• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Nilai-nilai Kearifan Lokal a. Pengertian Kearifan Lokal

Seperti yang dikatakan oleh Koentjaraningrat, kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan,tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan untuk pedoman bangsa Indonesia belajar. Sedangkan menurut pendapat Ki Hajar Dewantara, kebudayaan adalah buah budi manusia, yakni alam dan jaman (kodrat dan masyarakat) dalam perjuangan mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada akhirnya bersifat tertib dan damai. Kebudayaan berganti wujudnya karena pergantian alam dan jaman. Oleh karena itu boleh dikatakan bahwa kebudayaan sifatnya dinamis dan berkembang sesuai dengan perkembangan jaman (Moertjipto, dkk, 1997: 1).

Bangsa Indonesia dewasa ini sedang melaksanakan pembangunan baik pembangunan fisik maupun rohani. Disisi lain mengembangkan pula kebudayaan nasional dengan menghadapi pergeseran nilai-nilai. Namun yang menjadi masalah adalah dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi, nilai-nilai lama yang semula menjadi acuan suatu

kelompok masyarakat akan menjadi goyah akibat masuknya nilai baru dari luar. Hal ini menyebabkan nilai-nilai lama yang menjadi pedoman hidup dan pranata sosial milik masyarakat menjadi pudar (Moertjipto, dkk, 1997: 2).

Nilai dalam hubungan sosial-budaya berkenaan dengan “harga kepantasan” atau “harga kebaikan”, yang dapat dikatakan “penting” dan “tidak penting”, ataupun “mendalam” dan “dangkal”, tetapi kualifikasi tersebut tak dapat diukur secara kuantitatif (Edy Sedyawati, 2007: 254).

Nilai budaya adalah hal-hal yang dianggap baik, benar dan atau pantas, sebagaimana disepakati di dalam masyarakat. Jadi, nilai budaya itu dirumuskan dalam kebudayaan dan dilaksanakan di dalam masyarakat, dan terungkap di dalam pengarahan diri ataupun di dalam interaksi, langsung maupun tidak langsung, antarwarga masyarakat, dalam berbagai jenis kegiatannya. Pengarahan diri yang dipandu oleh nilai-nilai budaya itu mengacu kepada keberterimaan di dalam masyarakat. Oleh karena itu, nilai-nilai budaya dengan sendirinya bersifat sosial-budaya (Edy Sedyawati, 2007: 254).

Pakar-pakar Antropologi menggolongkan nilai-nilai budaya itu di atas 5 (lima) jenis yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan 5 (lima) hal, yaitu:

1. Tuhan atau “Yang Adikodrati”;

3. Sesama manusia; 4. Kerja; dan 5. Waktu.

Masing-masing dari kelima golongan nilai budaya itu tentu dapat dijabarkan ke dalam banyak rincian, dan jumlahnya dapat berbeda-beda diantara berbagai kebudayaan. Meskipun nilai-nilai tersebut dalam analisis dapat dipilah-pilah, namun dalam kenyataan penghayatannya di dalam masyarakat mendapat keterjalinan satu sama lain. Adapun dalam wacana Etika, istilah “nilai” menyatakan sesuatu yang pada dirinya sendiri terdapat keberartian, atau sesuatu yang berharga (Edy Sedyawati, 2007: 254-255).

Sedangkan kearifan berasal dari kata arif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arif memiliki dua arti, yaitu tahu atau mengetahui. Arti kedua cerdik, pandai dan bijaksana. Kata arif yang jika ditambah awalan “ke” dan akhiran “an” menjadi kearifan berarti kebijaksanaan, kecendekiaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan dalam berinteraksi. Melayani orang, adalah orang yang mempunyai sifat ilmu yaitu netral, jujur dan tidak mempunyai kepentingan antara, melainkan semata-mata didasarkan atas nilai-nilai budaya dan kebenaran sesuai ruang lingkupnya. Kata lokal, yang berarti tempat atau pada suatu tempat atau pada suatu tempat tumbuh, terdapat, hidup sesuatu yang mungkin berbeda dengan tempat lain atau terdapat di suatu tempat yang bernilai yang mungkin

berlaku setempat atau mungkin juga berlaku universal (Muin Fahmal, 2006: 30-31).

Dalam bentangan Indonesia baru dewasa ini, maka yang dimaksud dengan kebudayaan “lokal” mestinya lebih tepat disebut kebudayaan “sub

-bangsa” atau “suku-bangsa”. Memang pada umumnya suatu suku bangsa

(golongan etnik) itu mempunyai suatu “tanah asal” tertentu di Indonesia ini, yang bisa meliputi wilayah yang kecil sampai ke yang sangat luas, atau yang „bercabang-cabang‟ (Edy Sedyawati, 2006:381).

Kearifan lokal diartikan sebagai “kearifan dalam kebudayaan tradisional” suku-suku bangsa. Kearifan dalam arti luas tidak hanya berupa norma-norma dan nilai-nilai budaya, melainkan juga segala unsur gagasan, termasuk yang berimplikasi pada teknologi, penanganan kesehatan, dan estetika. Dengan pengertian tersebut maka yang termasuk sebagai penjabaran “kearifan lokal” adalah berbagai pola tindakan dan hasil budaya materialnya. Dalam arti yang luas itu maka diartikan, “kearifan lokal” itu terjabar dalam seluruh warisan budaya, baik yang tangible maupun yang intangible (Edy Sedyawati, 2006:382).

Wacana seputar local wisdoms atau kearifan lokal, biasanya selalu disandingkan dengan wacana perubahan, modernisasi, dan relevansinya. Hal ini bisa dimaklumi sebab wacana diseputar kearifan lokal pada prinsipnya berangkat dari asumsi yang mendasar bahwa, nilai-nilai asli, ekspresi-ekspresi kebudayaan asli dalam konteks geografis dan kultural

dituntut untuk mampu mengekspresikan dirinya ditengah-tengah perubahan. Pada sisi lain ekspresi kearifan lokal tersebut juga dituntut untuk mampu merespons perubahan-perubahan nilai dan masyarakat. Kearifan lokal itu tidak ingin hilang dari peredaran nilai sebuah masyarakat. Kearifan lokal didefinisikan sebagai kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kekayaan-kekayaan budaya lokal seperti tradisi, petatah-petitih dan semboyan hidup (Nasiwan, dkk, 2012: 159).

Menurut Wales, sebagaimana dikutip oleh Nasiwan, dkk (2012: 16) kearifan lokal dapat dilihat dari dua perspektif yang saling bertolak belakang. Yakni extreme acculturation dan a less extreme acculturation. Extreme acculturation memperlihatkan bentuk-bentuk tiruan suatu budaya yang tanpa adanya proses evolusi budaya dan akhirnya memusnahkan bentuk-bentuk budaya tradisional. Sedangkan less extreme acculturation adalah proses akulturasi yang masih menyisakan dan memperlihatkan local genius adanya. Yakni adanya unsur-unsur atau ciri-ciri tradisional yang mampu bertahan dan bahkan memiliki kemampuan untuk mengakomodasikan unsur-unsur budaya dari luar serta mengintegrasikannya dalam kebudayaan asli. Selebihnya, nilai-nilai kearifan lokal mempunyai kemampuan untuk memegang pengendalian serta memberikan arah perkembangan kebudayaan. Dengan demikian tepatlah dikatakan bahwa kebudayaan merupakan manifestasi kepribadian

suatu masyarakat. Artinya identitas masyarakat tercermin dalam orientasi yang menunjukkan pandangan hidup serta sistem nilainya, dalam pola serta sikap hidup yang diwujudkan dalam tingkah laku sehari-hari, serta dalam gaya hidup yang mewarnai peri kehidupannya. Kedudukan lokal genius ini sangat signifikan dalam konteks sebuah eksistensi kebudayaan suatu masyarakat atau kelompok. Hal ini disebabkan karena merupakan kekuatan yang mapu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan yang mampu pula berkembang untuk masa-masa yang akan datang. Hilangnya atau pudarnya local genius, berarti pula memudarnya kepribadian suatu masyarakat, sedang kuatnya local genius untuk bertahan dan berkembang menunjukkan pula kepribadian masyarakat tersebut.

Menurut Edi Sedyawati (2006: 412) setiap masyarakat tradisional, yang dalam kasus Indonesia itu berarti setiap suku bangsa, mempunyai kekhasannya dalam cara-cara pewarisan nilai-nilai budayanya. Pada masa Jawa Kuno, yaitu ketika bahasa Jawa Kuno digunakan sebagai bahasa resmi dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat berbagai kegiatan pendidikan yang dapat diketahui dari data artefaktual maupun tekstual. Kegiatan pendidikan disini adalah dalam arti luas, yakni yang bersifat formal, nonformal, dan informal. Yang disebut pendidikan formal pada masa kini adalah yang ditandai oleh kurikulum yang jelas, serta sistem evaluasi yang jelas juga baku. Disamping itu untuk setiap program dan jenjang studi diberikan keterangan tanda tamat belajar, baik berupa ijazah

maupun diploma. Adapun yang dimaksud dengan pendidikan nonformal adalah tidak diikat oleh keketatan masa studi maupun kurikulum yang standar. Sedangkan pendidikan informal tidak diikat oleh batas-batas waktu maupun tingkatan, dan tujuannya adalah untuk secara umum memberikan informasi ataupun menanamkan watak, moral maupun nilai-nilai budaya ataupun keagamaan. Segala peremuan insidental, maupun segala sesuatu yang disampaikan melalui media massa dapat tergolong kategori ini. Pada masa Jawa Kuno, saran pendidikan informal ini dapat dicontohkan oleh ajaran-ajaran yang disampaikan melalui rangkaian relief di candi-candi, pembacaan karya sastra, pertunjukan teater, maupun pelaksanaan upacara-upacara yang mengandung makna sosial religius. b. Kearifan Lokal dalam Pelaksanaan Pemerintahan

Menurut Laica Marzuki, sebagaimana dikutip oleh Muin Fahmal (2006: 31) di dalam kaidah-kaidah hukum (rechtnormen) dibangun nilai-nilai etika hukum (values of legal ethic) yang nilai-nilai kepatuhannya didasarkan pada kesadaran hukum (kesadaran hukum pada hakikatnya adalah pematuhan nilai-nilai etika hukum). Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh Muin Fahmal (2006: 32) mengemukakan asas hukum bukanlah sebuah norma hukum, sebagaimana hukum yang telah dirumuskan dalam berbagai ketentuan perundang-undangan yang serta merta mengikat. Akan tetapi, sebagai penanaman normative (legal term) bagi nilai etika hukum yang sesungguhnya adalah nilai yang tumbuh

sebagai budaya (budaya hukum) masyarakat, sehingga nilai tersebut ditaati sebagai tolok ukur terwujudnya keadilan yang sesungguhnya. Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa budaya hukum masyarakat menjadi sangat penting di samping perilaku penegak hukum. Bagir Manan (2004: 5) menyatakan bahwa manusia juga diatur dan tunduk pada aturan adat-istiadat (hukum kebiasaan), hukum agama (sepanjang belum menjadi hukum positif), dan hukum moral.

Moertjipto dkk (1997: 3) menjelaskan bahwa sejarah telah membuktikan bahwa sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia dicapai, bentuk pemerintahan yang ada adalah kerajaan. Segala roda pemerintahan dipusatkan dan berkiblat ke kerajaan. Dengan demikian posisi kerjaan menjadi pusat berbagai kegiatan, termasuk didalamnya kebudayaan. Kerajaan pada waktu itu merupakan pusat kebudayaan, segala kebudayaan yang dihasilkan dari dalam istana atau Kraton dianggap memiliki nilai yang tinggi atau adi luhung. Karena selain memiliki nilai lebih, mereka percaya bahwa hasil kebudayaan dari istana itu memiliki daya kekuatan tertentu sehingga dapat mempengaruhi terhadap orang yang menikmati atau mengikutinya. Pada masa kerajaan, secara garis besar ada dua macam hasil kebudayaan, yaitu kebudayaan besar dan kebudayaan kecil. Kebudayaan besar maksudnya adalah kebudayaan yang dihasilkan dari dalam istana, sedangkan kebudayaan kecil ialah kebudayaan yang dihasilkan di daerah-daerah atau di luar istana. Pembagian seperti itu

karena pada umumnya, kebudayaan istana diciptakan oleh orang-orang yang memang berkompeten di bidangnya dan proses penciptaannya melalui jalan prihatin (berpuasa/nglakoni). Sedangkan kebudayaan yang dihasilkan daerah-daerah dianggap lebih rendah dari istana. Antara kebudayaan besar dengan kebudayaan kecil tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling berinteraksi, terutama pengaruh kebudayaan besar terhadap kebudayaan kecil tampak kuat.

Di dalam masyarakat Jawa, Kuntowijoyo (2006: 47) menjelaskan bahwa terdapat semacam pendidikan humaniora yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan pernyataan-pernyataan simbolisnya merupakan bagian integral dari sistem budaya. Kandungan pendidikan humaniora ditentukan oleh sistem pengetahuan yang dimiliki masing-masing subkultur, kelompok sosial, dan pelembagaan pendidikan humaniora sesuai dengan pengelompokan masyarakat. Dalam setiap kelompok masyarakat, pendidikan itu diselenggarakan baik secara formal melalui sebuah lembaga pendidikan, maupun secara informal melalui berbagai bentuk komunikasi sosial.

Selanjutnya Kuntowijoyo (2006: 50) memaparkan bahwa berdasarkan kandungan nilai-nilai subkultur, kelompok sosial, dan pelembagaan pendidikan humaniora, dapat ditemukan tiga loci pendidikan humaniora dalam masyarakat Jawa tradisional, yaitu istana, pesantren dan perguruan. Dalam tradisi Kraton, pelembagaan produksi dan distribusi

nilai-nilai dan simbol-simbol ada di bawah patronase raja. Dalam lembaga abdidalem ditampung bermacam-macam pekerjaan kreatif dari penciptaan karya-karya sastra sampai kesenian representasional. Di dalam lingkungan birokrasi Kraton terdapat pujangga Kraton yang memproduksi karya sastra abdi-abdi dan abdi-abdi dalem lain yang mendukung berbagai macam kepentingan simbolis, seperti abdi dalem dalang untuk keperluan pertunjukan wayang kulit, abdi dalam juru sungging untuk keperluan menggambar terutama wayang, dan sebagainya. Di lingkungan Kraton dan lingkungan keluarga raja terdapat sejumlah tenaga kerja yang secara khusus mengelola kelangsungan pendidikan ngelmu (berguru) yang bermacam-macam. Sekalipun Kraton bukan satu-satunya tempat ngelmu (berguru) itu dilestarikan dan dikembangkan, tetapi dari Kraton lah mengalir nilai dan simbol ke bawah secara paling deras. Menurut Franz Magnis Suseno (1985: 108), kekuatan Raja dari Kraton memancar sampai ke desa-desa. Semakin jauh dari Kraton, maka semakin lemah pula pancaran kekuatan Raja.

Pendidikan ngelmu (berguru) dan kawruh menurut Kuntowijoyo (2006: 52) dapat dilakukan melalui bermacam-macam produk humaniora itu terutama ditujukan untuk mendidik kalangan keluarga istana sendiri, untuk pendidikan para ksatria, tetapi pendidikan itu pada akhirnya juga diperuntukkan bagi abdi dalem, dan semua kawula sesuai dengan kedudukan masing-masing dalam sistem hierarki masyarakat. Patronase

raja atas penciptaan produk-produk humaniora merupakan pengesahan bahwa istana adalah pusat kehidupan budaya masyarakat feodal. Kandungan pendidikan humaniora di istana bermacam-macam, sesuai dengan kepentingan kaum bangsawan. Ngelmu atau kawruh itu yang diciptakan pujangga Kraton pada umumnya berupa wawasan etika dalam berbagai bidang. Dalam literatur Jawa, etika itu disebut Asthabrata, yaitu delapan kebajikan sebagaimana diisyaratkan oleh watak dari gejala-gejala alam. Jadi kenegarawan tidak terletak pada keterampilan memerintah, tetapi pada sikap paternalistik dan laku utama. Selain itu pendidikan humaniora juga mengajarkan bagaimana seorang bangsawan menggunakan waktu luangnya, yang berupa cara-cara memperoleh kesenangan sampai cara-cara mesu budi atau olah rasa.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Suwarno (1994: 79), bahwa penanaman unsur-unsur tradisional yang berkembang di dalam Kraton juga telah dilakukan Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan memadukan unsur-unsur pemerintahan tradisional yang masih berkembang di dalam Kraton dan unsur birokrasi modern. Sultan mendapatkan dukungan dan kesetiaan dari pemimpin-pemimpin nasionalis, Islam, dan dukungan dan tokoh masyarakat lainnya. Rakyat Yogyakarta mendukung dan mengikuti pemikiran Sultan yang dikomunikasikan kepada mereka secara luas dan langsung.

Selanjutnya, Suwarno (1994: 80) menjelaskan bahwa pemikiran Sultan yang dijadikan dasar perubahan birokrasi pemerintahan Yogyakarta antara lain saat Sultan Hamengku Buwono VIII memberikan keris pusaka “Kangjeng Kyai Kopek” kepada Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan Hamengku Buwono VIII mengajarkan ajaran Asthabrata dan memberi pesan agar kelak jika Sultan Hamengku Buwono IX mendapat anugerah kedudukan raja jangan menyombongkan diri karena kedudukannya dan memiliki pendidikan tinggi di Negeri Belanda. Pesan tersebut memberikan kesan yang mendalam dalam pikiran dan jiwa Sultan Hamengku Buwono IX mengenai hakekat kekuasaan menurut faham jawa, sehingga mempengaruhi pemikiran dan tindakaanya dalam birokrasi pemerintahan. Sultan Hamengku Buwono IX menunjukkan bahwa pemikirannya tentang legitimasi kekuasaan tradisional cukup kuat. Pemikiran ini tentu tidak diabaikan dalam mengadakan perubahan birokrasi pemerintahan Yogyakarta. Nilai-nilai tradisional yang di kandung oleh Asthabrata yang tersimpan di Kraton Yogyakarta itu memberi kondisi yang kondusif untuk menumbuhkan tekad mengusir penjajah dengan mengadakan perubahan. Semuanya menjadi salah satu dasar pemikiran dan tindakan Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengadakan perubahan birokrasi di Yogyakarta.

Suwarno (1994: 82) juga menyatakan bahwa pemikiran Sultan Hamengku Buwono IX tentang birokrasi pemerintahan Yogyakarta yang

pertama adalah pemikiran yang masih berkisar tentang tradisi. Dengan pengetahuan modern, Sultan menolak “tradisi” yang merugikan. Dengan kata lain Sultan Hamengku Buwono IX menggunakan pengetahuan modern untuk seleksi terhadap tradisi. Kedua, secara lugas Sultan Hamengku Buwono IX mengemukakan pemikirannya tentang demokrasi yang jelas-jelas demokrasi barat, yang memberi keleluasaan kepada wakil rakyat untuk berbicara menyuarakan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Pemikiran Sultan Hamengku Buwono IX yang lain yaitu pemikiran tentang kehidupan bermasyarakat orang Jawa. Kehidupan bermasyarakat orang Jawa sesuai dengan sifat Dewa Baruna dalam Asthabrata, yaitu mengalahkan kepentingan pribadi untuk kepentingan orang banyak dengan dasar cinta sesama. Sebagai masyarakat maka sudah menjadi kewajiban untuk memperhatikan sesamanya yang menderita. Sultan Hamengku Buwono IX menekankan bahwa hanya orang yang mempunyai wewenang untuk memerintahlah yang harus ditaati. Pemikiran itu menunjuk pada otoritas pemerintahan yang mantap berdasarkan legitimasi tradisional yang menghasilkan ketentraman masyarakat. Menurut Sultan Hamengku Buwono IX birokrasi pemerintahan merupakan perpaduan antara unsur tradisional dan unsur baru yang untuk melayani kepentingan rakyat

Dengan mengamati pemikiran Sultan Hamengku Buwono IX tentang birokrasi modern dan pemerintahan berdasarkan tradisi, Suwarno

(1994: 87) berpendapat bahwa hal itu menandakan bahwa Sultan mempunyai kemampuan tinggi untuk memadukan kedua pemikiran itu, kemudian mewujudkannya dalam kenyataan. Perwujudan ini juga menuntut kemampuan untuk menyesuaikan pemikiran dan kehendak semua pihak terutama rakyat banyak atau istilah Jawa Ngudi jumbuhing kawula gusti (mengusahakan kesesuaian antara rakyat dan raja). Franz Magnis Suseno (1985: 113) menjelaskan bahwa dalam paham kekuasaan Jawa tertanam motivasi-motivasi kuat bagi penguasa untuk berusaha menjadi seorang penguasa yang baik, yang adil, dan dicintai rakyatnya, yang mempertahankan negaranya dalam keadaan tenteram dan sejahtera. B. Tinjauan tentang Prinsip-prinsip Tata Kelola Pemerintahan yang Baik

Menurut Ridwan HR (2007: 245) Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur dapat diterjemahkan menjadi prinsip-prinsip atau dasar-dasar atau asas-asas umum pemerintahan yang baik. Sementara Muin Fahmal (2006: 13) menyatakan bahwa konsep pemerintahan yang baik (good governance) adalah asas tata pemerintahan yang baik, yang pada dasarnya bertumpu pada dua landasan utama, yaitu: Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi, yaitu negara hukum dan demokrasi. Sedangkan menurut Wiarda, sebagaimana dikutip oleh Muin Fahmal (2006: 12) menyatakan bahwa asas-asas umum pemerintahan yang layak tidak berlaku sebagai tendensi-tendensi etik yang menjadi dasar hukum bagi Tata Usaha Negara baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis,

termasuk praktek pemerintahan. Sebagian dari prinsip-prinsip atau asas-asas tersebut dapat diturunkan dari undang-undang dan praktek, dan untuk sebagian secara eviden langsung mengikat.

Muin Fahmal (2006: 270), menjelaskan bahwa dalam konsep Hukum Adminstrasi, pemerintahan yang bersih tidak dirumuskan dalam norma hukum positif. Tapi dapat disinonimkan dengan pemerintahan yang sesuai dengan hukum, yaitu Hukum Administrasi sebagai bagian dari Hukum Tata Negara. Philipus M. Hadjon (2008: 270) menyatakan bahwa dalam pelbagai undang-undang yang menguasai peradilan administrasi di Nederland, asas-asas umum pemerintahan yang baik Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur disebut sebagai dasar banding dan atau pengujian. Disimpulkan bahwa asas-asas yang terkandung di dalam Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur merupakan kaidah hukum tak tertulis, sebagai pencerminan yang wajib diperhatikan disamping kaidah-kaidah hukum positif. Dapat pula dikatakan, bahwa Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur adalah prinsip-prinsip atau asas-asas hukum tidak tertulis, dari mana untuk keadaan-keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan.

Rechtmatigheid menurut Philipus M. Hadjon sebagaimana dikutip oleh Muin Fahmal (2006: 14) bermakna keabsahan, sehingga Onrechtmatigheid sebagai tindakan yang tidak sah. Karena

Rechtmatigheid van Bestuur adalah asas keabsahan dalam pemerintah, sehingga dapat disimpulkan bahwa:

1. Asas keabsahan berfungsi sebagai norma pemerintahan bagi aparat pemerintahan.

2. Asas keabsahan berfungsi sebagai landasan mengajukan gugatan kepada pemerintah bagi rakyat yang dirugikan.

3. Asas keabsahan berfungsi sebagai dasar pengujian suatu tindakan pemerintah (administrasi) oleh hakim.

Paparan di atas menunjukkan bahwa dalam dimensi hukum administrasi, komponen good governance menjadi norma pemerintahan yang dapat menjadi indikator terwujudnya pemerintahan yang bersih (clean government). Dalam kehidupan bernegara telah dipraktekkan terutama dalam pelaksanaan peradilan, khususnya dalam lingkup peradilan Tata Usaha Negara yang menganut asas umum pemerintahan yang layak, sebagai dasar pengujian keabsahan tindakan pemerintahan. Hubungan antara politik hukum dengan realitas sosial masyarakat memperhadapkan antara keadilan dan kapastian hukum, yang justru keduanya menjadi tuntutan pada setiap negara hukum. Menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh Muin Fahmal (2006: 14), pelaksanaan hukum tidak sekedar mulut undang-undang sebagai dasar untuk menjamin penerapan hukum yang sesuai dengan cita-cita dan dasar suatu negara yang berdaulat. Hakim harus selalu sungguh-sungguh mempertimbangkan

faktor-faktor kultural yang hidup nyata dalam masyarakat. Hakim dapat mengesampingkan kaidah-kaidah hukum yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan negara.

Sedangkan menurut Muin Fahmal (2006: 15), dalam konteks negara Hukum Indonesia, para pelaksana hukum diingatkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya agar mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Bahkan hakim sebagai penegak hukum dianggap sebagai perumus dan penggali nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan masyarakat. Untuk itu, ia harus terjun di tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Muin Fahmal (2006: 15) juga mengutip pendapat Laica Marzuki, bahwa para hakim seyogyanya menggali, mangikuti, serta memahami nilai-nilai sosial budaya hukum masyarakat, utamanya yang terpaut dengan perilaku administrasi yang mendukung budaya hukum setempat. Penggalian hukum tersebut, diharapkan dapat menemukan dan mengembangkan asas-asas pemerintahan yang layak.

Asas hukum merupakan “jantung” nya peraturan hukum, hal itu dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo (2006: 45). Terhadap perundang-undangan yang tidak cukup mengakomodasi budaya hukum masyarakat, menurut Satjipto Rahardjo diperlukan keberanian dan kemauan (credible) dari aparat administrasi untuk menerapkan asas-asas umum pemerintahan

yang layak. Dalam hal ini, berani menyimpang dari materi hukum yang berlaku jika materi hukum tersebut bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Hal itu dilakukan dengan cara melaksanakan hukum progresif dan bukan sekedar menjaga hukum “status quo” .

Signifikasi tiga komponen hukum menurut Friedman. L. M sebagaimana dikutip oleh Muin Fahmal (2006: 19) yaitu, materi hukum,

Dokumen terkait