• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Pembelajaran Kimia

Pembelajaran merupakan proses interaksi aktif antara guru, siswa, dan bahan ajar yang berlangsung secara dinamis. Guru tidak sekedar memberikan informasi tetapi juga berusaha untuk mengembangkan strategi dan metode untuk mengembangkan potensi siswa, meningkatkan motivasi untuk belajar. Yusufhadi (2009: 545) “pembelajaran adalah suatu usaha yang disengaja, bertujuan, dan terkendali agar orang lain belajar atau terjadi perubahan yang relatif menetap pada diri orang lain”. Guru sengaja merancang dan mengendalikan proses pembelajaran hingga tercapai tujuan pembelajaran yaitu terjadinya perubahan pada siswa.

Trianto (2010: 17) pembelajaran hakikatnya adalah usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarahkan interaksi siswa dengan sumber belajar lainnya) dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Dalam pembelajaran guru merancang proses interaksi siswa dengan bahan ajar sehingga tujuan yang diharapkan tercapai.

Pembelajaran adalah proses yang interaktif antara guru dan siswa, guru memberikan stimulan yang menarik sehingga siswa sebagai pebelajar aktif berinteraksi dengan bahan ajar untuk mencapai tujuan.

Gagne cit. Wina Sanjaya (2010: 102) “instruction is a set of event that effect learners in such a way that learning is facilitated.” Pembelajaran adalah serangkaian proses yang mempengaruhi siswa melalui suatu cara yang mempermudahkannya mempelajari sesuatu. Guru sebagai fasilitator sehingga siswa memperoleh kemudahan dalam belajar, guru dituntut kreatif dalam

commit to user

pembelajaran hingga dapat mempengaruhi siswa menggunakan cara dan metodenya.

Secara garis besar ilmu dibedakan dalam dua golongan yaitu ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Jujun S. Sumantri (2007: 281) “ilmu-ilmu alam mempelajari dunia fisik yang relatif tetap dan mudah dikontrol. Objek-objek penelaahan ilmu-ilmu alam dapat dikatakan tidak pernah mengalami perubahan baik dalam perspektif waktu maupun tempat”. Kajian ilmu alam meliputi dunia fisik yang relatif konstan dalam dimensi ruang dan waktu. Ilmu alam atau sains pada hakikatnya merupakan pengetahuan yang terakumulasi dan tersusun mengenai alam dan gejalanya. Gejala alam yang teramati berupa objek, peristiwa, hubungan, dan sebagainya.

Ilmu-ilmu alam dipelajari sejak sekolah dasar, dikenal dengan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Trianto (2010: 136) “IPA adalah suatu kumpulan teori yang sistematis, penerapannya secara umum terbatas pada gejala alam, lahir dan berkembang melalui metode ilmiah seperti observasi dan eksperimen serta menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, terbuka, jujur, dan sebagainya”. Perkembangan IPA tidak hanya ditandai oleh adanya kumpulan fakta, tetapi melalui metode ilmiah yang didukung oleh sikap ilmiah. Fakta-fakta yang ada dapat dikatakan sebagai ilmu jika didukung dengan proses pengujian hipotesis, pengolahan, dan penafsiran data dengan cermat. Yusufhadi (2009: 647) “pendidikan sains harus memiliki ketiga unsur yaitu produk, sikap, dan metode”. Produk sains berupa konsep, generalisasi, prinsip, teori, dan hukum yang terakumulasi pada berbagai disiplin sains seperti fisika, kimia, biologi, dan geologi yang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban

commit to user

manusia. Sikap dan metode ilmiah merupakan proses sains yang selalu dikembangkan untuk memperoleh produk sains.

IPA hakikatnya merupakan suatu produk, proses, dan aplikasi. IPA merupakan proses sekaligus produk yang berkesinambungan hingga dapat diterapkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya. Sebuah produk akan memicu terbentuknya proses untuk menghasilkan produk yang baru sehingga ilmu memunculkan terobosan baru, selalu mengalami perkembangan dan kemajuan.

IPA secara umum meliputi ilmu biologi, fisika, dan kimia. Kimia merupakan cabang Ilmu Pengetahuan Alam yang mengkaji mengenai materi dan energi. Sesuai dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan mata pelajaran kimia di SMA memiliki tujuan sebagai berikut: (a) membentuk sikap positif terhadap kimia dengan menyadari keteratuan dan keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa; (b) memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, objektif, terbuka, ulet, kritis, dan dapat bekerjasama dengan orang lain; (d) memperoleh pengalaman dalam menerapkan metode ilmiah melalui percobaan atau eksperimen, peserta didik melakukan pengujian hipotesis dengan merancang percobaan melalui pemasangan instrumen, pengambilan, pengolahan dan penafsiran data, serta menyampaikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis; (e) meningkatkan kesadaran tentang terapan kimia yang dapat bermanfaat dan juga merugikan bagi individu, masyarakat, dan lingkungan serta menyadari pentingnya mengelola dan melestarikan lingkungan demi kesejahteraan masyarakat; (f) memahami konsep, prinsip, hukum, dan teori kimia serta saling keterkaitannya dan penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan teknologi. Pembelajaran kimia dapat diartikan sebagai kegiatan guru dalam

commit to user

merancang, mengolah bahan ajar berupa materi kimia agar mudah dipahami oleh siswa, sehingga tujuan pembelajaran tercapai, baik tujuan dari aspek kognitif, psikomotor maupun afektifnya.

2. Belajar

a. Pengertian Belajar

Belajar merupakan suatu proses yang berkaitan dengan proses berpikir seseorang yang tidak dapat diamati, namun hasil belajarlah yang dapat diamati. Gagne cit. Ratna Wilis (1989: 11) “belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman”. Indikasi yang dapat diamati dari keberhasilan belajar adalah adanya perubahan perilaku dari pebelajar. Perubahan ini disebabkan oleh interaksi pebelajar dengan lingkungan sekitarnya.

Slavin cit. Trianto (2010: 16) belajar secara umum diartikan sebagai : perubahan pada individu yang terjadi melalui pengalaman, dan bukan karena pertumbuhan atau perkembangan tubuhnya atau karakteristik seseorang sejak lahir. Manusia banyak belajar sejak lahir dan bahkan ada yang berpendapat sebelum lahir. Bahwa antara belajar dan perkembangan sangat erat kaitannya.

Sebagai hasil belajar perubahan tingkah laku diperoleh melalui pengalaman bukan bawaan dari lahir. Perkembangan berkaitan dengan pertumbuhan kognitif dan kedewasaan seseorang sedangkan pertumbuhan lebih dekat dengan perkembangan fisik seseorang. Pertumbuhan bukan merupakan hasil belajar namun perkembangan dapat diperoleh seseorang dengan belajar.

Belajar merupakan proses yang terjadi dalam diri seseorang yang terlihat sederhana namun melibatkan berbagai aspek. Dimyati (2009: 18) “belajar merupakan proses internal yang kompleks yang melibatkan seluruh mental yang

commit to user

meliputi ranah-ranah kognitif, afektif, dan psikomotor”. Belajar tidak hanya melibatkan olah pikir (kemampuan kognitif) saja, namun juga afektif dan psikomotorik.

Winkel (2009: 59) “belajar dirumuskan sebagai suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan sejumlah perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan dan nilai-sikap”. Perubahan itu relatif konstan dan berbekas. Jadi belajar merupakan perubahan dalam diri individu yang terjadi karena interaksi dengan lingkungan, perubahan ini meliputi aspek kognitif, afektif maupun psikomotorik. Kunci dari belajar adalah adanya perubahan karena pengalaman, perubahan menjadi lebih baik. Perubahan ini berupa pengetahuan baru, sikap maupun psikomotor.

b. Teori-Teori Belajar

Teori belajar selalu mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan peradaban manusia. Berawal dari teori behaviorisme yaitu menganggap siswa sebagai pebelajar yang pasif hingga teori kognitif yaitu siswa sebagai pebelajar aktif yang mengkonstruksikan pengetahuan dalam pemikirannya. Pembelajaran berbasis problem solving berfokus pada materi yang dipikirkan siswa bukan pada sesuatu yang dilakukan siswa. Jadi pembelajaran berbasis masalah didukung oleh teori belajar kognitif, yaitu pengetahuan dibentuk dalam struktur kognitif siswa.

Arend (2008: 46) meskipun peran guru dalam pelajaran yang berbasis masalah kadang-kadang juga melibatkan mempresentasikan dan menjelaskan berbagai hal kepada siswa, tetapi lebih sering memfungsikan diri sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa dapat belajar untuk berpikir dan menyelesaikan masalahnya sendiri.

commit to user

Dalam pembelajaran berbasis masalah siswa aktif mengkonstruksikan pengetahuannya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi, guru berperan sebagai fasilitator. Pembelajaran berbasis masalah didukung dengan teori belajar kognitif dan konstruktivis.

1) Teori Belajar Kognitif

Menurut teori belajar kognitif belajar bukan sekedar aktivitas fisik tetapi merupakan olah pikir yang melibatkan aspek kognitif siswa. Gestalt-field cit. Ratna Wilis (1989:20) mendefinisikan “belajar sebagai reorganisasi preseptual atau “cognitive fields” untuk memperoleh pemahaman”. Proses penataan ulang konsep-konsep dalam pikiran anak akan menghasilkan suatu pengetahuan baru. Beberapa tokoh teori belajar kognitif antara lain: Jerome Bruner, David Ausubel, Robert M. Gagne.

a) Belajar Penemuan oleh Bruner

Teori belajar Bruner dikenal sebagai teori belajar penemuan, siswa dibimbing untuk membentuk konsep-konsep dalam belajarnya. Ratna Wilis (1989: 98) pendekatan belajar Bruner didasarkan pada dua asumsi yaitu: (1) perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif; (2) orang mengkonstruksikan pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan yang diperoleh sebelumnya. Proses penemuan konsep melalui interaksi siswa dengan bahan ajar berupa sumber belajar (buku, internet) maupun alat belajar (perangkat alat laboratorium, animasi komputer).

Konstruksi pengetahuan dalam struktur kognitif seseorang kelihatannya berlangsung begitu saja namun dapat dipilah melalui beberapa proses. Bruner

commit to user

dalam Ratna Wilis (1989: 101) mengemukakan bahwa “belajar melibatkan proses yang berlangsung hampir bersamaan. Ketiga proses itu ialah: (1) memperoleh informasi baru; (2) transformasi informasi; (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan”. Pembentukan pengetahuan melalui pemrosesan informasi hingga siswa mampu menguji ketepatan informasi tersebut.

Bruner cit. Ratna Wilis (1989: 102) menyatakan bahwa “hampir semua orang dewasa melalui tiga sistem keterampilan untuk menyatakan kemampuan-kemampuannya secara sempurna. Ketiga sistem keterampilan itu adalah cara enaktif, ikonik, dan simbolik”. Enaktif merupakan cara penyajian melalui tindakan dan memberi contoh dalam wujud nyata, ikonik menyajikan dalam bentuk simbol atau gambar, sedangkan simbolik merupakan penyajian dengan kata-kata atau bahasa.

Belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Belajar penemuan menurut Bruner cit. Ratna Wilis (1989: 103) bahwa siswa “berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna”. Pengetahuan baru akan lebih mudah diperoleh dan diingat siswa dengan usaha memperolehnya melalui keterampilan memecahkan masalah (problem solving).

Kebaikan belajar penemuan: (1) pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapat diingat; (2) hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik daripada hasil belajar lainnya; (3) secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir secara bebas.

commit to user

Pembelajaran kimia pada dasarnya berbasis pada penemuan, karena ilmu kimia berupa teori yang terbentuk didasarkan pada gejala-gejala alam yang terjadi. Siswa diajarkan membentuk konsep dalam rangka memecahkan masalah melalui serangkaian kegiatan pembelajaran, baik dengan instrumen laboratorium riil maupun virtuil.

b) Belajar Bermakna oleh Ausubel

Ausubel cit. Ratna Wilis (1989: 111) “belajar bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang”. Belajar dengan cara mengaitkan konsep baru dengan konsep yang sudah dipunyai, siswa akan lebih mudah memahami konsep baru tersebut.

Ratna Wilis (1989: 116) “prasyarat dari belajar bermakna adalah: (1) materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial; (2) anak yang akan belajar atau siswa harus bertujuan untuk melaksanakan belajar bermakna, jadi mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna (meaningful learning set)”. Materi yang dikembangkan dengan belajar bermakna adalah materi pengembangan yang siswa telah memiliki konsep dasarnya, dan siswa dikondisikan untuk berorientasi belajar bermakna.

Kebaikan belajar bermakna yaitu: (1) informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat; (2) informasi yang tersubsumsi berakibatkan peningkatan diferensiasi dari subsumer-subsumer, jadi memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip; (3) informasi yang dilupakan sesudah subsumsi obiteratif, meninggalkan efek residual pada subsumer, sehingga mempermudah belajar hal-hal yang mirip, walaupun telah

commit to user

terjadi lupa. Dalam pembelajaran kimia dengan strategi problem solving, siswa dituntun untuk mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan sebelumnya, misalnya dalam pokok bahasan laju reaksi untuk menguasai konsep molaritas siswa mengkaitkan dengan konsep mol yang diperoleh sebelumnya.

c) Teori Gagne

Gagne menyusun sistematika belajar dalam delapan tipe kemudian disempurnakan menjadi lima tipe belajar. Dasar dari sistem pemikirannya adalah hasil belajar yang diperoleh dipandang sebagai kemampuan internal seseorang dan memungkinkan orang itu untuk melakukan sesuatu. Sistematika lima tipe belajar juga meninjau proses belajar yang dilalui orang untuk sampai pada hasil belajar.

Delapan tipe belajar menurut Gagne adalah: 1) belajar sinyal; 2) belajar perangsang-reaksi dengan mendapat penguatan/peneguhan; 3) belajar membentuk rangkaian gerak-gerik; 4) belajar asosiasi; 5) belajar diskriminasi; 6) belajar konsep; 7) belajar kaidah; 8) belajar memecahkan masalah/problem solving. Tipe belajar ini disusun menurut hierarki, dari yang sederhana menuju yang kompleks. Dari delapan tipe tersebut tipe belajar yang paling kompleks adalah belajar memecahkan masalah (problem solving) hasil belajarnya berupa penggabungan beberapa kaidah menjadi prinsip pemecahan. Kaidah lebih tinggi diperoleh dari hasil berpikir seseorang ketika menghadapi suatu masalah untuk dipecahkan.

Dalam lima tipe belajar belajar dibidang kognitif meliputi: informasi verbal, kemahiran intelektual, pengaturan kegiatan kognitif, sensorik-motorik, dan sikap (attitude). Gagne cit. Winkel (2009: 111) “informasi verbal ialah pengetahuan yang dimiliki seseorang dan dapat diungkapkan dalam bentuk

commit to user

bahasa, lisan, dan tertulis”. Pengetahuan yang dimiliki seseorang dapat diketahui dari informasi verbal. Jadi orang yang berpengetahuan adalah orang yang dapat mengkomunikasikan sesuatu yang diketahuinya kepada orang lain. Kunci dari berkembangnya pengetahuan adalah alat komunikasi dan kemampuan untuk berkomunikasi. Seorang guru dalam proses pembelajaran dituntut untuk dapat berkomunikasi baik dengan siswanya agar proses transformasi pengetahuan tidak terhenti. Komunikasi guru dengan siswa dapat dengan tatap muka secara langsung ataupun dengan media elektronik. Kemahiran intelektual adalah kemampuan untuk berhubungan dengan lingkungan hidup dan dirinya sendiri dalam bentuk suatu representatif, khususnya konsep dan berbagai lambang/simbol (huruf, angka, kata, gambar). Pembelajaran kimia di sekolah biasanya melalui pendekatan konsep dan praktek di laboratorium. Ketika praktek siswa harus ke laboratorium untuk mengembangkan keterampilan proses sainsnya, namun dalam kondisi tertentu siswa tidak harus ke laboratorium secara langsung, guru dapat memberikan gambaran alat-alat dan bahan-bahan praktikum dalam bentuk animasi. Hal ini menunjukkan bahwa siswa dapat belajar melalui representatif visual dari situasi laboratorium. Pengaturan kegiatan kognitif mencakup penggunaan konsep dan kaidah yang telah dimiliki terutama bila sedang mengahadapi suatu masalah. Orang yang mampu mengatur dan mengarahkan aktivitas mentalnya sendiri dibidang kognitif akan lebih mudah dalam mengahadapi masalah dari pada yang tidak memiliki kemampuan tersebut.

Belajar dibidang sensorik-motorik berupa keterampilan motorik, orang yang memiliki suatu keterampilan motorik mampu melakukan suatu rangkaian gerak-gerik jasmani dalam urutan tertentu dengan mengadakan koordinasi antara

commit to user

gerak-gerik berbagai anggota badan secara terpadu. Keterampilan motorik memiliki ciri khas yaitu otomatisme, rangkaian gerak-gerik berlangsung secara teratur, berjalan dengan lancar dan supel, tanpa dibutuhkan banyak refleksi tentang hal yang dilakukan dan urutan gerak-gerik tertentu. Misalnya seorang siswa yang sudah menguasai keterampilan menggunakan alat, saat praktikum titrasi asam basa dapat langsung berfokus pada proses titrasi tidak terkuras konsentrasinya pada cara pemasangan buret, cara pembacaan volume ataupun pemakaian indikator yang tepat.

Sikap (attitude) merupakan hasil belajar dinamik-afektif, sikap merupakan kemampuan internal yang berperanan sekali dalam mengambil tindakan, lebih-lebih bila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak. Orang yang memiliki sikap, mampu untuk memilih secara tegas diantara beberapa kemungkinan. Dalam pembelajaran kimia dikembangkan sikap ilmiah, jujur, disiplin, terbuka, dan tanggung jawab. Sikap tersebut dianggap penting untuk mengembangkan karakter bangsa.

2) Teori Belajar Konstruktivis

Dasar teori belajar konstruktivis adalah bahwa pengetahuan merupakan hasil bentukan atau konstruksi manusia. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja namun harus dibentuk dalam pikiran manusia. Bettencourt cit. Paul Suparno (1997: 11) “orang yang belajar itu tidak hanya meniru atau mencerminkan apa yang diajarkan atau yang ia baca, melainkan menciptakan pengertian”. Konsep dibentuk siswa secara aktif melalui kegiatan pembelajaran tidak didapat secara pasif dari guru.

Proses pembentukan konsep berlangsung secara terus-menerus. Piaget cit. Paul Suparno (1997: 18) menyatakan bahwa “proses pembentukan pengetahuan berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya

commit to user

suatu pemahaman baru”. Pemahaman baru diperoleh melalui perubahan konsep sehingga proses pembentukan berjalan berkesinambungan.

Gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan menurut Von Glasersfeld dan Kitchener cit. Paul Suparno (1997: 21) meliputi:

(1) pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek; (2) subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan; (3) pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.

Pengetahuan dibentuk oleh seseorang melalui proses belajarnya dalam struktur konsepsinya. Pengetahuan baru ini, terbentuk jika seseorang dengan struktur konsepsi menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya.

Konstruktivisme psikologis bercabang dua: (1) yang lebih personal, individual dan subjektif seperti Piaget; (2) yang lebih sosial seperti Vygotsky (socioculturalism). Piaget menekankan aktivitas individual dalam pembentukan pengetahuan, sedangkan Vygotsky menekankan pentingnya proses sosial dan kebersamaan dalam membentuk pengetahuan.

a) Teori Piaget

Jean Piaget merupakan psikolog konstruktivis yang menyoroti tentang proses terbentuknya pengetahuan pada anak. Piaget berpendapat bahwa pengetahuan dibangun pada intelektual anak. Perkembangan intelektual pada anak meliputi 3 aspek yaitu: (1) struktur: struktur disebut juga skemata yaitu sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. Struktur dibentuk dari operasi-operasi, dan operasi dibentuk dari tindakan fisik maupun tidakan mental; (2) isi : pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respon yang diberikan terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya; (3) fungsi: cara yang digunakan anak

commit to user

untuk membuat kemajuan intelektualnya meliputi fungsi organisasi dan adaptasi. Organisasi merupakan kemampuan mensistematik proses-proses fisik maupun proses psikologis menjadi struktur. Sedangkan fungsi adaptasi meliputi asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan suatu proses menggunakan struktur/kemampuan yang sudah ada untuk menanggapi masalah yang dihadapinya. Akomodasi merupakan proses modifikasi kemampuan yang sudah ada untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam lingkungannya.

Urutan taraf perkembangan intelektual dilalui oleh setiap individu selalu sama, meskipun dengan kecepatan yang berbeda. Piaget membedakan empat taraf perkembangan kognitif seseorang: (1) taraf sensori-motor: anak mengatur alamnya dengan indera-indera (sensori) dan tindakan-tindakan (motor); (2) praoperasional: mulai berkembangnya penalaran pra-logika yaitu penalaran transduktif penalaran dari hal khusus ke hal khusus tanpa menyentuh pada hal umum; (3) taraf operasional konkret: permulaan berpikir rasional, anak memiliki operasi yang logis yang dapat diterapkan pada masalah konkret; (4) taraf operasional formal: berkembangnya pemikiran abstrak dan penalaran logis untuk menyelesaikan macam-macam persoalan.

Faktor yang mempengaruhi perubahan dari satu tahap ke tahap perkembangan intelektual berikutnya dinamakan faktor transisi. Piaget mengemukakan ada 5 faktor yang mempengaruhi transisi ini, yaitu: kedewasaan (maturation), pengalaman fisik (physical experience), pengalaman logika-matematik (logico mathematical experience), transmisi sosial (social transmission), dan proses keseimbangan (equilibration) atau pengaturan-sendiri (self-regulation). Kedewasaan merupakan kesiapan anak untuk maju dalam aspek

commit to user

perkembangan intelektual, meskipun merupakan hal yang penting dalam belajar namun peranan guru juga menentukan. Pengalaman fisik dalam belajar termasuk eksperimen laboratorium membentuk abstraksi empiris atau abstraksi sederhana dalam struktur kognitif anak. Pengalaman-pengalaman fisik dan pengalaman lain akan mengkonstruksi hubungan antar objek-objek membentuk logika matematik. Selain interaksi anak terhadap benda interaksi anak terhadap lingkungan sosial juga menentukan perkembangan intelektualnya. Hal ini dikenal dengan transmisi sosial termasuk pengaruh bahasa, instruksi formal, membaca interaksi dengan teman, orang dewasa termasuk gurunya.

Piaget cit. Paul Suparno (1997: 35) “belajar adalah proses perubahan konsep”. Konsep baru dibangun pembelajar melalui asimilasi dan akomodasi skema siswa. Dalam pembelajaran kimia, konsep pengaruh konsentrasi terhadap laju reaksi ditinjau dari teori tumbukan menunjukkan adanya proses asimilasi. Siswa telah memiliki konsep bahwa semakin tinggi konsentrasi berarti semakin besar jumlah partikel, sehingga semakin besar pula kemungkinan untuk terjadi tumbukan. Pembelajaran kimia berbasis problem solving dalam penelitian ini melibatkan pula proses akomodasi yaitu mengaitkan penerapan faktor luas permukaan terhadap laju reaksi dengan kehidupan sehari-hari kecepatan reaksi pada penggunaan obat dalam bentuk puyer dan tablet.

b) Teori Belajar Vygotsky

Sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa lepas dari lingkungannya. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia selalu memerlukan orang lain, karena itu manusia selalu berinteraksi dengan sesamanya mulai lahir hingga mati.

commit to user

Proses interaksi ini menghasilkan proses pembelajaran baik dengan sengaja muaupun tidak disengaja.

Belajar menurut Vygotsky tidak berbeda dengan Piaget bahwa siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan dalam pikirannya, namun Vygotsky lebih menekankan pada pembentukan pengetahuan ini dalam lingkungan sosial kultural siswa. Vygotsky cit. Slavin (2005 : 37) “menggambarkan pengaruh kegiatan kolaboratif pada pembelajaran sebagai berikut: fungsi-fungsi pertama kali terbentuk secara kolektif di dalam bentuk hubungan diantara anak-anak dan kemudian menjadi fungsi-fungsi mental bagi masing-masing individu”. Pengetahuan dikonstruksi dalam kelompok kemudian memunculkan pengetahuan dalam diri masing-masing anggota kelompok. Penelitian membuktikan bahwa pemikiran muncul dari argumen. Pembentukan pengetahuan dalam kelompok siswa lebih mudah terbentuk, kemudian karena interaksi dalam kelompok tersebut menstimulus pendapat masing-masing individu terkonstruksi sebagai pengetahuan individual.

Dalam proses belajar anak mempunyai kemampuan berbeda dalam

Dokumen terkait