KAJIAN TEORITIS
A. Kajian Teori Tentang Kemampuan Berbicara Tematik Terintegratif 1. Pembelajaran Tematik dalam Kurikulum 2013
Permendikbud Nomor 67 Tahun 2013 tentang Kurikulum Sekolah Dasar disebutkan bahwa:
Kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia (Kemendikbud, 2013).
Kurikulum 2013 adalah Kurikulum berbasis kompetensi yang dirancang untuk mengantisipasi kebutuhan kompetensi Abad 21. Pada abad ini, sebagaimana dapat kita saksikan bersama, kemampuan kreativitas dan komunikasi akan menjadi sangat penting. Sejalan dengan itu, rumusan kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dipergunakan dalam Kurikulum 2013 mengedepankan pentingnya kreatifitas dan komunikasi.
Kompetensi yang diharapkan dalam Kurikulum 2013 seorang lulusan SD/MI memiliki kemampuan pikir dan tindak yang produktif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret. Kemampuan tersebut diperjelas dalam kompetensi inti yang salah satunya adalah menyajikan pengetahuan dalam bahasa yang jelas, logis dan sistematis, dalam karya yang estetis, atau dalam tindakan yang mencerminkan perilaku anak sehat, beriman, berakhlak mulia. Kompetensi tersebut dirancang untuk dicapai melalui proses pembelajaran berbasis penemuan (discovery learning) melalui kegiatan-kegiatan berbentuk tugas (project based learning) yang mencakup proses-proses mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengkomunikasikan (Kemendikbud, 2013: 3).
Berdasarkan teori yang telah disebutkan, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran tematik terintegratif dalam Kurikulum 2013 lebih menekankan pada keterlibatan peserta didik dalam proses belajar secara aktif dalam proses pembelajaran, sehingga peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung dan terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang dipelajarinya. Melalui pengalaman langsung peserta didik akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari dan menghubungkannya dengan konsep lain yang telah dipahaminya.
2. Teori Belajar
Belajar merupakan aktivitas yang disengaja dan dilakukan oleh individu agar terjadi perubahan kemampuan diri, dengan belajar anak yang tadinya tidak mampu melakukan sesuatu, menjadi mampu melakukan sesuatu, atau anak yang tadinya tidak terampil menjadi terampil. Belajar adalah suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman (Gagne, 1984 dalam Tim Pengembang MKDP, 2011: 124). Untuk mengetahui lebih dalam mengenai teori belajar berikut akan dipaparkan beberapa teori belajar, diantaranya adalah teori behavioristik, konstruktivistik dan kognitif.
a. Teori behavioristik
Menurut teori belajar behavioristik atau aliran tingkah laku, belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons. Belajar menurut psikologi behavioristik adalah suatu kontrol instrumental yang berasal dari lingkungan. Belajar tidaknya seseorang bergantung pada faktor-faktor kondisional yang diberikan lingkungan (Siregar dan Hartini Nara, 2011: 25).
“Hasil dari proses belajar adalah perilaku yang dapat diukur dan diamati. Proses belajar dilaksanakan dengan cara menciptakan kondisi yang dapat memberi kemungkinan bagi individu untuk mendemonstrasikan sebuah perilaku dalam jangka waktu yang relatif lama” (Pribadi, 2009: 77-78).
Teori belajar behavioristik perubahan sikap atau tingkah laku yang dapat diukur dan diamati dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga menimbulkan kebiasaan.
b. Teori belajar kognitif
Teori ini lebih menekankan proses belajar daripada hasil belajar. Bagi penganut aliran kognitivistik belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons. Lebih dari itu belajar adalah melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Menurut teori kognitivistik, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan (Siregar dan Hartini Nara, 2011: 30).
Teori belajar kognitif ini menganggap peserta didik adalah individu yang aktif memperlajari ilmu pengetahuan. Dalam menempuh proses pembelajaran, peserta didik tidak hanya sekedar bersifat pasif menerima pengetahuan.
c. Teori konstruktivistik
Teori konstruktivistik itu memahami belajar sebagai proses pembentukan (konstruksi) pengetahuan oleh si belajar itu sendiri. Pengetahuan ada didalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang guru
kepada siswa (Glaserfeld, Bettencourt (1989) dan Matthews (1994) dalam Siregar dan Hartini Nara, 2011: 39)
Dalam aliran konstruktivistik pengetahuan dipahami sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru. 3. Pendekatan Scientific
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81A Tahun 2013 memberikan konsepsi tersendiri bahwa pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran didalamnya mencakup komponen: mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengolah, informasi, serta menyajikan. Komponen-komponen tersebut seyogyanya dapat dimunculkan dalam setiap praktik pembelajaran, tetapi bukanlah sebuah siklus pembelajaran.
Para ahli yang meyakini bahwa melalui pendekatan scientific/ilmiah, selain dapat menjadikan siswa lebih aktif dalam mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilannya, juga dapat mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan guna menemukan fakta-fakta dari suatu fenomena atau kejadian. Artinya, dalam proses pembelajaran, siswa dibelajarkan dan dibiasakan untuk menemukan kebenaran ilmiah, bukan diajak untuk beropini apalagi fitnah dalam melihat suatu fenomena.
Pada penerapan (Implementasi Kurikulum 2013) harus menggunakan pendekatan ilmiah (scientific) karena pendekatan ini lebih efektif hasilnya dibandingkan pendekatan konvensional.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pendekatan scientific merupakan sebuah pendekatan yang didalam pembelajarannya mencakup komponen: mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengolah, informasi, serta menyajikan. 4. Kemampuan Berbicara
“berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan atau menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan” (Tarigan, 2008: 16).
Kemampuan berbicara merupakan kemampuan diperoleh dari mempraktikkan dan latihan berbicara secara berkesinambungan agar kemampuan berbicara yang dimiliki semakin meningkat. Agar seseorang mampu berbicara dengan baik dan benar maka kemampuan berbicara yang dimiliki oleh seseorang maka perlu dilatih secara terus menerus. Dengan bertambahnya kemampuan berbicara yang dimiliki oleh seseorang maka akan mengembangkan kemampuan intelegensi dan kemampuan berpikir kritis peserta didik dalam menghadapi permasalahan yang terjadi.
Berbicara adalah kemampuan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan. Kaitan antara pesan dan bahasa lisan sebagai media penyampaian sangat besar. Pesan yang diterima oleh pendengar tidak dalam wujud asli, tetapi dalam bentuk lain yakni bunyi bahasa. Pendengar kemudian mencoba mengalihkan pesan dalam bentuk bunyi bahasa dalam bentuk semula. Dalam berbicara, pembicara harus paham tentang isi dari yang dibicarakan. Agar dapat menyampaikan pesan kepada orang lain dengan baik dan benar (Tarigan dalam Cahyani dan Hodijah, 2007: 60).
Berdasarkan uraian di atas maka kemampuan berbicara adalah suatu kemampuan dalam hal mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau mengucapkan kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, menyampaikan pikiran, gagasan dan perasaan secara lisan agar apa yang diucapkan oleh pembicara
dapat dipahami oleh pendengar. Kemampuan tersebut diperoleh dari praktik dan latihan secara terus menerus sehingga kemampuan berbicara yang dimiliki seseorang semakin meningkat.
Pengajaran kemampuan berbicara merupakan salah satu kegiatan di dalam pembelajaran Bahasa Indonesia yang memliki jenis materi tersendiri. Pembelajaran yang dilaksanakan pada kemampuan berbicara ada lima jenis materi yang diajarkan (Cahyani dan Hodijah, 2007). Adapun lima jenis materi tersebut meliputi: a. Fakta b. Konsep c. Prinsip d. Prosedur e. Nilai/ sikap
Dari kelima jenis materi tersebut diimplementasikan kedalam kegiatan pembelajaran pada tema 6 subtema 1 (Kemendikbud, 2013). Berikut ini implementasi kegiatan pembelajaran tema 6 subtema 1:
Pembelajaran 1 1)Mengenal keanekaragaman hewan langka Indonesia. 2)Menceritakan kembali teks
petualangan. 3)Menyelesaikan masalah berdasarkan data. Pengetahuan: 1) Keanekaragaman hewan langka Keterampilan: 1) Berkomunikasi 2) Menggali informasi 3) Memecahkan masalah Pembelajaran 2 1) Menuliskan pengalaman
berpetualangan
2) Menjelaskan kewajiban terhadap lingkungan
3) Melakukan permaianan pemburu dan hewan langka
Pengetahuan: 1) Keanekaragaman anggrek langka Keterampilan: 1) Menganalisis gerak dasar atletik. 2) Berkomunikasi
Pembelajaran 3 1) Menggambar keindahan alam
2) Menggali manfaat sumber daya alam (pinus)
3) Mengaplikasikan konsep desimal
Pengetahuan:
1) Manfaat pohon pinus Keterampilan:
1) Berkomunikasi
2) Teknik menggambar pemandangan alam Pembelajaran 4 1) Mengenal unggas langka
Indonesia
2) Menceritakan perilaku manusia sehubungan dengan unggas langka
3) Menulis laporan
berdasarkan telaah literatur
Pengetahuan: 1) Keanekaragaman unggas langka Indonesia Keterampilan: 1) Menggali informasi 2) Berkomunikasi Pembelajaran 5 1) Mengenal keindahan bawah
laut
2) Menggali informasi dari teks petualangan bergambar 3) Mempresentasikan hasil
survei
Pengetahuan:
1) Keindahan bawah laut indonesia
Keterampilan:
1) Presentasi dan menggali informasi Pembelajaran 6 1) Mempresentasikan
deskripsi gambar alam 2) Keanekaragaman hewan
dan tumbuhan langka
3) Penjumlahan dan
pengurangan desimal dan persen.
Pengetahuan: 1) Keanekaragaman
hewan dan tumbuhan langka
2) Hak dan kewajiban sebagai warga
3) Operasi penjumlahan dan pengurangan desimal dan persen Keterampilan:
1) Berkomunikasi 2) Memecahkan masalah 3) Mencari informasi Selain itu, kemampuan berbicara juga memiliki beberapa kriteria penilaian. Berikut ini terdapat beberapa hal mengenai kriteria penilaian dalam pengajaran kemampuan berbicara. Suhendar, mengemukakan bahwa dalam menilai kemampuan berbicara seseorang sekurang-kurangnya ada enam hal yang harus diperhatikan (Cahyani dan Hodijah, 2007: 64). Keenam hal tersebut adalah:
a. Lafal b. Struktur bahasa c. Kosakata d. Kafasihan e. Isi pembicaraan f. Pemahaman
Pengukuran kemampuan berbicara peserta didik dapat melalui kegiatan dialog atau wawancara, menyampaikan pengumuman, diskusi, debat, tanya jawab, pidato, dan bercerita. Penilaian kemampuan berbicara tidak semata-mata berhubungan dengan kemampuan kognitif, melainkan juga aspek afektif dan psikomotor.
Sapani menyatakan bahwa penilaian kemampuan berbicara mencakup tiga aspek. Aspek tersebut yakni:
a. Bahasa lisan yang digunakan, meliputi: lafal, intonasi, stuktur bahasa, gaya bahasa.
b. Isi pembicaraan, meliputi: hubungan isi topik, struktur isi, kuantitas isi, serta kualitas isi.
c. Teknik dan penampilan, meliputi: gerak-gerik, mimik, hubungan dengan pendengar, volume suara, dan jalannya pembicaraan (Cahyani dan Hodijah, 2007: 64)
Dari pendapat diatas, dapat dipahami bahwa pada prinsip penilaian kemampuan berbicara secara garis besar mencakup kedalam tiga aspek, yaitu: menyangkut bahasa yang dilisankan, isi pembicaraan, teknik dan penampilan. Kemudian dalam melaksanakan penilaian berkaitan dengan kemampuan berbicara, sebaiknya dilakukan dengan penilaian performa/unjuk kerja. Dengan demikian guru harus menyiapkan check list berisi kriteria penilaian. Sehingga hasil yang ada merupakan gambaran riil kemampuan peserta didik.
B. Kajian Teori Tentang Model Pembelajaran Kooperatif Learning Tipe Kancing Gemerincing
1. Pengertian Model Pembelajaran
Menurut Millis dalam Cooperative Learning, model adalah bentuk representasi akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu (Suprijono, 2009: 45).
Menurut Arends, model pembelajaran mengacu pada pendekatan yang digunakan, termasuk didalamnya tujuan–tujuan pembelajaran, tahap–tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran dan pengelolaan kelas (Suprijono, 2009: 46).
Dari pemaparan ahli, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah sebuah bentuk kerangka acuan yang akurat dan mengacu pada pendekatan yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran dengan cara peserta didik belajar dan bekerja dalam kelompok yang bersifat heterogen. 2. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif Learning Tipe Kancing
Gemerincing
Menurut Spencer Kagan, Model pembelajaran kooperatif tipe kancing gemerincing adalah:
“Jenis metode struktural yang mengembangkan hubungan timbal balik antar anggota kelompok dengan didasari adanya kepentingan yang sama. Setiap anggota mendapatkan chips yang berbeda yang harus digunakan setiap kali mereka ingin berbicara mengenai: menyatakan keraguan, menjawab pertanyaan, bertanya, mengungkapkan ide, mengklarifikasi pertanyaan, mengklarifikasi ide, merangkum, mendorong partisipasi anggota lainnya, memberikan penghargaan untuk ide yang dikemukakan anggota lainnya dengan mengatakan hal yang positif” (Huda, 2011: 142).
Model Pembelajaran kooperatif learning tipe kancing gemerincing ini menuntut peserta didik agar berperan aktif dalam pembelajaran. Peserta didik diberikan masing-masing chips supaya semua peserta didik ikut berperan aktif dalam pembelajara. Apabila chips tidak digunakan maka secara langsung peserta didik tersebut tidak bisa dikatakan aktif dalam pembelajaran.
Tabel 2.1
Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Kancing Gemerincing
Fase Tingkah Laku Guru
Fase-1
Menyampaikan tujuan dan memotivasi peserta didik.
Guru menyampaikan tujuan pembelajaran (atau indikator hasil belajar), guru memotivasi peserta didik, guru mengaitkan pelajaran sekarang dengan yang terdahulu.
Fase-2
Menyajikan informasi.
Guru menyajikan informasi kepada peserta didik dengan jalan demonstrasi atau lewat bacaan.
Fase-3
Mengorganisasikan peserta didik ke dalam kelompok-kelompok belajar.
Guru menjelaskan kepada peserta didik cara membentuk kelompok belajar, guru mengorganisasikan peserta didik ke dalam kelompok-kelompok belajar(setiap kelompok beranggotakan 4-5 orang dan harus heterogen terutama jenis kelamin dan kemampuan peserta didik, dan setiap anggota diberi tanggung jawab untuk mempelajari atau mengerjakan tugas), guru menjelaskan tentang penggunaan media kancing sebagai salah satu tiket untuk berpendapat di dalam kelompoknya masing-masing.
Fase-4
Membimbing kelompok bekerja dan belajar.
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat peserta didik mengerjakan tugas.
Fase-5 Evaluasi.
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau meminta peserta didik mempresentasikan hasil kerjanya, kemudian dilanjutkan dengan diskusi.
Sumber: Sintaks Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Kancing Gemerincing (Huda, 2011: 143)
C. Kerangka Berpikir
Dalam penelitian ini penulis menggunakan kelas kontrol dan eksperimen. Kerangka berfikir dalam penelitian ini dapat di gambarkan secara skematis sebagai berikut:
Gambar 2.1: Prosedur Penelitian
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berfikir di atas maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah:
Ha :Terdapat pengaruh model kooperatif learning tipe kancing gemerincing pada pendekatan scientific terhadap kekampuan berbicara tematik terintegratif peserta didik kelas IV SD Negeri 01 Kebondalem Kabupaten Pemalang. Untuk keperluan uji empiris Ha diubah menjadi Ho sebagai berikut:
Ho :Tidak terdapat pengaruh model kooperatif learning tipe kancing gemerincing pada pendekatan scientific terhadap kekampuan berbicara tematik terintegratif peserta didik kelas IV SD Negeri 01 Kebondalem Kabupaten Pemalang.
Kemampuan Berbicara
Peserta didik rendah dalam pembelajaran
Inovasi Pembelajaran Melalui Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Learning tipe kancing
gemerincing pada pendekatan scientific
Kemampuan berbicara pengaruh peserta didik berdasarkan kelancaran berbicara peserta didik.