• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

A.Deskripsi Teori 1. Protein

Protein merupakan suatu zat makanan yang amat sangat penting bagi tubuh, karena berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein adalah sumber asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O dan N (Winarno, 1992). Ketika berada di luar makhluk hidup atau sel, protein sangat tidak stabil (Wirahadikusumah, 1989).

Protein dapat berasal dari tumbuhan dan hewan, protein yang berasal dari tumbuhan disebut protein nabati dan protein yang berasal dari hewan disebut protein hewani. Beberapa contoh sumber protein nabati adalah gandum, jagung, kacang, kedelai, dan contoh sumber protein hewani adalah daging, ikan dan susu (Wirahadikusumah, 1989). Protein yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami hidrolisis oleh enzim dan menghasilkan asam-asam amino (Poedjiadi & Supriyanti, 2009).

Struktur protein dapat dikelompokkan menjadi empat golongan , yaitu struktur primer, sekunder, tersier, kuartener. Struktur primer adalah struktur linear dari rantai protein, struktur ini disusun oleh asam-asam amino. Struktur sekunder adalah struktur dua dimensi dari protein. Pada struktur ini terjadi lipatan (folding)

beraturan, seperti α-heliks dan -sheet, akibat adanya ikatan hidrogen di antara gugus-gugus polar dari asam amino dalam rantai protein. Struktur ini terbentuk ketika susunan asam-asam amino dihubungkan oleh ikatan hidrogen. Struktur

8

tersier merupakan struktur tiga dimensi sederhana dari rantai protein. Dalam struktur ini, selain terjadi folding membentuk struktur α-heliks dan -sheet, juga terjadi antaraksi gugus nonpolar yang mendorong terjadi lipatan. Struktur ini

terbentuk ketika adanya gaya tarik yang terjadi antara α-heliks dan -sheet. Struktur kuartener adalah protein yang mengandung lebih dari satu rantai polipeptida, ini termasuk struktur tertinggi dari protein. Dalam struktur ini, protein membentuk molekul kompleks, tidak terbatas hanya pada satu rantai protein, tetapi beberapa rantai protein yang bergabung membentuk seperti bola. Berikut ini adalah gambar struktur protein (Darmono, 2006).

Gambar 1. Struktur Protein

2. Enzim Tripsin

Enzim dapat berupa untaian polipeptida saja ataupun protein tunggal, atau berupa protein yang mengikat unsur atau gugus tertentu. Enzim yang berupa protein saja dinamakan apoenzim, sedangkan enzim yang merupakan gabungan antara protein dengan unsur atau gugus nonprotein disebut holoenzim. Bagian

9

enzim yang berupa unsur dinamakan kofaktor, sedangkan yang berupa senyawa organik disebut koenzim.

Enzim memegang peranan penting dalam proses pencernaan makanan maupun proses metabolisme zat-zat makanan dalam tubuh. Fungsi enzim adalah mengurangi energi aktivasi dalam suatu reaksi kimiawi. Suatu reaksi yang di-katalisis oleh enzim mempunyai energi aktivasi yang lebih rendah, dengan demikian hanya dibutuhkan sedikit energi untuk berlangsungnya reaksi tersebut. Enzim mempercepat reaksi kimiawi secara spesifik tanpa pembentukan hasil samping dan bekerja pada larutan dengan keadaan suhu dan pH tertentu. Aktivitas enzim dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti konsentrasi enzim, konsentrasi substrat, suhu, waktu inkubasi, dan pH (Pelczar dan Reid, 2005).

Umumnya mekanisme yang digunakan untuk mempercepat kecepatan reaksi enzim dapat dilakukan dengan 2 reaksi, yakni dengan katalis asam-basa, dan katalis ion-ion logam. Katalis ion logam melakukan peranan katalis dan struktural yang penting bagi protein. Lebih dari seperempat dari semua enzim yang dikenal mengandung ion logam yang berikatan erat atau memerlukan ion logam untuk beraktivitasnya (Mutiara, 2004).

Enzim tripsin termasuk dalam enzim proteolitik yang diproduksi oleh pankreas tubuh manusia, enzim ini diperlukan oleh semua makhluk hidup karena bersifat esensial dalam metabolisme protein. Fungsi enzim tripsin adalah mengubah protein menjadi bentuk yang lebih sederhana, seperti asam amino. Enzim tripsin dihasilkan oleh kelenjar pankreas dan dialirkan ke usus 12 jari (duodenum). Selain itu, fungsi enzim tripsin adalah untuk mengubah tripsinogen

10

menjadi tripsin aktif dan menghidrolisis protein yang dihasilkan oleh pankreas. Tripsin disebut enzim proteolitik atau protease, karena yang dipecah adalah ikatan pada rantai peptida, maka dapat disebut juga peptidase (Sulistyowati & Salirawati, 2016).

Enzim tripsin memiliki residu serin yang spesifik pada sisi aktifnya, maka enzim tripsin termasuk dalam golongan enzim proteolitik atau protease serin, yaitu enzim yang berfungsi untuk memecah protein. Enzim ini mengkatalisis reaksi pemecahan protein dengan menghidrolisis ikatan peptidanya menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Berikut ini adalah struktur enzim tripsin (Goodsell, 2003).

Gambar 2. Struktur Enzim Tripsin

3. Kasein

Kasein adalah salah satu jenis substrat dalam reaksi yang dikatalis oleh enzim tripsin. Substrat adalah suatu senyawa organik yang siap untuk diubah menjadi produk. Kasein sebagai substrat dalam reaksi enzim tripsin, merupakan protein yang akan diubah menjadi produk berupa asam amino dengan bantuan enzim tripsin (Mutiara, 2004)

11

Senyawa yang dikatalisis oleh suatu enzim disebut substrat-enzim. Jadi, substrat-enzim adalah suatu zat atau senyawa yang dipengaruhi oleh enzim. Selain itu, substrat suatu enzim dapat berupa senyawa organik ataupun senyawa anorganik. Setiap enzim mempunyai substrat tertentu (Sumardjo, 2006). Beberapa contoh substrat seperti albumin, kasein, bovin serum albumin (BSA), benzoil-n-arginin etil ester (BAEE), benzoil-n-benzoil-n-argininamide (BAA), dan asetil-L-tirosin etil ester (ATEE) (Meiyanto, 2008)

Kasein terdiri dari asam amino yang terikat oleh ikatan peptida. Kasein

memiliki tiga jenis protein, yaitu α-kasein, -kasein dan -kasein. Ketiga jenis protein yang ada dalam kasein mengandung sumber asam amino yang dibutuhkan oleh tubuh. Struktur kasein dengan asam amino polipeptida dapat dilihat pada gambar berikut ini (Meiyanto, 2008).

R: Alkil/Aril Gambar 3. Struktur Kasein

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Enzim

Enzim sebagai biokatalisator berstruktur protein, dalam mekanisme kerja aktivitasnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain pH, suhu, konsentrasi substrat, konsentrasi enzim, dan kehadiran aktivator atau inhibitor (Poedjiadi & Supriyanti, 2009). Enzim bekerja dengan menurunkan energi aktivasi suatu reaksi. Enzim bekerja dengan mengikat reaktan (substrat), sehingga berada pada posisi

12

yang diinginkan dengan energi yang lebih rendah dari energi aktivasinya. Pada akhir reaksi, enzim akan kembali seperti semula (Meiyanto, 2008).

Kecepatan reaksi enzim juga dipengaruhi oleh konsentrasi enzim dan konsentrasi substrat. Pengaruh aktivator, inhibitor, koenzim dan konsentrasi substrat dalam beberapa keadaan juga merupakan faktor-faktor yang penting (Mutiara, 2004).

a. Pengaruh pH

Potensial hidrogen (pH) merupakan faktor penting yang harus diperhatikan apabila bekerja dengan enzim, hal ini dikarenakan enzim hanya mampu bekerja pada kondisi pH tertentu. Suatu kondisi pH dimana enzim dapat bekerja dengan aktivitas tertinggi yang dapat dilakukannya dinamakan pH optimum. Sebaliknya pada pH tertentu, enzim sama sekali tidak dapat aktif atau bahkan rusak. Hal ini dapat dijelaskan karena diketahui bahwa enzim merupakan molekul protein yang kestabilannya dapat dipengaruhi oleh tingkat keasaman lingkungan, pada keasaman yang ekstrim molekul-molekul protein enzim akan rusak (Putri, 2008).

13

b. Pengaruh Suhu

Suhu rendah yang mendekati titik beku biasanya tidak merusak enzim. Pada suhu dimana enzim masih aktif, kenaikan suhu sebanyak 10oC, menyebabkan keaktifan menjadi 2 kali lebih besar. Pada suhu optimum reaksi berlangsung sangat cepat. Bila suhu terus dinaikkan, maka jumlah enzim yang aktif akan berkurang, karena enzim dalam keadaan jenuh atau mengalami denaturasi. Enzim di dalam tubuh manusia memiliki suhu optimum sekitar 37oC. Enzim organisme mikro yang hidup dalam lingkungan suhu tinggi memiliki suhu optimum yang tinggi pula (Mutiara, 2004).

Sebagian besar enzim menjadi tidak aktif pada pemanasan sampai ± 60oC, karena proses denaturasi enzim. Dalam beberapa keadaan, jika pemanasan dihentikan dan didinginkan kembali, aktivitasnya akan pulih. Hal ini disebabkan proses denaturasi masih reversibel. pH dan zat-zat pelindung dapat mempengaruhi denaturasi pada pemanasan ini. Kurva hubungan antara aktivitas enzim terhadap suhu dapat dilihat pada Gambar 5 (Mutiara, 2004).

14

c. Pengaruh Konsentrasi Enzim

Kecepatan reaksi enzim (v) berbanding lurus dengan konsentrasi enzim (Enz). Semakin besar jumlah enzim, maka semakin cepat reaksinya. Dalam reaksinya, enzim akan berikatan dengan substrat (S) dan akan membentuk kompleks enzim-substrat (EnzS). Enzim-substrat ini akan dipecah menjadi hasil reaksi P dan enzim bebas (Enz). Skema reaksi yang terjadi dapat dilihat sebagai berikut ini (Mutiara, 2004).

Enz + S EnzS Enz + P Enz + S Enz + P

Semakin banyak enzim yang terbentuk, maka semakin cepat reaksi ini berlangsung, dan hal ini terjadi sampai batas tertentu. Hubungan antara konsentrasi enzim terhadap kecepatan reaksi dapat dilihat pada Gambar 6 (Mutiara, 2004).

Gambar 6. Kurva Hubungan antara Konsentrasi Enzim terhadap Kecepatan Reaksi

d. Pengaruh Konsentrasi Substrat

Bila konsentrasi substrat (S) bertambah, sedangkan keadaan lainnya tetap sama, maka kecepatan reaksi juga akan meningkat sampai suatu batas maksimum

15

(v). Pada titik maksimum ini enzim telah jenuh dengan substrat. Hal ini dapat ditunjukkan pada Gambar 7 (Mutiara, 2004).

Gambar 7. Kurva Hubungan antara Konsentrasi Substrat dengan Kecepatan Reaksi

Pada titik A dan B belum semua enzim bereaksi dengan substrat, maka pada penambahan substrat (S) akan menyebabkan jumlah EnzS bertambah dan kecepatan reaksi (v) akan bertambah, sesuai dengan penambahan substrat (S). Pada titik C semua enzim telah bereaksi dengan substrat, sehingga penambahan substrat (S) tidak akan menambah kecepatan reaksi (v), karena tidak ada lagi enzim bebas (Enz). Pada titik B kecepatan reaksi telah tepat setengah kecepatan maksimum. Konsentrasi substrat yang menghasilkan setengah kecepatan maksimum dinamakan harga Km atau konstanta Michaelis. Kurva hubungan antara konsentrasi substrat dengan kecepatan reaksi dapat dilihat pada Gambar 7 (Mutiara, 2004).

5. Inhibitor Enzim

Menurut Wirahadikusumah (1989), inhibitor merupakan suatu zat kimia tertentu yang dapat menghambat aktivitas enzim. Pada umumnya cara kerja

16

inhibitor adalah dengan menyerang sisi aktif enzim, sehingga enzim tidak dapat berikatan dengan substrat dan akibatnya fungsi katalitiknya terganggu (Winarno, 1989).

Menurut Gultom (2011: 85), inhibitor adalah suatu senyawa yang dapat menurunkan (menghambat) laju reaksi yang dikatalis oleh enzim. Secara umum, inhibitor dapat menghambat kerja enzim dengan dua jenis penghambatan, yaitu penghambat reversibel (inhibitor reversibel) dan penghambat irreversibel (inhibitor irreversibel).

a. Inhibitor Reversibel

Penghambat reversibel adalah jenis penghambatan enzim yang dapat balik. Inhibitor ini terikat pada suatu enzim dengan reversibel, sehingga dapat dipisahkan kembali dari enzim melalui dialisis maupun dengan pelarutan sederhana. Pemisahan inhibitor reversibel dari enzim ini untuk mengembalikan aktivitas katalitik enzim. Inhibitor reversibel berlangsung dengan cepat membentuk suatu sistem kesetimbangan dengan enzim. Hal ini menunjukkan adanya suatu tingkat penghambatan yang pasti, tergantung pada konsentrasi enzim, inhibitor, dan substrat yang memiliki jumlah yang tetap konstan sepanjang reaksi, jika laju awal berlangsung dengan normal (Gultom, 2011: 85).

Ada tiga jenis penghambatan yang terjadi pada aktivitas enzim yang dihambat oleh inhibitor reversibel, yaitu:

1. Inhibitor Kompetitif

Inhibitor kompetitif merupakan jenis inhibitor yang memiliki struktur mirip substrat. Inhibitor yang bereaksi dengan enzim secara kompetitif terhadap

17

substrat dan mengikat sisi aktif enzim. Penggambaran interaksi enzim dengan inhibitor kompetitif dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 8. Inhibitor Kompetitif

Penghambatan ini kadang bersifat irreversibel, apabila substrat tidak dapat melepaskan ikatan inhibitor. Penghambatan kompetitif juga ditemukan pada sisi dekat dengan pusat aktif enzim, sehingga mengurangi kecenderungan enzim bereaksi dengan substrat. Selain menghambat ikatan antara enzim dengan substrat, inhibitor ini juga dapat menghambat penguraian dan pembentukan senyawa baru. Inhibitor kompetitif berikatan lemah (ikatan ion) dengan enzim pada sisi aktifnya, sehingga inhibitor ini bersifat reversibel. Dengan menambah kepekatan substrat, inhibitor tidak mampu lagi bergabung dengan enzim (Bintang, 2010).

2. Inhibitor Nonkompetitif

Penghambatan tidak bersaing ini tidak dipengaruhi oleh konsentrasi substrat maupun konsentrasi inhibitor. Inhibitor dapat bergabung dengan enzim pada sisi di luar sisi aktif enzim. Penggabungan ini dapat terjadi pada enzim bebas

18

yang akan membentuk kompleks Enzim-Inhibitor (EI). Penggambaran interaksi enzim dengan inhibitor non-kompetitif dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 9. Inhibitor Nonkompetitif

Jika inhibitor ini bergabung dengan enzim maka akan mengubah bentuk sisi aktif enzim. Dengan demikian, bentuk sisi aktif tidak sesuai lagi dengan bentuk substrat. Selain itu, penggabungan inhibitor juga dapat terjadi pada kompleks Enzim-Substrat yang menghasilkan kompleks Enzim-Substrat-Inhibitor (ESI). Kedua kompleks ini tidak dapat menghasilkan produk yang diharapkan. Contoh inhibitor tidak bersaing adalah ion-ion logam, seperti Cu2+, Hg2+, dan Ag+

(Poedjiadi & Supriyanti, 2009).

3. Inhibitor Unkompetitif

Inhibitor unkompetitif, yaitu inhibitor yang berikatan pada kompleks enzim substrat membentuk kompleks enzim-substrat-inhibitor yang tidak aktif. Inhibitor unkompetitif ini biasanya terjadi pada enzim multireaktan, enzim yang memiliki lebih dari satu sisi aktif. Apabila sisi aktif pertama sudah diikat oleh substrat, sehingga membentuk komples Enzim-Substrat, kemudian inhibitor akan mengikat sisi aktif enzim yang lainnya, maka akan terjadi kompleks Substrat-Enzim-Inhibitor yang tidak aktif (Gultom, 2011).

Inhibitor

19

b. Inhibitor Irreversibel

Inhibitor irreversibel merupakan jenis penghambatan oleh inhibitor enzim yang tidak dapat balik. Inhibitor ini bersifat merusak suatu gugus fungsional pada molekul enzim. Penggambaran interaksi enzim dengan inhibitor irreversibel dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 10. Inhibitor Irreversibel

Penghambatan oleh inhibitor irreversibel ini melekat bukan pada sisi aktif enzim, sehingga enzim akan kehilangan sisi aktifnya (Gultom, 2011). Inhibitor

irreversibel yang melekat bukan pada sisi aktif utama enzim membentuk ikatan

kovalen, sehingga sukar lepas dari enzim (irreversibel). Akibatnya, kompleks Enzim-Inhibitor menjadi tidak aktif. Penghambatan ini menyebabkan pengurangan aktivitas katalitik enzim (Poedjiadi & Supriyanti, 2009).

6. Logam Tembaga (Cu) dan Senyawanya

Unsur tembaga di alam, dapat ditemukan dalam bentuk logam bebas, tetapi lebih banyak ditemukan dalam bentuk persenyawaan atau sebagai senyawa padat dalam bentuk mineral. Selain itu, tembaga (Cu) juga terdapat dalam makanan. Sumber utama tembaga adalah tiram, kerang, kacang-kacangan, sereal, lemon,

20

anggur, apel, pepaya, kelapa, wijen, dan coklat. Air juga mengandung tembaga dan jumlahnya bergantung pada jenis pipa yang digunakan sebagai sumber air (Tull, 1996) .

Senyawa yang memiliki nama lain Cuprum dan lambang Cu ini, ternyata tidak boleh berlebihan ataupun kekurangan jumlahnya di dalam tubuh. Tembaga disebut sebagai mikromineral yang dibutuhkan dalam tubuh organisme karena memiliki peran penting dalam sejumlah proses enzimatik seperti cytochrome

oxidase, superoxide dismutase, lysyl oxidase, dopamine hydroxylase dan

tyrosinase. Selain itu manfaat tembaga bagi tubuh sebagai komponen dari

berbagai enzim yang diperlukan untuk menghasilkan energi, anti oksidasi, sintesa hormon adrenalin, pembentukan jaringan ikat, membantu mengabsorbsi unsur Fe, memelihara fungsi sistem syaraf, sintesis substansi hormon, serta dapat berperan dalam pembentukan Hb dan eritrosit.

Tembaga juga memiliki potensi dalam memberikan efek negatif bila masuk ke dalam tubuh organisme dalam jumlah besar atau melebihi nilai ambang batas. Contohnya pada biota laut seperti ikan, yang dapat mengakumulasi tembaga ke dalam organ tubuh ketika mencapai konsentrasi yang membahayakan. Tembaga dapat mengalami bioakumulasi dan menjadi racun bagi organisme yang dibudidayakan. Kelebihan tembaga juga menyebabkan gangguan pada sejumlah proses fisiologis (Palar, 1994).

Bila seseorang mengalami kekurangan tembaga atau biasa disebut defisiensi, maka orang tersebut akan terkena penyakit osteoporosis, reumatik, radang sendi, kondisi buruk pada saraf, metabolisme menurun, dan juga jantung

21

koroner. Sedangkan untuk seseorang yang mengalami kasus kelebihan dan keracunan tembaga, biasanya mengalami gejala atau menderita penyakit seperti; jaringan lunak dalam tubuh yang terganggu, lambung rusak, sistem pencernaan menjadi buruk (diare), anemia, dan juga dapat mengalami gangguan ginjal (Tull, 1996).

Sebagai logam berat, Cu (tembaga) berbeda dengan logam-logam berat lainnya seperti Hg, Cd, dan Cr. Logam berat Cu digolongkan ke dalam logam berat esensial, yang artinya meskipun beracun, unsur logam ini sangat dibutuhkan tubuh meski dalam jumlah yang sedikit. Oleh karena itu, Cu masuk ke dalam logam-logam esensial bagi manusia, seperti besi (Fe). Toksisitas yang dimiliki Cu akan bekerja dan memperlihatkan pengaruhnya bila logam ini masuk ke dalam tubuh organisme dalam jumlah besar atau melebihi batas (Darmono, 2006).

Setiap studi toksikologi yang pernah dilakukan terhadap penderita keracunan Cu, hampir semuanya meninjau metabolisme Cu yang masuk ke dalam tubuh secara oral. Berdasarkan studi-studi yang dilakukan di Amerika, disimpulkan bahwa orang-orang Amerika baik secara sengaja ataupun tidak telah mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung Cu sebesar 2-5 mg setiap harinya. Jumlah Cu yang terkonsumsi itu, hampir semuanya dikeluarkan kembali bersama feces. Penyerapan Cu ke dalam darah dapat terjadi pada kondisi asam yang terdapat dalam lambung. Pada saat proses penyerapan makanan yang diolah pada lambung, Cu yang ada juga ikut diserap oleh darah (Darmono, 2009).

Tembaga (Cu) dalam darah, terdapat dalam 2 bentuk, yaitu Cu+ dan Cu2+. Apabila jumlah Cu dalam kedua bentuk itu terserap berada dalam jumlah normal,

22

maka sekitar 93% dari serum Cu berada dalam seruloplasma dan 7% lainnya berada dalam fraksi-fraksi albumin dan asam amino. Serum Cu albumin ditransfortasikan ke dalam jaringan-jaringan tubuh. Cu juga berikatan dengan sel darah merah sebagai eritrocuprein, yaitu sekitar 60% eritrosit-Cu, sedangkan sisanya merupakan fraksi-fraksi yang labil. Darah selanjutnya akan membawa Cu ke dalam hati, dari hati Cu dikirimkan ke dalam empedu, dan dari empedu Cu dikeluarkan kembali ke usus, untuk selanjutnya dibuang melalui feces (Tull, 1996).

Umumnya tembaga yang sering ditemukan di alam memiliki bilangan oksidasi +2, sedangkan Cu dengan bilangan oksidasi +1 sangat jarang ditemukan, karena hanya stabil jika dalam bentuk senyawa kompleks. Ion Cu+ struktur elektroniknya adalah [Ar] 3d10, namun umumnya Cu membentuk ion Cu2+ yang memiliki struktur [Ar] 3d9. Selain dua keadaan oksidasi tersebut, dikenal pula tembaga dengan bilangan oksidasi +3, tetapi jarang digunakan, misalnya K3CuF6.

Ion kompleks biasanya didefinisikan sebagai kombinasi antara kation pusat dengan satu atau lebih ligan. Ligan adalah sembarang ion atau molekul dalam koordinasi pada ion pusat, misalnya H2O, tetapi seringkali air diabaikan di dalam ion kompleks, sehingga pengertian ion kompleks kadang-kadang terbatas untuk selain air (Sugiyarto & Suyanti, 2010).

Dalam bentuk larutan, ion tembaga akan berwarna biru, contohnya heksa-aquotembaga(II)-[Cu(H2O)6]2+. Ion hidroksida menggantikan ion hidrogen dari ligan air dan kemudian melekat pada ion tembaga. Setelah ion hidrogen dihilangkan dari dua molekul air, akan memperoleh kompleks tidak bermuatan

23

(kompleks netral). Kompleks ini tidak larut dalam air dan akan membentuk endapan (Sugiyarto & Suyanti, 2010). Senyawa kompleks Cu2+ lainnya adalah senyawa kompleks CuCl2 yang mengandung beberapa molekul air dalam bentuk kristalnya. Berikut ini adalah gambar kristal dan larutan CuCl2.

(a) (b)

Gambar 11. (a) Kristal CuCl2 (b) Larutan CuCl2 1 M

Senyawa kompleks CuCl2 larut dalam air. Larutan tersebut berwarna biru, kristal CuCl2 yang mengikat 2H2O (hidrat) bila dipanaskan ataupun dilarutkan dalam air, senyawa hidratnya akan lepas. Contoh reaksi CuCl2 sebagai berikut: (Sugiyarto & Suyanti, 2010).

CuCl2.2H2O (s) CuCl2 (aq) + 2 H2O (l) Cu2+ + Cl CuCl2 (aq)

7. Penentuan Kadar Protein a. Metode Kjeldhal

Metode Kjeldhal digunakan untuk menganalisis protein kasar makanan secara tidak langsung karena yang dianalisis adalah kadar nitrogennya. Kelemahan cara ini adalah purin, pirimidin, vitamin-vitamin, keratin dan kreatina ikut teranalisis dan terukur sebagai nitrogen protein (Winarno, 1992).

24

Namun pada akhir analisis, hasil perhitungan kadar proteinnya dikonversi dengan faktor konversi sesuai dengan bahan yang dianalisis. Dengan cara konversi ini diharapkan kadar nitrogen dari senyawa yang bukan protein akan terminimalisir jumlahnya (Winarno, 1992).

b. Metode Biuret

Metode Biuret adalah salah satu metode yang sensitif untuk menentukan protein dalam suatu larutan. Dalam metode ini, larutan basa Cu2+ dalam reagennya akan membentuk kompleks berwarna ungu dengan ikatan peptida pada protein. Senyawa yang mampu mengganggu reaksi ini adalah adanya urea dan gula pereduksi yang akan bereaksi dengan ion Cu2+ (Yayat, 2011: 18). Metode Biuret cocok digunakan untuk menentukan kadar protein dari sampel yang berwujud cair dengan kadar protein yang relatif tinggi.

c. Metode Lowry

Dalam metode Lowry, analisisnya menggunakan pereaksi Biuret yang dikombinasikan dengan pereaksi lain, yakni pereaksi Folin-Ciocalteau. Keuntungan penggunaan metode Lowry dibandingkan metode Biuret adalah kemampuan metode Lowry untuk penentuan kadar protein tinggi hingga kadar protein yang sangat rendah. Pengukuran absorbansi metode Lowry sensitif terhadap panjang gelombang sekitar 500 nm (untuk kadar protein tinggi) hingga 750 nm (untuk kadar protein rendah) (Yurika H., 2014). Penentuan kadar protein dengan metode Lowry berdasarkan reaksi antara Cu2+ dengan protein dan reaksi asam fosfomolibdat dan asam fosfongtungstat oleh tirosin atau triptofan yang akan menghasilkan warna biru. Intensitas warna biru yang dihasilkan tergantung

25

pada kadar proteinnya (Suhardi (1989) dalam Yayat, 2011: 18-19). Berikut adalah reaksi yang terjadi antara tirosin dengan reagen Folin-Ciocalteu:

Gambar 12. Reaksi Terbentuknya Kompleks Berwarna Biru

Kadar protein dapat ditentukan dengan membaca kurva standar, dibuat dengan larutan protein murni yang telah diketahui kadar proteinnya, misalnya BSA (Bouvine Serum Albumin) yang memiliki rentang konsentrasi tertentu dimana konsentrasi sampel protein berada di dalam rentang tersebut dengan konsentrasi yang semakin naik. Penentuan kadar protein menggunakan panjang gelombang maksimum. Panjang gelombang maksimum adalah panjang gelombang dimana terjadi eksitasi elektronik yang memberikan absorban maksimum (Atun, 2016).

8. Aktivitas Enzim Tripsin (Metode Anson)

Penentuan aktivitas enzim tripsin dengan metode Anson dilakukan berdasarkan pada produk larutan TCA (trikloroasetat)-filtrat (hidrolisis protein oleh tripsin) yang direaksikan dengan reagen Folin-Ciocalteau. Pemecahan protein oleh tripsin spesifik terhadap gugus karboksil lisin atau arginin yang akan menghasilkan asam amino yang lebih sederhana (Yayat, 2011: 20). Asam amino yang dihasilkan ini kemudian dihitung kadarnya dengan metode Lowry. Dalam

Dokumen terkait