• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Kepuasan Kerja

a. Pengertian Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja merupakan hal penting yang harus dimiliki seseorang dalam bekerja. Kepuasan kerja memiliki sifat dinamis. Artinya, bahwa rasa puas itu bukan keadaan yang tetap karena dapat dipengaruhi dan dapat diubah oleh kekuatan-kekuatan, baik di dalam maupun di luar lingkungan kerja. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan sistem nilai-nilai yang berlaku pada dirinya. Kepuasan kerja dapat menurun secepat kepuasan kerja itu timbul sehingga hal ini mengharuskan para pemimpin perusahaan untuk lebih memperhatikannya.

Menurut Blum (dalam As’ad, 2000:102) kepuasan adalah suatu sikap yang umum sebagai hasil dari berbagai sifat khusus individu terhadap faktor kerja, karakteristik individu, dan hubungan sosial individu di luar pekerjaan itu sendiri.

Menurut Hani Handoko (1994:143) kepuasan kerja dapat diartikan sebagai suatu keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka.

Sedangkan Tiffin (dalam As’ad, 2000:104) berpendapat bahwa kepuasan kerja merupakan sikap karyawan terhadap pekerjaan, situasi kerja, kerjasama diantara pimpinan dan sesama karyawan.

Sementara Robbert Hoppeck (dalam As’ad, 1978:62) memandang bahwa kepuasan kerja merupakan penilaian dari pekerja bahwa seberapa jauh pekerjaannya secara keseluruhan memuaskan kebutuhannya.

Dari pendapat beberapa ahli di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa kepuasan kerja merupakan suatu sikap positif yang dimiliki seorang karyawan terhadap kondisi finansial, fisik, sosial, dan psikologi serta situasi kerja.

b. Faktor-faktor Kepuasan Kerja

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja menurut Moh As’ad (1987:117-118), adalah:

1) Kepuasan psikologis, yaitu faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan. Hal ini meliputi; minat, ketentraman dalam bekerja, sikap terhadap kerja, bakat, dan keterampilan.

2) Kepuasan fisik, yaitu faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan. Hal ini meliputi; jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja dan istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan atau suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan dan umur.

3) Kepuasan finansial, yaitu terpenuhinya keinginan karyawan terhadap finansial yang diterimanya untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari sehingga kepuasan kerja bagi karyawan dapat terpenuhi. Hal ini meliputi; sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, macam-macam tunjangan, fasilitas yang diberikan serta promosi.

4) Kepuasan sosial, yaitu faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik antara sesama karyawan, dengan atasannya maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya. Hal ini meliputi; rekan kerja yang kompak, pemimpin yang adil dan bijaksana, serta pengarahan dan perintah yang wajar (Heidjrachman dan Suad Husnan, 1984:184).

B. Kinerja Karyawan

a. Pengertian Kinerja Karyawan

Beberapa ahli mendefinisikan kinerja karyawan, di antaranya: Mohamad Mahsun (2006:25), yaitu gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan/dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi yang tertuang dalam

strategic planning suatu organisasi.

Prawirosentono (1999:2) mendefinisikan kinerja karyawan sebagai hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan secara ilegal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.

Sedangkan menurut Simamora (2004:339) mengatakan bahwa kinerja mengacu kepada kadar pencapaian tugas-tugas yang membentuk sebuah pekerjaan karyawan. Kinerja merefleksikan seberapa baik karyawan memenuhi persyaratan sebuah pekerjaan.

Dari pendapat para ahli di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa kinerja karyawan merupakan tingkat pencapaian seseorang atau kelompok orang dalam melaksanakan kegiatan/program/kebijakan untuk mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi sesuai wewenang dan tanggungjawab yang telah diberikan kepada masing-masing individu atau kelompok.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kinerja Karyawan

Kinerja merupakan suatu kontruksi multidimensi yang mencakup banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut terdiri atas faktor instrinsik karyawan atau SDM dan ekstrinsik, yaitu kepemimpinan, sistem, tim, dan situasional. Uraian rinci faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut (Tb. Sjafri M, 2007:155-156):

1) Faktor personal atau individual, meliputi unsur pengetahuan, keterampilan (skill), kemampuan, kepercayaan diri, motivasi, dan komitmen yang dimiliki tiap individu karyawan.

2) Faktor kepemimpinan, meliputi aspek kualitas manajer dan team leader dalam memberikan dorongan, semangat, arahan, dan dukungan kerja pada karyawan.

3) Faktor tim, meliputi kualitas dukungan dan semangat yang diberikan oleh rekan dalam satu tim, kepercayaan terhadap sesama anggota tim, kekompakan dan keeratan anggota tim.

4) Faktor sistem, meliputi sistem kerja, fasilitas kerja atau infrastruktur yang diberikan oleh organisasi, proses organisasi, dan kultur kinerja dalam organisasi.

5) Faktor kontekstual (situasional), meliputi tekanan dan perubahan lingkungan eksternal dan internal.

C. Gaya Kepemimpinan Situasional a. Pengertian Pemimpin

Pemimpin adalah pengembala, dan setiap pengembala akan ditanyakan tentang perilaku penggembalaannya. Ungkapan ini membuktikan bahwa seorang pemimpin apapun wujudnya, di mana pun letaknya akan selalu mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan kepemimpinannya (Thoha, 2007:1). Menurut Thoha (2007:4) mendefinisikan pemimpin sebagai seseorang yang mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi perilaku orang lain.

b. Pengertian Kepemimpinan

Kepemimpinan kadangkala diartikan sebagai pelaksanaan otoritas dan pembuatan keputusan. Ada juga yang mengartikan suatu inisiatif untuk bertindak yang menghasilkan suatu pola yang konsisten dalam rangka mencari jalan pemecahan dari suatu persoalan bersama. Lebih jauh lagi Terry (dalam Thoha, 2007:5) merumuskan bahwa kepemimpinan itu adalah aktivitas untuk mempengaruhi orang-orang supaya diarahkan mencapai tujuan organisasi.

Beberapa ahli mendefinisikan kepemimpinan (dalam Saydam, 2005:700), antara lain:

1) Robert Dubin menyebutkan bahwa kepemimpinan adalah aktivitas pemegang kewenangan dan pengambil keputusan (Leadership is the

exercises of authority and the making of decisions).

2) Siagian menyebutkan bahwa kepemimpinan merupakan inti dari manajemen, karena kepemimpinan adalah motor penggerak bagi sumber daya manusia dan sumber daya alam lainnya.

3) Stogdill menyebutkan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi aktivitas kelompok dalam upaya perumusan dan pencapaian tujuan (Leadership is the process of influencing group

activities toward goal setting and goal achievement).

Menurut pendapat Handoko (1984:294), kepemimpinan merupakan kemampuan yang dipunyai seseorang untuk mempengaruhi dan mengarahkan orang-orang lain agar bekerja mencapai tujuan dan sasaran.

Dari pendapat para ahli di atas dalam mengemukakan pengertian kepemimpinan, maka dapat disimpulkan kepemimpinan adalah aktivitas atau seni untuk mempengaruhi perilaku orang lain baik individu maupun kelompok agar mereka bersedia diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu.

Teori-teori kepemimpinan yang dikembangkan dari beberapa hasil penelitian menurut Evans dan Robert House (dalam Thoha, 2007:42) yang dikenal dengan nama teori part goal. Secara pokok, teori part goal berusaha untuk menjelaskan pengaruh perilaku pemimpin terhadap motivasi, kepuasan, dan pelaksanaan pekerjaan bawahannya. Teori part goal, memasukkan empat tipe atau gaya utama kepemimpinan yang dijelaskan sebagai berikut:

1) Kepemimpinan direktif. Tipe ini sama dengan model kepemimpinan otokratis dari Lippitt dan White. Bawahan tahu dengan pasti apa yang diharapkan darinya dan pengarahan yang khusus diberikan oleh pemimpin. Dalam model ini tidak ada partisipasi dari bawahan.

2) Kepemimpinan yang mendukung (Supportive leadership). Kepemimpinan model ini mempunyai kesediaan untuk menjelaskan sendiri, bersahabat, mudah didekati, dan mempunyai perhatian kemanusiaan yang murni terhadap para bawahannya.

3) Kepemimpinan partisipatif. Pada gaya kepemimpinan ini, pemimpin berusaha meminta dan menggunakan saran-saran dari para bawahannya. namun pengambilan keputusan masih tetap berada padanya.

4) Kepemimpinan yang berorientasi pada prestasi. Gaya kepemimpinan ini menetapkan serangkaian tujuan yang menantang para bawahannya untuk berpartisipasi. Pemimpin juga memberikan keyakinan kepada mereka bahwa mereka mampu melaksanakan tugas pekerjaan mencapai tujuan secara baik.

c. Pengertian Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat. Dalam hal ini usaha menyelaraskan persepsi di antara orang yang akan mempengaruhi perilaku dengan orang yang perilakunya akan dipengaruhi menjadi amat penting kedudukannya (Thoha, 2007:49). Thoha (2007:76), gaya kepemimpinan adalah suatu pola

perilaku yang konsisten yang kita tunjukkan dan diketahui oleh pihak lain ketika berusaha mempengaruhi kegiatan-kegiatan orang lain.

Berikut beberapa gaya kepemimpinan yang di kembangkan oleh para ahli, antara lain:

1) Gaya kepemimpinan kontinum (otokrasi dan demokrasi). Tannenbaum dan Warren Schmidt (dalam Thoha, 2007:50), menggambarkan dua bidang pengaruh yang ekstrem, yaitu:

a) Pertama, bidang pengaruh pimpinan. Pada bidang pertama pemimpin menggunakan otoritasnya dalam gaya kepemimpinannya.

b) Kedua, bidang pengaruh kebebasan bawahan. Pada bidang kedua pemimpin menunjukkan gaya yang demokratis dalam gaya kepemimpinannya.

2) Gaya kepemimpinan managerial grid. Dikembangkan oleh Robert Blake dan Jane Monton (dalam Thoha, 2007:53), menekankan bagaimana manajer memikirkan produksi dan hubungan kerja dengan karyawannya.

3) Gaya kepemimpinan tiga dimensi. Model gaya kepemimpinan yang dibangun oleh Reddina adalah gaya kepemimpinan yang cocok dan yang mempunyai pengaruh terhadap lingkungannya. Reddina membagi dua gaya kepemimpinannya, yaitu (dalam Thoha, 2007:57-58):

a) Gaya yang efektif, antara lain:

(1) Eksekutif. Gaya ini banyak memberikan perhatian pada tugas-tugas pekerjaan dan hubungan kerja (motivator yang baik). (2) Pencinta pengembangan (developer). Gaya ini memberikan

perhatian yang maksimum terhadap hubungan kerja, dan perhatian yang minimum terhadap tugas-tugas pekerjaan.

(3) Otokratis (benevolent autocrat). Gaya ini memberikan perhatian yang maksimum terhadap tugas, dan perhatian yang minimum terhadap hubungan kerja.

(4) Birokrat. Gaya ini memberikan perhatian yang minimum terhadap baik tugas maupun hubungan kerja.

b) Gaya yang tidak efektif, antara lain:

(1) Pencinta kompromi (compromiser). Gaya ini memberikan perhatian yang besar pada tugas dan hubungan kerja dalam suatu situasi yang menekankan pada kompromi.

(2) Missionary. Gaya ini memberikan penekanan yang maksimum

pada orang-orang dan hubungan kerja, tetapi memberikan perhatian yang minimum terhadap tugas dengan perilaku yang tidak sesuai.

(3) Otokrat. Gaya ini memberikan perhatian yang maksimum terhadap tugas dan minimum terhadap hubungan kerja dengan suatu yang tidak sesuai.

(4) Lari dari tugas (deserter). Gaya ini sama sekali tidak memberikan perhatian baik pada tugas maupun pada hubungan kerja.

4) Gaya empat sistem dari Likert. Menurut Likert (dalam Thoha, 2007:58-61), pemimpin dapat berhasil jika bergaya participative management. Gaya ini menetapkan bahwa keberhasilan pemimpin adalah jika berorientasi pada bawahan, dan mendasarkan pada komunikasi. Likert merancang empat sistem kepemimpinan dalam manajemen, yaitu:

a) Exploitive-authoritative. Manajer dalam hal ini sangat otokratis,

mempunyai sedikit kepercayaan kepada bawahannya, mengeksploitasi bawahan, dan bersikap paternalistik.

b) Benevolent authoritative. Pemimpin yang termasuk dalam sistem ini

mempunyai kepercayaan yang terselubung, percaya pada bawahan, mau memotivasi dengan hadiah-hadiah dan ketakutan berikut hukuman-hukuman, memperbolehkan adanya komunikasi ke atas, mendengarkan pendapat-pendapat, ide-ide dari bawahan, dan memperbolehkan adanya delegasi wewenang dalam proses keputusan.

c) Manajer konsultatif. Pemimpin dengan gaya ini mau melakukan

motivasi dengan penghargaan dan hukuman yang kebetulan, dan juga berkehendak melakukan pertisipasi, serta menetapkan dua pola hubungan komunikasi yakni ke atas dan ke bawah.

d) Partisipative group. Dalam hal ini manajer mempunyai kepercayaan

5) Gaya Kepemimpinan Situasional. Kepemimpinan situasional adalah suatu metode pelaksanaan kepemimpinan secara mikro, artinya bagaimana seorang pemimpin harus menghadapi orang-orang yang dipimpinnya sehari-hari. Di balik kepemimpinan situasional terdapat suatu filosofi bahwa seorang pemimpin haruslah mengubah orang lain, meneladani, serta “telaten” mengamati kemajuan dari orang yang dia pimpin. Ia harus memiliki sensitivitas untuk membaca siapa yang ia pimpin sehingga dapat menentukan gaya memimpin yang paling cocok bagi mereka. Hal yang paling penting dari kepemimpinan tersebut, ialah bagaimana sang pemimpin menolong agar orang yang ia pimpin mengalami transformasi dan tidak berhenti pada satu tingkat kedewasaan saja.

Menurut Hersey dan Blanchard (dalam Thoha, 2007:63), kepemimpinan situasional didasarkan pada hal-hal berikut ini:

a) Jumlah petunjuk dan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan. b) Jumlah dukungan sosioemosional yang diberikan oleh pimpinan.

c) Tingkat kesiapan atau kematangan para pengikut yang ditunjukkan dalam melaksanakan tugas khusus, fungsi, atau tujuan tertentu.

Gambar 2.1 Gaya Kepemimpinan Situasional

Ada empat jenis gaya kepemimpinan dasar di dalam model Kepemimpinan Situasional (Blanchard, 2007:106-110):

a) Gaya kepemimpinan mengarahkan: Misalkan anda baru saja mempekerjakan seorang sales. Ada tiga hal yang menjadi tanggung jawab seorang sales, yaitu penjualan, administrasi, dan kontribusi tim. Karena sales tersebut sudah mempunyai pengalaman dalam hal administrasi dan kontribusi tim. Hasilnya, pelatihan pertamanya akan fokus kepada hal-hal yang berhubungan dengan masalah penjualan, karena ia memang tidak menguasai bidang penjualan, bagian di mana dia menjadi pemula antusias. Oleh karena itu dalam ruang lingkup kerjanya, mengarahkan adalah gaya kepemimpinan yang paling sesuai. Dengan kata lain pemimpin menyediakan arahan yang spesifik dan mengawasi hasil penjualannya, perencanaan, dan prioritas apa yang harus diselesaikan agar ia bisa sukses.

b) Gaya kepemimpinan melatih: Sales mengerti dasar-dasar penjualan tetapi ia kesulitan untuk menguasainya. Anda melihat kalau ia sedikit kehilangan arah, tidak termotivasi, merasa tidak nyaman, dan frustasi. Pada akhirnya mengganggu dan mengurangi komitmennya. Keadaan seperti ini disebut dengan pembelajar yang kecewa. Yang dibutuhkan sekarang adalah gaya kepemimpinan melatih, yang terfokus kepada memberikan arahan dan dukungan. Anda terus memberikan arahan dan memperhatikan usahanya untuk menjual, terlibat dalam dialog dua arah, Anda juga harus sering memberikan pujian dan penghargaan karena

Anda ingin membangun rasa percaya dirinya, mengembalikan komitmennya, dan mendorongnya untuk menjadi lebih berinisiatif. c) Gaya kepemimpinan mendukung: Sales sudah mulai memahami proses

menjual dan melayani klien dengan baik tetapi ia ragu jika ia bisa benar-benar terjun sendiri. Di tahapan ini, ia adalah seorang pelaksana yang mampu tapi ragu-ragu di mana komitmen menjualnya berubah dari keyakinan, antusiasme menjadi perasaan tidak aman. Saat inilah gaya kepemimpinan mendukung dibutuhkan. Ia hanya membutuhkan sedikit arahan tetapi membutuhkan dukungan yang besar dari Anda untuk meningkatkan keyakinannya yang sedang melemah.

d) Gaya kepemimpinan menugaskan: Pada tahapan ini, ia sudah menguasai tugas-tugas dan keterampilan menjual, ia juga sudah berhadapan dengan klien-klien besar yang menantang dan menangani mereka dengan sukses. Di tahapan ini, ia adalah seorang pencapai mandiri dalam hal penjualan. Untuk orang yang sudah berada di level ini, menugaskan adalah gaya kepemimpinan yang terbaik. Yang harus Anda lakukan adalah mengakui hasil kerjanya yang mengagumkan dan menyediakan sumber-sumber daya yang ia butuhkan untuk melaksanakan tugasnya menjual.

Dengan demikian, kepemimpian situasional berfokus pada kesesuaian atau efektivitas gaya kepemimpinan sejalan dengan tingkat kematangan atau perkembangan yang relevan.

D. Kerangka Berpikir

1. Hubungan kepuasan kerja dari aspek fisik dengan kinerja karyawan yang diperkuat oleh gaya kepemimpinan situasional.

Pada umumnya dalam menjalankan bidang usaha, perusahaan menginginkan peningkatan efektifitas dan efisiensi usahanya. Untuk mempertinggi efektifitas dan efisiensi usahanya diperlukan peningkatan kinerja yang baik. Kinerja merupakan hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya

mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika (Prawirosentono, 1999:2).

Kepuasan kerja menjadi faktor yang cukup penting dalam menentukan kinerja, karena terbukti besar manfaatnya bagi kepentingan individu maupun perusahaan. Bagi perusahaan, penelitian kepuasan kerja dilakukan dalam rangka usaha untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Sedangkan kepuasan kerja mempunyai peranan yang sangat penting bagi karyawan, karena karyawan merupakan salah satu kekuatan utama dari perusahaan yang menginginkan terpenuhinya faktor-faktor kepuasan kerja. Menurut Moh As’ad (1987:117-118) terdapat empat faktor kepuasan kerja, salah satunya kepuasan fisik, yaitu faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi fisik karyawan. Hal ini meliputi; jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja dan istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan atau suhu, penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan dan umur.

Tinggi/rendahnya hubungan kepuasan kerja dari aspek fisik dengan kinerja karyawan diduga akan kuat jika pemimpin menggunakan kepemimpinan dasar dalam model kepemimpinan situasional, yaitu: 1) mengarahkan, 2) melatih, 3) mendukung, 4) menugaskan, dalam menjalankan bidang usahanya. Diduga pemimpin yang menggunakan gaya kepemimpinan situasional ini akan lebih meningkatkan kinerja karyawan (Blanchard, 2007:106-110).

Berdasarkan uraian di atas, ada kemungkinan gaya kepemimpinan situasional berpengaruh terhadap hubungan antara kepuasan kerja fisik dengan kinerja karyawan.

2. Hubungan kepuasan kerja dari aspek sosial dengan kinerja karyawan yang diperkuat oleh gaya kepemimpinan situasional.

Kinerja karyawan adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan/dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic

planning suatu organisasi (Mohamad Mahsun, 2006:25). Kinerja karyawan

merupakan perwujudan hasil kerja karyawan, baik secara individu maupun secara kelompok sesuai bidang pekerjaannya. Rendahnya suatu kinerja diakibatkan gagalnya pelaksanaan suatu hasil pekerjaan, sebaliknya tingginya suatu kinerja diakibatkan berhasilnya pelaksanaan suatu hasil pekerjaan. Tinggi atau rendahnya suatu hasil pekerjaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu faktor kepuasan kerja.

Kepuasan menjadi faktor yang cukup penting dalam menentukan kinerja sebuah perusahaan. Karena terbukti besar manfaatnya bagi kepentingan individu maupun perusahaan. Bagi perusahaan, penelitian kepuasan kerja dilakukan dalam rangka usaha untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Sedangkan kepuasan kerja mempunyai peranan yang sangat penting bagi karyawan, karena karyawan merupakan salah satu kekuatan utama dari perusahaan yang menginginkan terpenuhinya faktor-faktor kepuasan kerja, salah satunya kepuasan kerja sosial. Kepuasan sosial, yaitu

faktor yang berhubungan dengan interaksi sosial baik antara sesama karyawan, dengan atasannya maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya. Hal ini meliputi; rekan kerja yang kompak, pemimpin yang adil dan bijaksana, serta pengarahan dan perintah yang wajar (Heidjrachman dan Suad Husnan, 1984:184).

Untuk mempertinggi hubungan kepuasan kerja dari aspek sosial dengan kinerja karyawan diduga akan lebih kuat jika pemimpin menggunakan kepemimpinan dasar dalam model kepemimpinan situasional, yaitu: 1) mengarahkan, 2) melatih, 3) mendukung, 4) menugaskan, dalam menjalankan bidang usahanya (Blanchard, 2007:106-110).

E. Model Penelitian

Keterangan:

Kepuasan kerja fisik. Kepuasan kerja sosial

: Gaya kepemimpinan situasional. Y : Kinerja karyawan.

Y

X3 X1

F. Hipotesis Penelitian

Ha1: Ada hubungan kepuasan kerja fisik dengan kinerja karyawan ditinjau dari gaya kepemimpinan situasional.

Ha2: Ada hubungan kepuasan kerja sosial dengan kinerja karyawan ditinjau dari gaya kepemimpinan situasional.

Dokumen terkait