• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kegiatan 3c Uji preferensi predator

terhadap B. tabaci, A. gosypiiM. persicae

dan T. parvispinus

Kegiatan 3d Uji tanggap fungsional

predator terhadap

B. tabaci

Jenis tanaman pembatas pinggir yang dapat menekan populasi

B. tabaci

Jenis tanaman pembatas pinggir yang

dapat meningkatkan kelimpahan predator

Spesies predator yang efektif terhadap

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian untuk memperoleh strategi teknik pemanfaatan tanaman pembatas pinggir yang digabungkan dengan pemanfaatan predator untuk mengendalikan B. tabaci dan insidensi penyakit daun keriting kuning pada pertanaman cabai merah. Secara khusus penelitian bertujuan: 1) Mengetahui pengaruh tanaman pinggir terhadap dinamika populasi B. tabaci dan insidensi penyakit daun keriting kuning cabai; 2) Mengetahui pengaruh tanaman pinggir terhadap kelimpahan predator penting yang menyerang B. tabaci; 3) Mengidentifikasi dan mengetahui dominansi spesies predator yang menyerang B.

tabaci di pertanaman cabai merah; 4) Mengevaluasi efektivitas berbagai spesies

predator (dominan dari eksplorasi) terhadap B. tabaci melalui uji daya pemangsaan, preferensi dan tanggap fungsional.

Daftar Pustaka

Aidawati N, Hidayat SH, Suseno R, Sosromarsono S. 2002. Transmission of an Indonesian isolate of tobacco leaf curl virus (Begomovirus) by Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae) Plant Pathology 18: 231 – 236. Brown JK. 1994. Current status of Bemisia tabaci as a plant pest and virus vector

in agroecosystems word wide. Plant Protection Bulletin. 42: 3 – 32.

Byrne DN, Bellows TS. 1990. Whitefly biology. Annnual Review of Entomology

36 : 431 – 457.

Difanzo CD, Rogsdale DW, Radcliffe NC, Sencor GA. 1996. Crop borders reduce potato virus Y incidence in seed potato. Annals of Applied Biology

129: 289–302.

Direktorat Jendral Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2010. Hasil pembangunan Pertanian Tanaman Pangan : Aspek Areal Produksi dan Faktor-faktor

Produksi. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Tanaman Pangan dan

Hortikultura.

Duriat AS, Ratnawati ML, Kirana R, Widjaja ES, Sulastrin I, Gunaen N, Gunawan OS, Gaswanto R, Wulandari AW, Murtiningsih RR, van der Wolf JM, van der Zouwen PS. 2005. The most important pests and seed- borne diseases of vegetables in Indonesia. A Progress report in 2003-2005. Hortin Project. Indonesian - Netherlands research colaboration. 26 pages. Fereres A. 2000. Border crops as a culture measure of non-persistently transmitted

Frisbie RE, Smith Jr JW. 1991. Biologically intensive integrated pest management : the future. Di dalam: Menn JJ dan Steinhaner AL. International Progress and Perspective for 21th

Gerling D. 1990. Natural enemies of whitelies; predator and parasitoids. Di dalam: Garling D. Whiteflies: Their Bionomics, Pest Status and

Management. Andover (US): Intercept Ltd. hlm 147–185.

Century. Maryland (US): Entomol. Soc. Amer. Maryland.

Hidayat SH. 2003. Rangkuman Hasil Penelitian Begomovirus di Indonesia : Sebagai Bahan Diskusi Untuk Menghadapi Peningkatan Infeksi Begomovirus Pada Cabai. Makalah pada Seminar Sehari Pengenalan dan Pengendalian Penyakit Virus Pada Cabai. Dir. Perlindungan Hortikultura, Dir. Jen. Bina Produksi Hortikultura. Jakarta. 4 hal.

Hidayat SH, Chatchawankanpanich O, Rusli E, Aidawati N. 2006. Begomovirus associated with pepper yellow leaf curl diseases in West Java, Indonesia.

Journal Indonesian Microbiology 11(2): 87 – 89.

Hidayat SH, Rahmayani E. 2007. Transmission of tomato leaf curl begomovirus by two different species of whitefly (Hemiptera: Aleyrodidae). J. Plant Pathol. 23 (2): 57– 61.

Hoddle MS, van Driesche RG, Sanderson JP. 1998. Biology and use of the whitefly parasitoid Encarsia formosa. Annual Review of Entomology 43 : 645 – 669.

Jones D. 2003. Plant viruses transmitted by whiteflies. European Journal Plant Pathology 10(9): 197- 221.

Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah. Jakarta (ID): Ichtiar Baru- van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen vande Cultuurgewassen in Indonesie.

Oliveira MRV, Henneberry TJ, Anderson P. 2001. History, current status and collaborative research projects for Bemisia tabaci. Crop Protection 20:709– 723.

Olsen LV. 2001. The behavior of the Ladybird and its ability as a predator. Available at http: Pedigo LP. 1991. Entomologi and pest management. MacMillan Publishing

company New York. Collier MacMillan Publishers. London. 646p.

Perfecto I, Sediles A. 1992. Vegetational diversity, ants (Hymenoptera: Formicidae), and herbivorous pest in a neotropical agroecosystem.

Environment Entomology 21(1):61– 67.

Setiawati W. 2005. Pengelolaan Terpadu pada Tanaman Cabai Merah dalam Upaya Mengatasi Penyakit Virus Kuning. Makalah disampaikan pada

Pertemuan Apresiasi Penerapan Penganggulangan Virus Cabai, Yogyakarta, 14–15 April 2005.

Setiawati W, Udiarto BK, Soetiarso TA. 2007. Selektivitas Beberapa Insektisida terhadap Hama Kutu Kebul (Bemisia tabaci Genn.) dan Predator Menochilus sexmaculatus Fabr. Jurnal Hortikultura Vol.17, No. 2, Tahun 2007.

Sudrajat. 2009. Eksplorasi Musuh Alami Kutukebul (Bemisia tabaci) di Jawa Barat (Pangalengan, Ciwidae, Lembang dan Krawang) pada Tanaman Sayuran. Laporan Sementara Hasil Penelitian untuk Disertasi S-3. Universitas Padjadjaran.

Sugiyama K. 2005. Management of whitefly for commercial tomato production in greenhouses in Shizuoka, Japan. In. Proc. of the International Seminar on Whitefly Management and Control Strategy. Taichung, Taiwan. Oct 3 – 8, 2005. pp.81 – 91.

Sulandari S, Hidayat SH, Suseno R, Jumanto H, Sosromarsono S. 2001. Keberadaan virusgemini pada cabai di DIY. Konggres Nasional dan

Seminar Ilmiah PFI ke XVI. Bogor, Agustus 2001.

Sulandari S, Suseno R, Hidayat SH, Harjosudarno J, Sosromarsono S. 2006. Deteksi dan kajian kisaran inang virus penyebab penyakit daun keriting kuning cabai. Journal Hayati 13(4): 1 – 6.

Sulandari S. 2004. Karakterisasi biologi, serologi, dan analisa sidik jari DNA virus penyebab penyakit daun kuning keriting cabai [disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Suwandi, Nurteka N, Sahat S. 1989. Bercocok tanam sayuran dataran rendah. Lembang (ID): Laporan Balai Penelitian Hortikultura Lembang dan Proyek ATA 395. 31 – 36.

Stehr DW. 1982. Parasitoid and Predator in Pest Management. Dalam Metcalf and Luckmann WH (ed.) Introduction to Insect Pest Management. John Wiley and Sons. New York. 135 – 173p.

Untung K. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Biologi dan Kisaran Inang Bemisia tabaci (Gennadius)

Bemisia tabaci (Gennadius) digolongkan ke dalam ordo Hemiptera, subordo

Sternorrhyncha, superfamili Aleyrodoidea, famili Aleyrodidae (Martin et al. 2000). B. tabaci pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1938 pada tanaman tembakau (Kalshoven 1981). Pada tahun 2001 B. tabaci telah menjadi hama utama terutama pada berbagai jenis tanaman sayuran dan tersebar ke seluruh Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, dan sejak awal tahun 2004 telah pula menjadi hama penting di Bali (Sulandari 2001; Setiawati et al. 2005).

Perkembangan B. tabaci terdiri atas empat stadia, yaitu dimulai dari telur, nimfa, pupa dan imago. Telur B. tabaci . bentuknya lonjong (oval), warnanya putih bening ketika baru diletakkan, kemudian kecokelatan menjelang menetas. Telur berdiameter 0,25 mm, dan biasanya diletakkan pada permukaan bawah daun. Jumlah telur yang dihasilkan seekor betina mencapai 28 sampai 300 butir tergantung pada tanaman inang dan suhu lingkungan (Hirano et al., 2002). Pada kapas, B. tabaci. rata-rata bertelur 81 butir pada suhu 26,7ºC atau 72 butir pada suhu 32,2ºC dengan masa inkubasi telur 5 hari (Butler et al., 1983). Stadia telur pada tanaman tomat adalah 6,8–8,7 hari pada suhu 25 0C dan RH 65% (Salas dan Mendoza 1995). Rata-rata stadia telur pada Hibiscus rosa-sinensis kultivar Pink Versicolor adalah 6,3 hari dan Brilliant Red adalah 6,7 hari pada suhu 26,7 0

Nimfa B. tabaci terdiri dari tiga instar dan instar ke-4 dianggap sebagai transisi dan dinamakan instar ke-4 atau pupa karena peralihan antara dua stadia yang singkat dan sulit untuk dipisahkan (Salas dan Mendoza 1995). Byrne dan Bellows (1991) menyatakan bahwa nimfa instar ke-4 biasanya dikenal sebagai pupa. Nimfa instar satu (panjang + 0,223 mm, lebar + 0,131 mm) berbentuk bulat panjang, berwarna hijau cerah, pada pinggir tubuhnya terdapat bulu bulu halus dan lapisan lilin yang tipis. Nimfa instar 1 yang baru keluar dari telur aktif bergerak dan mengisap cairan makanan pada permukaan bawah daun selama 1-2 hari, dan setelah mendapatkan tempat yang sesuai akan menetap dan tidak bergerak lagi (Badri 1983). Nimfa instar 2 (panjang + 0,283 mm, lebar + 0,178

C dan RH 55% (Liu dan Stansly 1998).

(umum disebut pupa) tidak bergerak, berwarna hijau gelap, tungkai tereduksi, pada bagian dorsal terdapat tiga pasang duri (Badri. 1983). Stadia nimfa instar pertama pada tanaman tomat adalah 4,0 hari, nimfa instar kedua dan ketiga pada tanaman tomat adalah 2,7 dan 2,5 hari (Salas dan Mendoza 1995). Rata-rata stadia nimfa instar pertama pada Hibiscus rosa-sinensis kultivar Pink Versicolor adalah 4,2 hari dan kultivar Brilliant Red adalah 4,3 hari pada suhu 26,7 0C dan RH 55% (Liu dan Stansly 1998). Menurut Gameel (1977) perkembangan nimfa secara keseluruhan berlangsung selama 12-15 hari pada suhu 28o-32oC, dan 28 – 32 hari pada suhu 20o-24oC. Pada suhu lebih tinggi yaitu 30o-34oC periode perkembangan lebih cepat, dan sebaliknya menjadi lebih lama apabila suhu mencapai 18o - 22o

Imago B. tabaci berwarna kekuningan dan tubuhnya tertutup oleh sekresi seperti tepung lilin yang berasal dari kelenjar lilin yang terletak pada ruas abdomen pertama dan kedua pada imago jantan, sedangkan pada imago betina terletak pada ruas abdomen ke tiga dan ke empat. Sayap depan berwarna putih dan mempunyai pembuluh radial sektor yang bercabang satu dan pembuluh kubitus lurus. Antena tujuh ruas dengan ruas terakhir meruncing dan ditutupi oleh rambut rambut yang halus. Mata majemuk berkembang sempurna (Kalshoven 1981). Imago B. tabaci berukuran 1,0-1,5 mm. Panjang sayap depan + 0,673 mm dan lebar + 0,246 mm, sedangkan panjang sayang belakang + 0,572 dan lebar + 0,209 mm (Badri 1983). Lama hidup imago dipengaruhi oleh lingkungan dan faktor faktor lainnya. Lama hidup imago jantan pada umumnya lebih pendek dibanding

C .

Nimfa instar 4 umumnya disebut pupa. Pupa B. tabaci berbentuk bulat panjang berwarna kuning, bagian toraks agak melebar dan cembung, ruas abdomen tampak jelas. Pinggir puparium tidak rata dan pada bagian dorsal terdapat tujuh pasang seta (duri) dan satu pasang pada ujung anal. Vasiform orifice

berbentuk segi tiga dan memanjang, operkulum menutupi hampir separuh bagian dari vasiform orifice (Kalshoven 1981). Panjang pupa + 0,613 mm dan lebar + 0,421 mm. Lamanya stadium pupa rata rata 2,51 + 0,16 hari (Badri 1983). Stadia pupa pada tanaman tomat adalah 5,8 hari (Salas dan Mendoza 1995).

betina mencapai 37,75- 74,20 hari (Gameel 1977).

Tanaman inang adalah tanaman yang dapat memenuhi kebutuhan hidup serangga baik yang berhubungan dengan makanan (kebutuhan gizi) maupun dalam hubungannya dengan perilaku. Serangga yang hidup pada tanaman inang yang sesuai berkembang biak lebih cepat dari pada yang hidup pada tanaman inang yang kurang sesuai (Beck 1965; House 1965).

B. tabaci bersifat polifag (Costa dan Brown 1990), sejumlah besar spesies tanaman tahunan dan setahun yang telah dibudidayakan maupun yang belum dibudidayakan sesuai untuk makan dan/atau reproduksi (Bedford et al. 1992; Brown et al. 1992). B. tabaci mempunyai kisaran inang lebih dari 600 spesies tanaman (Greathead 1986) yang berasal dari 63 famili tanaman, dan sebanyak 50% spesies tanaman yang merupakan inang kutukebul berasal dari famili Fabaceae, Asteraceae, Malvaceae, Solanaceae dan Euphorbiaceae (Mound dan Halsey 1978). Di antara famili tersebut 99% spesies tanaman yang merupakan inang kutukebul adalah Fabaceae (Basu 1995).

Di Brazil, kutukebul juga telah menginfestasi gulma sebagai inang. Gulma yang menjadi inang kutukebul tersebut adalah: Cleome espinosa (Cleomaceae),

Senna obtusifolia (Fabaceae), Herisanthia hemoralis (Malvaceae), Richardia grandiflora, Borreriaverticilliata (Rubiaceae), Waltheria indica, W. Rotundifolia

(Sterculicaceae), dan Stachytarpheta sanguinea (Verbenaceae) (Lima et al. 2000). Selanjutnya Simmon et al. (2000) melaporkan bahwa inang baru kutukebul di Amerika Serikat adalah: Hyperium perfolatum (Hypericaceae), Valeriana

officinalis (Valerianaceae), Tanacetaum parthenium, Echinaceae pallida, E.

purpurea (Asteraceae).

Henridval et al. (2011) melaporkan kisaran inang B. tabaci yang tumbuh di sekitar pertanaman cabai merah di Indonesia tepatnya di Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta terdiri atas 22 spesies gulma dan lima spesies tanaman budidaya lainnya. Inang tersebut meliputi 13 famili yaitu Amaranthaceae, Araceae, Asteraceae, Brassicaceae, Capparidaceae, Convolvulaceae, Euphorbiaceae, Lamiaceae, Oxalidaceae, Rubiaceae, Papilionaceae, Solanaceae, dan Sterculiaceae. Famili Asteraceae dan Euphorbiaceae merupakan inang dengan

conyzoides berperan sebagai inang B. tabaci, inang alternatif Geminivirus, dan reservoir parasitoid Eretmocerus sp. Gulma A. boehmerioides hanya berperan sebagai inang B. tabaci dan inang alternatif Geminivirus.

Hama B. tabaci dilaporkan telah ada sejak tahun 1800 di Amerika Serikat. Hama ini ditemukan di bagian selatan Amerika dan bermigrasi ke California Utara, dan akhirnya ditemukan pula di bagian barat Amerika dan Canada. Selanjutnya hama ini menyebar ke pulau Caribia, Amerika Serikat dan Amerika Selatan serta Mexico, kemudian menyebar ke Eropa, Afrika, India, Australia (Mc Auslane 2005).

Sebelum tahun 1986, hama B. tabaci hanya bersifat sebagai hama sekunder. Pada tahun 1986 di Florida, serangga ini menjadi serangga yang merugikan secara ekonomi. Hama ini berkembang dengan cepat di Amerika Serikat (Texas, Arizona dan California). Pada tahun 1994, ditemukan spesies baru, yaitu B. argentifolii

(Mc Auslane 2005).

Peranan B. tabaci dalam Penularan Begomovirus

Peranan B. tabaci sebagai vektor Begomovirus yang menyebabkan penyakit pada tanaman sayuran termasuk cabai merah sudah banyak dilaporkan. Menurut Cohen dan Berlinger (1986) populasi kutukebul yang sangat rendah sudah dapat menyebabkan kerusakan tanaman, karena merupakan vektor virus tanaman. Pada umumnya hubungan virus dengan vektornya bersifat persisten akan tetapi pada umumnya tidak diturunkan ke generasi berikutnya melalui telur (non transovarial transmission), walaupun diketahui terdapat begomovirus yang dapat diturunkan ke generasi berikutnya, misalnya TYLCV (Czosnek et al. 1988), dan TYLCV-sar (Bosco et al. 2001). Ghanim et al. (1998) dan Ghanim dan Czosnek (2000) melaporkan bahwa TYLCV-Israel mampu ditularkan secara transovarial oleh B. tabaci selama dua generasi dan melalui kopulasi antar individu.

Perring (2001) menyatakan bahwa terdapat 7 kelompok biotipe B. tabaci, dan biotipe B yang sangat potensial dalam menularkan begomovirus pada berbagai tanaman budidaya, misal CabLCV pada tanaman kubis dan ToMV pada tanaman tomat (Hunter et al. 1998). Secara alamiah begomovirus tidak menular

satu ke tanaman lainnya.

Sulandari (2004) melaporkan bahwa B. tabaci adalah suatu vektor yang sangat efektif, karena pada percobaan di rumah kaca hanya dengan menggunakan satu imago B. tabaci setelah mengisap sumber inokulum selama 48 jam dan melalui periode inokulasi 24 jam sudah dapat menularkan begomovirus penyebab penyakit daun keriting kuning cabai (PepYLCV) sebesar 40%. dan efektifitas penularan meningkat 2 kali apabila digunakan 3 imago. Semakin banyak imago B.

tabaci yang digunakan, efektivitas penularan makin meningkat dan masa

inkubasinya lebih singkat. Brown (1994) menunjukkan bahwa satu ekor B. tabaci

yang telah diberi perlakuan periode makan akuisisi (PMA) selama 48 jam dan periode makan inokulasi (PMI) selama 3 hari, mampu menularkan chino del tomato virus (CdTV) dengan jumlah tanaman terinfeksi 15%. Mehta et al. (1994) melaporkan bahwa satu ekor B. tabaci biotipe B mampu menularkan tomato

yellow leaf curl virus-Mesir (TYLCV-Mesir), dan efisiensi penularannya

meningkat 4 kali jika jumlah serangga ditingkatkan hingga 5 ekor pertanaman. Uzcategui dan Lastra (1978) melaporkan bahwa efisiensi penularan virus oleh B.

tabaci yang dipelihara pada suhu 30 – 34oC adalah 93%, sedangkan yang

dipelihara pada suhu 20-30o

Imago B. tabaci betina lebih efektif dalam menularkan PepYLCV dibandingkan yang jantan. Semua tanaman (100%) tertular oleh PepYLCV yang dibawa imago betina dengan masa inkubasi yang lebih pendek (6 sampai 8 hari) sementara yang jantan hanya mampu menularkan sebanyak 60% dengan masa

C hanya 75%.

Hubungan PepYLCV dengan B. tabaci bersifat persisten akan tetapi pada umumnya tidak diturunkan ke generasi berikutnya melalui telur (non transovarial transmission). Periode akuisisi dan inokulasi yang optimal dari B. tabaci untuk menularkan Pep.YLCV adalah 3 sampai 6 jam, memerlukan periode laten di dalam tubuh vektor selama minimal 9 jam dan periode retensinya sampai serangga mati (Sulandari 2004). Untuk PepYLCV di Thailan, periode makan akuisisi imago

B. tabaci selama 1 jam merupakan waktu yang optimal untuk penularannya, dan

juga lebih ringan, tanaman cabai tidak menjadi kerdil (Sulandari 2004).

Peranan Teknik Budidaya Khususnya Pemanfaatan Tanaman Pembatas Pinggir Untuk Pengendalian Hama dan Konservasi Predator

Pengendalian hama secara budidaya atau bercocok tanam bertujuan mengelola lingkungan tanaman sedemikian rupa sehingga menjadi kurang cocok bagi kehidupan dan perkembangan hama serta dapat mengurangi laju peningkatan populasi hama dan kerusakan tanaman. Disamping itu, diusahakan juga agar lingkungan dapat mendorong berfungsinya musuh alami sebagai pengendali hama yang efektif (Untung 2006).

Mula mula teknik pengendalian secara bercocok tanam yang diterapkan merupakan teknik yang kurang dilihat perpaduannya dengan teknik-teknik pengendalian hama yang lain seperti pemanfaatan musuh alami. Saat ini dalam rangka sistem PHT teknik pengendalian hama secara bercocok tanam mencakup pengertian yang lebih luas yaitu pengelolaan ekologi lingkungan pertanaman (Pedigo 1991). Untuk meningkatkan keefektifan dan efisiensi hasil pengendalian teknik pengendalian secara bercocok tanam perlu dipadukan dengan teknik-teknik pengendalian hama lainnya sesuai dengan prinsip-prinsip PHT (Untung 2006).

Menurut Pedigo (1991) sebagian besar teknik pengendalian secara bercocok tanam berdasarkan sasaran yang akan dicapai dapat dikelompokkan menjadi 4 dan salah satunya adalah mengalihkan populasi hama menjauhi tanaman. Dengan mempelajari sifat preferensi dan kemampuan serangga hama bergerak menjauhi tanaman yang tidak disukai dan menuju ke jenis tanaman yang disenangi dapat diusahakan mengalihkan perhatian hama untuk menjauhi tanaman yang sedang diusahakan.

Penanaman tanaman border di sekitar tanaman yang diusahakan, berfungsi menolak atau menghalangi agar hama menjauhi atau tidak sampai ke tanaman yang diusahakan. Penanaman tanaman border dilakukan dengan menanam jenis tanaman bukan inang atau yang tidak disukai oleh hama sasaran di sekeliling tanaman yang diusahakan. Tanaman bukan inang selain berperan sebagai samaran yang membuat tanaman inang sulit ditemukan, juga berperan sebagai penghalang fisik bagi hama untuk menemukan tanaman inang yang diusahakan. Misalnya

1991). Agar diperoleh hasil dengan baik, waktu penanaman tanaman border harus disesuaikan dengan fenologi hama terutama waktu pemunculan fase hidup hama yang merusak tanaman. Disamping itu perlu dipertimbangkan juga postur tinggi tanaman border harus lebih tinggi dari tanaman utama dan kemampuan ketinggian terbang hama sasaran (Untung 2006).

Menurut Settle et al. (1996) dan Untung (2006), pemanfaatan tanaman border dapat mendorong stabilitas ekosistem sehingga populasi hama dapat ditekan berada dalam kesetimbangannya. Fenomena ini terjadi karena suatu lahan pertanian yang ditanamai berbagai jenis tanaman dapat meningkatkan keragaman vegetasi yang terdapat di dalam ekosistem, sehingga membuat ekosistem tersebut kurang sesuai bagi serangga hama, dan sebaliknya sesuai bagi musuh alami. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi serangga hama ditemukan lebih tinggi pada pertanaman monokultur dari pada pertanaman polikultur. Tingginya populasi serangga hama pada pertanaman dengan vegetasi yang lebih seragam disebabkan oleh laju kolonisasi serangga hama lebih tinggi dan hambatan fisik (barier) serta kimia yang lebih rendah dalam menemukan tanaman inang (Altieri 1991).

Di sisi lain, teknik bercocok tanam seperti penanaman tanaman border dapat mendorong konservasi musuh alami seperti predator. Hal ini terjadi karena pemanfaatan tanaman border merupakan teknik pengendalian hama secara budidaya yang dapat meningkatkan keragaman vegetasi (Untung 2006). Vegetasi yang beragam sangat sesuai bagi kehidupan musuh alami seperti predator yang pada umumnya bersifat generalis. Predator generalis dapat memangsa bermacam- macam mangsa yang tersedia dalam waktu yang lama. Selain itu predator juga dapat memelihara reproduksinya dan meningkatkan lama hidup, karena tersedianya nektar dan tepung sari serta mikrohabitat yang sesuai (Andow 1991; Perfecto dan Sediles 1992; Untung 2006). Dengan demikian, pada vegetasi yang beragam populasi predator generalis itu dapat bertahan dalam tingkat yang lebih tinggi dan dalam waktu yang relatif lama, sehingga predator generalis lebih kuat menekan populasi hama (Risch et al. 1983). Norris dan Kogan (2005) menambahkan dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa populasi predator

dan bertahan lama, sebab makanan (tepung sari dan nektar) tersedia lebih berkesinambungan serta adanya tempat berlindung dan mikrohabitat yang sesuai.

Peranan Predator dalam Pengendalian B. tabaci

Menurut Pedigo (1991) predator adalah organisasi yang hidup bebas dan memakan binatang lain, memangsa kadang-kadang secara utuh dan cepat. Istilah “predatisme” adalah suatu bentuk simbiosis dari dua individu yang salah satu di antara individu tersebut menyerang atau memakan individu lainnya satu atau lebih spesies, untuk kepentingan hidupnya yang dapat dilakukan dengan berulang- ulang. Individu yang diserang disebut mangsa. Menurut Smith (1978) dan Huffaker et al. (1976) dalam pemanfaatan predator, bisa dilakukan dengan mengintroduksi maupun yang sudah ada di suatu daerah kemudian dikelola untuk mengendalikan serangga hama.

Menurut De Bach (1979) dan Untung (2006), populasi hama yang meningkat sehingga menimbulkan kerugian secara ekonomik disebabkan oleh keadaan lingkungan yang kurang memberi kesempatan bagi predator untuk menjalankan fungsi alaminya. Apabila kepada musuh alami dalam hal ini predator kita berikan kesempatan berfungsi, antara lain dengan jalan rekayasa lingkungan seperti introduksi predator, memperbanyak dan melepaskannya, serta mengurangi berbagai dampak negatif terhadap predator, maka predator akan dapat melaksanakan fungsinya dengan baik

Serangga predator pada umumnya bersifat polifag atau oligofag. Coppel and Mertins (1977) menyatakan bahwa spesies predator yang polifag kurang tergantung pada kerapatan populasi serangga hama. Walaupun demikian predator yang polifag memiliki kemampuan yang tinggi dalam beradaptasi terhadap lingkungan, dan memiliki kemampuan memencar yang cepat serta mampu beralih mangsa apabila mangsa utama berkurang. Wiedenmann and Smith (1997) menambahkan bahwa predator yang potensial harus mempunyai kemampuan berkompetisi dan menyabar yang tinggi. Pada tanaman semusim, kolonisasi predator dapat terjadi secara periodik. Pada saat di lapangan tidak ada tanaman habitatnya, predator harus mampu menyebar ke tanaman bukan habitatnya. Pada

mengolonisasi habitat itu.

Studi musuh alami Bemisia spp. di Brasil menemukan sekitar 14 spesies predator (Jervis dan Kidd 1996). Dari jenis predator kumbang kubah (lady beetle),

Nephaspis hydra Gordon dan Delphastus davidsoni Gordon diketahui pertama

kali sebagai pemangsa Bemisia spp. Gerling (1990) menambahkan bahwa ada 19 spesies serangga tercatat sebagai predator yang memangsa B. tabaci yang termasuk pada empat famili yaitu Chrysopidae, Miridae, Anthocoridae dan Stigmaeidae. Setiawati (2005), mengungkapkan beberapa spesies predator yang diketahui efektif terhadap B. tabaci antara lain Coccinella transversalis, Menochilus sexmaculatus, Coenosia attenuate, Delphastus pusillus, Deracocoris pallens, Euscius hibisci, Orius albidipennis, Scymus syriacus. dan Chrysoperla carnea.

Dari hasil penelitian eksplorasi musuh alami di Kabupaten Bandung dan Karawang pada tahun 2005 ditemukan beberapa jenis predator dan parasitoid yang mempunyai potensi untuk mengendalikan hama kutukebul (B. tabaci) pada pertanaman sayuran. Jenis predator kutukebul yang ditemukan adalah beberapa spesies dari famili Coccinellidae (Menochilus sexmaculatus, Coccinella transversalis, Harmonia sp., Curinus coerulus dan Delphastus sp.), Paederus fusipes (Coleoptera: Stapilinidae) dan Condilastylus sp. (Diptera). Jenis parasitoid kutukebul yang ditemukan adalah beberapa spesies dari famili Aphelenidae (seperti Eritmoserus sp., Neopompalae sp. dan Encarsia sp.). (Sudrajat 2009). Berdasarkan hasil pengujian skala laboratorium jenis predator yang potensial untuk dikembangkan adalah M. sexmaculatus, C. transfersalis, Harmonia sp., C. coerulus dan Paederus fuscipes, dengan daya pemangsaan rata-rata berkisar 65%.

Dokumen terkait