164 Dominikus Rato
B. Kajian Pustaka
Sebelum memahami pola pikir masyarakat Using, terlebih dahulu dipahami pengertian paradigma yang dianut. Paradigma adalah world view atau pandangan dunia dari sekelompok ilmuwan tentang diri dan lingkungannya.
Berdasarkan definisi sederhana itu, paradigma adalah semacam pandangan hidup atau falsafah hidup yang memandu pola pikir mereka.
Berdasarkan paradigma itu Kaum Fenomenolog seperti Wessing (1978), Berger dan Luckmann (1991), dan Indarti (2001a) mengatakan bahwa masyarakat (termasuk masyarakat hukum adat, keluarga, dan negara) yang mengonstruksi realitas. Berbeda dengan kaum Fenomenolog, kaum Konstruktivis mengatakan bahwa tidak hanya masyarakat tetapi individu juga mengonstruksi realitas (Suparno, 1997; Indarti, 2001). Pula, masyarakat hukum adat (van Vollenhoven, 1925; bandingkan Lev, 1990) dengan sistem peran dan kekerabatan juga dikonstruksi individu (Kusumohamidjojo, 1999:97) serta totalitas kehidupannya. Totalitas kehidupan itu dikenal dengan kosmos dan pengetahuan mereka tentangnya adalah kosmologi (Wessing, 1978). Dengan konstruksi itu mereka berinteraksi dan menjalankan kehidupannya di dunia ini.
Dengan demikian, realitas sebagai konstruksi masyarakat (masyarakat hukum adat), keluarga, dan negara merupakan resultan konstruksi (Suparno, 1997).
dari keseluruhan konstruksi individu yang ada di dalamnya. Konsep masyarakat hukum adat merupakan pemikiran sentral C. Van Vollenhoven, doktor Ilmu Politik dan Yurisprudence (Ilmu Hukum), anak seorang hakim Belanda yang lahir tanggal 8 Mei 1874. Ia mengatakan bahwa untuk memahami hukum adat orang harus memahami dahulu masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap) yang menjadi bingkai berlakunya hukum adat itu. Masyarakat hukum adat menjadi penekanan dan bukannya individu sebagaimana pandangan Eropa.
Pandangan mana yang memang berasal dari Romawi kuno yang jauh berbeda dengan konsep individu dalam hukum adat.
Orang Romawi menyebut pribadi sebagai individuum (Latin: tidak terpisahkan, tidak terbagi lagi). Adaptasi istilah menjadi individu, seringkali tanpa memahami konsep dan isinya secara tepat. Para pemikir Romawi
sampai pada konsep individuum karena mereka memerlukan suatu konsep mengenai suatu kesatuan terkecil yang utuh dan tidak terpisahkan lagi sebagai penyandang status subjek ius gentium dan ius civilis.
Kosmologi dalam konteks ini adalah suatu konstruksi konseptual dari pengetahuan masyarakat dan individu yang dari padanya sesuatu yang tersembunyi disosialisasikan, dipelajari, dipahami, dan oleh karena itu, diaplikasikan oleh anggota masyarakat. Tersembunyi karena dianggap sakral, yang dihormati, yang sulit dijelaskan tetapi diharuskan untuk dimengerti dan dilaksanakan oleh anggota masyarakat itu. Sehingga sesuatu yang tersembunyi itu (seperti magis, mitos, ritual) eksis dalam totalitas kehidupan yang terus berproses menuju harmoni. Dengan demikian harmoni di dalam alam tetap terjaga, misalnya antara makro (jagad gedhe atau alam) (Effendi, 1979;
Sudiyat, 1978) dengan alam mikro (jagad alit atau manusia). Jagad gedhe dalam konstruksi Jawa misalnya bahwa alam besar ini terdiri atas unsur-unsur tanah, air, udara, api, dan roh. Jagad alit atau manusia terdiri atas unsur-unsur yang sama dengan jagad gedhe namun lebih kecil yaitu tanah, air, udara, api, dan awak atau dulur papat lima awak (pancer, self). Realitas ini telah menjadi semacam world view oleh para anggota masyarakat itu.
Mus (1981) mengatakan bahwa world view (cara pandang dunia) semacam itu tidak hanya terdapat di Jawa melainkan juga di seluruh Indonesia, bahkan di Asia Tenggara, sebelum kedatangan agama wahyu. Hal itu dikatakan oleh Mus (1981:137) sebagai kepercayaan kepada Dewa Tanah atau Dewa Bumi yang merupakan sumber kekuatan fertilitas bumi untuk menumbuhkan, menyuburkan, menghasilkan tanaman, dan sumber air yang menjadi makanan dan minuman makhluk hidup serta mineral yang berguna sebagai sumber daya alam bagi kesejahteraan manusia.
World view di atas oleh kaum modernis yang memandang dirinya lebih rasional, dipandang sebagai hal yang kuno dan ketinggalan zaman. World view mana menjadi landasan filosofis hukum lingkungan pada masyarakat adat. Pandangan ini di tingkat nasional melahirkan benturan antarpara ahli hukum seperti antara Van Vollenhoven dengan Nederburgh (Vollenhoven, 1925; Bremann, 1986; Lev, 1990); kaum Naturalis dengan kaum Historis (Utrecht, 1957; Soemadiningrat, 2002:2−3) atau antara kaum Positivis dan Sociologis (Sociology of Law) (Soemadiningrat, 2002:2−3; Rasjidi dan Rasjidi, 2001:66−67), pada tataran paradigma misalnya. Pandangan Nederburg di atas didukung oleh Daniel S. Lev, yang mengatakan bahwa van Vollenhoven ingin
membekukan orang Indonesia dari pergaulan modern yang dikuasai orang-orang Eropa sehingga orang-orang Indonesia akan tetap tampak tradisional dan berpikiran kolot.
Di Indonesia benturan itu lahir sejak berlakunya Pasal 15 AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving atau Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan di Hindia Belanda) yang mengatakan bahwa kecuali peraturan-peraturan yang ada bagi orang Indonesia asli (Bumi Putera) dan bagi mereka yang dipersamakan dengannya, kebiasaan hanya dapat disebut hukum apabila undang-undang menyebutnya. Ketentuan ini hingga kini diyakini oleh sebagian ahli hukum Indonesia dan menjadikannya sebagai sebuah doktrin hukum. Pandangan di atas, secara acontrario dapat dikatakan bahwa jika undang-undang tidak memberlakukannya, kebiasaan tidak dapat menjadi hukum.
Pasal 15 AB itu berakar pada paradigma positivisme. Pandangan ini memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada negara sebagai satu-satunya pemegang kekuasaan untuk membuat hukum, dan dari kekuasaan yang demikian itu telah menimbulkan benturan dalam pandangan antara pembuat dan pendukung hukum di tingkat nasional dengan pandangan pembuat dan pendukung hukum di tingkat lokal.
Benturan itu terjadi dengan masuknya nilai, simbol, informasi, hal-hal baru/asing/dari luar yang berinteraksi dengan nilai, simbol, informasi, hal-hal lama/asli/dari dalam yang lebih dahulu ada dalam skema individu, masyarakat, dan negara. Dalam interaksi itu nilai, simbol, informasi, hal-hal baru/asing/
dari luar mengalami seleksi dalam skema individu (subjek pendukung hukum) sehingga nilai, simbol, informasi, hal-hal baru/asing/dari luar itu ada yang ditolak, diterima, atau masih dalam proses penyeleksian memerlukan waktu, sedangkan perubahan yang terjadi itu terus berlangsung dengan cepat.
Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan berdasarkan pada tiga alasan.
Pertama, secara teoretis penelitian terhadap aspek kosmologi dalam hukum lingkungan pada masyarakat adat belum banyak dilakukan (Rato, 1996;
Tanya, 2000). Kedua, pada zaman modernitas, pasca modernitas, bahkan globalisasi ini dikatakan sangat menjunjung tinggi rasionalitas (Sindhunata, 1983). Dikatakan pula bahwa dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepercayaan lama sebagaimana diungkapkan di atas telah banyak mengalami perubahan (Benderly, Gallagher, and Young, 1977). Namun, kenyataan di masyarakat Indonesia umumnya dan petani khususnya, masih
memperlihatkan konstruksi pemikiran dan perbuatan yang berkenaan dengan kosmologi dari para anggotanya yang oleh kaum modern dikatakan tidak rasional. Akan tetapi justru pemikiran dan perbuatan yang berkenaan dengan kosmologi itulah merupakan eksistensi hukum adat (Sudiyat, 1978;
Wignjodipuro, 1978). Ketiga, UU No. 23 Tahun 1997 dan yang telah diberi roh baru dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, itulah yang menjadi teba telaah (objek) kajian ini.
Dalam kosmologi, tujuan akhir masyarakat adalah adanya harmoni.
Akan tetapi harmoni itu bersifat sementara (dalam keadaan selalu berproses) karena ia merupakan hasil konsensus, penyesuaian diri, atau pelembagaan ulang (reinstitusional) dalam masyarakat (Malinowski, 1959). Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan diperlukan upaya interaktif terus-menerus dan di kalangan masyarakat Using hidup diterjemahkan sebagai berbuat atau hidup itu perjuangan yang harus dijalankan, ”urip gedigu poliah (Jw. polah = perilaku/berbuat).” Hidup memiliki beberapa arti: 1) hidup adalah berbuat;
2) hidup adalah berubah (Jw, owah = ubah); 3) hidup adalah bergerak. Dalam pengertian ini, orang yang hidup harus berbuat; jika ia berbuat baik, disebut perbuatan itu baik, dan jika berbuat tidak baik, perbuatan itu disebut jahat.
Baik atau jahat tentu ada ukuran, dan ukurannya adalah norma (norma agama, norma moral, norma sosial, dan norma hukum).
Orang harus melakukan perubahan dalam hidup pribadi, keluarga, kerabat, berbangsa, dan bernegara. Jika tidak ada perubahan, Indonesia masih tetap dijajah. Perubahan juga dalam arti perkembangan atau modernisasi, adaptasi, akulturasi, dan inkulturasi. Masyarakat beradab harus terus berubah menuju yang lebih baik, lebih benar, dan lebih harmoni.
Dalam pada itu, berbuat atau perjuangan itu melahirkan perubahan, dalam proses perubahan itu melahirkan benturan-benturan. Benturan itu dapat menimbulkan kegoncangan kosmis. Akan tetapi, keadaan itu, oleh masyarakat Using dianganggap sebagai hal yang wajar, sunatullah (Indarti, 2001).
Dalam upaya untuk mencapai harmoni dalam pola pikir tentang hukum lingkungan, masyarakat dan individu mengontruksi sarana dan prasarana sebagai media, baik yang bersifat material maupun immaterial. Yang bersifat material terdiri atas harta benda sebagai bekal materi, sedangkan yang immaterial terdiri atas sistem nilai, simbol-simbol, dan kaidah hukum yang oleh Clifford Geertzs disebut local knowledge (1998).
Hukum adalah salah satu media hasil konstruksi masyarakat yang dapat digunakan untuk mencapai harmoni itu. Dengan kosmologi, masyarakat mengonstruksi simbol, norma, dan nilai. Agar ada harmoni antara nilai, norma, dan simbol dengan perbuatan di dalam hukum lingkungan dalam suatu masyarakat, sebaiknya ia berlandaskan dan bersumberkan pada kosmologi masyarakat itu. Perubahan yang terjadi dalam kosmologi merupakan perubahan pada tataran nilai (Rato, 2009). Oleh karena itu, hukum adat pada masyarakat adat manapun di Indonesia selalu berorientasi pada harmoni, sesuai dengan logika dan pola pikir masyarakat hukum adat itu.
Kajian ini difokuskan pada tataran nilai yang melandasi pembentukan norma hukum. Perubahan pada tataran nilai akan dengan sendirinya mengubah tataran simbol, norma, dan perbuatan. Perubahan pada tataran simbol, norma, dan perbuatan belum tentu dengan sendirinya mengubah tata nilai.
Memahami peran kosmologi, secara khusus bagi masyarakat lokal kegunaannya adalah membantu/memandu masyarakat di dalam melakukan upaya-upaya berkenaan dengan suasana/situasi perubahan yang mereka hadapi serta kemudian memastikan agar mereka mencapai (kembali) harmoni, dalam kaitannya dengan dialektika antara hal-hal “baru” yang dihadirkan oleh perubahan dengan hal-hal yang “lama” yang selama ini mereka ketahui, termasuk hukum yang berkenaan dengan tanah.
Selain itu manfaat dari hasil kajian ini adalah pertama, memberikan pemahaman kepada para ahli hukum, pelaku hukum, penegak hukum, atau pembelajar hukum tentang bagaimana hukum lokal mengendalikan hubungan antarwarga; kedua, bagaimana hukum lokal berinteraksi dengan hukum adat, hukum negara, bahkan hukum agama; ketiga, bagaimana proses interaksi tersebut menuju harmoni/ekuilibrium; keempat, bagaimana hukum lokal memainkan peranannya (memfasilitasi masyarakat untuk) memasuki era keterbukaan yang dibawa oleh super information atau information highway, dan globalisasi.
Jika perubahan terjadi pada tataran nilai, hal itu dapat dijadikan landasan perubahan norma, simbol, dan perbuatan hukum lingkungan. Misalnya pada hukum yang mengatur tentang air, hutan, dan udara (Sudiyat, 1978;
Rato, 1993). Di Indonesia misalnya, oleh karena perubahan itu datangnya dari pemerintah sebagai akibat dari kebijakan top down (Soetrisno, 1989) perubahan itu dirasakan sebagai beban (Tanya, 2000). Oleh karena itu,
menurut Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN, 1999) kebudayaan (termasuk hukum sebagai aspek kebudayaan) harus dilindungi.
Pandangan itu mungkin benar di suatu tempat tetapi belum tentu di tempat lain. Masyarakat Using memandang bahwa hidup ini adalah perjuangan. Oleh karena itu, budaya (termasuk hukum) dari luar/asing yang masuk ke dalam masyarakat tidak dipandang sebagai beban tetapi sebagai tantangan yang harus dijawab. Tantangan dapat berubah menjadi peluang yang dapat memperkaya budaya masyarakat (Rato, 2009). Hal itu memang terlihat jelas dalam bidang kesenian. Di bidang ini jumlah kesenian tradisional berjumlah 26 buah, kesenian daerah 30 buah, dan kesenian modern berjumlah 5 buah. Kesenian daerah adalah kesenian hasil kreasi anggota masyarakat sebagai perpaduan antara seni tradisional dan seni modern. Dengan menambah salah satu atau beberapa alat instrumen seni modern ke dalam seni tradisional menghasilkan seni kreasi, seperti seni musik, gerak, drama, sendratari, ukir, dan lukis.