• Tidak ada hasil yang ditemukan

GERAKAN SOSIAL KONSERVASI

2.3 Kampanye Pride di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing

Dari hasil tinjauan awal kondisi di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing, masyarakat sudah berada di tahapan persiapan, yang menurut Young et al. 2002, memiliki ciri-ciri:

1. Menerima hal – hal yang bersifat baru

2. Menganalisa inovasi dan perkembangan peradaban.

3. Membandingkan hal-hal baru dengan kondisi serupa di tempat lain.

Selanjutnya, Kotler et al. 2002 dan Young et al. 2007 menyatakan tingkatan perubahan perilaku manusia meliputi:

− Prekontemplasi atau pra perenungan adalah tingkat niat orang dalam merubah perilaku dan umumnya menolak bahwa dirinya memiliki masalah dengan perilakunya.

− Fase kontemplasi atau perenungan dicirikan kesadaran bahwa ada sebuah masalah dan mulai memikirkan secara secara serius untuk memecahkannya.

− Fase preparasi atau persiapan, dicirikan dengan penyusunan perencanaan dan praduga sementara yang ditujukan untuk mengambil tindakan dalam beberapa waktu kedepan. Pada fase aksi dicirikan dengan perilaku orang yang melakukan tindakan berhubungan perubahan perilaku yang telah direncanakan.

− Fase pengelolaan dicirikan dengan kompromi secara individu terhadap fase yang telah maupun akan ditempuh.

− Fase terminasi merupakan fase pengelolaan dimana orang telah menetapkan perilaku yang dipilih sebagai sebuah keharusan untuk dijalani.

Dengan demikian kampanye Pride yang berorientasi pada perubahan perilaku harus mampu mengakomodir perubahan perilaku konservasi di masyarakat

Potorono-Gunung Sumbing. Proses kampanye Pride dilakukan melalui proses seperti pada gambar 5 berikut:

Gambar 5 Skema proses kegiatan kampanye Pride

Kampanye Pride merupakan bentuk dari pemasaran sosial, dan dalam pelaksanaannya menggunakan alat-alat, media saluran informasi dan strategi berhubungan dengan konservasi. Segala bentuk cara dipakai dengan menyesuaikan kondisi sosial, budaya dan geografi kelompok target. Dengan demikian sebelum dilaksanakan kampanye terlebih dulu dilakukan penelitian awal (formative research) untuk memahami kondisi masyarakat target. Kampanye Pride dijalankan secara paralel maupun berseri di dalam masyarakat dan dari luar masyarakat. Dengan demikian keterlibatan masyarakat menjadi syarat mutlak dalam aksi kampanye yang dijalankan.

Alat, media atau strategi untuk menyebarluaskan informasi konservasi dalam kampanye Pride di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing diwujudkan dalam bentuk buku saku, kunjungan sekolah, penjangkauan kelompok ibu-ibu maupun pelatihan-pelatihan serta didukung dengan alat-alat promosi seperti poster, leaflet dan billboard. Penyusunan alat, media dan strategi saluran informasi didasarkan pada segmen-segmen kelompok masyarakat target, yang dimaksudkan bahwa di tiap kelompok orang memiliki cara belajar sendiri-sendiri. Dengan demikian media, alat dan strategi yang dipakai dapat menjangkau seluruh elemen masyarakat. Selanjutnya untuk mengetahui efektivitas perubahan sosial konservasi yang terjadi, di lakukan dengan

1 Tahun Kampanye Review Kawasan dan Studi Literatur Pemetaan Stakeholder Stakeholder Workshop Diskusi Kelompok Fokus,

Survei Pra Kampanye

Survei Paska Kampanye, Monitoring& Evaluasi Analisa Hasil Penyusunan rencana kerja Penyusunan Laporan

mengembangkan target yang akan dicapai dari kampanye yang disebut SMART obyektif. Perencanaan pengukuran efektivitas kampanye dilakukan pada tahap monitoring dan evaluasi kegiatan. Untuk memahami proses kegiatan kampanye Pride di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Tahap review dokumen dan analisa kawasan

Tahap review dokumen dan analisa kawasan merupakan tahap untuk menggali dan mengembangkan data yang berhubungan dengan kondisi sosial serta keanekaragaman hayati di kawasan target. Hasil dari review kawasan berupa gambaran sosial serta geografis kawasan selanjutnya menjadi panduan untuk memahami persoalan sosial berkaitan dengan konservasi di kawasan target. Review dokumen dan analisa kawasan dilakukan dengan menggali data primer dan sekunder dari berbagai narasumber yang sesuai seperti: data BPS Kabupaten Magelang, data penelitian sebelumnya, literatur dari buku dan internet, bahkan dengan jajag kondisi lapangan.

2. Tahap analisa stakeholder

Untuk mengetahui tokoh masyarakat yang dapat mewakili kepentingan masyarakat dan memahami kondisi kawasan secara lengkap dilakukan analisa para pemangku kepentingan (stakeholder). Analisa tersebut merupakan upaya untuk memahami keputusan pelibatan seorang anggota masyarakat dalam lokakarya pemangku kepentingan. Analisa didasarkan kepada beberapa faktor seperti: kepen-tingan yang dibawa orang tersebut, kontribusi atau sumbangsih yang dimungkinkan dapat diperoleh terutama ketika program sudah berjalan, dan kendala yang dimungkinkan timbul bagi program jika keikutsertaannya dibatasi.

Pemangku kepentingan yang dimaksudkan bisa berasal dari lembaga atau instansi pemerintahan, tokoh masyarakat, masyarakat sipil, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok masyarakat, kelompok pemuda hingga pihak swasta (matriks analisa pemangku kepentingan terlampir pada Lampiran 1).

3. Tahap Stakeholder meeting I

Stakeholder meeting (pertemuan pemangku kepentingan) merupakan Tokoh formal dan informal, yang mewakili masyarakat sebagai bagian dari stakeholder lokal telah dilibatkan di dalam proses perencanaan kegiatan, sebagai usaha untuk mendorong rasa memiliki program. Maksud lain dari kegiatan adalah memperoleh masukan informasi dan pandangan masyarakat setempat termasuk memetakan permasalahan konservasi yang ada.

Capaian yang diharapkan dari stakeholder meeting I adalah:

1. Adanya model konsep yang menjelaskan semua pihak tentang ancaman konservasi yang terjadi di kawasan

2. Pemahaman dan dukungan kegiatan dari pihak-pihak yang mewakili kepentingan masyarakat

Hasil perangkingan masalah berdasarkan jenis masalah yang harus segera diselesaikan di kawasan Potorono-Gunung Sumbing disajikan dalam tabel 2 berikut: Table 2 Rangking ancaman di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing

Ancaman Langsung Kelompok I Kelompok II Kelompok III Total Rangking Penebangan liar 13 76 65 154 I Alih fungsi pengelolaan lahan hutan 29 74 48 151 II

Tidak ada reboisasi 29 53 52 134 III

Perburuan 62 14 25 121 IV

Kebakaran 49 39 17 105 V

Wisata Tidak Ramah Lingkungan

48 26 7 81 VI

Dari perangkingan masalah selanjutnya dibahas faktor-faktor tidak langsung yang mempengaruhi dan selanjutnya di susun dalam skema yang disebut model konsep. Skema konsep model dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 6 Skema model konsep

Kondisi Target adalah situasi yang ingin dipengaruhi melalui kegiatan kampanye. Faktor Langsung adalah faktor-faktor atau ancaman yang langsung mempengaruhi kondisi target. Contoh faktor langsung adalah perburuan, kebakaran, atau penebangan. Faktor Tidak Langsung adalah faktor-faktor atau ancaman yang mendasari atau menyebabkan terjadinya ancaman tidak langsung. Contoh faktor tidak langsung adalah ekonomi, kurang pengetahuan, kurang kesadaran, kebiasaan. Faktor kontribusi adalah faktor yang tidak diklasifikasikan sebagai ancaman langsung maupun tidak langsung tetapi ikut mempengaruhi kondisi target. Contoh faktor kontribusi adalah cuaca, nilai sosial budaya. Untuk model konsep awal yang dihasilkan saat stakeholder meeting I di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing terlampir di Lampiran 2.

4. Tahap Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussion/FGD)

Diskusi kelompok terfokus selanjutnya disebut FGD merupakan bentuk wawancara dengan mengambil kelompok dari anggota masyarakat yang memahami fokus persoalan atau bagian dari permasalahan yang hendak diselesaikan. Sebelum diskusi tersebut dilakukan perancangan materi – materi pertanyaan yang difokuskan pada persoalan ancaman yang hendak dipengaruhi. Metode tersebut sangat efektif untuk melihat seberapa besar ancaman dapat mempengaruhi keberlanjutan ekosistem di daerah tersebut. Target Kondisi Faktor Langsung Faktor Langsung Faktor Tidak Langsung Faktor Tidak Langsung Faktor Kontribusi Faktor Langsung Faktor Tidak Langsung

Kelompok responden yang diajak untuk berdiskusi berjumlah 5 - 7 orang yang terdiri dari orang-orang yang terpengaruh langsung atau berperan langsung dengan ancaman yang terjadi. Diskusi kelompok terfokus dijalankan dari tanggal 3 sampai 8 Oktober 2006 dan bertempat di rumah penduduk sesuai kesepakatan kelompok (kriteria responden dan pertanyaan panduan FGD terlampir di Lampiran 3 dan 4)

Dari 9 kali FGD dengan 3 tema ancaman terhadap Kawasan Potorono - Gunung Sumbing dapat dianalisa sebagai berikut :

1. Wawancara dengan tema penebangan liar yang dilaksanakan di 3 desa yaitu Krumpakan, Sukomulyo dan Sukorejo, menghasilkan kesimpulan bahwa penebangan liar yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu; sebab ekonomi, sebab kesadaran individu, rendahnya sumberdaya manusia, kebutuhan bahan bakar, lemah hukum/pengawasan lemah dan kebijakan yang tidak berwawasan.

2. Wawancara dengan tema alih fungsi lahan dilaksanakan di desa Sukomakmur, Krumpakan dan Sutopati, menghasilkan kesimpulan bahwa alih fungsi pengelolaan lahan hutan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, sebab ekonomi, pertambahan penduduk, jumlah ternak yang dipelihara, naiknya harga satu komoditas pertanian, faktor kebijakan, berkurangnya sumber daya air, rendahnya sumber daya manusia serta tingkat pendidikan masyarakat yang rendah.

3. Wawancara dengan tema tidak ada reboisasi dilaksanakan di Desa Sambak, Sukomakmur, Mangunrejo, menghasilkan kesimpulan bahwa tidak adanya reboisasi disebabkan oleh faktor; kekurangan biaya untuk membeli bibit, sumber daya manusia yang terbatas, keterlibatan perempuan kurang, dukungan kebijakan lemah, lahan bukan milik masyarakat, ketidaksesuaian tanaman, ketidak sesuaian musim, kesadaran masyarakat kurang, pendidikan masyarakat rendah serta kelembagaan kehutanan masyarakat lemah.

Beberapa masukan untuk menjaga ekosistem yang berasal dari hasil FGD antara lain: diperlukan payung hukum di tingkat desa dan di tingkat kabupaten untuk mendukung aktivitas masyarakat dalam menjaga lingkungan ekosistem Potorono,

diperlukan semacam penyuluhan dan pendidikan lingkungan hidup dalam tujuan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, dibutuhkan dukungan penguatan kelembagaan desa tentang kehutanan dan lingkungan hidup serta pertanian.

Lemahnya sumberdaya manusia dalam mengelola sumber daya alam di ekosistem Potorono dinyatakan sebagai penyebab tingginya laju urbanisasi, tingginya penggunaan pestisida, dan pola hidup yang tidak sehat, serta percepatan penurunan debit air, alih fungsi pengelolaan lahan hutan dan kurangnya kesejahteraan masyarakat.

5. Tahap Survey pra kampanye

Survei di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing dilakukan dengan mewawancara 530 orang menggunakan kuisioner (pertanyaan kuisioner terlampir pada Lampiran 5). Satu lembar kuesioner terdiri dari 7 halaman dan secara keseluruhan terdapat 35 pertanyaan. Pertanyaan umum terdiri dari pertanyaan demografi seperti jenis kelamin, usia, pekerjaan utama dan tingkat pendidikan. Selanjutnya kelompok pertanyaan yang berhubungan dengan pilihan media seperti media cetak berupa koran dan majalah, media elektronik berupa televisi dan radio serta tingkat kepercayaan pada sumber informasi. Juga terdapat kelompok pertanyaan yang berhubungan dengan pengetahuan seperti pengetahuan tentang kondisi lokal daerah, jenis satwa serta tentang usaha tani, kelompok pertanyaan mengenai sikap seperti kondisi air dan keamanan hutan serta turut dimasukkan pertanyaan-pertanyaan mengenai perilaku misalnya perilaku terhadap perusakan sumberdaya alam dan tanggung jawab pengelolaan sumberdaya alam.

Survei dijalankan selama 3 hari dengan melibatkan 21 enumerator (pewawancara) yang merupakan anggota masyarakat yang diajukan pemerintah desa masing-masing. Dari 530 kuesioner yang disebarkan kepada masyarakat target, keseluruhannya kembali. Dari total populasi sebanyak 20.517 orang (BPS kabupaten Magelang 2006) diambil sampel sebesar 2% dari total populasi. Penghitungan jumlah sampel dengan LOC (level of confidence) 95% dan interval 5% adalah sebesar 378. Maka sejumlah kuesiner tersebut dimasukkan ke dalam komputer untuk diolah

datanya. Pengambilan data kuantitatif dengan metode survei, jumlah responden yang diambil untuk dapat mewakili populasi adalah minimal sebesar 1-3 %. Di asumsikan dengan mengambil 2% masyarakat yang di wawancara, dapat mewakili pendapat dari seluruh masyarakat. Hal ini sesuai dengan petunjuk tata cara survei (www.surveysystem.com/sscalc.htm) untuk penelitian sosial.

Teknik pelaksanaan survei merupakan simple random sampling (pemilihan sampel acak sederhana) dengan mewawancara orang ketiga yang ditemui setelah orang sebelumnya. Tipe pertanyaan wawancara bersifat terbuka serta pertanyaan setengah tertutup yaitu jenis pertanyaan dengan memberikan pilihan tapi juga disediakan jawaban “lainnya”. Selanjutnya digunakan simple survey calculation dengan memasukkan jumlah total populasi untuk mendapat jumlah sample yang disasar (perhitungan distribusi kuisener terlampir di Lampiran 6).

Selanjutnya, sebagai masyarakat pembanding untuk ukuran peningkatan perubahan perilaku yang terjadi, dilakukan dengan survey yang sama pada kelompok masyarakat yang berbeda yang disebut masyarakat kontrol. Syarat pengambilan masyarakat kontrol setidaknya memiliki kondisi ekosistem yang sejenis serta dimungkinkan tidak mendengar atau melihat kegiatan kampanye. Oleh karena itu diambilah kelompok masyarakat dari Kawasan Pegunungan Dieng, yaitu Desa Botosari dan Desa Kaliombo di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Jarak kedua desa tersebut dari masyarakat target kurang lebih 250 Km dan memiliki kondisi ekosistem yang serupa serta dimungkinkan tidak mendengar dan melihat kegiatan kampanye yang dilakukan. Masyarakat kontrol difungsikan sebagai penetral dari bias data yang dihasilkan dari survey ukuran perubahan perilaku yang terjadi di kawasan target.

6. Tahap Perbaikan model konsep

Setelah mengkaji informasi FGD, menganalisa data survei dan melakukan observasi langsung di lapangan, model konsep yang dikembangkan di awal mengalami revisi. Keterangan dari model konsep adalah sebagai berikut; Kelompok perempuan ternyata memiliki peran yang cukup penting dalam pengelolaan

sumberdaya hutan Potorono. Selama ini, kelompok tersebut belum benar-benar mendapatkan porsi yang sama dengan kelompok pria. Keterlibatan kelompok perempuan dalam pengelolaan sumberdaya hutan dipengaruhi juga oleh pengetahuan dan kesadaran konservasi.

Ketidaktahuan atau lemahnya kesadaran hukum juga mempengaruhi terjadinya alih fungsi pengelolaan lahan hutan dan penebangan liar. Peningkatan kesadaran hukum dan pengetahuan mengenai hukum dapat menekan terjadinya kedua ancaman tersebut. Meningkatnya kebutuhan kayu bakar, belum adanya inisiatif lokal pembibitan tanaman kayu, lemahnya kelembagaan disebabkan oleh terkikisnya budaya berhutan di tingkat masyarakat. Hutan dilihat sebagai sumberdaya yang tidak akan habis sehingga pemanfaatannya tidak mengindahkan prinsip-prinsip keberlanjutan sumberdaya hutan.

Pengaruh pasar pada jenis tanaman pertanian tidak bisa dikesampingkan. Masyarakat yang secara umum hidup dalam kekurangan, selalu berupaya untuk mencari cara termudah untuk mencukupi kehidupannya. Akibatnya, pola-pola pertanian yang diterapkan kurang memperhatikan daya dukung lahan. Gambar 7 berikut menunjukkan model konsep untuk hutan Potorono-Gunung Sumbing setelah diperbaiki.

HUTAN POTORONO KECAMATAN KAJORAN Kebakaran tidak ada reboisasi Perburuan Penebangan Liar

Alih Fungsi Lahan

Wisata tidak ramah lingkungan Kekeringan Sosial ekonomi Pertumbuhan penduduk Kesadaran Hukum Kesadaran lingkungan Pendidikan Sistem nilai budaya Kesejahteraan Keimanan Iklim/Cuaca Pengawasan Kebijakan Alih Fungsi Hutan Kebutuhan Kayu Bakar Jumlah Ternak

Pengaruh Pasar pada Jenis Tanaman Pertanaian Sumberdaya Air Budaya Berhutan Pembibitan Peran Perempuan Kurang lahan Kelembagaan Pengetahuan pengeleloaan sumber daya hutan ancaman tidak langsung yg dituuju Ancaman langsung yg akan dipengaruhi ancaman tidak langsung ancaman langsung Gambar 7 Perbaikan model konsep

7. Tahap Penentuan sasaran obyektif ( SMART )

SMART merupakan singkatan dari Specific, Measureable, Action oriented, Realistic, Timebound yang diartikan sebagai penentuan tujuan dari riset-aksi secara spesifik, dapat diukur, berorientasi pada riset-aksi dan proses, merupakan sasaran masuk akal yang dapat dicapai yang dibatasi oleh waktu (Margoluis dan Salafsky 1998).

Berdasarkan semua informasi sebelumnya ditambah dengan fakta-fakta yang ada di masyarakat, maka disusun sasaran konservasi yang hendak dicapai. Kampanye dijalankan mendasarkan pada pemilihan dan penempatan media, pengembangan pesan, dan kegiatan penjangkauan masyarakat dilakukan sedemikan rupa untuk mendorong terjadinya perubahan perilaku. Sasaran SMART yang hendak dicapai di Kawasan Potorono-Gunung Sumbing adalah sebagai berikut:

Tujuan umum yang ingin dicapai melalui kegiatan kampanye Bangga adalah: “Peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat setempat mengenai fungsi dan peran sub-DAS Tangsi terhadap kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup manusia melalui keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alamnya secara berkelanjutan”.

Sedangkan tujuan khusus dari kegiatan kampanye adalah:

Melindungi, mengelola dan mengembalikan jasa-jasa ekologi, ekonomi dan sosial – budaya dari hutan seluas 1100 ha di kawasan hutan Potorono-Gunung Sumbing bersama masyarakat setempat.

Sasaran (S) dari kampanye yang hendak dicapai adalah sebagai berikut: S.1. Terkelolanya kawasan hutan Potorono-Gunung Sumbing secara adil,

berkelanjutan dan berbasis masyarakat.

S.2. Terdistribusikannya fungsi dan manfaat jasa lingkungan kawasan hutan Potorono-Gunung Sumbing secara berkeadilan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat.

S.3. Membangun kolaborasi pengelolaan kawasan hutan oleh Masyarakat, pemerintah dan pihak-pihak lainnya.

S.4. Terselenggaranya pembelajaran pengelolaan kawasan hutan bagi semua pihak.

S.5. Peningkatan pemahaman masyarakat mengenai manfaat konservasi kawasan hutan Potorono-Gunung Sumbing.

Untuk mendukung tercapainya kelima sasaran di atas selanjutnya disusun sasaran antara (intermediate objective) sebagai berikut:

• Pada akhir program, 487 ha hutan dengan nilai konservasi dan perlindungan DAS tinggi di desa Mangunrejo, Krumpakan dan Sukomulyo berada di bawah pengelolaan yang lebih baik berbasis masyarakat dan secara berarti (signifikan) mengurangi resiko konversi lahan.

• Setelah 12 bulan kampanye, keanekaragaman hayati dari 488 ha hutan produksi lama di Sukorejo, Banjaragung, dan Sutopati akan diperkaya melalui penanaman setidaknya 10,000 batang pohon dari minimal 3 jenis spesies lokal.

• Selama 1 tahun periode kampanye, terbentuk pengelolaan hutan kolaborasi yang menjamin konservasi hutan alami seluas 125 ha dengan nilai keanekaragaman hayati yang tinggi di Sukomakmur.

Karena Kampanye Bangga mengacu kepada perubahan perilaku, maka untuk setiap sasaran antara di atas akan ditambahkan sasaran perubahan perilaku (behavior objective). Sasaran perubahan perilaku ini bertujuan untuk memberikan suatu jaminan bahwa aksi atau tindakan yang diambil oleh target audien merupakan hasil dari meningkatnya pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya mengambil tindakan tersebut.

8. Tahap Identifikasi Maskot dan Slogan

Seperti halnya pada pemasaran untuk tujuan komersial, maka dilakukan identifikasi untuk maskot sebagai branding atau merek berikut slogan yang mewakili tujuan besar masyarakat. Dalam kampanye Pride, Maskot diwujudkan dalam bentuk spesies kunci, endemik serta dalam kondisi terancam. Selanjutnya maskot dan slogan tersebut akan selalu dipakai dalam penyaluran informasi konservasi dengan konsisten.

Identifikasi spesies maskot atau flagship spesies untuk kawasan dilakukan dengan melihat hasil survei pra kampanye. Di dalam kuisener yang

diwawancarakan kepada responden terdapat pertanyaan yang menyangkut slogan untuk di pasarkan serta spesies yang dijadikan maskot (flagship spesies).

Dari hasil survei menunjukkan bahwa masyarakat memilih “Hutan Potorono Lestari, Masyarakat Sejahtera” sebagai slogan yang dapat memberikan rasa bangga terhadap kawasan hutan Potorono-Gunung Sumbing. Sedangkan maskot yang digunakan yaitu Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) berupa hewan endemik yang hanya ada di kawasan tersebut. Satwa Elang Jawa tersebut dalam kondisi terancam punah menurut IUCN redlist 2006 dan termasuk dalam daftar Appendix II CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora).

9. Tahap Stakeholder Meeting II

Hasil dari proses kegiatan awal selanjutnya kembali di diskusikan dengan stakeholder. Tujuan dari diselenggarakannya pertemuan stakeholder yang kedua terutama untuk mendapatkan persetujuan, dukungan serta peran aktif untuk menjalankan kegiatan. Dalam pertemuan tersebut stake holder yang hadir juga di minta untuk mengidentifikasikan sasaran dari kegiatan kampanye yang dijalankan. Hasil dari pertemuan stakeholder yang kedua selanjutnya menjadi bahan untuk dimasukkan kedalam perbaikan perencanaan program yang akan dijalankan.

10. Tahap Perencanaan Program

Berdasarkan hasil studi dengan data-data yang diperoleh, selanjutnya disusun rencana kegiatan kampanye Pride. Rencana kerja berisi tentang strategi kampanye yang akan di lakukan di masyarakat target. Di dalam rencana kerja, berisi alat-alat, media dan cara, selanjutnya disebut materi kampanye, yang akan diaplikasikan, dengan mempertimbangkan aspek-aspek pencapaian tujuan kampanye (SMART obyektif). Hasil dari penyusunan aktivitas dituangkan kedalam rencana kerja kampanye Pride (terlampir di Lampiran 7) termasuk perencanaan untuk mengukur efektivitas kampanye dalam bentuk rencana monitoring dan evaluasi kegiatan kampanye. Dalam perencanaan kerja, saluran informasi yang akan digunakan harus mampu menjawab persyaratan sebagai berikut;

a) Mengapa melakukan kegiatan ini? Informasi ini menjelaskan bagaimana kegiatan berkaitan dengan sasaran.

b) Bagaimana kegiatan tersebut dapat dilaksanakan? Informasi ini menjelaskan daftar yang perlu dilaksanakan untuk menyelesaikan kegiatan tersebut.

c) Siapa yang bertanggung jawab atas kegiatan tersebut? Informasi ini menjelaskan siapa yang bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatan tersebut.

d) Kapan kegiatan tersebut akan dilaksanakan? Informasi ini menjelaskan tanggal yang ditargetkan untuk menyelesaikan kegiatan tersebut.

e) Dimana kegiatan tersebut akan dilakukan? Informasi ini menjelaskan dimana kegiatan tersebut akan dilaksanakan.

f) Asumsi yang mendasari. Daftar asumsi dibuat untuk melihat hal apa saja yang mendasari kegiatan tersebut dilakukan.

g) Prasyarat. Informasi ini menjelaskan tugas dan acara yang perlu terjadi sebelum kegiatan tersebut dilakukan.

11. Tahap Mengembangkan Materi dan Uji Material

Pengembangan materi kampanye dilakukan setelah rencana kerja selesai disusun. Pengembangan materi tidak dilakukan asal-asalan, tetapi mendasarkan aspirasi dari masyarakat target. Selanjutnya, materi yang telah dikembangkan terlebih dulu diuji di masyarakat untuk mendapat masukan. Beberapa masukan yang hendak didapat dalam uji materi kampanye antara lain tingkat perhatian masyarakat pada materi kampanye dan tingkat mudah atau tidaknya materi diserap atau dipahami oleh masyarakat. Contoh uji materi oleh masyarakat antara lain tentang huruf, warna atau bentuk dan desain materi yang akan di sebarkan. Hasil uji materi akan menjadi rujukan untuk membuat materi-materi kampanye disesuaikan dengan selera target audien.

12. Tahap Implementasi Kampanye

Implementasi kampanye merupakan tahap teknis pelaksanaan mempengaruhi serta merubah perilaku konservasi masyarakat dengan menggunnakan saluran-saluran informasi dan media konservasi di kawasan target.

Implementasi juga bertujuan untuk mengurangi atau menyelesaikan persoalan konservasi sumberdaya hutan yang disebabkan oleh kurangnya pemahaman konservasi.

Implementasi kampanye dilakukan sesuai dengan perencanaan pelaksanaan kampanye yang telah disusun pada tahap perencanaan kegiatan. Implementasi kampanye selalu dijalankan dengan melibatkan stakeholder terutama dari masyarakat kawasan target (ringkasan kegiatan kampanye yang dijalankan dapat dilihat pada Lampiran 8). Kegiatan kampanye yang dilakukan dalam bentuk kegiatan teknis dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Kunjungan Sekolah

Kunjungan sekolah (school visit) berwujud kegiatan edukasi kepada anak-anak sekolah yang melibakan peran guru, kelompok konservasi, pemerintah desa dan anak-anak. Kunjungan sekolah selain bertujuan untuk memasarkan konservasi kepada segmen utama anak-anak berusia sekolah dasar. Kunjungan sekolah diwujudkan dengan beberapa kegiatan meliputi lomba gambar untuk anak,

Dokumen terkait