• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Interferensi Bahasa Jawa

1. Pengertian Interferensi

Alwasilah (1985:131) mengetengahkan pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman dan Stonk bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencangkup pengucapan satuan bunyi, tata bahasa, dan kosa kata. Sementara itu, Jendra (1991:109) mengemukakan bahwa interferensi meliputi berbagai aspek kebahasaan, bisa menyerap dalam bidang tata bunyi (fonologi), tata bentukan kata (morfologi), tata kalimat (sintaksis), kosakata (leksikon), dan tata makna (semantik) (Suwito, 1985:55).

Interferensi, menurut Nababan (1984), merupakan kekeliruan yang terjadi sebab akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua. Senada dengan itu, Chaer dan Agustina (1995:168) mengemukakan bahwa interferensi adalah penyimpangan norma dari salah satu bahasa atau lebih. Untuk memantapkan pemahaman mengenai pengertian interferensi, berikut ini akan diketengahkan pokok-pokok pikiran para ahli dibidang sosiolunguistik yang telah mendefinisikan peristiwa ini.

Menurut pendapat Chaer (1998:159) interferensi pertama kali digunakan oleh Weinrich untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Interferensi mengacu pada adanya penyimpangan dalam menggunakan suatu bahasa dengan memasukkan sitem bahasa lain. Serpihan-serpihan klausa dari bahasa lain dari suatu kalimat bahasa lain juga dapat dianggap sebagai peristiwa interferensi. Sedangkan, menurut Hartman dan Stonk dalam Chair (1998:160) interferensi terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibuk atau dialek ke dalam bahasa atau bahasa kedua.

Valdman dalam Abdulhayi (1985:8) merumuskan bahwa interferensi merupakan hambatan sebagai akibat kebiasaan pemakai bahasa ibu (bahasa pertama) dalam penguasaan bahasa yang dipelajari (bahasa kedua). Sebagai konsekuensinya, terjadi transfer atau pemindahan unsur negatif dari bahasa ibu ke dalam bahasa sasaran.

Pendapat lain mengenai interferensi dikemukakan oleh Alwasilah (1985:131) mengetengahkan pengertian interferensi berdasarkan rumusan Hartman dan Stonk, bahwa interferensi merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh adanya kecenderungan. Membiasakan pengucapan (ujaran) suatu bahasa terhadap bahasa lain mencangkupi pengucapan satuan bunyi, tata bahasa dan kosa kata. Yusuf (1994:67) menyatakan bahwa faktor utama

yang dapat menyebabkan interferensi antara lain perbedaan antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Perbedaan itu tidak hanya dalam struktur bahasa melainkan juga keragaman kosa kata.

Pengertian lain dikemukakan oleh Jendra (1995:187) menyatakan bahwa interferensi sebagai gejala penyusupan sistem suatu bahasa kedalam bahasa lain. Interferensi timbul karena dwibahasawan menerapkan sistem satuan bunyi (fonem) bahasa pertama ke dalam sistem bunyi bahasa kedua sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan atau penyimpangan pada sistem fonemik bahasa penerima.

Interferensi merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan dalam perkembangan bahasa. Dalam bahasa besar, yang kaya kan kosa kata seperti bahasa Inggris dan Arab pun, dalam perkembangannya tidak dapat terlepas dari interferensi, terutama untuk kosa kata yang berkenaan dengan budaya dan alam lingkungan dan alam lingkungan bahasa donor. Gejala interferensi dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain sulit untuk dihindari. Terjadinya gejala interferensi juga tidak terlepas dari perilaku dari penutur bahasa penerima.

Menurut Bawa (1981:8), ada tiga ciri pokok atau sikap bahasa. Ketiga ciri pokok bahasa itu adalah:

a. Language loyallity, yaitu sikap loyalitas.

b. Language pride, yaitu sikap kebanggaan terhadap bahasa.Anwareness of the norm, yaitu sikap sadar terhadap adanya norma bahasa.

Jika wawasan terhadap ketiga ciri pokok atau sikap bahasa itu kurang sempurna dimiliki seseorang, berarti penutur bahasa itu bersifat kurang positif terhadap keberadaan bahasanya. Kecenderungan itu dapat dipandang sebagai latar belakang munculnya interferensi. Dari segi kemurnian bahasa, interferensi pada tingkat apapun (fonologi,morfologi,dan sintaksis) merupakan penyakit yang merubah bahasa, jadi perlu dihindari (Chaer dan Agustina (1998:165).

Jendra (1991:105) menyatakan bahwa dalam interferensi terdapat tiga unsur pokok, yaitu bahasa sumber atau bahasa donor, yaitu bahasa yang menyusup unsur-unsur atau sistemnya kedalam bahasa lain;bahasa penerima atau bahasa resipien, yaitu bahasa yang menerima atau bahasa yang disisipi oleh bahasa sumber; dan adanya unsur bahasa yang terserap (importasi) atau unsur serapan.

Dalam komunikasi bahasa menjadi sumber serapan pada saat tertentu akan beralih peran menjadi bahasa penerima pada saat yang lain, dan sebaliknya. Begitu juga dengan bahasa penerima dapat berperan sebagai bahasa sumber. Dengan demikian, interferensi dapat terjadi secara timbal balik.

Suwito (1983:52), seperti halnya Jendra juga memandang bahwa interferensi pada umumnya dianggap sebagai gejala tutur (speech,parole), hanya terjadi pada dwibahasawan dan peristiwanya dianggap sebagai penyimpangan. Interferensi dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu terjadi

karena unsur-unsur serapan yang sebenarnya telah ada padanya dalam bahasa penyerap, sehingga cepat atau lambat sesuai dengan perkembangan bahasa penyerap, diharapkan makin berkurang atau sampai batas yang paling minim.

Interferensi merupakan gejala perubahan terbesar, terpenting dan paling dominan dalam bahasa (Hockett dalam Suwito, 1983:54). Dari pendapat hockett tersebut perlu dicermati bahwa gejala kebahasaan ini perlu mendapatkan perhatian besar. Hal ini disebabkan interferensi dapat terjadi di semua komponen kebahasaan, mulai bidang tata bunyi, tata bentuk, tata kalimat, tata kata, dan tatamakna. Berdasarkan hal tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam proses interferensi ada tiga hal yang mengambil peranan, yaitu: a. Bahasa sumber atau bahasa donor

b. Bahasa penyerap atau bahasa respien 2. Jenis-Jenis Interferensi

Menurut Weinreich dalam Aslinda dan Leny (2007 : 66-67) interferensi dapat terjadi pada semua tuturan bahasa dan dapat dibedakan dalam beberapa jenis. Weinreich dalam Aslinda dan Leny (2007:67) mengidentifikasikan empat jenis interferensi sebagai berikut:

a. Pemindahan unsur dari satu bahasa kebahasa lain.

b. Perubahan fungsi dan kategori unsur karena proses pemindahan.

c. Penerapan unsur-unsur yang tidak berlaku pada bahasa kedua ke dalam bahasa pertama.

d. Pengabdian struktur bahasa kedua karena tidak terdapat padanannya dalam bahasa pertama.

Sebab-sebab Interferensi

Selain kontak bahasa, menurut Wenrich (1970: 64-65) ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi, antara lain:

a. Kedwibahasaan peserta tutur

Kedwibahasaan peserta tutur merupakan pangkal terjadinya interferensi dan berbagai pengaruh lain dari bahasa sumber, baik dari bahasa daerah maupun bahasa asing. Hal itu disebabkan terjadinya kontak bahasa dalam diri penutur yang dwibahasawan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan interferensi.

b. Tipisnya kesetiaan pemakai bahasa penerima

Tipisnya kesetiaan dwibahasawan terhadap bahasa penerima cenderung akan menimbulkan sikap kurang positif. Hal itu menyebabkan pengabaian kaidah bahasa penerima yang digunakan dan pengambilan unsur-unsur bahasa sumber yang dikuasi penutr secara tidak terkontrol. Sebagai akaibatnya akan muncul bentuk interferensi dalam bahasa penerima yang sedang digunakan oleh penutur, baik secara lisan maupun tertulis.

c. Tidak cukupnya kosa kata bahasa penerima

Perbendaharaan kata suatu bahasa pada umumnya hanya terbatas pada pengungkapan berbagai segi kehidupan yang terdapat di dalam masyarakat yang bersangkutan, serta segi kehidupan lain yang dikenalnya. Oleh karena itu, jika masyarakat itu bergaul dengan segi kehidupan yang baru dari luar, akan bertemu dan mengenal konsep baru yang dipandang perlu. Karena mereka belum mempunyai kosa kata untuk mengungkapkan konsep baru tersebut, lalu mereka menggunakan kosa kata bahasa sumber untuk mengungkapkannya, secara sengaja pemakai bahasa akan menyerap atau meminjam kosa kata bahasa sumber untuk mengungkapkan konsep baru tersebut. Faktor tidak kecukupan atau terbatasnya kosa kata bahasa penerima untuk mengungkapkan suatu konsep baru dalam bahasa sumber, cenderung akan menimbulkan terjadinya interferensi.

Interferensi yang disebabkan karena kebutuhan kosa kata baru, cenderung dilakukan secara sengaja oleh pemakai bahasa. Kosa kata baru yang diperoleh oleh pemakai bahasa. Kosa kata baru yang dipeeroleh dari interferensi ini cenderunga akan lebih cepat terintegrasi karena unsur tersebut memang sangat diperlukan untuk memperkaya perbendaharaan kata bahasa penerima.

d. Menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan

Kosa kata dalam suatu bahasa yang jarang dipergunakan cenderung akan menghilang. Jika hal ini terjadi, berarti kosa kata bahasa yang bersangkutan akan menjadi kian menipis. Apabila bahasa tersebut dihadapkan pada konsep baru dari luar, di satu pihak akan memanfaatkan kembali kosa kata yang sudah menghilang dan di lain pihak akan menyebabkan terjadinya interferensi, yaitu penyerapan atau peminjaman kosa kata baru dari bahasa sumber.

Interferensi yang disebabkan oleh menghilangnya kosa kata yang jarang dipergunakan tersebut akan berakibat seperti interferensi yang disebabkan tidak cukupnya kosa kata bahasa penerima, yaitu unsur serapan atau unsur pinjaman itu akan lebih cepat diintegrasikan karena unsur tersebut dibutuhkan dalam bahasa penerima.

e. Kebutuhan akan sinonim

Sinonim dalam pemakaian bahasa mempunyai fungsi yang cukup penting, yakni sebagai variasi dalam pemilihan kata untuk menghindari pemakaian kata yang secara berulang-ulang .Karena adanya sinonim ini cukup penting, pemakai bahasa sering melakukan interferensi dalam bentuk penyerapan atau peminjaman kosa kata baru dari bahasa sumber untuk memberikan sinonim pada bahasa penerima. Dengan demikian, kebutuhan kosa kata yang bersinonim dapat mendorong timbulnya interferensi.

f. Prestise bahasa sumber dan gaya bahasa

Prestise bahasa sumber dapat mendorong timbulnya interferensi, karena pemakai bahasa ingin menunjukkan bahwa dirinya dapat menguasai bahasa yang dianggap berprestise tersebut. Prestise bahasa sumber dapat juga berkaitan dengan keinginan pemakai bahasa untuk bergaya dalam berbahasa. Interferensi yang timbul karena faktor itu biasanya berupa pemakaian unsur-unsur bahasa sumber pada bahasa penerima yang dipergunakan.

g. Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu

Terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu pada bahasa penerima yang sedang digunakan, pada umumnya terjadi karena kurangnya penguasaan bahasa penerima. Hal ini dapat terjadi pada dwibahasawan yang sedang belajar bahasa kedua, baik bahasa nasional maupun bahasa asing. Dalam penggunaan bahasa kedua, pemakai bahasa kadang-kadang kurang kontrol. Karena kedwibahasaan mereka itulah kadang-kadang pada saat berbicara tau menulis dengan menggunakan bahasa kedua yang muncul adalah kosa kata bahasa ibu yang sudah lebih dulu dikenal dan dikuasainy

Suwito,Aslida dan Leny, (2007 : 67) menjelaskan bahwa interferensi dapat terjadi dalam semua komponen kebahasaan, yaitu bidang tata bunyi, tata kalimat, dan tata makna. Disamping itu interferensi dibagi menjadi tiga

bagian yaitu interferensi fonologi, interferensi leksikal, dan interferensi gramatikal yang lebih lengkapnya akan dijabarkan sebagai berikut.

a. Interferensi dalam Bidang Fonologi.

Interferensi fonologi terjadi apabila fonem-fonem yang digunakan dalam suatu bahasa menyerap dari fonem-fonem bahasa lain. Interferensi fonologi dapat dilihat dari penutur bahasa Jawa dalam mengucapkan kata-kata nama tempat yang berawalan bunyi /b/, /d/, /g/, dan /j/ dengan penasalan didepannya, maka akan terjadi interferensi tata bunyi atau sering disebut interferensi fonologi bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia, misalnya : /mBanjar/, /nDepok/, /ngGombong/, /nJambi/.

Selain itu juga terdapat cotoh interferensi fonologis bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa, yaitu berupa pengucapan fonem /d/ bahasa Jawa dan fonem /d/ bahasa Indonesia. Pada kata [ w ǝ d i ] dilafalkan [ w ǝ ḍ i]. Fonem /d/ pada bahasa Jawa yang merupkan bunyi apiko dental dilafalkan dengan bunyi apiko palatal. Di dalam bahasa Jawa bunyi apiko palatal adalah merupakan jenis fonem yang lainnya yaitu fonem /ḍ/. Akibat dari kesalahan tersebut, lawan tutur akan mengira yang diucapkan penutur adalah [ w ǝ ḍ i ] yang berarti 'pasir'. Oleh sebab itu terjadi perusakan makna karena arti yang dimaksudkan berbeda. Di dalam pelafalan menggunakan bahasa Jawa [ w ǝ d i ] yang dimaksudkan adalah

'takut', sedangkan dalam pelafalan bahasa Indonesia [ w ǝ ḍ i ] yang berarti 'pasir'.

b. Interferensi Morfologi

Menurut aslinda dan Leny (2007 : 75) interferensi dalam bidang morfologi dapat terjadi antara lain pada penggunaan unsur-unsur pembentukan kata, pola proses morfologi, dan proses penggalan afiks.

Menurut Suwito 91985 : 55) interferensi morfologi terjadi apabila dalam pembentukan kata sesuatu bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain. Dalam bahasa Indonesia misalnya sering terjadi penyerapan afiks-afiks ke-, ke-an, dari bahasa daerah (Jawa, Sunda), misalnya dalam kata-kata : kelanggan, kepukul, ketabrak, kebesara, kekecilan, kemahalan. Bentuk-bentuk dengan afiks-afiks seperti itu sebenarnya tidak perlu, sebab untuk mengungkapkan konsep-konsep demikian telah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Untuk afiks ke-, ke - an, dan -an telah ada afiks ter-, kata terlalu, dan afiks ber- misalnya : terlanggar, terpukul, tertabrak, terlalu besar, terlalu kecil. Sebenarnya bentuk-bentuk dengan afiks-afiks seperti itu tidak perlu, sebab untuk mengungkapkan konsep-konsep demikian telah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.

Menurut Abdulhayi (1985 : 10-11) interferensi pada tingkat morfologis dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa di antaranya

dapat terjadi pada penggunaan unsur-unsur pembentuk kata bahasa Indonesia pada unsur dasar bahasa Indonesia, pola proses morfologis bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa dengan penanggalan afiks. Penggunaan unsur-unsur pembentuk kata di antaranya sebagai berikut. 1. Beberapa afiks bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa, misalnya :

dieling seharusnya eling 'diingat'; terpedhot seharusnya pedhot, kepedhot 'terputus'.

2. Reduplikasi bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa, misalnya :

bener-bener seharusnya bener, temenan 'benar-benar'; estu-estu seharusnya estunipun 'sungguh-sungguh'; ati-ati seharusnya ngati-ati '(ber) hati-hati'; rupa-rupane seharusnya sajake, ayake 'rupa-rupa'.

3. Kompositum bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa, misalnya :

dalan raya seharusnya dalan gedhe 'jalan raya'; klebu nalar seharusnya mulih nalar, tinemu nalar 'masuk akal'.

Adanya pola proses morfologis bahasa Indonesia dalam pemakaian bahasa Jawa dapat berwujud di antaranya pada bermacam-macam afiksasi, misalnya : pedunung seharusnya sing dumunung 'penghuni'; paladenan seharusnya peladen 'pelayan'; kebeneran seharusnya kapener, mbeneri 'kebetulan'.

Yang berupa afiks dalam bahasa Jawa karena pengaruh pola bentuk bahasa Indonesia, sebenarnya dapat juga dikategorikan dalam interferensi morfologis yang berupa penggunaan butir-butir pembentuk kata, misalnya : sekolah seharusnya sekolahan 'gedung sekolah'.

Dari beberapa contoh diatas dapat terlihat adanya interferensi morfologis bahasa Indonesia dalam bahasa Jawa yang dapat terjadi pada penggunaan afiks, reduplikasi, kompositum yang mengakibatkan merusak tatanan bahasa Jawa yang benar.

c. Interferensi Sintaksis

Menurut Aslinda dan Leni (2007 : 82) interferensi sintaksis antara lain meliputi penggunaan kata tugas bahasa pertama pada bahasa kedua atau sebaliknya, pada pola konstruksi frase. Sedangkan Chaer dan Agustina (2004 : 123) memberikan contoh interferensi dalam bidang sintaksis seperti dalam kalimat bahasa Indonesia dari seorang bilingual Jawa - Indonesia dalam berbahasa Indonesia. Bunyi kalimatnya adalah "Di sini toko Laris yang mahal sendiri". Kalimat bahasa indonesia itu berstruktur bahasa Jawa, sebab dalam bahasa Jawa bunyinya adalah "Ning kene toko Laris sing larang dhewe." Kata sendiri dalam kalimat bahasa Indonesia itu merupakan terjemahan dari kata Jawa yaitu dhewe. Kata dhewe dalam bahasa Jawa, antara lain memang berarti 'sendiri'. Tetapi kata dhewe yang tepat di antara kata sing dan adjektif adalah berarti

'paling'. dengan demikian kalimat tersebut diatas seharusnya berbunyi "Toko Laris adalah toko yang paling mahal di sini."

Menurut Abdulhayi (1985 : 12-13) interferensi pada tingkat sintaksis meliputi penggunaan kata tugas bahasa Indonesia, pola konstruksi frase bahasa Indonesia, pola kalimat bahasa Indonesia dan sebagainya.

Misalnya pada contoh berikut ini.

1. Penggunaan kata tugas bahasa Indonesia.

Mengkono antara liya dhawuhe Presiden Suharto.

'demikian antara lain perintah presiden Suharto'. Kata tugas yang seharusnya digunakan di sini Iantarane.

2. Pola konstruksi frasa bahasa Indonesia.

Warna layang iku dudu warna kang dadi kesenengane.

'Warna surat itu bukan warna yang disenanginya.'

Frase warna layang seharusnya warnane layang.

3. Penggunaan pola kalimat bahasa Indonesia.

Dadi cukup akeh jeneng-jeneng tanduran iki kang wis dikenal dening penduduk Indonesia.

'Jadi cukup banyak nama-nama tanaman ini yang sudah dikenal oleh penduduk Indonesia.'

Seharusnya dadine cukup akeh jeneng-jenenge tanduran kang wis dititeni denging penduduk Indonesia.

Dari beberapa contoh di atas dapat dilihat adanya penyimpangan dalam bidang sintaksis, yaitu adanya penggunaan kata tugas pada bahasa Jawa yang diambil dari bahasa Indonesia. Sebenarnya hal tersebut tidak perlu terjadi, karena di dalam Bahasa Jawa telah ada padanannya, sehingga tidak perlu merusak tata Bahasa Jawa yang telah ada.

d. Interferensi Leksikal

Menurut Aslinda dan Leni (2007:73) interferensi dalam bidang leksikal terjadi apabila seorang dwibahasawan dalam peristiwa tutur memasukkan leksikal bahasa pertama kedalam bahasa kedua atau sebaliknya. Interferensi leksikal dibagi berdasarkan kelas kata menjadi lima yaitu : kelas verba, kelas adjektiva, kelas nomina, kelas pronomina, dan kelas kata numeralia.

Bidang kajian dalam interferensi adalah leksikon. Leksikon adalah komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam suatu bahasa. Menurut Adi Sumarto

dalam penelitian Nur Laela (Hasanudi, 2011 : 22) merupakan komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam suatu bahasa.

Menurut Abdulhayi (1985 : 10) pada kenyataannya sering sukar dibedakan apakah satu data masuk dalam sasaran interferensi leksikal, morfologis, atau sintaksis. Berikut ini adalah contoh interferensi dalam bidang leksikal : Nanging sebalike, agama Islam bakal kasilep lan mundur yen mung dianut secara tradisional. Jika kita periksa unsur sebalike, dapatlah dikatakan sebagai interferensi leksikal yaitu leksikal dari bahasa Indonesia sebaliknya menjadi sebalike (dengan variasi jawanisasi morfem Inya- -e/, atau kata balik (BI) dipakai sebagai dasar pembentuk kata dengan proses afiksasi se -e (BJ).

Menurut Sukardi (2000) interferensi leksikal mencakupi kata-kata pinjaman dan kata-kata yang tidak sesuai dengan bentuknya. Jenis-jenis interferensi leksikal yang berupa kosa kata pinjaman meliputi kosa kata 1) kata dasar, 2) berimbuhan, dan 4) frase.

Interferensi leksikal diartikan pengacauan kosa kata antara bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain. Di dalam interferensi

leksikal terjadi penyerapan kosa kata dari satu bahasa ke bahasa yang lain.

Dari penjelasan diatas telah dijelaskan tentang jenis-jenis interferensi yaitu, interferensi morfologi, interferensi fonologi, interferensi leksikal dan interferensi sintaksis.

3. Pengaruh Interferensi

Bahasa selau mengalami perkembangan dan perubahan. Perkembangan dan perubahan itu terjadi karena adanya perubahan sosial, ekonomi, dan budaya. Perkembangan bahasa yang cukup pesat terjadi pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kontak pada bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan lainnya dapat menyebabkan suatu bahasa terpengaruh oleh bahasa yang lain. Proses saling mempengaruhi antar bahasa yang satu dengan bahasa yang lain tidak dapat dihindarkan. Bahasa sebagai bagian integral kebudayaan tidak dapat lepas dari masalah di atas . saling mempengaruhi antar bahasa yang satu dengan bahasa yang lain misalnya kosa kata bahasa yang bersangkutan, mengingat kosa kata itu memiliki sifat terbuka. Menurut Wenrich (dalam Chaer dan Agustina, 1995:159) kontak bahasa merupakan peristiwa pemakaian dua bahasa oleh penutur yang sama secara bergantian. Dari kontak bahasa itu terjadi transfer atau pemindahan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain yang mencangkup semua

tataran. Sebagai konsekuensinya, proses pinjam meminjam dan saling mempengaruhi terhadap unsur bahasa yang lain tidak dapat dihindari.

Suwito (1985:39-40) mengatakan bahwa apabila dua bahasa atau lebih digunakan secara bergantian oleh penutur yang sama, dapat dikatakan bahwa bahasa tersebut dalam keadaan saling kontak. Dalam setiap kontak bahasa terjadi proses saling mempengaruhi antar bahasa satu dengan bahasa yang lain. Sebagai akibatnya, interferensi akan muncul, baik secara lisan maupun tertulis.

Adanya kedwibahasaan juga akan menimbulkan adanya interferensi bahasa. Interferensi bahasa yaitu penyimpangan norma kebahasaan yang terjadi dalam ujaran kedwibahasawan karena keakrabannya terhadap lebih dari satu bahasa, yang disebabkan karena adanya kontak bahasa.

Selain kontak bahasa, faktor timbulnya interferensi menurut Wenrich dalam Sukardi (1999:4) adalah tidak cukupnya kosa kata dalam menghadapi kemajuan dan pembaharuan. Selain itu, juga menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan, kebutuhan akan sinonim, dan prestise bahasa sumber. Kedwibahasaan peserta tutur dan tipisnya kesetiaan terhadap bahasa penerima juga merupakan faktor interferensi.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan terjadinya interferensi karena faktor kedwibahasaan dan kontak bahasa.

4. Bahasa Jawa

Bahasa berfungsi sebagai penghubung pribadi dengan pribadi. Bahasa bersifat personal yang berarti berguna untuk menyatakan pemikiran, perasaan, dan kemauan individu (Pateda,1991:18).

Purwadi (2005:1) berpendapat bahwa bahasa merupakan alat komunikasi pergaulan sehari-hari. Ketika seseorang berbicara selain memperhatikan kaidah-kaidah tata bahasa, juga masih harus memperhatikan siapa orang yang diajak berbicara. Berbicara kepada orang tua berbeda dengan berbicara pada anak kecil atau yanag seumur. Kata-kata atau bahasa yang ditujukan pada orang lain itulah disebut; ungguh-ungguhing basa. Unggah – ungguhing basa pada dasarnya dibagi menjadi tiga: Basa Ngoko, Basa Madya, dan Basa Krama.

Unggah-ungguhing basa merupakan alat untuk menciptakan jarak sosial, namun di sisi lain unggah-ungguhing basa juga merupakan produk dari kehidupansosial. Hal ini dapat dijelaskan bahwa struktur masyarakat merupakan faktor pembentuk dari struktur masyarakat merupakan faktor pembentuk dari struktur bahasa. Atau dapat juga dikatakan struktur bahasa merupakan pantulan dari masyarakat. Struktur bahasa yang mengenal unggah-ungguhing basa merupakan pantulan dari struktur masyarakat yang mengenal tingkatan-tingkatan sosial atau stratifikasi sosial. Makin rumit unggah-ungguhing basa, pasti makin sulit juga stratifikasinya sosialnya.

Kedudukan bahasa Jawa sebagai bahasa daerah dijamin keberadaanya

Dokumen terkait