• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Deskripsi Teori 1. Pembelajaran Kimia

Slameto (2013) mengatakan bahwa dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan yang paling pokok adalah kegiatan belajar. Hal ini dikarenakan proses belajar yang dialami oleh peserta didik sebagai anak didik dapat mempengaruhi berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan pendidikan. Belajar harus dilakukan dengan sengaja, direncanakan sebelumnya dengan struktur tertentu. Hal ini bertujuan untuk mengontrol secara cermat proses belajar dan hasil belajar yang akan dicapai dengan cermat (Hamalik, 2010).

Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam proses pendidikan. Belajar merujuk pada apa yang harus dilakukan seseorang sebagai subyek yang menerima pelajaran (sasaran didik), sedangkan mengajar merujuk pada apa yang harus dilakukan oleh pendidik. Adanya perpaduan antara proses belajar peserta didik dengan proses mengajar pendidik akan membentuk proses perubahan tingkah laku peserta didik melalui berbagai pengalaman yang diperolehnya (Sudjana, 2010). Perubahan tingkah laku tersebut dapat berupa penguasaan terhadap ilmu pengetahuan yang dipelajari, atau penguasaan terhadap keterampilan dan sikap (Baharuddin & Wahyuni, 2010, h. 34).

Proses belajar mengajar merupakan proses interaksi aktif antara peserta didik, pendidik, dan materi pembelajaran dalam kegiatan pendidikan. Dalam

12

kegiatan proses belajar mengajar ada kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik dan ada kegiatan mengajar yang dilakukan pendidik. Kedua kegiatan ini harus berlangsung secara bersama-sama pada waktu yang sama, sehingga terjadi adanya interaksi komunikasi aktif antara peserta didik, pendidik, dan materi pembelajaran (Arifin, Sudja, Ismail, HAM, & Wahyu, 2005). Pendidik berperan untuk menciptakan suasana atau memberikan pelayanan agar peserta didik belajar. Oleh karena itu, harus dipahami bagaimana peserta didik memperoleh pengetahuan dari kegiatan belajarnya. Strategi yang tepat bagi peserta didik dapat ditentukan apabila pendidik dapat memahami bagaimana proses dalam memperoleh pengetahuan (Sugihartono et al, 2007).

Terdapat perbedaan antara belajar dengan pembelajaran, yakni terletak pada penekanannya. Belajar lebih menekankan pada pembahasan tentang peserta didik dan proses yang menyertai dalam rangka perubahan tingkah lakunya, sedangkan pembelajaran lebih menekankan pada pendidik dalam upayanya untuk membuat peserta didik dapat belajar (Sugihartono et al, 2007). Pembelajaran menurut Sudjana (2010, h. 28) merupakan setiap upaya yang dilakukan dengan sengaja oleh pendidik yang dapat menyebabkan peserta didik melakukan kegiatan belajar. Berbeda dengan Sugihartono et al. (2007) yang mengartikan proses pembelajaran sebagai satu kesatuan seperangkat komponen yang saling berkesinambungan.

Ilmu kimia merupakan dalah satu bagian dari ilmu pengetahuan alam (IPA) yang mempelajari komposisi dan struktur zat kimia, serta hubungan keduanya dengan sifat zat tersebut. Komposisi (susunan) zat menyatakan

13

perbandingan unsur yang membentuk zat itu (Syukri, 1999, h. 1). Menurut Mulyasa (2012, h. 132) kimia adalah ilmu yang mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan bagiamana gejala-gejala alam yang berkaitan dengan komposisi, struktur, dan sifat perubahan dinamika serta energitika zat. Pada awalnya ilmu kimia diperoleh dan dikembangkan berdasarkan percobaan (induktif) namun pada perkembangan selanjutnya kimia juga diperoleh dan dikembangkan berdasarkan teori (deduktif). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembelajaran kimia merupakan proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran kimia.

Berdasarkan uraian tersebut maka pembelajaran kimia dapat didefinisikan sebagai proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya agar tercapainya tujuan pembelajaran kimia. Pembelajaran kimia akan bermakna apabila pendidik menyediakan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari yang terkait dengan penerapan konsep, kaidah, hukum, dan prinsip ilmu kimia. Proses pembelajaran dilakukan sedemikian rupa agar peserta didik dapat aktif dalam mempelajari kimia sebagai produk yang berupa pengetahuan atau sebagai proses yang berupa metode dan sikap ilmiah.

2. Model Problem Based Learning

Model Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang dirancang dan dikembangkan untuk mengasah kemampuan peserta didik dalam memecahkan masalah. Dalam hal ini, pendidik berperan mengajukan permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, memberikan dorongan pada peserta didik, memotivasi, menyediakan bahan ajar, dan fasilitas

14

lain yang diperlukan peserta didik untuk memecahkan masalah serta memberikan dukungan dalam upaya membangun pengetahuan dan perkembangan intelektual peserta didik (Riyanto, 2013). Proses pemecahan masalah dalam pelaksanaan Problem Based Learning harus disesuaikan dengan langkah-langkah metode ilmiah, sehingga peserta didik dapat belajar memecahkan masalah secara sistematis dan terencana. Oleh karena itu, penerapan model Problem Based Learning dapat memberikan peserta didik pengalaman belajar yang sangat baik dalam melakukan kerja ilmiah (Suprihatiningrum, 2016).

Model Problem Based Learning terdiri dari lima tahapan utama yang dimulai dari pendidik memperkenalkan peserta didik dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian serta analisis hasil kerja peserta didik. Menurut Arends dalam Warsono dan Hariyanto (2012) model Problem Based Learning memiliki tahap-tahap pelaksanaan seperti berikut.

a. Mengorientasi peserta didik pada masalah

Pendidik menginformasikan tujuan pembelajaran, mendeskripsikan kebutuhan-kebutuhan logistik penting, dan memotivasi peserta didik agar terlibat dalam kegiatan pemecahan masalah yang mereka pilih sendiri.

b. Mengorganisasikan peserta didik untuk belajar

Pendidik membantu peserta didik menentukan dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.

15

c. Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok

Pendidik mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

d. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya serta memamerkannya

Pendidik membimbing peserta didik dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang layak sesuai seperti laporan, rekaman video, dan model, serta membantu mereka bekerjasama dengan teman lain.

e. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah

Pendidik membantu peserta didik melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan dan proses-proses yang mereka gunakan.

Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang berlandaskan pada paham konstruktivisme yang mengakomodasi keterlibatan peserta didik dalam belajar dan pemecahan masalah (Hamruni, 2009, h. 221). Eggen dan Kauchak (2012) mengatakan beberapa karakteristik dari model Problem Based Learning, yaitu proses pembelajaran fokus pada pemecahan masalah, peserta didik bertanggungjawab untuk memecahkan masalah, dan pendidik mendukung peserta didik dalam proses memecahkan masalah. Berdasarkan karakteristik tersebut, dapat dikatakan bahwa model pembelajaran ini merupakan model pembelajaran yang terpusat pada peserta didik (student centered).

Dalam hal sarana belajar, pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas peserta didik dalam

16

mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, melalui bahan, media peralatan lingkungan dan fasilitas lainnya yang disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas–aktivitas lain yang didasarkan pada pengalaman sehingga memunculkan pemikiran terhadap usaha mengevaluasi belajar konstruktivistik (Siregar & Nara, 2014).

Dalam proses pemecahan masalah, dibutuhkan pengetahuan-pengetahuan dan keterampilan-keterampilan yang berkaitan dengan masalah tersebut. Salah satu keterampilan yang dibutuhkan adalah keterampilan berpikir dalam mengaitkan pengetahuan yang dimiliki peserta didik untuk memecahkan masalah. Seperti yang diungkapkan oleh Tan dalam Rusman (2014, h. 225) dalam penerapan model Problem Based Learning, keterampilan berpikir peserta didik betul-betul dioptimalisasikan melalui proses kerja kelompok yang sistematis, sehingga dapat memberdayakan, mengasah, menguji, dan mengembangkan keterampilan berpikirnya secara berkesinambungan.

Menurut Ratumanan dalam Trianto (2015) model Problem Based Learning efektif untuk pembelajaran proses berpikir tingkat tinggi. Hal ini dikarenakan dalam pembelajaran peserta didik terdorong untuk memproses informasi yang telah dimiliki, dan menyusun pengetahuan mereka sendiri sesuai dengan masalah yang dipecahkan. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks peserta didik.

Model Problem Based Learning yang diterapkan pada materi pokok “Larutan Asam dan Basa” dilaksanakan dengan memberi kesempatan peserta

17

didik untuk memecahkan masalah yang diberikan pendidik melalui Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD). Pemberian masalah tersebut bertujuan untuk merangsang keterampilan untuk berpikir tingkat tinggi dalam proses memecahkan masalah. Melalui proses ini, peserta didik dapat lebih memahami terhadap materi yang diajarkan.

3. Model Learning Cycle 5E

Model Learning Cycle 5E merupakan model pembelajaran yang bersifat konstruktivistik. Berdasarkan pandangan konstruktivistik, belajar merupakan proses pembentukan pengetahuan yang dilakukan peserta didik. Dalam proses ini, peserta didik harus berperan aktif dalam melakukan kegiatan, berpikir, menyusun konsep, dan memberi makna tentang hal yang dipelajari (Siregar & Nara, 2014, h. 41). Pada awalnya model pembelajaran konstruktivistik terdiri atas 3 tahap, yaitu eksplorasi (exploration), pengenalan konsep (concept introduction), dan penerapan konsep (concept application). Namun, seiring dengan kemajuan di dunia pendidikan, terjadi perkembangan model pembelajaran konstruktivistik yang awalnya terdiri dari 3 tahap menjadi 5 tahap, meliputi pembangkitan minat (engagement), eksplorasi (exploration), penjelasan (explanation), elaborasi (elaboration), dan evaluasi (evaluation). Kemudian kelima tahap tersebut disebut sebagai model Learning Cycle 5E.

Pada pembelajaran Learning Cycle 5E pendidik tidak mentransfer pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu peserta didik untuk membentuk pengetahuannya sendiri dan lebih memahami jalan pikiran peserta

18

didik dalam belajar. Kelima tahap Learning Cycle 5E dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Pembangkitan minat

Pada tahap ini, terjadi proses pembangkitan dan pengembangan minat serta rasa keingintahuan peserta didik yang dilakukan oleh pendidik. Pendidik dapat mengajukan pertanyaan mengenai proses faktual dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan materi yang akan disampaikan. Jawaban yang diberikan peserta didik atas pertanyaan ini dapat dijadikan acuan dalam menentukan pengetahuan awal peserta didik. Selanjutnya pendidik dapat memberikan hubungan antara pengalaman keseharian tersebut dengan materi yang akan dibahas.

b. Eksplorasi

Tahap ini diawali dengan membentuk kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 peserta didik untuk berdiskusi dan bekerjasama. Dalam kelompok ini, pendidik mendorong peserta didik untuk menguji hipotesis atau membuat hipotesis, melakukan dan mencatat pengamatan serta ide dalam proses diskusi kelompok. Pada tahap ini pendidik hanya berperan sebagai motivator dan fasilitator.

c. Penjelasan

Pada tahap ini, pendidik mendorong peserta didik untuk menjelaskan konsep yang telah disusun dengan kalimatnya sendiri dan disertai bukti, serta saling mendengarkan penjelasan antar peserta didik atau pendidik dengan kritis.

19

Selanjutnya, pendidik dapat memberikan penjelasan konsep dengan berpijak pada penjelasan peserta didik.

d. Elaborasi

Tahap ini memberikan kesempatan peserta didik untuk belajar secara bermakna dengan menerapkan konsep dan keterampilan yang telah dipelajari dalam situasi baru. Hasil belajar dan motivasi belajar peserta didik akan meningkat apabila pendidik merancang dengan baik situasi ini.

e. Evaluasi

Pada tahap terakhir, pendidik mengamati pemahaman peserta didik tentang konsep baru yang diterapkan dan mengevaluasi mengenai penerapan proses pembelajaran apakah berjalan baik, cukup baik ataukah masih kurang.

Berdasarkan tahapan seperti yang telah dipaparkan di atas, diharapkan peserta didik dapat berperan aktif untuk menggali, menganalisis, mengevaluasi pemahamannya terhadap konsep yang dipelajari dan tidak hanya mendengarkan keterangan dari pendidik saja. Salah satu karakteristik dari model pembelajaran ini adalah pendidik tidak memberi petunjuk langkah-langkah yang harus dilakukan peserta didik pada waktu akan melakukan eksperimen terhadap suatu permasalahan. Pendidik berperan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menuntun peserta didik pada hal yang akan dilakukan dan alasan merencanakan atau memutuskan perlakuan yang demikian. Oleh karena itu, kemampuan analisis, evaluatif, dan argumentatif peserta didik dapat berkembang dan meningkat secara signifikan (Wena, 2010).

20 4. Higher Order Thinking Skills

Berpikir merupakan salah satu kemampuan yang dimiliki seseorang sejak mengenal lingkungan sekitarnya dan tidak dapat terpisahkan dari kehidupan. Pada umumnya setiap orang tidak akan memiliki kemampuan berpikir yang sama, karena setiap individu memiliki lingkungan yang berbeda pula. Menurut Arends (2008) berpikir merupakan proses yang melibatkan operasi-operasi mental, meliputi induksi, deduksi, klasifikasi, dan penalaran. Berpikir dapat dikatakan sebagai proses representasi simbolis (melalui bahasa) berbagai obyek dan kejadian nyata dan menggunakan representasi simbolis dalam menemukan prinsip-prinsp esensial obyek dan kejadian tersebut. Perbandingan antara representasi abstrak dengan operasi-operasi mental biasanya didasarkan pada fakta-fakta dan kasus-kasus tertentu di tingkat konkret. Berpikir adalah kemampuan dalam menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasarkan interferensi yang baik.

Menurut Isjoni dan Ismail (2008) berpikir merupakan sebuah cara untuk belajar. Keterampilan berpikir memiliki tempat yang sangat utama dalam menjalani kehidupan sebagai individu, salah satunya dalam pembelajaran. Dalam kegiatan pembelajaran, setiap peserta didik diharuskan untuk selalu berpikir agar dapat menyelesaikan setiap permasalahan yang diberikan pendidik. Karakteristik utama dari berpikir ialah adanya abstraksi. Maksud dari abstraksi tersebut adalah anggapan lepasnya kualitas atau relasi dari benda-benda, kejadian-kejadian, dan situasi-situasi yang mula-mula dihadapi sebagai kenyataan (Purwanto, 2010).

21

Setiap peserta didik tidak selalu memiliki bentuk keterampilan berpikir yang sama ketika melakukan pemecahkan masalah. Hal ini disesuaikan dengan keterampilan yang dimiliki masing-masing peserta didik. Keterampilan berpikir merupakan keterampilan yang memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah secara efektif. Keterampilan berpikir pada diri peserta didik perlu dikembangkan terhadap bagian-bagian yang lebih khusus dari keterampilan berpikir tersebut serta melatihnya di kelas. Hal ini dikarenakan keterampilan berpikir dapat membantu peserta didik dalam proses pembelajaran aktif di kelas (Sapriya, 2015, h. 52).

Setiap pemecahan masalah memerlukan taraf berpikir paling tinggi dan paling sukar (Rooijakkers, 1993, h. 111). Proses berpikir tingkat tinggi peserta didik sangat diperlukan dalam pemcahan masalah tersebut. Dengan demikian, keterampilan berpikir peserta didik dapat diukur melalui proses pemecahan masalah yang diberikan oleh pendidik melalui Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD). Keterampilan berpikir tingkat tinggi merupakan keterampilan berpikir yang mengharuskan peserta didik untuk memanipulasi informasi dan ide-ide yang dimiliki dalam cara tertentu yang memberi mereka pengertian baru (Gunawan, 2003).

Salah satu hal yang dapat merangsang Higher Order Thinking Skills peserta didik adalah dengan memberikan suatu permasalahan yang harus dipecahkan oleh peserta didik secara mandiri. Peran pendidik dalam hal ini adalah sebagai fasilitator dan motivator. Kegiatan belajar memecahkan masalah merupakan tipe kegiatan belajar dalam usaha mengembangkan keterampilan

22

berpikir. Berpikir adalah aktivitas kognitif tingkat tinggi yang melibatkan asilmilasi dan akomodasi berbagai pengetahuan dan struktur kognitif atau skema kognitif yang dimiliki peserta didik untuk memecahkan persoalan. Dalam kegiatan belajar pemecahan masalah peserta didik terlibat dalam berbagai tugas, penentuan tujuan yang ingin dicapai dan kegiatan untuk melaksanakan tugas (Suprijono, 2011).

Dalam taksonomi Bloom yang kemudian direvisi oleh Anderson dan Krathwohl, keterampilan berpikir tingkat tinggi dibagi menjadi tiga aspek dalam ranah kognitif. Aspek-aspek tersebut meliputi aspek menganalisis, aspek mengevaluasi, dan aspek mencipta.

a. Menganalisis

Menganalisis merupakan kemampuan dalam memecah atau menguraikan suatu materi atau informasi menjadi komponen-komponen yang lebih kecil sehingga dapat mudah dipahami (Gunawan, 2003, h. 184). Bagian-bagian kecil tersebut kemudian dihubungkan antar bagian dan antara setiap bagian dan struktur keseluruhannya (Anderson & Krathwohl, 2010, h. 120).

b. Mengevaluasi

Mengevaluasi berhubungan dengan pembuatan keputusan yang berdasarkan kriteria dan standar tertentu. Kriteria-kriteria yang paling sering digunakan adalah kualitas, efektivitas, efisiensi, dan konsistensi. Kriteria-kriteria tersebut ditentukan sendiri oleh peserta didik (Anderson & Krathwohl, 2010, h. 125). Dalam membuat keputusan peserta didik perlu menyesuaikan prosedur yang digunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan.

23 c. Mencipta

Mencipta melibatkan proses dalam menyusun elemen-elemen menjadi sebuah keseluruhan yang koheren untuk membuat suatu produk yang orisinil. Aspek ini mengharuskan peserta didik untuk mengumpulkan elemen-elemen atau informasi dari berbagai sumber referensi dan menggabungkan informasi tersebut menjadi sebuah struktur baru yang barkaitan dengan pengetahuan awal peserta didik (Anderson & Krathwohl, 2010, h. 128-129). Menurut Sutrisno (2011, h. 18) aspek ini merupakan keterampilan tersulit dalam revisi taksonomi Bloom.

5. Pengetahuan Awal

Pengetahuan awal merupakan kumpulan pengetahuan peserta didik yang telah dimiliki sebelum dilaksanakannya pembelajaran yang lebih lanjut. Pada dasarnya setiap orang dapat membentuk suatu konsep secara mandiri sesuai dengan stimulus yang diberikan. Konsep yang dibentuk setiap orang akan berbeda antara satu dengan lainnya, karena stimulus yang diterima pada setiap orang berbeda juga. Sehingga dapat dikatakan bahwa konsep yang dibentuk merupakan hasil abstraksi-abstraksi berdasarkan pengalaman yang diperoleh (Dahar, 2011).

Pengetahuan awal peserta didik dapat memberikan dorongan dalam memahami suatu pengetahuan yang baru apabila terdapat keterkaitan antar keduanya. Akan tetapi, terkadang pengetahuan baru yang diterima tidak sesuai dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki sebelumnya sehingga peserta didik kesulitan dalam memahami suatu pengetahuan baru (Trianto, 2010, h. 33). Dengan demikian, pengetahuan awal merupakan salah satu syarat utama dapat

24

dilaksanakannya proses belajar peserta didik. Salah satu syarat agar terjadinya kegiatan belajar adalah adanya keterkaitan antara pengetahuan baru dengan pengetahuan awal. Adanya pengetahuan awal dapat mempermudah proses pembelajaran yang lebih baik sehingga dapat dicapai prestasi yang baik.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diartikan bahwa pengetahuan awal kimia meliputi pengetahuan mengenai ilmu kimia yang telah dimiliki peserta didik sebelum melakukan pembelajaran selanjutnya. Pengetahuan awal mempunyai peranan penting terhadap prestasi belajar, sehingga pengetahuan awal perlu diperhatikan agar peserta didik dapat mencapai hasil yang diharapkan. Adanya perbedaan pengetahuan awal antar peserta didik mampu memberi pengaruh terhadap prestasi belajar peserta didik, sehingga dalam penelitian ini pengetahuan awal peserta didik perlu dikendalikan secara statistik.

6. Prestasi Belajar Kimia

Dalam setiap proses pembelajaran, selalu dilakukan penilaian terhadap peserta didik sebagai bentuk pemahaman akan materi yang diajarkan. Penilaian dalam proses pembelajaran tidak hanya dilakukan terhadap penguasaan materi saja, melainkan juga proses yang berlangsung selama pembelajaran. Menurut Widoyoko (2016), proses pembelajaran melibatkan dua subyek, yaitu pendidik dan peserta didik yang menghasilkan perubahan pada diri peserta didik sebagai hasil dari kegiatan pembelajaran yang bersifat non-fisik seperti perubahan sikap, pengetahuan, maupun kecakapan.

Suprihatiningrum (2016) membedakan hasil belajar menjadi tiga aspek yang sesuai dengan taksonomi pembelajaran, yaitu kognitif (kemampuan berpikir,

25

mengetahui, dan memecahkan masalah), afektif (kemampuan yang berhubungan dengan sikap, nilai, minat, dan apresiasi), dan psikomotorik. Hasil belajar atau perubahan perilaku peserta didik dapat berupa hasil utama pengajaran maupun hasil samping pengiring. Hasil utama merupakan hasil yang sengaja direncanakan sesuai dengan tujuan yang diharapkan, sedangkan hasil pengiring merupakan hasil yang diinginkan namun tidak direncanakan dalan tujuan pembelajaran (Rusmono, 2012).

Berdasarkan pengertian yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar kimia merupakan suatu hal yang menunjukkan tingkat keberhasilan peserta didik dalam mempelajari ilmu kimia yang berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Prestasi belajar peserta didik dapat diketahui melalui sebuah penilaian (evaluasi). Penilaian prestasi belajar harus disesuaikan dengan kompetensi yang akan dicapai. Penilaian ini meliputi hasil dari pembelajaran kimia dan proses yang terjadi selama proses pembelajaran. 7. Materi Larutan Asam dan Basa

Materi pembelajaran Larutan Asam dan Basa disesuaikan dengan Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) dalam Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang telah ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan Tahun 2016 sebagai berikut:

a. Kompetensi Inti

KI-1: Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya.

KI-2: Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif dan

26

menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. KI-3: Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.

KI-4: Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkrit dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, bertindak secara efektif dan kreatif, serta mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan.

b. Kompetensi Dasar

3.10 Memahami konsep asam dan basa serta kekuatannya dan kesetimbangan pengionannya dalam larutan.

4.10 Menentukan trayek perubahan pH beberapa indikator yang diekstrak dari bahan alam.

B. Penelitian yang Relevan

Beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian Abanikannda, M.O. (2016) dengan judul “Influence of Problem-Based

27

Learning in Chemistry on Academic Achievement of High School Students in Osun State, Nigeria”. Hasil penelitian menyatakan bahwa penerapan model tersebut dapat membantu peserta didik dalam meningkatkan kemampuan kerjasama, menganalisis, mengumpulkan data, sintesis dan kemampuan pemecahan masalah. Dengan demikian, dapat dikatakan model Problem Based Learning lebih efektif daripada model pembelajaran konvensional terhadap prestasi belajar kimia peserta didik

Penelitian Zejnilagić-Hajrić M., Šabeta A., dan Nuić, I pada tahun 2015 yang berjudul “The Effects of Problem-Based Learning on Students' Achievements in Primary School Chemistry” menjabarkan mengenai penerapan model Problem Based Learning untuk mengidentifikasi efek model pembelajaran tersebut terhadap prestasi peserta didik. Setelah dilakukan penelitian, menunjukkan bahwa model pembelajaran tersebut lebih efektif daripada model pembelajaran konvensional.

Penelitian Aweke Shishigu Argaw, Beyene Bashu Haile, Beyene Tesfaw Ayalew, dan Shiferaw Gadisa Kuma pada tahun 2017 yang berjudul “The Effect of Problem Based Learning (PBL) Instruction on Students’ Motivation and Problem Solving Skills of Physics”. Penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan prestasi belajar peserta didik dengan menerapkan model Problem Based Learning. Oleh karena itu, model ini merupakan model pembelajaran alternatif untuk meningkatkan prestasi belajar peserta didik.

Dokumen terkait