• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.2 Kajian Pustaka

2.2.3 Film

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dimainkan dalam bioskop). Film adalah sekedar gambar bergerak adapun pergerakannya disebut intermitten movement, gerakan yang muncul hanya karena keterbatasan kemampuan mata dan otak manusia menangkap sejumlah pergantian gambar dalam sepersekian detik.

2.2.3.1. Film Sebagai Media Komunikasi Massa

Film merupakan media komunikasi sebagai gambar bergerak yang membentuk suatu cerita dalam arti tayangan audio-visual yang dapat menyampaikan pesan kepada penonton. Menurut Bittner (dalam Ardianto, 2004:3) komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang dan dari definisi tersebut diketahui bahwa komunikasi massa itu harus menggunakan media massa. Media komunikasi yang dapat dikategorikan sebagai media massa adalah radio, televisi, surat kabar, majalah, serta media film. Film merupakan media massa yang tidak terbatas pada ruang lingkupnya. Hal ini dipengaruhi unsur cita rasa dan unsur visualisasi yang saling berkesinambungan.

Film sangat berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum (McQuail, 2011:13). Film tidak lagi dimaknai hanya sekedar sebagai karya seni (film as art) tetapi lebih kepada ”komunikasi massa” (Jowwet dan Linton) dan “praktik sosial” (Tumer) (Irwanto, 1999:11). Dua pendapat tersebut lebih melihat aspek film sebagai media komunikasi massa yang beroperasi di masyarakat. Sebagai bentuk komunikasi massa, kajian film memandang bahwa komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dan

pertukaran makna-makna. Film merupakan media komunikasi massa (audio visual) yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan menggunakan bahan baku celluloid dalam berbagai ukuran melalui proses kimiawi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik.

Makna yang ada di dalam film bukan hanya berasal dari dalam film itu sendiri, melainkan dari hubungan antara pembuat film (produser atau sutradara) dengan penikmat atau penonton dari film tersebut. Pemaknaan film dibentuk dalam proses produksi sebuah film terkait dengan si pemberi pesan, dimana proses produksi ini akan menentukan bagaimana pesan (message) yang akan disampaikan kepada penonton. Dalam pembuatan film, si pembuat film harus bisa mengemas sebuah film sehingga mampu untuk menarik penerima pesan secara emosional, bahkan mengambil realitas masyarakat dan diyakini sebagai kebenaran yang ada di masyarakat untuk menjadi landasan film.

Film merupakan media massa yang memiliki kelebihan dalam menyampaikan pesan. Film dapat membuat terhipnotis penontonnya karena cerita dan visualisasi gambar yang baik sehingga dapat memuaskan kebutuhan hiburan dari para penontonnya. Jangkauan film yang luas juga menjadi salah satu kelebihannya dan pengaruhnya dalam membentuk emosi para penonton juga melebihi media massa yang lain. Walaupun film memiliki kelebihan, tetapi film juga memiliki kekurangan. Penayangan film yang sekilas membuat penontonnya harus berkonsentrasi penuh memperhatikan jalan cerita dari film tersebut, sehingga mereka tidak bisa mengalihkan pandangan ataupun melakukan kegiatan yang lain.

2.2.3.2. Sejarah Film

Oey Hong Lee menyebutkan bahwa film sebagai alat komunikasi massa yang kedua muncul di dunia, mempunyai masa pertumbuhannya pada akhir abad ke-19 dan mencapai puncaknya di antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II (Sobur, 2004: 126). Film adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual di belahan dunia ini, karena lebih dari ratusan juta orang menonton film di bioskop,

film televisi, dan film video laser setiap minggunya dan lebih dari satu juta tiket telah terjual setiap tahunnya di Amerika Serikat dan Kanada (Ardianto & Erdinaya, 2004: 134). Tidak seperti awal perkembangan surat kabar yang dikembangkan oleh para pebisnis dan patriot untuk sekelompok elit yang terlibat dalam politik yang dapat membaca, awal industri film kebanyakan dibangun oleh wirausaha yang ingin mendapatkan uang dengan menghibur semua orang (Baran, 2008: 210).

Film memang berawal dari perkembangan fotografi.Berawal dari gambar-gambar diperlihakan bergerak secara cepat dan berurutan, sehingga para penontonnya melihat gambar-gambar tersebut seolah-olah sedang bergerak (Baran, 2008: 212). Setelah itu Thomas Edison pun membuat studio gambar bergerak dekat dengan laboratoriumnya di kota New Jersey yang disebut Black Maria. Film yang sudah lengkap tidak diproyeksikan, melainkan diputar melalui sebuah kinetoskop, semacam alat pameran gambar berbentuk kotak dimana seringkali diiringi dengan musik yang disediakan oleh alat fonograf yang juga ditemukan oleh Edison (Baran, 2008: 213). Sekitar tiga tahun kemudian, kinetoskop menjadi populer di tempat-tempat hiburan dan pertunjukkan di kota-kota besar, dan hal ini menandai pertunjukkan film bergerak secara komersial.

Lumiere bersaudara kemudian menciptakan kemajuan berikutnya. Pada tahun 1895 mereka mematenkan sinematografi mereka, sebuah alat yang secara bersamaan memfoto dan memproyeksikan gambar. Dalam pertunjukkan Natal mereka, terlihat barisan panjang penonton film yang antusias menunggu bioskop mereka untuk buka (Baran, 2008: 214). Film Edison dan Lumiere adalah film yang hanya berdurasi beberapa menit dan gambarnya diambil dalam frame yang statis dan tidak ada penyuntingan. Perkembangan film pun semakin terasa setelah banyak orang yang meminta hak lebih mereka untuk menonton film yang lebih baik dari uang yang sudah mereka keluarkan. Pembuat film dari Prancis, George Melies mulai membuat cerita gambar bergerak, yaitu suatu film yang bercerita. Namun hasrat para penonton pun belum terpenuhi oleh karya George Melies. Sampai tahun 1890-an George membuat dan menampilkan film satu adegan, film

pendek, namun segera setelah itu dia mulai membuat cerita berdasarkan gambar yang diambil secara berurutan di tempat-tempat yang berbeda.

Edwin S.Porter, seorang juru kamera Edison Company, melihat bahwa film dapat menjadi alat penyampai cerita yang jauh lebih baik dengan penggunaan dan penempatan kamera secara artistik yang disertai penyuntingan (Baran, 2008: 215). Film pertama yang menggunakan penyuntingan, gabungan potongan-potongan antar adegan, dan sebuah kamera bergerak untuk menceritakan kisah yang relatif kompleks berjudul The Great Train Robbery (1903) karya Porter yang berdurasi 12 menit menjadi film Western pertama. Film menjadi hiburan yang hadir lebih dulu dibandingkan televisi dan siaran radio. Menonton film ke bioskop merupakan aktivitas yang populer bagi orang Amerika pada tahun 1920-an hingga 1950-an (Ardianto & Erdinaya, 2004: 134).

2.2.3.3. Karakteristik Film

Tujuan utama dari film adalah sebagai media hiburan. Tetapi banyak juga film yang di dalamnya terkandung unsur informatif, edukatif, bahkan persuasif. Faktor-faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film adalah layar lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh, dan identifikasi psikologis dalam (Ardianto & Erdinaya, 2004: 136-137) yaitu:

1. Layar yang Luas/lebar

Film dan televisi sama-sama menggunakan layar, namun kelebihan media film adalah layarnya yang berukuran luas. Layar film yang luas telah memberikan keleluasaan penontonnya untuk melihat adegan-adegan yang disajikan dalam film. Apalagi dengan berkembangnya teknologi, sekarang sudah terdapat bioskop yang menggunakan layar tiga dimensi, sehingga penonton seolah-olah melihat kejadian nyata dan diajak untuk ikut merasakan suasana yang terdapat di dalam film tersebut.

2. Pengambilan Gambar

Sebagai konsekuensi layar lebar, maka pengambilan gambar atau shot dalam film bioskop memungkinkan dari jarak jauh atau extreme long shot dan panoramic shot yakni pemandangan menyeluruh. Shot dipakai untuk memberi

kesan artistik dan suasana yang sesungguhnya, sehingga film menjadi lebih menarik.

3. Konsentrasi Penuh

Biasanya di saat menonton film di bioskop, kita terbebas dari gangguan hiruk pikuknya suara di luar karena biasanya ruangan kedap suara. Semua mata hanya tertuju kepada layar sementara pikiran dan perasaan kita tertuju kepada alur cerita tersebut. Bandingkan bila menonton televisi di rumah, selain lampu yang tidak dimatikan seperti di bioskop, orang di sekeliling kita juga senantiasa berkomentar atau hilir mudik mengambil makanan atau minuman dan gangguan lainnya.

4. Identifikasi Psikologis

Kita semua dapat merasakan bahwa suasana di gedung bioskop telah membuat pikiran dan perasaan kita larut dalam cerita yang disajikan. Karena penghayatan kita yang amat mendalam, seringkali secara tidak sadar kita menyamakan/ mengidentifikasikan pribadi kita dengan salah seorang pemain dalam film itu, sehingga seolah-olah kita lah yang berperan.Gejala ini menurut ilmu jiwa sosial disebut identifikasi psikologis.

Suasana menonton film di bioskop memang berbeda dengan menonton di televisi dan media lainnya. Layar yang lebar, sound effect yang menggelegar, suasana hening berkat ruangan kedap suara dan ruangan yang gelap memang menambah situasi ketegangan dan emosional dalam menonton film yang ditayangkan. Menonton film di bioskop juga dapat mengumpulkan para penikmat film yang bisa saling berinteraksi dengan minat menonton yang sama.

Menurut Himawan Pratista (2008: 4-8) dikatakan bahwa secara umum film terbagi menjadi tiga jenis, yakni film dokumenter, film fiksi dan film eksperimental. Dalam hal ini, film ”Fifty Shades of Grey” masuk ke dalam jenis film fiksi. Untuk hal cerita, biasanya film fiksi memiliki karakter protagonis, antagonis, masalah dan juga konflik, penutupan, serta pola pengembangan cerita yang jelas.. Umumnya produksi pembuatan film fiksi membutuhkan lebih banyak tenaga, waktu pembuatan yang cenderung lebih lama, serta peralatan pembuatan film yang mahal serta bervariasi.

Dengan kreativitas yang dimiliki oleh sekelompok orang yang profesional membuat film, seringkali terdapat banyak simbol atau ikon tertentu yang digunakan untuk pencapaian tertentu yang diharapkan. Gambar dan suara adalah unsur yang terpenting dalam film. Suara adalah perwujudan dari dialog naskah yang biasanya diiringi oleh backsound sebagai pengindah sebuah alur cerita yang akan mengiringi rekam gambar atau adegan. Melalui gambar dan suara, indera fisik kita akan dibawa merasakan potret dari realitas yang ada melalui sebuah proses mediasi, dimana lewat ketiganya tadi film akan mengantarkan kita pada dunia “nyata” film yang mirip dengan yang kita rasakan di dunia sebenarnya.

2.2.3.4. Unsur-Unsur Film

Terdapat beberapa unsur film yang perlu diperhatikan (dalam Grezia, 2015: 28-31):

1. Sutradara

Sutradara merupakan pionir pembuatan film tentang bagaimana yang harus tampak oleh penonton. Tanggung jawabnya meliputi aspek-aspek kreatif, baik interpretatif maupun teknis dari sebuah produksi film. Selain mengatur laku didepan kamera dan mengarahkan akting serta dialog, sutradara juga mengontrol posisi kamera beserta gerak kamera, suara dan pencahayaan. Di samping itu sutradara menjadi penyumbang hasil akhir sebuah film.

2. Skenario

Skenario adalah naskah yang disusun dalam bentuk literer sebagai landasan bagi penggarapan suatu produksi. Dalam dunia perfilman, skenario dinamakan juga

“shooting script” lengkap dengan dialog-dialog dan istilah teknis sebagai

instruksi kepada kerabat kerja seperti juru kamera, juru suara, juru cahaya dan lain-lain. Skenario film disebut juga screen atau script yang diibaratkan seperti cetak biru insinyur atau kerangka bagi tubuh manusia.

3. Penata Fotografi

Penata fotografi atau juru kamera adalah tangan kanan dari sutradara dalam kerja lapangan. Ia bekerja sama untuk menentukan jenis-jenis shot, termasuk menentukan jenis-jenis lensa. Selain itu, juga menentukan diafragma kamera dan mengatur lampu-lampu untuk mendapatkan efek pencahayaan yang

maksimal. Selain itu juga juru kamera melakukan tugas pembingkaian. Dalam pelaksanaan tugasnya, seorang juru kamera juga membuat komposisi-komposisi dari subyek yang hendak direkam.

4. Penata artistik

Tata artistik berarti penyusunan segala sesuatu yang melatar belakangi cerita film, yakni mengangkat pemikiran tentang setting. Yang dimaksud setting adalah tempat-tempat waktu berlangsungnya cerita film. Oleh karena itu, sumbangan yang dapat diberikan seorang penata artistik kepada produksi film sangatlah penting. Seorang penata artistik boleh memiliki kecendrungan, namun bukan gaya yang harus tunduk pada tuntunan cerita atau pengarahan sutradara. Seorang artistik bertugas sebagai penterjemah konsep visual sutradara kepada pengertian-pengertian visual dan segala hal yang mengelilingi aksi di depan kamera, di latar depan bagaimana di latar belakang.

5. Penata Suara

Sebagai media audio visual, pengembangan film sama sekali tidak boleh hanya memikirkan aspek visual, sebab suara juga merupakan komponen aspek kenyataan hidup dalam sebuah film. Itu sebabnya perkembangan teknologi perekaman suara untuk film tidak bisa diabaikan. Tata suara dikerjakan di studio suara. Tenaga ahlinya disebut penata suara yang tugasnya dibantu oleh tenaga-tenaga pendamping, seperti perekaman suara di studio maupun di lapangan. Perpaduan unsur-unsur suara ini nantinya akan menjadi jalur suara yang letaknya bersebelahan dengan jalur gambar dalam hasil akhir film yang nantinya akan dipersiapkan diputar di gedung-gedung bioskop.

6. Penata musik

Musik sejak dahulu sangatlah penting untuk mengiringi sebuah film. Dalam era film bisu, sudah ada usaha-usaha untuk mempertunjukan film dengan iringan musik hidup. Para pemusik bersiap di dekat layar dan akan memainkan musik pada adegan-adegan tertentu. Perfilman Indonesia memiliki penata musik yang handal, yaitu Idris Sardi. Beliau berulangkali meraih piala Citra untuk tata musik terbaik. Tugas terpenting seorang penata musik adalah untuk menata paduan bunyi (bukan efek suara) yang mampu menambah nilai dramatik seluruh cerita film.

7. Pemeran

Pemeran atau aktor adalah orang yang memerankan suatu tokoh dalam sebuah cerita film.Pemeran mengekspresikan tingkah laku tidak lepas dari tuntunan.

8. Editor

Editor bertugas menysun hasil syuting hingga membentuk rangkaian cerita. Seorang editor berkerja dibawah pengawasan seorang sutradara tanpa mematikan kreatifitas, sebab tugas dari seorang editor berdasarkan konsepsi. Editor akan menyusun segala materi di meja editing menjadi pemotongan kasar (rought cut) dan pemotongan halus (tine cut). Hasil pemotongan halus disempurnakan lagi dan akhirnya ditransfer bersama suara dengan efek-efek transisi optik untuk menunjukkan waktu maupun adegan.

Dilihat dari segi teknis, unsur-unsur film terdiri dari (Gresia, 2015: 28):

1. Audio (Dialog dan Sound Effect)

a. Dialog berisikan kata-kata, dialog dapat digunakan untuk menjelaskan perihal tokoh atau peran, menggerakkan plot maju dan membuka fakta.

b. Sound Effect adalah bunyi-bunyian yang digunakan untuk melatar belakangi sebuah adegan yang berfungsi sebagai penunjang sebuah gambar untuk membentuk nilai dramatik dan dramatika sebuah adegan dalam film.

2. Visual

a. Angle kamera dibedakan menurut karakteristik dari gambar yang dihasilkan ada tiga yaitu:

1) High Angle, yaitu sudut pengambilan gambar dari tempat yang lebih tinggi dari objek. Hal ini akan memberikan kepada penonton sesuatu kekuatan atau rasa superioritas.

2) Low Angle, yaitu yaitu sudut pengambilan gambar dari tempat yang lebih rendah dari objek. Hal ini akan membuat seseorang tampak kelihatan mempunyai

kekuatan yang menonjol dan akan kelihatan kekuasaannya.

3) Eye Level Angle, yaitu sudut pengambilan gambar yang normal, biasanya ketinggalan kamera setinggi dada dan sering digunakan pada acara yang gambarnya tetap. Mengesankan situasi yang normal, bila mengambil Eye Level

Angle secara zoom in menggambarkan ekspresi wajah objek atau pemain dalam memainkan karakternya, sedangkan pengambilan secara zoom out menggambarkan secara menyeluruh ekspresi gerak tubuh dari objek atau pemain.

b. Teknik Pengambilan Gambar atau perlakuan kamera juga merupakan salah satu hal yang penting dalam proses penciptaan visualisasi simbolik yang terdapat dalam film. Proses tersebut akan dapat mempengaruhi hasil gambar yang diinginkan, apakah ingin menampilkan karakter tokoh, ekspresi wajah dan setting yang ada dalam sebuah film.

c. Setting adalah tempat atau lokasi untuk mengambil sebuah visual dalam pembuatan film.

2.2.3.5. Jenis-Jenis Film

Film dapat dikelompokkan pada jenis film cerita, film berita, film dokumenter, dan film kartun (dalam Ardianto, 2004: 138-140):

a. Film Cerita

Film cerita adalah jenis film yang mengandung suatu cerita yang lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan bintang film tenar dan film ini didistribusikan sebagai barang dagangan. Cerita yang diangkat menjadi topik film bisa berupa cerita fiktif atau berdasarkan kisah nyata yang dimodifikasi, sehingga ada unsur menarik, baik dari jalan cerita maupun dari segi gambar yang artistik.

b. Film Berita

Film berita adalah film mengenai fakta, peristiwa yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan kepada publik harus mengandung nilai berita (news value). Kriteria berita itu adalah penting dan menarik.Yang terpenting dalam film berita adalah peristiwanya terekam secara utuh.

c. Film Dokumenter

Film dokumenter didefinisikan oleh Robert Flaherty sebagai “karya ciptaan mengenai kenyataan (creative treatment of actuality)”. Berbeda dengan film

berita yang merupakan kenyataan, maka film dokumenter merupakan hasil interpretasi pribadi (pembuatnya) mengenai kenyataan tersebut.

d. Film Kartun

Film Kartun (cartoon film) dibuat untuk dikonsumsi anak-anak. Tujuan utama dari film kartun adalah untuk menghibur. Walaupun tujuan utamanya adalah untuk menghibur, tapi terdapat pula film-film kartun yang mengandung unsur-unsur pendidikan di dalamnya.

Dokumen terkait