa dan cendekiawan. Sistem Otoritarianisme Orde Baru kini mendapatkan kecaman dari mahasiswa yang menginginkan Presiden Soeharto turun dari jabatannya yang telah diduduki selama 32 tahun. Krisis ekonomi pada penghujung tahun 1997 yang melanda Indonesia waktu itu menjadi faktor utama yang menuntut suksesi pemimpin nasional.

Berbagai kerusuhan terjadi di daerah-daerah sebagai bentuk penentangan terhadap rezim Orde Baru. Di Jakarta, terjadi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh para Mahasiswa. Para mahasiswa dan cendekiawan menilai suksesi kepemimipinan sangat diperlukan untuk mengatasi krisis multidimensi yang terjadi di Indonesia saat itu. Perubahan dalam kehidupan politik menjadi prioritas utama yang dituntut saat itu

Para cendekiawan mencetuskan tuntutan mereka dalam agenda reformasi yang berisi adili Soeharto dan kroninya, penghapusan dwifungsi ABRI, otonomi daerah yang seluas-luasnya, menciptakan pemerintahan yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Perubahan yang dilakukan di bidang politik pertama-tama adalah dibebaskannya hak kepada masyarakat untuk menyuarakan aspirasi dan kritikan kepada pemerintah. Perubahan yang paling signifikkan dalam bidang politik adalah pada kebijakan mengenai partai politik, multi partai.

Menurut Jhon McBeth (Forrester, 2002:14), perubahan besar lainnya dalam bidang politik bukan hanya sekedar menjalankan mesin Golkar yang memerintah, PPP, dan PDI, tetapi setiap orang dapat membentuk partai. Pada perhitungan awal reformasi ada lebih dari 80 partai politik terbentuk walau banyak pula yang tergusur di kala masa pendaftaran resmi dibuka. Hal ini membuktikan bahwa antusias dari masyarakat sangat besar terhadap kebebasan berpolitik.

Undang-Undang Dasar 1945 yang pada era Orde Baru sangat diskralkan kini mulai diamandemen (perubahan). Bagian yang terpenting yang diamandemen yaitu tentang batas kekuasaan seorang presiden. Sebelum amandemen, presiden dapat terus dipilih kembali tanpa ada batas kini dirubah dan dibatasi hanya pada dua periode pemilihan saja setelah itu presiden tidak dapat dipilih kembali.

Pemerintah memberi kebebasan kepada mayarakat dalam hal mengutarakan pendapat dan mengkritik pemerintah. Pola kekuasaan pada masa reformasi tidak lagi bersifat represif seperti masa Orde Baru yang memerintah dengan tangan besi dan mengandalkan kekerasan. Ini membuat masyarakat lebih bebas dalam mengkritik kebijakan pemerintah.

Pers yang dulu dikekang kebebasannya, kini semakin bebas dan kembali pada fungsinya yaitu menyuarakan opini masyarakat. Demonstrasi yang dulu ditabukan, kini menjadi sarana masyarakat untuk menekan pemerintah untuk melaksanakan dan menerima aspirasi dan kepentingan mereka. Dengan cara melakukan demonstrasi yang mengerahkan massa yang banyak, akan semakin efektif menekan pemerintah.

Cara-cara kekerasan yang dulu sering dilakukan terus dikurangi untuk kemudian akan dihilangkan. Menurut konsep kekuasaan Focault (dalam Ritzer, 2008:658), perubahan dari siksaan menjadi aturan merepresentasikan humanisasi perlakuan terhadap penjahat; ia akan tumbuh menjadi berbelas kasih. Focault mencontohkannya dalam sebuah penjara yang penuh dengan penjahat.

Dalam hal ini, pemerintah harus lebih mengedepankan aturan yang yang mendidik daripada menggunakan kekerasan. Dalam karyanya yang berjudul Discipline and Punish (1979), Focault kembali menjelaskan tentang kekuasaan bahwa teknologi dipakai untuk menjalankan kekuasaan.

Disini, ia berbicara tentang konsep panoptikon yaitu sebuah struktur pengawasan. Melalui teknologi yang canggih, pemerintah bisa mengawasi masyarakat tanpa harus hadir di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal pola relasi kekuasaan Focault mengemukakan bahwa kekuasaan tak dapat dilokalisasi dengan sentralistik, tetapi terdapat diman-mana (desentralisasi).

Konsep kekuasaan menurut Focault ini dalam prakteknya di pemerintahan Indonesia diwujudkan melalui otonomi daerah (desentralisasi). Dengan adanya otonomi daerah, kekuasaan tidak menjadi monopoli pihak pusat (sentralisasi) tetapi daerah juga diberi kewenangan dalam mengurus rumah tangganya sendiri.

Pemerintah mencoba memperbaiki bidang HAM yang selama masa pemerintahan Orde Baru banyak dilanggar oleh pemerintah sendiri.

Keadilan yang selama dirasa ini masih kurang dan belum sepenuhnya didapatkan oleh seluruh lapisan masyarakat dari segala lapisan dan golongan. Dalam hal keadilan bagi masyarakat, ada hubungannya dengan teori keadilan yang dikemukakan John Rawls. Dalam karyanya yang berjudul A Theory Of Justice (1971) Rawls menjelaskan bahwa konsep keadilan menurutnya adalah sebuah konsep yang bebas kultur, sehingga untuk mewujudkan prinsip-prinsip keadilan di masyarakat haruslah bersifat fair.

Keadilan tersebut harus menguntungkan semua orang dan juga dibuat berdasarkan kesepakatan semua orang. Dengan asumsi bahwa semua orang hanya berfikir tentang hak-hak yang bersifat umum dan mereka mengabaikan hal-hal spesifik yang mereka ketahui. Perubahan khususnya dalam bidang politik memberikan harapan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Pemikiran isi media (content) pada dasarnya suatu proses konstruksi realitas secara subjektif oleh pengelola media. Isi berita politik tidak sepenuhnya menggunakan apa sesungguhnya yang terjadi melainkan cendrung subjektif dalam penulisannya. Berita politik yang di sampaikan adalah hasil dari konstruksi dari realitas itu sendiri. Oleh karena itu berita politik berada pada posisi orientasi bisnis atau kekuatan politik kekuasaan tertentu.

Maka biasanya takkan terelakkan sehingga realitas berita politik adalah konstruksi yang sarat dengan kepentingan. Setiap realita yang menarik perhatian publik akan menjadi agenda media dengan menempatkannya sebagai berita utama (headline media ).

Media mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk kognisi masyarakat. Kekuatan media antara lain disebabkan oleh proses pembingkaian (framing), teknik pengemasan fakta, penggambaran fakta, pemilihan sudut pandang (angle), penambahan atau pengurangan foto atau gambar, dan lain sebagainya.

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Harian Serambi Indonesia & Harian Rakyat Aceh

Sumber Berita:

- MoU Helsinski

- UU PA Nomor 11 Tahun 2006 - Qanun Nomor 3 Tahun 2013

Stakholder

Analisis Framing Model Robert Entman: - Definisi Masalah

- Penjelasan/ Latarbelakang - Evaluasi

Recomendation/ Saran Proses Berita/ Framing:

- Ideological Level - External Media Level - Organisasi Level - Media Routine - Individual Level

Dokumen terkait