• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kalimantan Barat 64.09 2,459 1,378 35.91 3,

6 2 1.43 1.37 2 Sumatera Barat Taratak 100 7 7 3 Riau Tanjung Bunga

Kota Lama Hidup Baru 500 224 129 18 3 3 3.6 1.34 2.3 4 Kepulauan Riau Semahal

Cenot Mepar 331 259 9 14 2.7 5.4 5 Sumatera Selatan Batu Marta

Jambu Ilir 224 250 3 5 1.4 2 6 Kalimantan Timur Moderen

Merayek Gunung Sari Liang Hulu Pulau Sapi Kelinjau Ulu 170 92 300 264 373 363 44 11 3 9 4 7 26 11.9 1 3.41 1.07 1.93 7 Kalimantan Selatan Ulu Banteng Bina Wana 260 510 3 12 1.2 2.3

DI LUAR AREA ENDEMIS

2005 N

o

Provinsi Desa Sentinel Diperiksa Positif Mf Rate

1 Jawa Barat Taman Sari Tegal Waru 462 147 9 10 1.59 2.4 2 Jawa Tengah Tawang Rejo 358 5 1.4 3 Sulawesi Tengah Bonebae 91 1 1.1 4 Sulawesi Selatan Batu 511 7 1.37 5 Sulawesi Tenggara Benua Pakue Labungka Lantawonua 108 359 278 411 2 10 3 5 1.5 2.78 1.08 1.2 6 Sulawesi Barat Pasang Kayu 462 11 2.38 7 Gorontalo Talumolo 519 6 1.16

8 NTT Eahun 522 55 10.54

9 Maluku Rumoat 447 14 3.13

10 Maluku Utara Naga 349 8 2.29 11 Papua Bagia Karfasia 192 65 8 10 4.17 15.38 Sumber: Ditjen PP-PL, Depkes RI

Berdasarkan data pada tabel di atas dapat dikatakan bahwa Mf Rate (Mikrofilaria

Rate) di wilayah sentinel selama tahun 2005 sangat bervariasi antara 1 sampai 26, rate

tertinggi di Desa Moderen, Kalimantan Timur dan terendah di Desa Gunung Sari, Kalimantan Timur.

Sedangkan cakupan pengobatan masal yang dilakukan selama empat tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 4.30 berikut.

GAMBAR 4.30

REALISASI PENGOBATAN FILARIASIS SECARA MASSAL

SECARA NASIONAL TAHUN 2002-2005

0 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 Populasi 322250 746064 1527238 4043510 Sasaran 1412025 3264379 Realisasi 255144 635017 1246023 2897388 Persentase 79,18 85,12 88,24 88,76 2002 2003 2004 2005

Sumber: Ditjen PP-PL, Depkes RI

Dari gambar di atas terlihat bahwa target dan realisasi pengobatan selama tiga tahun terakhir mengalami peningkatan, dimana cakupan pengobatan tahun 2002 sebesar 79,18 % meningkat menjadi 88,76 % pada tahun 2005.

D. PEMBINAAN KESEHATAN LINGKUNGAN DAN SANITASI DASAR

Faktor lingkungan mempunyai peran yang sangat besar dalam proses timbulnya gangguan kesehatan baik secara individual maupun masyarakat umum. Upaya pembinaan kesehatan lingkungan dan sanitasi dasar pada prinsipnya dimaksudkan untuk memperkecil atau meniadakan faktor risiko terjadinya penyakit atau gangguan kesehatan akibat dari lingkungan yang kurang sehat. Bentuk upaya yang dilakukan dalam peningkatan kualitas lingkungan, antara lain melakukan pembinaan kesehatan lingkungan pada masyarakat dan institusi, surveilans vektor dan pengawasan Tempat-Tempat Umum (TTU).

1. Pembinaan Kesehatan Lingkungan

Upaya pembinaan kesehatan lingkungan diarahkan pada masyarakat dan institusi yang memiliki potensi mengancam kesehatan masyarakat yang dilakukan secara berkala. Kegiatan pembinaan dimaksud mencakup upaya pemantauan, penyuluhan dan pemberian rekomendasi terhadap aspek penyediaan fasilitas sanitasi dasar (air bersih dan jamban), pengelolaan sampah, sirkulasi udara, pencahayaan, dan lain-lain. Sasaran program penyehatan lingkungan seperti tertuang dalam Rencana Strategi Departemen Kesehatan tahun 2005 – 2009 adalah sebagai berikut :

1. Meningkatnya persentase keluarga menghuni rumah yang memenuhi syarat kesehatan menjadi 75%.

2. Meningkatnya persentase keluarga menggunakan air bersih menjadi 85%.

3. Meningkatnya persentase keluarga menggunakan jamban memenuhi syarat kesehatan menjadi 80%.

4. Meningkatnya persentase tempat-tempat umum (TTU) yang memenuhi syarat kesehatan menjadi 80%.

Pada tahun 2005 pencapaian indikator sekolah sehat sebagai indikator dalam pengawasan di institusi pendidikan mengalami peningkatan yang cukup signifikan mencapai 75% (target 65%) sedikit meningkat dari tahun sebelumnya. Persentase pencapaian indikator sekolah sehat tahun 2000 – 2005 dapat dilihat pada Gambar 4.31 berikut.

GAMBAR 4.31

PENCAPAIAN INDIKATOR SEKOLAH SEHAT TAHUN 2000 – 2005 5454 54 51 5555 5658 60 74 65 75 0 20 40 60 80 2000 2001 2002 2003 2004 2005 TARGET REALISASI

Sumber : Ditjen PP-PL, Depkes RI

2. Surveilans Vektor

Surveilans vektor dilakukan melalui kegiatan pemantauan jentik oleh petugas kesehatan maupun juru/kader pemantau jentik (jumantik/kamantik). Pengembangan sistem surveilans vektor secara berkala perlu terus dilakukan terutama dalam kaitannya dengan perubahan iklim dan pola penyebaran kasus.

Pada tahun 2004 petugas pusat melakukan kegiatan survei jentik dalam bentuk evaluasi Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) di 10 kota (Bogor, Denpasar, Jambi, Kendari, Palangkaraya, Mataram, Palu, Pekanbaru, Surabaya dan Yogyakarta). Rata-rata Angka Bebas Jentik (ABJ) sebagai tolok ukur upaya pemberantasan vektor melalui PSN-3M adalah 79,04%. Hal ini menunjukkan bahwa ABJ di 10 kota masih dibawah 95%, menjelaskan bahwa partisipasi masyarakat untuk mencegah penyakit DBD dengan cara 3M di lingkungannya masing-masing belum optimal, sehingga kasus DBD masih sering terjadi terutama di wilayah-wilayah endemis DBD.

3. Pengawasan Tempat-tempat Umum dan Tempat Pengelolaan Makanan

Pengawasan terhadap Tempat-Tempat Umum (TTU) dan Tempat Pengelolaan Makanan (TPM) dilakukan untuk meminimalkan faktor risiko sumber penularan bagi masyarakat yang memanfaatkan TTU dan TPM. Bentuk kegiatan yang dilakukan antara lain meliputi pengawasan kualitas lingkungan TTU dan TPM secara berkala, bimbingan, penyuluhan dan saran perbaikan dalam pengelolaan lingkungan yang sehat, hingga pemberian rekomendasi untuk penerbitan izin usaha.

Tempat Pengelolaan Makanan (TPM) terdiri dari jasa boga, rumah makan dan restoran, sentral makanan jajanan dan TPM lainnya (warung makan jajanan). Hasil

pemantauan selama tahun 2005, dari 80.270 fasilitas TPM terdaftar, sebanyak 43.808 (54,58%) TPM telah dilakukan pemeriksaan dan 30.115 (68,74%) TPM memenuhi syarat kesehatan. Cakupan pengawasan TTU dan TPM tahun 2001 – 2005 dapat dilihat pada Gambar 4.32 berikut.

GAMBAR 4.32

PERSENTASE CAKUPAN PENGAWASAN TEMPAT-TEMPAT UMUM (TTU) DAN TEMPAT PENGELOLAAN MAKANAN TAHUN 2001-2005

0 20 40 60 80 TTU 60 68 73 76 77 TPM 60.8 57.9 60.24 66.13 68.74 2001 2002 2003 2004 2005

Sumber: Ditjen PP-PL, Depkes 2005

Persentase TPM memenuhi syarat kesehatan menurut provinsi tahun 2005 dapat dilihat pada Lampiran 2.16.a.

E. PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT

Upaya perbaikan gizi masyarakat pada hakikatnya dimaksudkan untuk menangani permasalahan gizi yang dihadapi masyarakat. Berdasarkan pemantauan yang telah dilakukan ditemukan beberapa permasalahan gizi yang sering dijumpai pada kelompok masyarakat adalah Kekurangan Kalori Protein, kekurangan vitamin A, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium, dan anemia gizi besi.

1. Pemantauan Pertumbuhan Balita

Upaya pemantauan status gizi pada kelompok balita difokuskan melalui pemantauan terhadap pertumbuhan berat badan yang dilakukan melalui kegiatan penimbangan di Posyandu secara rutin setiap bulan, serta pengamatan langsung terhadap penampilan fisik balita yang berkunjung di fasilitas pelayanan kesehatan.

Berdasarkan hasil pengumpulan data Direktorat Gizi Masyarakat, Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan, gambaran dari pemantauan balita dapat dilihat dalam Gambar 4.33 berikut.

GAMBAR 4.33

JUMLAH BALITA MEMILIKI KARTU MENUJU SEHAT (KMS), DITIMBANG, BERAT BADAN NAIK DAN BALITA BGM

DI INDONESIA TAHUN 2005 0 6.000.000 12.000.000 18.000.000 24.000.000 2005 20.642.610 17.008.609 12.543.842 9.739.998 828.368 Jml Balita KMS Ditimbang BB Naik BGM

Sumber: Dit.Gizi Masyarakat, Ditjen Binkesmas,Depkes,2005

Pada tahun 2005 dari jumlah balita yang ada 82,40 % memiliki KMS dengan balita berat badan naik dari balita yang ditimbang sebesar 77,65% sedangkan untuk balita dengan berat badan di Bawah Garis Merah (BGM) dari balita yang ditimbang sebesar 6,6%. Balita berat badan naik dari yang ditimbang tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Barat sebesar 95,06% dan terendah Sumatera Selatan (0,82%) sedangkan balita berat badan di Bawah Garis Merah dari yang ditimbang, tertinggi di Provinsi Jawa Timur (29,6%) dan Nusa Tenggara Timur (28,53%) terendah di Provinsi Sulawesi Tenggara (0%) dan DKI Jakarta (0,67%). Untuk Provinsi Sulawesi Barat dan Irian Jaya Barat tidak ada datanya. Gambaran secara rinci hasil penimbangan balita menurut provinsi selama tahun 2005 dapat dilihat pada Lampiran 4.17.

2. Pemberian Kapsul Vitamin A

Upaya perbaikan gizi juga dilakukan pada beberapa sasaran yang diperkirakan banyak mengalami kekurangan terhadap vitamin A, yang dilakukan melalui pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi pada bayi dan balita yang diberikan sebanyak 2 kali dalam satu tahun (Februari dan Agustus) dan pada ibu nifas diberikan 1 kali .

Gambaran pemberian kapsul vitamin A selama tiga tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 4.34 berikut.

GAMBAR 4.34

PERSENTASE PEMBERIAN KAPSUL VITAMIN ”A” MENURUT SASARAN DAN PERIODISASI PEMBERIAN

SECARA NASIONAL TAHUN 2003 S/D 2005

61.5 80.7 71.56 39.8 73.1 77.25 50.8 81.2 70.46 80.4 82.9 75.66 0 30 60 90 2003 2004 2005

% CAKUPAN BAYI FEB % CAKUPAN BAYI AGUST % CAKUPAN BALITA FEB % CAKUPAN BALITA AGUST

Sumber: Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Depkes RI

Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa cakupan terhadap semua sasaran dan menurut periode pemberian menunjukkan adanya peningkatan pada tahun 2004 namun mengalami sedikit penurunan pada tahun 2005.

Persentase cakupan pemberian kapsul vitamin A pada bayi, anak balita, selama tahun 2005 menurut provinsi dapat dilihat pada Lampiran 4.18.

3. Pemberian Tablet Besi

Pelayanan pemberian tablet besi dimaksudkan untuk mengatasi kasus Anemia serta meminimalisasi dampak buruk akibat kekurangan Fe khususnya yang dialami ibu hamil. Perkembangan cakupan pemberian tablet besi pada ibu hamil (Fe-1 dan Fe-3) pada tahun 2000 – 2004 dapat dilihat pada Gambar 4.35 di bawah ini.

GAMBAR 4.35

PERSENTASE CAKUPAN PEMBERIAN TABLET BESI PADA IBU HAMIL TAHUN 2000 – 2005

0 20 40 60 80 100 pe rs e n Fe1 66,8 67,5 64,6 69,14 80,02 70,31 Fe3 59,4 63,1 54,9 59,62 71,32 64,83 2000 2001 2002 2003 2004 2005*

Sumber: Dit.Gizi Masy. dan Dit.Kes.Ibu, Ditjen Binkesmas, Depkes

Pada gambar di atas terlihat bahwa tren cakupan pemberian tablet besi (Fe-1 dan Fe- 3) dari tahun 2000 hingga 2005 menunjukkan peningkatan, walaupun pada tahun 2002 dan

2005 sedikit mengalami penurunan. Cakupan pemberian tablet besi kepada ibu hamil menurut provinsi tahun 2005 dapat dilihat pada Lampiran 4.19.

4. Pemberian Kapsul Minyak Beryodium

Pemberian kapsul minyak beryodium dimaksudkan untuk menanggulangi kekurangan yodium secara cepat pada kelompok yang menderita kekurangan yodium dan untuk mencegah dampak negatif akibat kekurangan yodium pada kelompok khusus baik diberikan secara individual maupun secara massal.

GAMBAR 4.36

CAKUPAN PEMBERIAN KAPSUL MINYAK BERYODIUM PADA WANITA USIA SUBUR DAN ANAK SD

SECARA NASIONAL TAHUN 2003

1.561.920 4.035.876 0 1.000.000 2.000.000 3.000.000 4.000.000 5.000.000 WUS Anak SD

Sumber: Dit.Gizi Masyarakat, Ditjen Binkesmas, Depkes

Cakupan pemberian kapsul beryodium pada wanita usia subur tahun 2003 sebesar 4.035.876 sedangkan pada anak sekolah sebesar 1.561.920 (Gambar 4.36), rincian menurut provinsi dapat dilihat pada Lampiran 4.20.

F. PELAYANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN

Upaya pelayanan kefarmasian dan alat kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pelayanan kesehatan secara paripurna. Upaya tersebut dimaksudkan untuk (1) menjamin ketersediaan, keterjangkauan, pemerataan obat generik dan obat esensial yang bermutu bagi masyarakat, (2) mempromosikan penggunaan obat yang rasional dan obat generik, (3) meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di farmasi komunitas dan farmasi klinik serta pelayanan kesehatan dasar, serta (4) melindungi masyarakat dari penggunaan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan, mutu, dan keamanan.

1. Pelayanan Farmasi Rumah Sakit

Upaya peningkatan penggunaan obat rasional, diarahkan kepada peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan pembinaan penggunaan obat yang rasional. Sampai dengan akhir tahun 2003, penggunaan obat rasional baru mencapai 60%. Angka tersebut belum menunjukkan target yang hendak dicapai yang idealnya penggunaan obat yang rasional mencapai 100%. Berkaitan dengan hal tersebut perlu terus diupayakan meningkatan obat esensial nasional di setiap fasilitas kesehatan masyarakat dan melindungi masyarakat dari risiko pengobatan irasional.

Pemberian obat generik, obat non generik formularium dan obat non generik yang berasal dari bagian rawat jalan, UGD dan rawat inap pada rumah sakit tahun 2005, obat generik

berjumlah 14.986.804, obat non generik formularium 5.402.272 dan obat non generik berjumlah 10.281.995. Dari data tersebut terlihat bahwa pemberian obat generik masih menjadi peringkat pertama disusul dengan obat non generik dan non generik formularium. Jumlah kegiatan farmasi rumah sakit dapat dilihat pada Gambar 4.37 berikut. Data menurut provinsi terdapat pada Lampiran 4.21.

GAMBAR 4.37

JUMLAH KEGIATAN FARMASI PADA RSU DEPKES DAN PEMDA DI INDONESIA

TAHUN 2005 14.986.804 10.281.995 5.402.272 0 4.000.000 8.000.000 12.000.000 16.000.000

Generik Non Generik Non Generik Formularium

Sumber : Ditjen Bina Yanmedik, Depkes, 2006

2. Pemanfaatan Obat Generik

Penggunaan obat generik merupakan salah satu langkah dalam upaya meningkatkan kemampuan masyarakat menjangkau obat yang berkualitas. Keberhasilan dalam sosialisasi pemanfaatan obat generik sangat dipengaruhi oleh keseriusan tenaga kesehatan dan terjaminnya ketersediaan obat generik di fasilitas kesehatan.

Berdasarkan hasil pengumpulan data/indikator kinerja SPM bidang kesehatan Kabupaten/kota penulisan resep obat generik selama dua tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 4.38 berikut.

GAMBAR 4.38

PERSENTASE PEMBUATAN RESEP OBAT GENERIK DI SARANA PELAYANAN KESEHATAN SECARA NASIONAL TAHUN 2003 S/D 2004

28,389,957 20,810,557 35,821,800 26,651,053 - 10,000,000 20,000,000 30,000,000 40,000,000 2003 2004

TTL RESEP OBT GENERIK

Dari gambar di atas terlihat bahwa proporsi penulisan resep obat generik di sarana pelayanan kesehatan selama dua tahun terakhir tidak banyak mengalami perubahan yaitu 74,4% pada tahun 2004 dan 73,3% pada tahun 2003.

Sebanyak sebelas provinsi melaporan cakupan penulisan obat generik ≥ 90% dengan cakupan tertinggi Provinsi Gorontalo dan Banten (100%), Jambi (99,95%), Bangka Belitung (99,76%), enam provinsi memiliki cakupan ≤ 50% dengan angka terendah dilaporkan Provinsi Irian Jaya Barat (5,85%), Lampung (27,3%), Kalimantan Timur (28,87%) dan DI Yogyakarta (35,91%). Sedangkan provinsi dengan persentase tertinggi dilaporkan Provinsi Nusa Tenggara Barat (95,17%), Jambi (94,77%), dan Sulawesi Utara (92,29%); sedangkan Provinsi Sulawesi Barat dan DKI Jakarta tidak ada data.

Rincian persentase penulisan resep obat generik menurut provinsi tahun 2004 disajikan pada Lampiran 4.22.

3. Penanganan Penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya)

Penanganan penyalahgunaan NAPZA pada rumah sakit di Indonesia terdiri dari kegiatan kuratif, rehabilitatif dan aftercare dengan jenis NAPZA yang dipergunakan adalah Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. Tahun 2005 kegiatan kuratif (pengobatan) penyalahgunaan NAPZA pada rumah sakit berjumlah 6.130 dengan rincian 5.182 jenis Narkotika, 630 Psikotropika dan 248 zat adiktif lainnya. Kegiatan rehabilitatif berjumlah 263 terdiri dari 236 Narkotika, 24 Psikotropika, 3 Zat Adiktif lainnya. Sedangkan kegiatan

aftercare berjumlah 40 terdiri dari 15 Narkotika, 23 Psikotropika dan 2 Zat Adiktif lainnya.

Kegiatan penanganan penyalahgunaan NAPZA pada rumah sakit tahun 2005 dapat dilihat pada Gambar 4.39. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.23.

GAMBAR 4.39

KEGIATAN PENANGANAN PENYALAHGUNAAN NAPZA DI RUMAH SAKIT DI INDONESIA

TAHUN 2005 6130 263 40 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000

Kuratif Rehabilitatif Aftercare

G. PELAYANAN KESEHATAN DALAM SITUASI BENCANA

Bencana di Indonesia dapat dikategorikan menjadi 2 macam yaitu bencana lingkungan hidup dan bencana alam. Bencana lingkungan hidup terjadi akibat dari kerusakan lingkungan seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, kecelakaan industri, tumpahan minyak di laut, sedangkan bencana alam terjadi sebagai akibat aktifitas lapisan/kerak bumi/fenomena alam seperti gempa bumi, gelombang tsunami, letusan gunung berapi, badai atau angin ribut yang kejadiannya sulit diprediksi.

Data kesiapsiagaan dan penanggulangan sanitasi pada situasi bencana selama tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 4.11 berikut ini. Rekapitulasi kejadian bencana tahun 2005 terdapat di Lampiran 4.24.

TABEL 4.11

DAERAH/WILAYAH RAWAN BENCANA DI INDONESIA TAHUN 2005

NO JENIS BENCANA DAERAH/LOKASI BENCANA

1. 2. 3. 4. 5. Banjir

Gempa Bumi dan Tsunami Air Pasang

Banjir dan Kebakaran Hutan Tanah Longsor

Kalimantan Selatan

Kepulauan Nias, Sumatera Utara Pangkal Pinang, Bangka Belitung Kalimantan Tengah

Sumatera Barat

Sumber : Ditjen PP-PL, Depkes, RI

1. Bencana Lingkungan Hidup

Bencana kebakaran hutan dan lahan terjadi karena pembukaan lahan yang dilakukan dengan pembakaran dan diperparah dengan kondisi cuaca kering di musim kemarau. Pada tahun 2005 kebakaran hutan mencapai puncaknya pada bulan Agustus sampai Oktober 2005. Asap ini terbawa angin hingga mencapai Kuala Lumpur di Malaysia.

Hasil pemantauan hotspot (titik panas) oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sejak bulan Januari 2005 di wilayah Sumatera berjumlah 9.279 hotspot yang tersebar di Provinsi Bangka Belitung 100 hotspot, Bengkulu 5 hotspot, Aceh 177, Jambi 414, Riau 7.249 dan Sumatera Utara 1.334 hotspot. Di wilayah Sumatera paling banyak terpantau di areal perkebunan dengan cara membakar. Jumlah hotspot berdasarkan penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 4.40 berikut.

GAMBAR 4.40

PERSENTASE HOTSPOT BERDASARKAN PENGGUNAAN LAHAN DI WILAYAH SUMATERA TAHUN 2005

30 9 31 30 HPH HTI KBN MAS

Sumber : Ditjen PP-PL, Depkes,RI

Pemantauan hotspot di Kalimantan Barat sebesar 1.505 hotspot berada di Kabupaten Sintang, Bengkayang, Sanggau dan Ketapang sedangkan Kalimantan Tengah 1.374 hotspot tersebar di Kabupaten Kapuas, Barito Selatan, Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur dan Kabupaten Seruyan.

Pada tahun 2005 bencana banjir terjadi di 5 provinsi dengan jumlah korban meninggal 2 orang, 522 orang luka ringan, 2 orang hilang dan 12.075 orang mengungsi. Pelayanan kesehatan yang diberikan pada korban bencana banjir oleh Pemerintah Daerah meliputi membuka pos kesehatan, membuat penampungan pengungsi, memberikan pelayanan kesehatan di Puskesmas dan rumah sakit.

Bencana tanah longsor terjadi di 5 provinsi dengan korban meninggal 170 orang, 15 luka berat, 6 luka ringan, 4 orang hilang dan 315 orang mengungsi. Upaya yang telah diberikan oleh pemerintah daerah meliputi evakuasi korban, memberikan pelayanan rawat inap dan rawat jalan di RSUD, menyiagakan pos kesehatan 24 jam, memakamkan korban dan melakukan koordinasi, sedangkan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat pada bencana tanah longsor di Kecamatan Batujajar berupa obat paket banjir.

2. Bencana Alam

Secara geografis Indonesia termasuk daerah rawan bencana. Pada tahun 2005 bencana alam gempa bumi terjadi di 8 provinsi dengan korban meninggal 1.801 orang, luka berat 3.272 orang, luka ringan 155 orang, 278 kepala keluarga dan 561 orang mengungsi. Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah daerah meliputi evakuasi korban, memberikan pelayanan rawat inap dan rawat jalan di RSUD, menyiagakan pos kesehatan 24 jam dan memantau penyakit pasca bencana.

Gempa bumi yang terbesar terjadi di Pulau Nias dan Tapanuli Tengah yaitu 8,7 Skala Richter pada tanggal 28 Maret 2005, 85% bangunan gedung dan landasan pesawat hancur, 849 orang meninggal dunia, 1.415 luka berat dan 72.173 berobat. Dalam hal ini pemerintah pusat memberikan bantuan berupa 350 buah kantong mayat, obat 2 paket, 1 unit genset.

Demikian gambaran singkat mengenai situasi upaya kesehatan di Indonesia sampai dengan tahun 2005.

BAB V

SI T U ASI SU M BER DAY A K ESEH AT AN

Gambaran mengenai situasi sumber daya kesehatan dikelompokkan menjadi sarana kesehatan, tenaga kesehatan, dan pembiayaan kesehatan, yang dapat dilihat pada bab ini, adalah sebagai berikut :

A. SARANA KESEHATAN

Pada bagian ini diuraikan tentang sarana kesehatan di antaranya Puskesmas, rumah sakit, sarana produksi dan distribusi farmasi dan alat kesehatan, sarana Upaya Kesehatan Bersumber daya Masyarakat (UKBM), dan institusi pendidikan tenaga kesehatan.

1. Puskesmas

Pada periode tahun 2000 – 2005, jumlah Puskesmas (termasuk Puskesmas Perawatan) terus meningkat dari 7.237 unit pada tahun 2000 menjadi 7.669 unit pada tahun 2005. Dalam periode tahun itu, rasio Puskesmas terhadap 100.000 penduduk berada dalam kisaran 3,46 – 3,56 per 100.000 penduduk. Ini berarti bahwa pada periode tahun itu setiap 100.000 penduduk rata-rata dilayani oleh 4 unit Puskesmas. Jumlah Puskesmas dan rasio Puskesmas terhadap 100.000 penduduk pada tahun 2000 – 2005 disajikan pada Gambar 5.1 dan 5.2, gambaran jumlah Puskesmas per 100.000 penduduk menurut provinsi disajikan pada Gambar 5.3. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5.1 dan Lampiran 5.2.

Sumber: Jumlah Puskesmas : Ditjen Binkesmas, Depkes RI Jumlah Penduduk : BPS, SUPAS 2005

7,237 7,309 7,550 7,669 7,413 7,277 - 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 7,000 8,000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 GAMBAR 5.1 JUMLAH PUSKESMAS TAHUN 2000-2005 GAMBAR 5.2

RASIO PUSKESMAS PER 100.000 PENDUDUK TAHUN 2000-2005 3.50 3.48 3.46 3.46 3.55 3.56 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 2000 2001 2002 2003 2004 2005

GAMBAR 5.3

RASIO PUSKESMAS PER 100.000 PENDUDUK TAHUN 2005

Sumber : Ditjen Binkesmas, Depkes RI

Sementara itu, bila dibandingkan dengan konsep wilayah kerja Puskesmas, dimana sasaran penduduk yang dilayani oleh sebuah Puskesmas rata-rata 30.000 penduduk, maka jumlah Puskesmas per 30.000 penduduk pada tahun 2005 rata-rata 1,07 unit tidak mengalami perubahan dibandingkan data tahun 2004 yaitu 1,04 unit per 30.000 penduduk.

Pada periode yang sama, jumlah Puskesmas Pembantu juga cenderung meningkat dari 21.267 unit pada tahun 2000 menjadi 22.171 unit pada tahun 2005. Sementara itu, rasio Puskesmas Pembantu terhadap 100.000 penduduk pada tahun 2000 dan 2005 berkisar 10,13- 10,53. Ini berarti bahwa setiap 100.000 penduduk rata-rata dilayani oleh 10-11 unit Puskesmas Pembantu. Jumlah Puskesmas Pembantu dan rasio Puskesmas Pembantu terhadap 100.000 penduduk pada tahun 2000 – 2005 disajikan pada Gambar 5.4 dan Gambar 5.5 berikut ini, sedangkan menurut provinsi disajikan pada Lampiran 5.2.

Sumber: Jumlah Puskesmas : Ditjen Binkesmas, Depkes RI Jumlah Penduduk : BPS, SUPAS 2005

21.267 21.587 21.706 21.762 22.002 22.171 0 5 10 15 20 25 2000 2001 2002 2003 2004 2005 GAMBAR 5.4

JUMLAH PUSKESMAS PEMBANTU TAHUN 2000-2005

GAMBAR 5.5

RASIO PUSKESMAS PEMBANTU PER 100.000 PENDUDUK TAHUN 2000-2005 10.13 10.45 10.53 10.33 10.15 10.14 0 2 4 6 8 10 12 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Berdasarkan jumlah Puskesmas dan Puskesmas Pembantu pada tahun 2000 – 2005, maka rasio Puskesmas Pembantu terhadap Puskesmas rata-rata 3:1, artinya setiap Puskesmas rata-rata didukung oleh 3 Puskesmas Pembantu dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Rasio Puskesmas Pembantu terhadap Puskesmas menurut provinsi pada tahun 2000 – 2005 secara rinci disajikan pada Lampiran 5.2.

Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di Puskesmas, sejak Pelita III sejumlah Puskesmas telah ditingkatkan menjadi Puskesmas dengan tempat perawatan. Puskesmas Perawatan ini berlokasi jauh dari rumah sakit, di jalur-jalur jalan raya yang rawan kecelakaan, serta di wilayah atau pulau-pulau yang terpencil. Pada tahun 2000 – 2005 perkembangan jumlah Puskesmas Perawatan cenderung bertambah, kecuali pada tahun 2003 turun sebesar 0,10%, pertambahan yang paling besar pada tahun 2002 (5,94%), tahun 2004 (4,47%), tahun 2005 (3,33%) dan 2001 (1,85%). Perkembangan jumlah Puskesmas dan Puskesmas Perawatan pada tahun 2000 – 2005 disajikan pada Gambar 5.6 berikut ini, sedangkan jumlah menurut provinsi disajikan pada Lampiran 5.3.

GAMBAR 5.6

JUMLAH PUSKESMAS DAN PUSKESMAS PERAWATAN TAHUN 2000 – 2005 0 2,000 4,000 6,000 8,000

Puskesmas Puskesmas Perawatan

Puskesmas 7,237 7,277 7,309 7,413 7,550 7,609

Puskesmas Perawatan 1,785 1,818 1,926 1,924 2,010 2,077

2000 2001 2002 2003 2004 2005

Sumber: Ditjen Binkesmas, Depkes RI

Sementara itu, jumlah Puskesmas Keliling kendaraan bermotor roda empat (R4/mobil) pada tahun 2000 – 2003 mengalami penurunan dan pada tahun 2004-2005 terjadi peningkatan . Untuk tahun 2001 terjadi penurunan Puskesmas keliling R4 sebesar 8% ( tahun 2000: 5.551 dan tahun 2001: 5084), pada tahun 2002 terjadi penurunan 2% bila dibandingkan dengan tahun 2001, tahun 2003 turun 44% dari tahun 2002, sedangkan pada tahun 2004 naik 91% dari tahun 2003, dan pada tahun 2005 naik lagi sebesar 3,6% dari tahun 2004.

Untuk Puskesmas Keliling perahu bermotor (PB) hampir sama seperti Puskesmas keliling R4 yang pada tahun 2000-2005 mengalami penurunan kecuali tahun 2004 mengalami peningkatan dan pada tahun 2005 kembali turun. Untuk tahun 2000 dan 2001 terjadi penurunan puskesmas keliling PB sebesar 14% ( tahun 2000: 841 dan tahun 2001: 716), pada tahun 2002 terjadi penurunan 8% bila dibandingkan dengan tahun 2001, tahun 2003 turun 51% dari tahun 2002, sedangkan pada tahun 2004 naik 152% dari tahun 2003, dan pada tahun 2005 turun lagi sebesar 20% dari tahun 2004. Jumlah Puskesmas Keliling dan rasionya

terhadap Puskesmas pada tahun 2000 – 2005 disajikan pada Gambar 5.7 berikut ini, sedangkan jumlah dan rasionya menurut provinsi disajikan pada Lampiran 5.4.

GAMBAR 5.7

JUMLAH PUSKESMAS KELILING DAN RASIONYA TERHADAP PUSKESMAS TAHUN 2000 – 2005 0 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000 J um lah P us ling ( R 4 & R B ) 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 R a si o P u sl in g p e r P u ske sm a s Pusling PB 841 716 654 317 805 591 Pusling R4 5,551 5,084 4,984 2,795 5,358 5,552 Rasio Pusling 0.9 0.8 0.8 0.4 0.8 0.8 2000 2001 2002 2003 2004 2005

Sumber: Ditjen Binkesmas, Depkes RI

Demikian pula rasio Puskesmas Keliling terhadap Puskesmas pada periode itu juga cenderung menurun dari 0,9 pada tahun 2000 menurun menjadi 0,8 pada tahun 2001 dan 2002. Rasio Puskesmas Keliling terhadap Puskesmas pada tahun 2003 sebesar 0,4 dan pada tahun 2004 – 2005 sebesar 0,8.

2. Rumah Sakit

Indikator yang digunakan untuk menilai perkembangan sarana rumah sakit antara lain dengan melihat perkembangan fasilitas perawatan yang biasanya diukur dengan jumlah rumah sakit dan tempat tidurnya serta rasionya terhadap jumlah penduduk.

Pada tahun 2000 – 2005, perkembangan jumlah rumah sakit (umum dan khusus) di Indonesia terus meningkat, yaitu dari 1.145 unit pada tahun 2000 menjadi 1.178 unit pada tahun 2001 (bertambah 2,88%) dan 1.215 unit pada tahun 2002 (bertambah 3,14%), kemudian meningkat lagi menjadi 1.234 unit pada tahun 2003 (bertambah 1,56%), 1.246 unit pada tahun 2004 (bertambah 0,97%) dan 1.268 unit pada tahun 2005 (bertambah 1,77%). Bila dilihat menurut kepemilikannya, pada periode itu jumlah rumah sakit pemerintah kira-kira separuh dari seluruh jumlah rumah sakit yang ada. Perkembangan jumlah rumah sakit (umum

Dokumen terkait