• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Empiris

Dalam dokumen Landasan Pendidikan (Halaman 160-168)

BAB VII PRODUK HUKUM TENTANG SISTEM

C. Kajian Empiris

mengenai beberapa tindakan pidana baik berupa kurungan maupun denda terhadap segala tindakan yang melanggar peraturan mengenai penyelenggaraan pendidikan dari berbagai kegiatannya. Selanjutnya dalam ketentuan peralihan diatur mengenai pemberlakuan penyelenggaraan pendidikan yang pada saat undang-undang ini diberlakukan belum berbentuk badan hukum pendidikan, waktu perizinan selambat-lambatnya 2 tahun bagi satuan pendidikan formal yang telah berjalan namun belum memiliki izin, dan pemberlakuan peraturan pelaksanaan UU No. 2 Tahun 1989 selama tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undang ini. Kemudian yang terakhir dalam bagian penutup ini dipaparkan mengenai peraturan perundang-undangan yang tidak berlaku lagi setelah UU ini diterbitkan.

tidak sesuai lagi dengan perkembangan negara Indonesia saat ini. Berdasarkan pendapat dari H.A.R Tilaar (2006:1) bahwa:

Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menggaris bawahi perlunya komitmen pemerintah terhadap pendidikan namun dalam APBN/

APBD justru dikalahkan oleh suatu peraturan pemerintah.

Kurangnya komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk menjadikan pendidikan sebagai titik tolak reformasi masyarakat dan bangsa Indonesia menuju masyarakat yang cerdas dan demokratis sebenarnya telah tampak di dalam ketiadaan arah pengembangan Pendidikan Nasional.

Pendapat dari H.A.R Tilaar Di atas telah menggambarkan keberadaan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 ini kurang bisa mempertahankan peraturan yang telah dimuat di dalamnya untuk kondisi pendidikan di lapangan pada saat ini. Pemerintah yang semula berkomitmen untuk pendidikan, di komitmen pengembangan pendidik nasional.

Hal tersebut merupakan sebuah pemikiran kritis daripada perbaikan sebuah peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh kelompok terhadap UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang kemudian dikenal dengan uu sisdiknas, kelompok memberikan beberapa pemikiran kritis

terhadap beberapa pasal ion kelompok anggap keberadaannya ini memerlukan sebuah perbaikan akan kurang sesuainya UU No. 20 Tahun 2003 ini dengan kondisi pendidikan saat ini maupun kejelasan daripada pasal-pasal tersebut dengan sebuah kajian empiris. Berikut hasil dari pada kajian empiris yang telah kelompok kami lakukan,

a. Pasal 5 ayat 3

“Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus”.

Dalam penjelasan pasal 5 ayat 3 tersebut cenderung tidak menyamakan hak dari setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang sama, karena dalam ayat tersebut dituliskan kata-kata “masyarakat di daerah terpencil/ terbelakang”. Kata-kata yang terdapat dalam pasal 5 ayat 3 tersebut secara tidak langsung telah membedakan antara masyarakat di daerah terpencil dengan daerah lainnya yang notabennya adalah daerah perkotaan.

b. Pasal 5 ayat 5

“Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat”

Dalam penjelasan pasal 5 ayat 5 ini dijelaskan mengenai kesempatan warga negara untuk meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Namun pada kenyataannya pada pendidikan dasar dan menengah tersebut terdapat pembatasan usia dalam memperoleh pendidikan. Jadi, di ayat tersebut tidak selaras dengan kenyataan yang ada.

c. Pasal 7 ayat 2

“Orang tua dari anak usia wajib belajar berkewajiban memberikan pendidikan dasar pada anaknya”.

Dalam ayat tersebut dijelaskan mengenai kewajiban orang tua dalam memberikan pendidikan dasar pada anaknya. Namun akan lebih baik bila dalam ayat tersebut dijelaskan pula mengenai sanksi daripada penyelenggaraannya. Karena bila dilihat pada kondisi pendidikan saat ini sangat banyak orang tua yang tidak mendukung pendidikan anaknya, nya mereka lebih menyuruh anaknya untuk bekerja dalam membantu ekonomi keluarga daripada mengikuti wajib belajar 9 tahun.

d. Pasal 31 ayat 3

“Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan Sesuai dengan standar nasional pendidikan”.

Dalam pasal 31 ayat 3 tersebut kurang dipahami mengenai bentuk dari pendidikan jarak jauh itu seperti apa, karena dalam pasal 31 ayat 3 tersebut tidak diuraikan contoh bentuk pendidikan jarak jauh tersebut seperti yang ada di pendidikan keagamaan.

e. Pasal 34 ayat 1

“Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar”.

Dalam Pasal 34 ayat 1 tersebut disebutkan bahwa warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Sedangkan pada Pasal 6 ayat 1 disebutkan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar mulai usia 7 tahun. Hal ini menunjukkan tidak adanya sinkronisasi antara kedua pasal tersebut dalam menentukan usia minimal pendidikan dasar, karena terdapat dua standar usia yang berbeda.

f. Pasal 34 ayat 2

“Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”.

Pada pasal tersebut dianggap tidak sesuai dengan kondisi pendidikan di Indonesia pada saat ini karena di lapangan bisa dilihat bahwa di sekolah swasta itu pemerintah tidak sepenuhnya mendukung pembebasan biaya pendidikan.

g. Pasal 50 ayat 1

“Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab menteri”.

Pada pasal ini terdapat kekurangan yaitu tidak mencantumkan spesifik menteri yang dimaksud.

h. Pasal 50 ayat 3

“Pemerintah dan/atau atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”

Berdasarkan kondisi warga negara Indonesia yang tidak terhindar dari pada warga dengan ekonomi yang kurang, maka kebijakan dari pada pasal 50 ayat 3 ini tidak

bisa menciptakan pendidikan yang sama untuk seluruh warga negara. Karena dengan adanya kebijakan penyelenggaraan pendidikan bertaraf Internasional tersebut yang dapat memanfaatkan hanyalah orang-orang dengan kelas ekonomi yang tinggi. Selain itu kebijakan pemerintah menyelenggarakan sekolah bertaraf Internasional ini juga dapat diplesetkan menjadi sekolah bertarif internasional, karena biaya pendidikan dalam sekolah bertarif internasional tersebut melambung tinggi.

i. Pasal 53 ayat 3

“Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan”

Dalam pasal ini tidak dijelaskan mengenai pengertian dari nirlaba, seharusnya di Jelaskan makna daripada kata nirlaba itu sendiri, karena produk hukum ini digunakan oleh semua warga negara, sehingga penggunaan kata-kata yang ada dalam perundangan ini harus jelas dan kiranya dapat dimengerti oleh seluruh warga negara.

j. Pasal 57 ayat 2

“Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, ga dan program pendidikan pada jalur formal dan non formal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan”.

Pada pasal ini tidak adanya sinkronisasi dengan pasal sebelumnya yakni pasal 27 ayat 2, karena di dalam pasal 27 dijelaskan bahwa pendidikan jalur informal melakukan ujian atau evaluasi namun dalam pasal ini terlihat bahwa evaluasi dilakukan hanya untuk pendidikan jalur formal dan non formal saja tanpa adanya evaluasi untuk pendidikan informal.

k. Pasal 58 ayat 1

“Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”.

Pasal tersebut tidak sesuai dengan keadaan di lapangan karena evaluasi hasil belajar peserta didik dewasa ini ditentukan oleh pemerintah pusat semata melalui Ujian Nasional (UN). Jadi atas dasar hal tersebut dapat kita lihat bahwa ketetapan mengenai evaluasi pendidikan yang terdapat dalam UU No. 20 Tahun 2003

ini seolah-olah tidak digunakan di lapangan. Evaluasi pendidikan yang ada dewasa ini mengacu pada PP No. 19 Tahun 2005 bukan pada UU No. 20 Tahun 2003. Pada pelaksanaan pendidikan saat ini seakan-akan PP No. 19 Tahun 2005 telah mengalahkan UU No. 20 Tahun 2003 yang semestinya menjadi induk terhadap penyelenggaraan evaluasi peserta didik.

l. BAB 20 mengenai ketentuan pidana

Dalam BAB tersebut sebaiknya terdapat ketentuan pidana mengenai wajib belajar, karena sesuatu yang wajib tersebut bila tidak dipatuhi seharusnya terkena sanksi dan dijelaskan pada BAB ini jenis sanksi sanksi nya apa saja.

Dalam dokumen Landasan Pendidikan (Halaman 160-168)

Dokumen terkait