• Tidak ada hasil yang ditemukan

Grafik perbandingan nilai profil reproduksi empat kabupaten contoh dengan parameter nasional untuk nilai Conception Rate tahun 1999-2001.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

1999 2000 2001

Tahun

C

on

cep

ti

on R

a

te (

C

R

)

Inhu

Kampar

Kepri

Rohul

Nasional

Kinerja IB yang ditunjukkan oleh hasil realisasi IB dan jumlah ternak lahir dibandingkan dengan banyaknya dosis inseminasi yang digunakan cenderung sangat rendah apabila mengacu pada parameter reproduksi skala nasional. Nilai CR di keempat kabupaten contoh yang dapat dijadikan ukuran tingkat keberhasilan dan evaluasi kinerja IB di propinsi Riau tersebut memiliki interval perbedaan yang sangat signifikan dengan parameter reproduksi berskala nasional. Hanya hasil di kabupaten Rokan Hulu pada tahun 2000 dengan nilai CR 69.35% yang dapat dikatakan baik karena angka tersebut lebih besar dari skala nasional (62.5%), sedangkan untuk kabupaten lain jauh di bawah standar nasional. Kecenderungan rendahnya nilai CR ini untuk propinsi Riau sangat dipengaruhi oleh keadaan wilayah dengan luasnya lokasi cakupan pelayanan IB per satu SP-IB II sehingga jangkauan pelaksanaan IB belum terlayani dengan baik. Keterbatasan sarana dan prasarana penunjang terutama jumlah kontainer untuk distribusi semen beku dan Nitrogen cair yang masih kurang sehingga kondisi semen beku di inseminator di lokasi pelayanan IB sering tidak layak lagi untuk di inseminasikan. Proses pengadaan keperluan semen beku yang didatangkan dari BIB Lembang atau BIB Singosari memerlukan waktu yang cukup lama sehingga kerap terjadi kekosongan semen beku di tingkat lapangan.

Tidak berbeda jauh dengan nilai CR, angka peubah parameter reproduksi yang dapat dijadikan tolok ukur kesuburan ternak betina dalam suatu kelompok ternak yaitu angka S/C dari ke-empat kabupaten contoh tersebut jika dibandingkan dengan nilai parameter reproduksi berskala nasional untuk S/C (1.6), masih sangat rendah. Beberapa hal yang dapat diduga sebagai faktor penyebab rendahnya nilai S/C di Propinsi Riau seperti masih sangat kurangnya pengetahuan peternak tentang ciri-ciri atau cara mendeteksi berahi sapi yang benar sehingga sering terjadi salah pelaporan waktu optimal inseminasi, masih rendahnya kemampuan inseminator dalam melaksanakan pelayanan IB juga mendukung menurunnya angka kebuntingan ditambah lagi seringnya inseminator menginseminasi sapi yang dilaporkan berahi oleh peternak tampa memperhitungkan waktu awal mulai terlihatnya berahi, hal ini juga berpengaruh terhadap waktu optimal pelaksanaan dan keberhasilan inseminasi. Rendahnya mutu semen beku yang digunakan yang disebabkan oleh seringnya kerterlambatan distribusi semen beku ke lapangan sehingga inseminator tetap atau terpaksa menggunakan semen beku yang sudah lewat masa pakai (kadaluarsa), belum lagi jumlah Nitrogen cair yang didistribusikan ke lapangan kadang tidak mencukupi sehingga semen beku yang tersedia di kontainer inseminator lapangan tidak semuanya terendam dalam Nitrogen cair.

Perkembangan kegiatan Inseminasi Buatan di Propinsi Riau selama empat tahun terakhir telah menunjukkan peningkatan apabila dilihat dari segi lokasi/SP-IB dan jumlah akseptor. Akan tetapi jika diperhatikan kinerja pelaksanaan IB secara keseluruhan yang ditunjukkan dari hasil realisasi IB dan jumlah ternak lahir cenderung menurun. Pada tahun 1999 realisasi inseminasi mencapai 54.17% tetapi pada tahun 2001 hanya mencapai 29.07%. Demikian juga dengan angka kelahiran, jika tahun 2000 tercapai 35% dari target, pada tahun 2001 hanya 20.47% dari nilai yang ditargetkan.

Kecenderungan rendahnya kinerja kegiatan IB tidak terlepas dari manajemen kegiatan dan pelayanan IB yang belum optimal. Artinya pengaturan sumberdaya yang tersedia berupa

kesiapan inseminator, keberadaan akseptor, ketersediaan sarana dan prasarana penunjang, organisasi pengelola IB dan keuangan belum terlaksana secara terpadu, sehingga sumber daya tersebut belum sinergi dan pada akhirnya belum memperlihatkan hasil yang memuaskan.

Target angka kelahiran yang dihitung dengan asumsi tingkat kelahiran 64 % per tahun yaitu sapi yang di IB 80 % bunting dan 80 % dari ternak bunting hasil IB tersebut lahir. Dari data yang diperoleh realisasi kelahiran sangat fluktuatif, kemungkinan kondisi ini disebabkan karena tidak semua ternak lahir hasil IB dilaporkan dan masih seringnya pemilik ternak menjual ternak dalam keadaan bunting hasil IB sehingga data ternak tersebut tidak lagi diketahui.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Terjadi peningkatan perkembangan kegiatan inseminasi buatan di propinsi Riau apabila dilihat dari segi lokasi/SP-IB dan jumlah akseptor, tetapi terjadi penurunan jika diperhatikan dari kinerja pelaksanaan inseminasi secara keseluruhan yang ditunjukkan oleh hasil realisasi IB dan jumlah ternak lahir, dibuktikan dengan perbedaan yang sangat signifikan antara skala peubah parameter profil reproduksi di propinsi Riau dengan skala parameter nasional.

Saran

1. Diperlukan adanya pelatihan keterampilan pelaksana IB secara menyeluruh di propinsi Riau, ditinjau dari seringnya kegagalan proses pelaksanaan IB disebabkan kesalahan tekhnis petugas pelaksana IB di lapangan.

2. Perlu dilakukan penataan ulang terhadap pola pelaksanaan kegiatan IB, jumlah akseptor terdaftar dan objektifitas pelaporan hasil IB dari SP-IB II ke Dinas Peternakan untuk menunjang keakuratan data di lapangan sehingga dapat dicari solusi atau terobosan baru untuk menanggulangi masalah yang terjadi.

3. Perlu dikembangkan Balai Inseminasi Buatan mini di tingkat propinsi guna memperlancar distribusi semen beku ataupun Nitrogen cair ke SP-IB II, juga bisa dimungkinkan untuk menggunakan semen cair.

DAFTAR PUSTAKA

Achjadi R K. 1992. Reproduksi Ternak Sapi Potong. Materi pada kegiatan pelatihan dan kunjungan petani dan petugas proyek pengembangan usaha peternakan Kalimantan II. Dinas Peternakan Propinsi Riau. 2002. Laporan Perkembangan Inseminasi Buatan Selama Tahun 1999-2002, Materi Pertemuan Peternakan Regional Sumatera di Palembang Sumatera Selatan Tanggal 15-17 Juli 2002. Pekanbaru : Dinas Peternakan Propinsi Riau.

Dinas Peternakan Propinsi Riau. 2001. Petunjuk Teknis Pelayanan Inseminasi Buatan di Propinsi Riau. Pekan Baru : Dinas Peternakan Propinsi Riau.

Direktorat Jenderal Peternakan. 1991. Petunjuk Teknis Pelayanan Inseminasi Buatan Terpadu. Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian.

Mc Dowel L E et al. 1972. Improvement of Livestock Production in Warm Climates. San Fransisco : W H Freeman and company.

Partodiharjo S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta : Mutiara Sumber Widya.

Payne W J A, Williamson G. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Terjemahan S G N Djiwa Darmaja. Yogyakarta : Gajdah Mada University Press.

Sutan S M. 1988. Suatu perbandingan performans reproduksi dan produksi antara sapi Brahman, Ongole dan Bali di daerah transmigrasi Batumarta Sumatera Selatan. [disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana IPB.

Toelihere M R. 1979. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bandung : Angkasa.

Vandeplassche M. 1982. Produktive Efficiency in Cattle, A Guideline for Projects in Developing Countries. Rome : Food and Agriculture Organization of United Nations (FAO).

Dokumen terkait