• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TEORITIS TENTANG PERCERAIAN DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Perceraian

Putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam Undang-undang Perkawinan untuk menjelaskan perceraian atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang selama ini hidup sebagai suami istri. 1 Hal ini senada dengan makna talak menurut Wahbah Al-Zuhaili dalam bukunya Al-Fiqh Al-Islami Wa’adillatuh yang mendefinisikan talak ialah:

Artinya: “Talak menurut bahasa adalah melepas ikatan atau menceraikan”.2

Dalam Kamus Hukum Indonesia kata cerai (gescheider) diartikan dengan putus hubungan sebagai suami istri, pisah dengan segala konsekuensi hukumnya.3 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata cerai berarti pisah atau putus hubungan sebagai suami istri;

1

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fikih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), Cet. Ke-1, h. 189.

2

Wahbah Al Zuhaili, Al-Fiqih Al-Islam Wa’adillatuh, (Damaskus: Darul Fikr, 1989), jilid 7, h. 356.

3

Marbun, Kamus Hukum Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), Cet. 1, h. 40.

talak.4 Kata perceraian berasal dari kata “cerai”, yang mendapat awalan “per” dan “an”, yang secara bahasa berarti melepas ikatan.5

Dalam istilah agama talak berarti melepas ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan. Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam Indonesia talak menurut istilah adalah melepaskan tali perkawinan atau mengakhiri hubungan perkawinan.6

Menurut pendapat Mazhab Hanafi dan Hambali mendefinisikan talak sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan ikatan perkawinan dimasa yang akan datang. Adapun yang dimaksud secara langsung adalah tanpa terkait dengan sesuatu dan hukumnya langsung berlaku ketika ucapan talak tersebut dinyatakan suami. Sedangkan yang dimaksud dimasa yang akan datang adalah berlakunya hukum talak tersebut tertunda oleh suatu hal. Mazhab Syafi’i

mendifinisikan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan lafad talak atau yang semakna dengan lafad itu. Sedangkan mazhab Maliki mendefinisikan sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri.7

4

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), Cet. Ke-1, h. 163.

5

Ahmad Warsono Munawir, Al Munawir Kamus Besar Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), Cet. Ke-14, h. 861.

6

Wahbah Al Zuhaili, Fiqih dan Perundangan Islam, Terjemah Ahmad Syeid Husain, Dewan Pustaka Dan Bahasa, jilid VII (Selanggor, 2001), h. 579.

7

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam Indonesia, “Talak” Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT. Ichar Baru an Hoeve, 1994), Cet. Ke-3, jilid 5, h. 53.

Bagi seorang muslim yang diisyaratkan adalah tidak sering-sering mengucapkan cerai bila ada pertikaian antara dia dengan istrinya, atau dalam percakapan dia dengan orang lain, karena Nabi bersabda:

Artinya: “perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak”.(HR. Abu Dawud, Ibn Majah, dan la-Hakim, dari Ibn Umar)

Talak dibolehkan jika ada kebutuhan. Adapun yang diajarkan oleh sunnah adalah bila terpaksa maka yang dijatuhkan awalnya talak satu, sehingga masih memungkinkan bagi keduanya rujuk bila memang

diinginkan selama si istri masih dalam masa „iddah atau dengan akad nikah yang baru bila masa „iddah telah berakhir. Tidak boleh seorang

suami menceraikan istrinya yang sedang haid, nifas, atau dimasa sucinya di mana ia telah menggaulinya. Dan tidak boleh pula langsung menjatuhkan talak tiga pada istri dengan kalimat atau dalam satu kesempatan.8

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa awalnya talak itu dilarang karena mengandung pengertian kufur pada nikmat nikah, merobohkan tujuan pernikahan, serta menyakiti pihak istri, keluarga dan juga anak-anak. Akan tetapi, Allah Yang Maha bijaksana menakdirkan

8

bahwa pergaulan antara suami istri kadang-kadang memburuk dan menjadi demikian buruknya sehingga tidak ada lagi jalan keluarnya.9

Adapun Istilah perceraian terdapat dalam Pasal 38 UU No. 1

Tahun 1974 yang memuat tentang ketentuan fakultatif bahwa ”Perkawinan

dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan”.

Jadi, istilah perceraian secara yuridis berarti putusnya perkawinan, yang mengakibatkan putusnya hubungan suami istri.10

Di Indonesia dengan berlakunya Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, penjatuhan talak atau cerai itu tidak lagi sewenang-wenang dari suami yang menggunakan kesempatan tersebut pada setiap saat, tetapi talak tersebut mesti dijatuhkan di depan sidang pengadilan setelah mendapat pertimbangan yang diproses oleh hakim Pengadilan Agama.11

Selain talak yang menjadi wewenang laki-aki (suami), dalam khazanah Islam juga dikenal istilah khulu’ yang memberikan hak bagi

perempuan untuk menuntut perceraian kepada suami yang tidak ia senangi. Di dalam KHI dibedakan antara perceraian yang diakibatkan karena talak dan perceraian karena gugatan perceraian. Perbedaan ini memberikan konsekuensi yang berbeda, di antaranya istri tidak punya

9

Mahmud Syalthut dan Ali As-Sayis, Fiqih Tujuh Madzhab, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h. 148.

10

Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2014), Cet. Ke-2, h. 15.

11

Ahmad Mukri Aji, Maslahat Mursalah: Dalam Dialektika Pemikiran Hukum Islam, (Bogor: Pustaka Pena Ilahi, 2011) h. 205.

hukum apa-apa, sedangkan si suami mempunyai upaya hukum seperti biasanya dalam perkara perdata, yaitu hak banding dan kasasi.

B. Dasar Hukum Perceraian

Setiap produk hukum pastilah selalu berlandasan dengan hukum yang mempertimbangkan akan kedudukan produk hukum tersebut, begitu pula dengan masalah talak (perceraian).

1. Al-Qur’an dan Hadis

Adapun dasar hukum talak yang terdapat dalam Al-Qur’an diantaranya sebagai berikut, yaitu firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarh [2] ayat 229 yang berbunyi:

Artinya:“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma´ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah

hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya.

Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim”. (Qs. Al-Baqarah: 229)

Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma´ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma´ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.(Qs. Al-Baqarah: 231)

Ayat di atas memberikan makna bahwa talak yang disyariatkan Allah ialah talak yang dijatuhkan oleh suami satu demi satu, tidak sekaligus, dan bahwa suami boleh memelihara kembali bekas istrinya setelah talak pertama dengan cara yang baik, demikian pula setelah talak kedua.12

Juga firman-Nya dalam surat Al-Thalaq [65] ayat 1 dan 2, yang berbunyi:

12

Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”. (Qs. Al-Thalaq: 1)

Maksud ayat di atas adalah jika ingin menceraikan istri-istri kalian maka ceraikanlah mereka pada saat menghadapi masa iddah.

Hanya saja istri yang dicerai menerima iddah apabila perceraiannya setelah ia suci dari haid atau nifas dan sebelum digauli.13

Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar”. (Qs. Al-Thalaq: 2)

Ayat diatas menerangkan tentang kehadiran dua orang saksi dalam pengucapan talak dan juga ayat tersebut secara jelas menyuruh mengemukakan kesaksian waktu terjadinya rujuk dan perceraian,

13

namun ulama Jumhur tidak mewajibkannya, akan tetapi hukumnya hanyalah sunnat.14

Adapun dasar hukum talak menurut beberapa hadis, diantaranya sebagai berikut:

Artinya: “Dari ibnu Umar r.a bahwasanya dia menceraikan istrinya yang dalam keadaan haid pada masa Rasulullah SAW. Maka Umar bin Khatab bertanya kepada Rasulullah tentang hal tersebut, Rasulullah menjawab: perintahkan anakmu itu supaya rujuk (kembali) kepada isterinya itu, kemudian hendaklah ia teruskan pernikahan tersebut sehingga ia suci dari haid, lalu haid kembali dan kemudian suci dari haid yang kedua. Maka, jika berkehendak ia boleh meneruskan sebagaimana yang telah berlalu, dan juga menghendaki, ia boleh menceraiakannya sebelum ia mencapurinya. Demikianlah iddah diperintahkan Allah saat wanita itu diceraikan”. (HR.

Muttafaqun „Alaih)15

Talak juga di dasarkan pada sabda Rasulullah SAW, yang berbunyi sebagai berikut:

14

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 129.

15

Ahmad Mudjab Mahalli dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadis-Hadis Muttafaq’alaih Bagian Munakahat dan Mu’amalat, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. Ke-1, h. 62.

Artinya: “Dari Ibnu Umar, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah

SAW: “Perkara halal yang sangat dibenci oleh Allah ialah thalaq”.

(HR. Abu Daud) 16

Pada prinsipnya, talak merupakan suatu yang dimakruhkan. Hal ini diketahui dari hadis diatas, terlihat sekali bahwasanya Nabi sangat tidak senang dengan perbuatan talak ini dan menghukuminya sebagai perbuatan yang makruh. sedangkan menurut ijma’, dari Ibnu Qudamah mengatakan, “Kaum muslimin sepakat secara bulat (ijma’)

atas kebolehan talak ada berbagai pertimbangan pun menunjukkan kebolehannya”.17

2. Hukum Positif

Faktor ideal yang determinan dan menjadi sumber hukum material serta menentukan substansi atau isi hukum perceraian dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya adalah Pancasila. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, UU No. 1 Tahun 1974 yang merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan termasuk perceraian.

Ketentuan normatif khususnya perceraian terkandung dalam Bab VIII UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang di dalamnya mengatur putusnya perkawinan dan akibat hukumnya, yang di uraikan dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 dilaksanakan, dalam arti

16

Abu Daud Sulaiman al-Asy’ats al-Sijistani, Sunah Abu Daud, Bab Karahiyah al=Thalaq, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, t.h.,), h. 379.

17

Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, penerjemah, Khairul Amru Harahap dan Faisal Saleh, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), Cet. Ke-2, h. 363.

norma-norma hukumnya dijabarkan secara lebih konkret dalam peraturan pelaksana, yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pasal 14 sampai dengan Pasal 36, dan hal-hal teknis lainnya dalam Peraturan Menteri Agama (Permenag) Nomor 3 Tahun 1975.18

Perceraian dalam hukum positif, diatur juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 113 jo Pasal 38 UUP yang menyatakan

bahwa “Perkawinan dapat putus karena: (a) Kematian, (b) Perceraian,

dan (c) atas putusan Pengadilan. Dan pada Pasal 114 menyebutkan:

“Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi

karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”.19

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 39 menyebutkan bahwa:

1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.20

2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami

18

Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, h. 86.

19

Undang-Undang Peradilan Agama: UU Ri Nomor 50 Tahun 2009 Dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), (Graha Pustaka Yogyakarta), h. 171.

20

Ahmad Tholabi Kharlie dan Asep Syarifuddin Hidayat, Hukum Keluarga Di Dunia Islam Kontemporer, h. 277.

3. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam Peraturan perundangan tersendiri”.21

Jadi perceraian yang terjadi diluar sidang pengadilan dinyatakan tidak sah secara prosedural hukum yang berlaku. Ini merupakan salah satu wewenang absolut Peradilan Agama berdasarkan

Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989, yaitu “Peradilan Agama bertugas

dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, sedakah dan ekonomi syariah.22

Perceraian sebagai satu peristiwa hukum yang secara faktual banyak terjadi dalam masyarakat tentunya menimbulkan akibat hukum, baik terhadap kedudukan, hak dan kewajiban suami dan istri, anak, harta bersama yang telah mereka peroleh dalam perkawinan. Undang-undang No, 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaanya yang secara fungsional harus mampu mencegah dan mempersukar terjadinya perceraian, dan jika terjadinya perceraian itu tidak dapat dihindari lagi, maka harus dapat melindungi hak dan kewajiban suami

21

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 218.

22

Erfaniah zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 193.

dan istri, anak-anak dan harta bersama yang dihasilkan dalam perkawinan.23

C. Macam-macam Perceraian 1. Talak

Secara harfiah, talak berarti lepas dan bebas. Dihubungkan dengan kata talak dalam arti kata putusnya perkawinan, karena antara suami dan istri sudah lepas hubungannya masing-masing sudah bebas.24 Talak bisa diklasifikasikan menjadi berbagai jenis sesuai dengan aspek pandangannya. Dari segi dampak (pengaruh) yang ditimbulkan, maka talak ini terbagi menjadi dua macam, yaitu:

a. Talak raj’i adalah talak yang dijatuhkan satu kali oleh suami, dan membolehkan suami untuk kembali kepada istrinya selama masih dalam masa iddahnya tanpa akad baru.25 Apabila dia berkehendak untuk kembali dalam kehidupan dengan mantan suami atau istrinya, dalam bentuk talak ini cukup mengucapkan rujuk kepada mantan suami. 26

23

Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, h. 62.

24

Muhammad Syaifuddin, Sri Trutmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Peceraian, h. 117.

25

Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, penerjemah, Khairul Amru Harahap dan Faisal Saleh, h. 413.

26

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia,(Jakarta: Kencana, 2007), h. 220.

b. Talak ba’in adalah talak yang tidak memberikan kesempatan lagi bagi suami untuk merujuk kembali istri yang telah ditalaknya. Talak jenis ini ada dua macam, yaitu:

1. Talak ba’in shugra adalah talak ba’in yang tidak memberikan

kesempatan lagi bagi suami untuk merujuk kembali kepada istrinya kecuali melalui akad baru dan mahar baru.27

2. Talak ba’in kubra adalah talak yang talak yang menghilangkan kepemilikan bekas suami terhadap bekas istri serta menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istri, kecuali setelah bekas istri itu kawin dengan laki-laki lain, telah berkumpul dengan suami kedua itu serta telah bercerai secara wajar dan telah selesai menjalankan iddahnya. Sedangkan untuk talak ba’in kubra terjadi pada talak

ketiga.

2. Syiqaq

Syiqaq berarti perselisihan. Menurut istilah fiqih adalah perselisishan suami istri yang diselesaikan oleh dua orang hakam yaitu, seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri.28 Ketentuan tentang syiqaq terdapat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ [4] ayat 35, yang berbunyi:

27

Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah, penerjemah, h. 431.

28

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), Cet. Ke-1, h. 188.

Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.(Qs. An-Nisa’: 35)

Kedudukan cerai sebab kasus syiqaq adalah bersifat bain, artinya antara bekas suami istri hanya dapat kembali sebagai suami istri dengan akad nikah yang baru.29

3. Khulu’

Khulu’ yang terdiri dari lafaz kha-la-„a secaraetimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian.30 Dihubungkan kata khulu’

dengan perkawinan karena dalam Al-Qur’an disebutkan suami itu

sebagai pakaian bagi istrinya dan istri itu merupakan pakaian bagi suaminya terdapat dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 187. Adapun dalam istilah hukum beberapa kitab fiqih, khulu’ diartikan sebagai

“Putus perkawinan dengan menggunakan uang tebusan, menggunakan ucapan talak atau khulu’. 31

Secara terminologi khulu’ adalah permintaan istri kepada suaminya untuk menceraikan dirinya dari ikatan perkawinan dengan

29

Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, h. 243.

30

Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, dan Annalisa Yahanan, Hukum Perceraian, h. 130.

31

disertai i’wadh berupa uang atau barang kepada suami dari pihak istri sebagai imbalan penjatuhan talak cerai gugat dan pemberian hak yang sama bagi wanita untuk melepaskan diri dari ikatan perkawinan dan menyadarkan bahwa istri mempunyai hak yang sama untuk mengakhiri perkawinan.32

Talak tebus itu hukumnya boleh dilakukan, baik sewaktu suci maupun sewaktu haid, karena biasanya talak tebus ini terjadi dari kehendak dan kemauan si istri. Adanya kemauan ini menunjukkan bahwa dia rela, walaupun menyebabkan iddahnya jadi panjang.33

Dengan adanya khulu’, istri berhak menentukan dirinya sendiri. Suami tidak dapat meruju’nya kecuali dengan pernikahan yang baru, akan tetapi wanita yang mengajukan khulu’ tidak bisa ditalak lagi.

Khulu’ yang disebut juga dengan Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga Pengadilan Agama mengabulkan permohonan tersebut.34

Khulu’ sebagai salah satu bentuk putusnya perkawinan tidak diatur sama sekali dalam UU Perkawinan, namun KHI mengaturnya

32

Arskal Salim dkk, DEMI KEADILAN DAN KESETARAAN: Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia, (Ciputat: PUSKUMHAM UIN Jakarta dan The Asia Foundation, 2009), h. 59

33

Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), h. 189.

34

Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h. 78.

dalam Pasal 132 KHI dinyatakan bahwa: “Gugatan perceraian diajukan

oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami. Perceraian dapat diajukan oleh suami atau istri secara seimbang. Sebab, pada dasarnya suami dan istri ini memiliki kesempatan yang sama untuk mengajukan perceraian.35

4. Fasakh

Fasakh berasal dari bahasa Arab dari akar kata fa-sa-kha yang secara etimologi berarti membatalkan . Dalam arti

terminologis ditemukan beberapa rumusan yang hampir bersamaan maksudnya, diantaranya yang terdapat dalam KBBI, yaitu:

“Pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan

atas tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum

pernikahan”.36

Adapun yang dimaksud fasakh ialah perceraian yang berlaku diantara suami dan istri disebabkan timbul sesuatu yang boleh membatalkan akad nikah.37

35

Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: El-Kahfi, 2008), h. 234.

36

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawianan Islam Di Indonesia, h. 242.

37

Kasmuri Selamet, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga Panduan Perkawinan,

Pada dasarnya hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh, tidak disuruh dan tidak pula dilarang, namun bila melihat kepada keadaan dan bentuk tertentu itu, yang akan dijelaskan kemudian. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur batalnya perkawianan dalam 7 pasal, diataranya pada Pasal 22 yang

berbunyi: “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak

memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.

Kemudian diatur pula dalam PP No. 9 Tahun 1975 sebagai aturan pelaksana bagi UU No. 1 Tahun 1974 dan juga dijelaskan dalam KHI Pasal 70. 38

5. Ila’

Ila’ menurut bahasa berarti sumpah. Ila’ adalah mazdar dari

kata ala, ya’li, ila’an yang berarti sumpah. Sedangkan menurut istilah,

ila’ berarti suami bersumpah untuk tidak lagi mencampuri istri baik

menyebut waktu atau tidak menyebut waktu. Adapun dasar hukum yang digunakan, terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah [2] ayat 226, yang berbunyi:

Artinya: “Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali

38

(kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi

Maha Penyayang”. (Qs, Al-Baqarah: 226)39

Apabila suami telah bersumpah tidak akan menggauli istrinya, maka suami diberi kesempatan dalam jangka empat bulan untuk memikirkan dua pilihan alternatif bagi suami untuk rujuk dengan istri atau mentalak istrinya.40

6. Zhihar

Menurut bahasa Arab, kata zhihar terambil dari kata zhahrun

yang bermakna punggung. Dalam kaitannya dengan hubungan suami istri, zhihar adalah ucapan suami kepada istrinya yang berisi menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu suami, seperti

ucapan suami kepada istrinya: “Engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku”.41

Setelah kata-kata ini diucapkan, dengan seketika juga hubungan suami istri itu berakhir seperti halnya perceraian. Zhihar merupakan kebiasaan orang jahiliyah yang tidak lagi

Dokumen terkait