• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Komparatif Pelaksanaan Program Inseminasi Buatan dan Tingkat Keberhasilannya Di Propinsi Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Komparatif Pelaksanaan Program Inseminasi Buatan dan Tingkat Keberhasilannya Di Propinsi Riau"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KOMPARATIF PELAKSANAAN PROGRAM

INSEMINASI BUATAN DAN TINGKAT KEBERHASILANNYA

DI PROPINSI RIAU

(Tahun 1999 sampai dengan Tahun 2002)

SKRIPSI

Khairul Saleh

B01498080

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

JUDUL SKRIPSI : KAJIAN KOMPARATIF PELAKSANAAN PROGRAM INSEMINASI BUATAN DAN TINGKAT KEBERHASILANNYA DI PROPINSI RIAU (Tahun 1999 sampai dengan Tahun 2002)

NAMA MAHASISWA : KHAIRUL SALEH NOMOR POKOK : B01498080

Telah diperiksa dan disetujui oleh

Dr. Iman Supriatna Pembimbing

Mengetahui

Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS Wakil Dekan I

(3)

RINGKASAN

KHAIRUL SALEH B01498080. Kajian Komparatif Pelaksanaan Program Inseminasi

Buatan dan Tingkat Keberhasilannya di Propinsi Riau Tahun 1999 sampai dengan

Tahun 2002. (Dibawah bimbingan Dr. Iman Supriatna).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan IB di Propinsi Riau dan juga untuk melihat profil reproduksi dari beberapa kabupaten sebagai tolok ukur keberhasilan pelayanan inseminasi buatan daerah untuk evaluasi kinerja program dan personalia pelaksana inseminasi buatan sebagai gambaran pelaksanaan dan pengembangan inseminasi buatan di Propinsi Riau pada masa mendatang. Gambaran pelaksanaan inseminasi buatan di Propinsi Riau dapat diketahui dari keberhasilan yang terlihat dari hasil evaluasi program pelayanan inseminasi buatan kabupaten sebagai wilayah SP-IB II. Di Propinsi Riau terdapat 11 SP-IB II yang tersebar di 15 kabupaten/kota. Dalam evaluasi tingkat keberhasilan dan efektifitas pelaksanaan program pelayanan inseminasi buatan di Propinsi Riau dapat dilakukan dengan melihat nilai faktor peubah efisiensi reproduksi empat kabupaten yang diambil berdasarkan kepadatan populasi sapi, jumlah akseptor, organisasi pelayanan IB dan persentase angka kelahiran. Keempat kabupaten percontohan yang dianggap dapat mewakili Propinsi Riau secara keseluruhan tersebut terdiri dari Kabupaten Kampar, Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Kepulauan Riau dan Kabupaten Rokan Hulu.

(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Batang Samo pada tanggal 31 Agustus 1980 anak dari Bapak H. Jaharuddin Lubis dan Ibu Hj. Nurhani Nasution, merupakan anak pertama dari tiga orang bersaudara.

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, serta shalawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Berkat rahmat dan Hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan program Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak

Dr drh I Wayan Teguh Wibawan MS selaku Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bapak Dr Iman Supriatna sebagai pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini, juga rasa terimakasih yang tak terhingga beriring hormat kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah memberikan segala perhatian, biaya, dorongan semangat dan kiriman do’a, untuk adik-adik ku tersayang, Ovi dan Ikmal yang selalu memberikan kritik, saran dan dorongan semangat, juga pada seluruh anggota keluarga besar di Batang Samo dan Hasahatan atas segala perhatian dan do’anya.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada sahabat-sahabat ku, Hakim atas segala bantuan dan sarannya, Agus atas segala saran dan nasehat-nasehatnya, Ikas dan seluruh penghuni wisma Catlea atas segala bantuan dan keramahannya, juga untuk uda Boy atas segala bantuan dan masukannya, terimakasih kepada rekan-rekan angkatan 35 FKH IPB atas kerjasama dan kebersamaannya selama ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Akhirnya penulis menyerahkan semuanya pada kehendak Allah SWT, penulis juga menyadari bahwa kesempurnaan mutlak menjadi milik yang menguasai segala jiwa. Skripsi ini pun jauh dari sempurna sehingga penulis sangat berharap adanya kritik maupun saran untuk perbaikan dalam waktu yang akan datang.

Bogor, Desember 2005

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang... 1

Gambaran Potensi Wilayah ... 2

Tujuan ... 6

Manfaat ... 6

TINJAUAN PUSTAKA... 7

Inseminasi Buatan... 7

Pola Pelaksanaan IB di Propinsi Riau ... 7

Conception Rate ... 9

Service per Conception ... 9

Teknik Inseminasi... 10

Teknik Pelaksanaan Pemeriksaan Kebuntingan ... 10

BAHAN DAN METODE ... 13

Tempat dan Waktu Kegiatan ... 13

Metode Pengkajian ... 13

Evaluasi dan Analisa ... 14

(7)

KESIMPULAN DAN SARAN ... 27

Kesimpulan ... 27

Saran ... 27

DAFTAR PUSTAKA ... 28

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Populasi sapi potong di propinsi Riau Tahun 2000 ... 2

2 Bagan Organisasi kegiatan pelayanan IB Dinas Peternakan Propinsi Riau ... 3

3 Perkembangan lokasi kegiatan IB per SP-IB selama Tahun 1999-2002... 4

4 Perkembangan Akseptor IB tahun 1999-2002... 4

5 Jumlah pelaksana IB per SP-IB II di Propinsi Riau ... 5

6 Batasan dan criteria tahapan pelayanan IB di Propinsi Riau... 8

7 Acuan tolok ukur keberhasilan pelayanan IB di SP-IB II ... 9

8 Perkembangan lokasi kegiatan IB dari tahun 1999-2002 ... 14

9 Rekapitulasi jumlah akseptor... 15

10 Rekapitulasi target IB dan realisasi IB ... 15

11 Persentase realisasi IB ... 15

12 Target lahir dan realisasi lahir ... 16

13 Persentase realisasi lahir dari jumlah kelahiran... 18

14 Persentase realisasi lahir dari target kelahiran... 19

(9)

DAFTAR GAMBAR

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Keputusan Kepala Dinas Peternakan Propinsi Riau... 29

Lampiran 2 Batasan dan kriteria tahapan pelayanan IB di Propinsi Riau ... 31

Lampiran 3 Tolok ukur keberhasilan petugas IB ... 32

Lampiran 4 Tolok ukur keberhasilan pelayanan IB di SP-IB tingkat II... 33

Lampiran 5 Target IB per SP-IB II tahun anggaran 2001 ... 34

Lampiran 6 Jumlah pelaksana IB per SP-IB II tahun anggaran 2001 ... 35

Lampiran 7 Struktur organisasi IB di Propinsi Riau ... 36

Lampiran 8 Contoh Kartu Sapi potong... 37

Lampiran 9 Contoh kartu catatan kelahiran anak ... 38

Lampiran 10 Contoh kartu kegiatan IB ... 39

Lampiran 11 Contoh kartu pemeriksaan kebuntingan... 40

Lampiran 12 Contoh kartu rekapitulasi kegiatan inseminasi ... 41

(11)

KAJIAN KOMPARATIF PELAKSANAAN PROGRAM

INSEMINASI BUATAN DAN TINGKAT KEBERHASILANNYA

DI PROPINSI RIAU

(Tahun 1999 sampai dengan Tahun 2002)

SKRIPSI

Khairul Saleh

B01498080

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

JUDUL SKRIPSI : KAJIAN KOMPARATIF PELAKSANAAN PROGRAM INSEMINASI BUATAN DAN TINGKAT KEBERHASILANNYA DI PROPINSI RIAU (Tahun 1999 sampai dengan Tahun 2002)

NAMA MAHASISWA : KHAIRUL SALEH NOMOR POKOK : B01498080

Telah diperiksa dan disetujui oleh

Dr. Iman Supriatna Pembimbing

Mengetahui

Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS Wakil Dekan I

(13)

RINGKASAN

KHAIRUL SALEH B01498080. Kajian Komparatif Pelaksanaan Program Inseminasi

Buatan dan Tingkat Keberhasilannya di Propinsi Riau Tahun 1999 sampai dengan

Tahun 2002. (Dibawah bimbingan Dr. Iman Supriatna).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan IB di Propinsi Riau dan juga untuk melihat profil reproduksi dari beberapa kabupaten sebagai tolok ukur keberhasilan pelayanan inseminasi buatan daerah untuk evaluasi kinerja program dan personalia pelaksana inseminasi buatan sebagai gambaran pelaksanaan dan pengembangan inseminasi buatan di Propinsi Riau pada masa mendatang. Gambaran pelaksanaan inseminasi buatan di Propinsi Riau dapat diketahui dari keberhasilan yang terlihat dari hasil evaluasi program pelayanan inseminasi buatan kabupaten sebagai wilayah SP-IB II. Di Propinsi Riau terdapat 11 SP-IB II yang tersebar di 15 kabupaten/kota. Dalam evaluasi tingkat keberhasilan dan efektifitas pelaksanaan program pelayanan inseminasi buatan di Propinsi Riau dapat dilakukan dengan melihat nilai faktor peubah efisiensi reproduksi empat kabupaten yang diambil berdasarkan kepadatan populasi sapi, jumlah akseptor, organisasi pelayanan IB dan persentase angka kelahiran. Keempat kabupaten percontohan yang dianggap dapat mewakili Propinsi Riau secara keseluruhan tersebut terdiri dari Kabupaten Kampar, Kabupaten Indragiri Hulu, Kabupaten Kepulauan Riau dan Kabupaten Rokan Hulu.

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Batang Samo pada tanggal 31 Agustus 1980 anak dari Bapak H. Jaharuddin Lubis dan Ibu Hj. Nurhani Nasution, merupakan anak pertama dari tiga orang bersaudara.

(15)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, serta shalawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Berkat rahmat dan Hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan program Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak

Dr drh I Wayan Teguh Wibawan MS selaku Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Bapak Dr Iman Supriatna sebagai pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan memberikan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini, juga rasa terimakasih yang tak terhingga beriring hormat kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah memberikan segala perhatian, biaya, dorongan semangat dan kiriman do’a, untuk adik-adik ku tersayang, Ovi dan Ikmal yang selalu memberikan kritik, saran dan dorongan semangat, juga pada seluruh anggota keluarga besar di Batang Samo dan Hasahatan atas segala perhatian dan do’anya.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada sahabat-sahabat ku, Hakim atas segala bantuan dan sarannya, Agus atas segala saran dan nasehat-nasehatnya, Ikas dan seluruh penghuni wisma Catlea atas segala bantuan dan keramahannya, juga untuk uda Boy atas segala bantuan dan masukannya, terimakasih kepada rekan-rekan angkatan 35 FKH IPB atas kerjasama dan kebersamaannya selama ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Akhirnya penulis menyerahkan semuanya pada kehendak Allah SWT, penulis juga menyadari bahwa kesempurnaan mutlak menjadi milik yang menguasai segala jiwa. Skripsi ini pun jauh dari sempurna sehingga penulis sangat berharap adanya kritik maupun saran untuk perbaikan dalam waktu yang akan datang.

Bogor, Desember 2005

(16)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang... 1

Gambaran Potensi Wilayah ... 2

Tujuan ... 6

Manfaat ... 6

TINJAUAN PUSTAKA... 7

Inseminasi Buatan... 7

Pola Pelaksanaan IB di Propinsi Riau ... 7

Conception Rate ... 9

Service per Conception ... 9

Teknik Inseminasi... 10

Teknik Pelaksanaan Pemeriksaan Kebuntingan ... 10

BAHAN DAN METODE ... 13

Tempat dan Waktu Kegiatan ... 13

Metode Pengkajian ... 13

Evaluasi dan Analisa ... 14

(17)

KESIMPULAN DAN SARAN ... 27

Kesimpulan ... 27

Saran ... 27

DAFTAR PUSTAKA ... 28

(18)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Populasi sapi potong di propinsi Riau Tahun 2000 ... 2

2 Bagan Organisasi kegiatan pelayanan IB Dinas Peternakan Propinsi Riau ... 3

3 Perkembangan lokasi kegiatan IB per SP-IB selama Tahun 1999-2002... 4

4 Perkembangan Akseptor IB tahun 1999-2002... 4

5 Jumlah pelaksana IB per SP-IB II di Propinsi Riau ... 5

6 Batasan dan criteria tahapan pelayanan IB di Propinsi Riau... 8

7 Acuan tolok ukur keberhasilan pelayanan IB di SP-IB II ... 9

8 Perkembangan lokasi kegiatan IB dari tahun 1999-2002 ... 14

9 Rekapitulasi jumlah akseptor... 15

10 Rekapitulasi target IB dan realisasi IB ... 15

11 Persentase realisasi IB ... 15

12 Target lahir dan realisasi lahir ... 16

13 Persentase realisasi lahir dari jumlah kelahiran... 18

14 Persentase realisasi lahir dari target kelahiran... 19

(19)

DAFTAR GAMBAR

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Keputusan Kepala Dinas Peternakan Propinsi Riau... 29

Lampiran 2 Batasan dan kriteria tahapan pelayanan IB di Propinsi Riau ... 31

Lampiran 3 Tolok ukur keberhasilan petugas IB ... 32

Lampiran 4 Tolok ukur keberhasilan pelayanan IB di SP-IB tingkat II... 33

Lampiran 5 Target IB per SP-IB II tahun anggaran 2001 ... 34

Lampiran 6 Jumlah pelaksana IB per SP-IB II tahun anggaran 2001 ... 35

Lampiran 7 Struktur organisasi IB di Propinsi Riau ... 36

Lampiran 8 Contoh Kartu Sapi potong... 37

Lampiran 9 Contoh kartu catatan kelahiran anak ... 38

Lampiran 10 Contoh kartu kegiatan IB ... 39

Lampiran 11 Contoh kartu pemeriksaan kebuntingan... 40

Lampiran 12 Contoh kartu rekapitulasi kegiatan inseminasi ... 41

(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Permintaan pasar terhadap daging terus meningkat sepanjang tahun, sedangkan produksi daging di propinsi Riau hanya dapat menutupi kebutuhan pasar sebesar 30% dan 70% lagi didatangkan dari luar propinsi (Laporan Perkembangan Inseminasi Buatan Selama Tahun 1999-2002, Materi Pertemuan Peternakan Regional Sumatera di Palembang Sumatera Selatan Tanggal 15-17 Juli 2002). Populasi sapi potong yang ada di Riau saat ini merupakan potensi bagi penyediaan produksi daging. Namun perlu suatu upaya agar potensi yang tersedia dapat ditingkatkan baik jumlah maupun kualitasnya sampai pada tingkat optimal. Untuk meningkatkan produksi dan populasi sapi khususnya, dapat dilakukan dengan upaya peningkatan mutu genetik sapi. Hal ini seiring dengan kebijakan pemerintah Indonesia untuk meningkatkan mutu genetik sapi baik sapi perah maupun sapi potong.

Peningkatan populasi dan perbaikan mutu genetik tidak terlepas dari penerapan teknologi dibidang reproduksi yang telah berkembang dengan sangat cepat. Penerapan teknologi reproduksi yang sudah sedemikian maju pada usaha peternakan yang didukung oleh optimalnya faktor-faktor penunjang dapat dipastikan mampu menjawab persoalan yang berkaitan dengan populasi dan mutu genetik ternak. Teknologi reproduksi akan mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk meningkatkan populasi dan perbaikan mutu genetik ternak dibandingkan dengan metode reproduksi yang berlangsung secara alamiah atau tradisional yang selama ini dikenal luas oleh peternak.

(22)

Pada tahun 2000 populasi ternak sapi potong di daerah Riau mencapai 105 744 ekor. Apabila dari populasi tersebut 44% diantaranya merupakan ternak betina dewasa maka jumlah betina dewasa mencapai 46 528 ekor dan dari jumlah betina dewasa tersebut dapat dijadikan akseptor minimal 50%, maka akan tersedia akseptor lebih kurang sebanyak 23 264 ekor. Saat ini baru 17 240 ekor yang terdaftar sebagai akseptor sehingga sasaran kegiatan IB dimasa yang akan datang dapat ditingkatkan volumenya.

Gambaran Potensi Wilayah.

Propinsi Riau dengan luas wilayah 94 561.60 km2 terdiri atas 15 kabupaten / kota dengan jumlah penduduk 4 755 176 jiwa. Populasi sapi potong di propinsi Riau pada tahun 2000 dapat dilihat dari tabel berikut :

Tabel 1 Populasi sapi potong di Propinsi Riau tahun 2000

No. Kabupaten/Kota Jumlah

(ekor)

(23)

Table 2 Bagan Organisasi kegiatan pelayanan IB Dinas Peternakan Riau

INSTANSI PEMBINA ORGANISASI TENAGA

DISNAK PROPINSI RIAU

SP-IB I SUPERVISOR I

1 org Supervisor 1 org Sterility Control 1 org Wastu Semen 1-3 Staf Adm IB

DISNAK

KABUPATEN/KOTA

SP-IB II SUPERVISOR II

1 org Supervisor II 1 org ATR

1-3 Staf Adm IB

CABANG DISNAK KAB/KOTA

DI KEC.

SP-IB

ATR

PKB

Inseminator

1 ATR 1-2 PKB 3-6 Inseminator 12- 24 KPPIB 20-25 org/KPPIB

(24)

Tabel 3 Perkembangan lokasi kegiatan IB per SP-IB selama tahun 1999-2002

No. Lokasi/SPIB II 1999 2000 2001 2002

Sumber : Laporan Perkembangan Inseminasi Buatan Selama Tahun 1999-2002, Materi Pertemuan Peternakan Regional Sumatera di Palembang Sumatera Selatan Tanggal 15-17 Juli 2002.

Dari tabel tersebut terlihat bahwa lokasi kegiatan inseminasi buatan telah meningkat menjadi 11 SP-IB dari sebelumnya hanya ada 5 SP-IB. Hal ini disebabkan karena sejak tahun 2000 telah terjadi pemekaran kabupaten/kota di propinsi Riau dan juga adanya penambaan jumlah bibit sapi baru melalui pengadaan program Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan (PEK).

Akseptor juga merupakan faktor penting dalam kegiatan inseminasi buatan karena tanpa akseptor (ternak produktif) tidak mungkin dapat melaksanakan kegiatan inseminasi buatan. Perkembangan jumlah akseptor di Propinsi Riau menunjukkan peningkatan seiring dengan penambahan SP-IB dan dengan adanya pemasukan bibit sapi baru melalui program PEK. Perkembangan akseptor IB di Propinsi Riau dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4 Perkembangan akseptor IB selama tahun 1999-2002

Tahun Jumlah Akseptor

(ekor)

Sumber : Laporan Perkembangan Inseminasi Buatan Selama Tahun 1999-2002, Materi Pertemuan Peternakan Regional Sumatera di Palembang Sumatera Selatan Tanggal 15-17 Juli 2002.

(25)

Keberhasilan pelaksanaan inseminasi buatan sangat didukung oleh adanya sumber daya manusia sebagai personalia pelaksanaan SP-IB. Pada tahun 2001 ada sebanyak 27 lokasi pelayanan inseminasi buatan yang tersebar di 11 SP-IB II se-propinsi Riau yang didukung 166 orang pelaksana IB seperti yang tertera pada tabel berikut :

Tabel 5 Jumlah pelaksana IB per SP-IB II di Propinsi Riau tahun 2001

Uraian PR RU KP PL KS HU HI DU RI SS KR NT JML 7. Inseminator 8. Recorder

9. Distributor sarana dan prasarana 10. Staf Administrasi IB

- Sumber : Petunjuk Teknis Pelayanan IB di Propinsi Riau 2001.

Keterangan :

(26)

Tujuan.

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan IB di Propinsi Riau dan juga untuk melihat profil reproduksi dari beberapa kabupaten sebagai tolok ukur keberhasilan pelayanan inseminasi buatan daerah untuk evaluasi kinerja program dan personalia pelaksana inseminasi buatan sebagai gambaran pelaksanaan dan pengembangan inseminasi buatan di Propinsi Riau pada masa mendatang.

Manfaat.

(27)

TINJAUAN PUSTAKA

Inseminasi Buatan

Inseminasi buatan adalah terjemahan dari artificial insemination. Artificial artinya tiruan atau buatan. Insemination berasal dari kata latin , inseminatus. In artinya pemasukan, penyampaian atau deposisi sedangkan semen adalah cairan yang mengandung sel-sel kelamin jantan yang diejakulasikan melalui penis pada waktu kopulasi atau penampungan. Inseminasi buatan atau dikenal dengan istilah kawin suntik digunakan pertama kali pada peternakan kuda di Eropa oleh Repiquet, seorang dokter hewan Prancis pada tahun 1880 (Toelihere 1979), sedangkan inseminasi buatan pada sapi dan domba berhasil dilakukan oleh Elia I. Ivannof, seorang peneliti Rusia tahun 1913 (Partodihardjo 1987). Di Indonesia, inseminasi buatan/kawin suntik pertama kali diperkenalkan pada tahun 1952 oleh Prof. Borge Seit dari Denmark dan dilaksanakan di lapangan satu tahun kemudian.

Pola Pelaksanaan IB di Propinsi Riau

Kegiatan inseminasi buatan merupakan rekayasa teknososial ekonomis yang memerlukan waktu untuk proses adaptasi. Untuk itu pelayanan IB dilaksanakan melalui tiga kategori perwilayahan IB atas dasar tahapan pelayanan IB meliputi : tahapan IB introduksi, tahapan IB pengembangan dan tahapan IB swadaya. Pembinaan lokasi IB dirancang dalam satu pola Satuan Pelayanan Inseminasi Buatan (SP-IB) dengan pendekatan teknis dan terpadu secara agrobisnis. Sistim pelayanan IB dalam SP-IB mempunyai pengertian terpadu lokasi, terpadu sasaran dan terpadu pelayanan (Petunjuk Teknis Pelayanan Inseminasi Buatan di Propinsi Riau 2001).

Pelayanan IB dilakukan melalui tiga cara yaitu pelayanan aktif (inseminator mendatangi peternak). pelayanan semi aktif (inseminator dan peternak bertemu disuatu tempat) dan pelayanan pasif (petani mendatangi inseminator), Perencanaan sasaran pelayanan IB pada setiap SP-IB dilakukan dengan memperhitungkan hal-hal sebagai berikut : struktur populasi, akseptor, service per conception (S/C), conception rate (CR), tenaga dan sarana yang tersedia.

(28)

Tabel 6 Batasan dan kriteria tahapan pelayanan IB di Propinsi Riau

Uraian Introduksi Pengembangan Swadaya

Kinerja

1.Kemampuan inseminator (ekor/tahun) 2. Service per conception

3. Conception rate (%)

1. Waktu pelaksanaan IB 2. Wilayah

3.Jumlah akseptor (ekor/thn./ins.) 4.Cakupan wilayah bina (ekor/th.) 5. Sumber dana Sumber : Petunjuk Teknis Pelayanan Inseminasi Buatan di Propinsi Riau tahun 2001.

Sebagai tolok ukur keberhasilan pelayanan IB di SP-IB tingkat II dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 7 Acuan/tolok ukur keberhasilan pelayanan IB di SP-IB II

Sumber : Petunjuk Teknis Pelayanan IB di Propinsi Riau 2001.

Pencatatan merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari usaha peningkatan mutu ternak, sedangkan IB merupakan cara utama yang tepat dan murah untuk mencapai tujuan itu. Karenanya dalam kegiatan IB mutlak diperlukan suatu sistim pencatatan yang rapi, baik dan benar. Sistim pencatatan ini pada garis besarnya meliputi :

a. Sistim pencatatan dan laporan kegiatan operasional IB yang mencakup jumlah dosis, akseptor, kebuntingan dan kelahiran ternak hasil IB.

b. Sistim pencatatan dan laporan yang mencakup kinerja insminator seperti S/C dan CR. Mekanisme pelaporan menggunakan kartu model dengan jenis sebagai berikut :

1. Kartu Sapi Potong (Model C. II), kegunaannya untuk menilai kemampuan produksi dan reproduksi sapi potong. Kartu ini berada di peternak dan di SP-IB lapangan. 2. Kartu Kegiatan IB (Model C. IV), kegunaannya untuk mencatat kegiatan harian

inseminator selama satu bulan, dari kartu ini dapat diketahui jumlah inseminasi, jumlah akseptor, jumlah dosis dan jenis semen beku yang digunakan.

Tahapan pelayanan IB

Uraian

Introduksi Pengembangan Swadaya 1. S/C

2. CR (%)

3. Jumlah IB (dosis) 4. Jumlah akseptor (ekor) 5. Kelahiran/tahun (ekor) 6. Kasus reproduksi (%)

(29)

3. Kartu Pemeriksa Kebuntingan (Model C. V), kegunaannya untuk mengetahui jumlah akseptor yang bunting dan mengetahui prestasi inseminator

4. Kartu Rekapitulasi Kegiatan Inseminasi (Model C. VI), kegunaannya untuk menilai kegiatan dan prestasi para inseminator di dalam satu SP-IB II.

5. Kartu Pemakaian Semen (Model VII, VII-a), kegunaannya untuk mencatat penerimaan dan pemakaian semen di SP-IB lapangan dan SP-IB II, juga untuk mengetahui sisa semen dan jumlah semen yang rusak.

Selain kartu-kartu tersebut, masih ada buku registrasi yaitu :

1. Buku Registrasi Sapi Betina Akseptor IB (Model D.II). Semua akseptor IB sapi potong dicatat disini.

2. Buku Registrasi pedet (Model D.III). Setiap pedet yang lahir hasil IB dicatat, terutama yang akan dijadikan induk dan pejantan unggul.

Conception Rate (CR)

Conception rate atau laju kebuntingan merupakan salah satu indikasi untuk mengetahui ukuran dari tingkat keberhasilan inseminsi buatan. CR adalah persentase jumlah ternak yang bunting pada IB pertama dibandingkan dengan jumlah keseluruhan hewan yang di IB pertama kali. Nilai/angka standard CR dalam profil reproduksi yang dikeluarkan Ditjenak (1991) adalah 62.50%. Angka CR terbaik adalah 60-70% (Toelihere 1979), untuk ukuran Indonesia dengan mempertimbangkan kondisi alam, manajemen dan distribusi ternak yang menyebar sudah dianggap baik jika nilai CR mencapai 45-50%.

Service per Conception (S/C)

(30)

Makin rendah nilai S/C makin tinggi tingkat kesuburan ternak betina dalam satu kelompok (Toeliehere 1979). Menurut Partodihardjo (1987), rendahnya nilai S/C disebabkan oleh beberapa faktor seperti pelaporan deteksi berahi yang tidak tepat, rendahnya keterampilan inseminator dan kualitas semen yang digunakan kurang baik. Pengaruh lingkungan terhadap keragaman angka kelahiran lebih besar dari pada faktor genetik ternak (Mc Dowel et al. 1972).

Tekhnik Inseminasi

Sebelum dilaksanakan fase akhir prosedur pelaksanaan inseminasi, perlu diketahui terlebih dahulu status berahi dari ternak betina yang akan diinseminasi. Deteksi atau observasi berahi pada sapi potong dapat dilakukan dengan mengamati kebiasaan sapi betina yang sedang estrus seperti sapi tersebut diam sewaktu dinaiki oleh sapi lainnya, tetapi apabila sapi betina tersebut yang mencoba menaiki teman sekelompoknya, maka ternak betina tersebut masih berada pada fase menjelang berahi (Toelihere 1979). Ciri-ciri berahi yang mudah untuk diamati adalah warna vagina merah, vagina bengkak dan terasa hangat disertai keluarnya lendir serviks.

Pada masa kapasitasi, perlu untuk memperhatikan waktu optimum inseminasi. Proses kapasitasi membutuhkan waktu 2-4 jam di dalam uterus atau Tuba Fallopii. Oleh sebab itu, waktu terbaik untuk inseminasi pada sapi tidak kurang dari 4 jam sebelum ovulasi dan tidak melebihi 6 jam sesudah akhir estrus.

Menurut Triberger dan Davis (1943) dalam Toelihere (1979), inseminasi pada sapi antara 8-24 jam khususnya 7-18 jam sebelum ovulasi akan memberikan angka konsepsi yang paling tinggi. Pada sapi potong, dengan kemungkinan periode berahi yang pendek, waktu inseminasi optimal akan lebih singkat sehingga apabila estrus pertama kali terlihat pagi hari harus sudah di inseminasi pada hari yang sama, sedangkan apabila estrus teramati pada sore hari, inseminasi dapat dilakukan hari berikutnya (pagi-siang). Pelaksanaan inseminasi dapat dilakukan dengan metode rektovaginal karena lebih praktis dan lebih efektif (Sullivan et al. 1972).

Teknik Pelaksanaan Pemeriksaan Kebuntingan

(31)

Dinas Peternakan setempat untuk mengetahui efisiensi reproduksi sapi suatu wilayah pelayanan inseminasi buatan.

Sebelum melakukan palpasi perektal untuk diagnosa kebuntingan perlu diperhatikan keamanan sipemeriksa seperti ternak yang akan diperiksa ditempatkan dikandang jepit dengan posisi pemeriksa berdiri miring menghadap ternak tersebut. Keamanan ternak juga merupakan bagian penting dari proses ini seperti petugas PKB harus berkuku pendek dan tidak tajam, tidak memakai perhiasan dan disarankan menggunakan pelicin sewaktu palpasi.

Pemeriksaan kebuntingan di Propinsi Riau umumnya belum dilakukan secara regular, dimana setiap sapi yang telah di IB kembali diperiksa untuk mengetahui keberhasilan proses inseminasi buatan tersebut. Pemeriksaan kebuntingan lebih sering dilakukan secara serentak dan massal di beberapa daerah sentra peternakan sapi potong yang dilaksanakan medio Juli-September setiap tahunnya. PKB juga akan dilakukan di lapangan apabila ada permintaan dari Dinas Peternakan kabupaten setempat yang bersifat insidentil, misalnya ketika ada kunjungan kerja ataupun pelatihan dari Dinas Peternakan propinsi maupun pusat.

Pemeriksaan kebuntingan dilakukan oleh petugas pemeriksa kebuntingan dari Dinas Peternakan kabupaten yang telah mendapatkan pelatihan dan diklat. Petugas PKB yang juga merangkap sebagai inseminator ditempatkan di lokasi dengan populasi akseptor tinggi, diharapkan dengan semakin dekatnya tempat petugas berdomisili dengan pemukiman peternak, proses pelayanan IB dan PKB dapat dilaksanakan dengan baik dan kontiniu. Namun kenyataan di lapangan, hasil evaluasi yang diberikan oleh petugas lapangan untuk direkapitulasi sebagai laporan pelaksanaan inseminasi buatan di Dinas Peternakan masih banyak yang belum memenuhi standarisasi sehingga objektifitas penilaian di lapangan menjadi semakin sulit dilakukan. Laporan kebuntingan akseptor yang telah di IB lebih sering diketahui oleh petugas dari berita yang disampaikan oleh pemilik ternak dari pada pengecekan langsung ke lokasi sehingga banyak ternak bunting hasil IB yang tidak terlaporkan. Hal ini disebabkan ternak-ternak sapi potong di propinsi Riau umumnya digunakan untuk membajak sawah sehingga sulit untuk melakukan PKB secara rutin setelah di IB karena ternak tersebut hanya dikandangkan pada malam hari.

(32)

(33)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Kegiatan.

Tempat yang dijadikan lokasi untuk kegiatan adalah daerah yang memiliki ternak sapi dengan kepadatan cukup tinggi, merupakan tempat pelaksanaan program IB yang intensif dan masih memerlukan pengembangan. Selain itu pemilihan tempat juga berdasarkan pada aspek pasar di mana daerah tersebut bukan merupakan sentra peternakan karena populasi sapi yang tidak begitu tinggi tapi merupakan daerah strategis secara ekonomi untuk pemasaran hasil produksi peternakan seperti daging dan sebagainya, daerah yang dekat dengan ibu kota propinsi dengan penduduk relative konsumtif terhadap hasil ternak. Pemilihan daerah juga dapat dilihat berdasarkan lokasi/wilayah, di mana daerah tersebut belum dikembangkan peternak sapi secara intensif tapi merupakan daerah potensial untuk peternak ditinjau dari luas wilayah dan ketesediaan pakan alami. Lokasi pengkajian tersebut yaitu empat kabupaten dari 15 kabupaten/kota yang terdapat di propinsi Riau yaitu: 1) kabupaten Indragiri Hulu, 2) kabupaten Kampar, 3) kabupaten Rokan Hulu, 4) kabupaten Kepulauan Riau.

Data pengkajian telah terkoleksi dan tersedia di Dinas Peternakan Propinsi Riau yang terekam dari tahun 1999 sampai dengan 2002. Data yang tersedia tersebut dikumpulkan melalui survey dari tanggal 17 Juli - 12 Agustus 2002.

Metode Pengkajian

Pengkajian ini dilakukan dengan metode survey. Jenis data yang diperlukan adalah data sekunder yang telah tersedia di Dinas Peternakan propinsi Riau, yang merupakan rekapitulasi data laporan dan catatan rutin hasil pelaksanaan program IB. Parameter yang dijadikan data untuk evaluasi adalah:

a. Variabel keberhasilan pelaksanaan program IB seperti: 1. Perkembangan lokasi kegiatan IB.

2. Peningkatan populasi akseptor.

3. Peningkatan penggunaan dosis semen beku dan realisasi IB. 4. Peningkatan jumlah kelahiran pedet.

(34)

Evaluasi dan Analisa

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan lokasi kegiatan IB di ke empat kabupaten contoh tersebut dapat dilihat pada Tabel berikut.

Tabel 8 Perkambangan lokasi kegiatan IB per SPIB II selama tahun 1999-2002

Kabupaten 1999 2000 2001 2002

Lokasi kegiatan IB di propinsi Riau diprioritaskan pada daerah-daerah potensial untuk penyebaran dan pengembangan ternak sapi. Daerah tersebut memiliki wilayah yang luas dan ketersediaan pakan alami yang cukup yang didukung dengan adanya alokasi dana APBD yang dianggarkan oleh Pemerintah Daerah setempat untuk pengembangan peternakan. Di wilayah kabupaten Rokan Hulu pada tahun 1999 sebenarnya sudah ada lokasi kegiatan IB, tetapi kabupaten tersebut baru resmi berdiri setelah adanya pemekaran kabupaten/kota di propinsi Riau pada tahun 2000, di mana Rokan Hulu sebelumnya merupakan bagian dari kabupaten Kampar. Perkambangan lokasi kegiatan inseminasi juga terjadi karena adanya penambahan bibit sapi baru melalui pengadaan program Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan (PEK).

Seiring dengan adanya perkembangan lokasi pelayanan program pelaksanaan IB, akseptor sebagai faktor utama dalam kegiatan IB juga mengalami peningkatan. Selain bertambahnya jumlah akseptor karena adanya sapi dara yang sudah memasuki usia produktif, juga disebabkan adanya penambahan populasi sapi baik dari program PEK maupun perdagangan sapi lintas wilayah yang merupakan hasil swadana dari petani ternak sendiri.

Rekapitulasi jumlah akseptor di empat kabupaten contoh tersebut dapat dilihat dari Tabel berikut:

Tabel 9 Rekapitulasi jumlah akseptor dari tahun 1999-2002

Kabupaten 1999 2000 2001 2002

(36)

kabupaten Rokan Hulu disebabkan daerah tersebut sudah memiliki beberapa lokasi sentra pengembangan peternakan sapi potong yang dikelola secara intensif, didukung dengan luas wilayah yang memadai ditambah lagi dengan adanya program pengembangan daerah transmigrasi sehingga bantuan sapi baik dari APBD lokal maupun APBN lebih dititik beratkan pada daerah tersebut.

Penurunan jumlah akseptor yang terjadi pada tahun 2000 di kabupaten Kepulauan Riau disebabkan karena pengembangan daerah berpola industri baru sehingga banyak masyarakat yang tadinya berprofesi sebagai patani peternak beralih fungsi menjadi pelaku industri sehingga sebagian besar sapi dari daerah tersebut dijual. Hal ini menyebabkan penurunan jumlah populasi sapi yang secara langsung juga manyebabkan berkurangnya jumlah akseptor, ditambah lagi dengan semakin berkurangnya lahan untuk pemeliharaan ternak sapi dan kesulitan dalam mendapatkan pakan alami ternak.

Target IB di ke empat kabupaten dapat dilihat dari jumlah target dosis semen beku. Secara umum di propinsi Riau terjadi peningkatan target IB dari tahun 1999-2002. Pada tahun 1999 target IB hanya 16 000 dosis, maka pada tahun 2002 menjadi 30 000 dosis atau meningkat sebesar 87.5%. Meningkatnya target IB ini tidak terlepas dari permintaan peternak yang semakin sadar akan manfaat IB. Namun peningkatan target ini tidak diiringi oleh realisasi IB yang cenderung menurun, yaitu dari 54.17% pada tahun 1999 menjadi 29.07% pada tahun 2002. Hal ini dapat disebabkan dalam proses pelaksanaan IB tidak disertai manajemen yang baik serta sarana dan prasarana yang memadai. Faktor sarana/prasarana pendukung dalam keberhasilan kegiatan IB yang dimaksud seperti container untuk distribusi semen beku dan N2 cair ke lapangan, inseminator kit dan kendaraan bermotor sebagai transportasi petugas lapangan mengingat jangkauan kegiatan IB cukup luas.

(37)

Rekapitulasi Target IB dan Realisasi IB di ke empat kabupaten contoh dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 10 Rekapitulasi target IB dan realisasi IB dari tahun 1999-2002.

1999 2000 2001 2002

Terjadi penurunan yang sangat signifikan target IB di propinsi Indragiri Hulu pada tahun 1999/2000 dari 4250 target dosis menjadi 3800 dosis (turun sebesar 10.5%). Dan kabupaten Kepulauan Riau dari 800 dosis tahun 1999 menjadi 300 dosis pada tahun 2000 (turun sebesar 62.5%). Penurunan target tersebut disesuaikan dengan jumlah realisasi pelaksanaan IB di kabupaten tersebut yang hanya sebesar 3916 ekor (91.14%) di kabupaten Indragiri Hulu dan 150 ekor di kabupaten Kepulauan Riau (18.75%), juga disebabkan adanya penurunan jumlah akseptor di kabupaten Kepulauan Riau. Penurunan target dosis di kabupaten Kampar sejak tahun 2000 disebabkan karena terpisahnya kabupaten Rokan Hulu dari kabupaten Kampar sehingga terjadi penurunan jumlah populasi sapi dan akseptor di kabupaten Kampar yang secara langsung berpengaruh terhadap target dosis IB dan hasil realisasi IB. Target dosis IB meningkat pada tahun 2001 hampir di semua kabupaten dan peningkatan terbesar terjadi di kabupaten Kepulauan Riau dari 300 dosis tahun 2000 menjadi 700 dosis tahun 2001 (meningkat 133.3%). Hal ini disebabkan karena adanya penambahan akseptor di kabupaten kepulauan Riau dari hanya 150 ekor di tahun 2000 menjadi 350 ekor di tahun 2001 (meningkat 133.3%). Di kabupaten Rokan Hulu juga terjadi peningkatan jumlah target dosis sebesar 55% yaitu sebanyak 4490 dosis pada tahun 2000 menjadi 6960 dosis pada tahun 2001. Peningkatan ini seiring dengan peningkatan jumlah akseptor sebesar 47.5% yaitu dari 2950 pada tahun 2000 menjadi 4350 pada tahun 2001. Peningkatan jumlah akseptor ini terjadi karena adanya pengadaan sapi baru melalui program PEK pada tahun 2001 di kabupaten Rokan Hulu.

(38)

Realisasi pelaksanaan IB pada tahun 1999 terbesar adalah kabupaten Indragiri Hulu yaitu 92.14%, tetapi terjadi penurunan pada tahun 2000 yang hanya sebesar 41.1% dan meningkat lagi pada tahun 2001 sebanyak 68.75%. Di kabupaten Kampar pada tahun 1999, IB terlaksana sebanyak 3308 dosis (42.68%) dan menurun tajam pada tahun 2000 menjadi 231 dosis. Di kabupaten Rokan Hulu pada tahun 2000 terealisasi sebesar 2405 dosis (53.6%) dan meningkat dalam jumlah realisasi pada tahun 2001 (2929 dosis) tetapi berkurang dari segi persentase (42.08%) karena bertambahnya target dosis (dari 4490 pada tahun 2000 manjadi 6960 pada tahun 2001).

Di kabupaten Kepulauan Riau relisasi IB menurun dari tahun ke tahun yaitu 18.75% pada tahun 1999 menjadi 6.0% pada tahun 2000 dan terjadi sedikit peningkatan pada tahun 2001 menjadi 14.86%. Padahal jumlah target dosis dan akseptor telah ditambah sampai 133.3%, sehingga di Dinas Peternakan Riau akan dilaksanakan pemangkasan jumlah SPIB dari 11 SPIB II menjadi 9 SP IB II, dan salah satu SP IB II yang dihilangkan tersebut adalah SPIB II kabupaten Kepulauan Riau karena dinilai kurang efisien mengingat jumlah akseptor dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan belum berimbang dengan hasil yang dicapai walaupun daerah tersebut sangat potensial sebagai daerah pemasaran karena letaknya yang strategis dan semakin banyaknya pertumbuhan daerah industri yang akan mempengaruhi pendapatan perkapita masyarakat yang secara tidak langsung akan semakin meningkatkan daya beli dari masyarakat untuk mengkonsumsi pangan hasil ternak terutama daging (baik hasil unggas maupun sapi potong). Persentase Realisasi IB dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 11 Persentase realisasi IB dari tahun 1999-2002

Kabupaten 1999

(%)

(39)

Keberhasilan program pelaksanaan IB ditentukan oleh jumlah ternak lahir hasil IB, target angka kelahiran dan realisasi kelahiran di ke empat kabupaten tersebut dapat dilihat pada Tabel berikut:

Tabel 12. Target lahir dan realisasi kelahiran dari tahun 1999-2002

1999 2000 2001 2002

Kabupaten Target

lahir

Angka kelahiran di ke empat kabupaten tersebut sangat rendah, pada tahun 1999 di kabupaten Indragiri Hulu angka kelahiran hanya 150 ekor dari target lahir sebanyak 1360 ekor (11.03%), dan hanya 13.99% dari keseluruhan akseptor yang di IB yang berhasil lahir (realisasi IB sebesar 3916 ekor). Untuk kabupaten Kampar, pada tahun 1999 realisasi lahir sebanyak 548 ekor (22.89% dari target lahir) dan hanya 17.6% dari jumlah akseptor yang di IB. Di kabupaten Kepulauan Riau 15.63% dari 256 ekor target lahir terealisasi lahir (40 ekor), sekitar 26.7% dari keseluruhan ternak yang di IB (150 ekor).

Pada tahun 2000, di kabupaten Kampar dengan target kelahiran 275 ekor terealisasi sebesar 30.9% yaitu sebanyak 85 ekor. Kelahiran tertinggi terjadi di kabupaten Rokan Hulu yaitu sebanyak 1517 ekor, angka tersebut 80.7% dari target kelahiran (1880) dan 65.1% dari realisasi dosis IB (2405) berhasil lahir. Di kabupaten Indragiri Hulu angka lelahiran pada tahun 2000 mencapai 507 ekor, sebanyak 33.4% dari target kelahiran dan 32.5% dari keseluruhan pelayanan IB di lapangan. Untuk kabupaten Kepulauan Riau, ternak lahir hanya 3 ekor dari 96 ekor yang ditargetkan lahir, merupakan pencapaian yang sangat rendah mengingat terjadi 40 kali pelayanan IB di lapangan. Hal ini diduga akibat banyaknya ternak sapi betina bunting hasil IB diperjual belikan keluar daerah sebelum melahirkan ataupun dipotong.

(40)

kelahiran di daerah tersebut. Tahun 2002, belum semua data dan SP IB ke Dinas Peternakan propinsi terlaporkan sampai pada bulan Agustus, sehingga evaluasi pelayanan IB pada tahun tersebut belum terekapitulasi. Hanya dari kabupaten Rokan Hulu, yaitu sebanyak 510 ekor kelahiran (18.32% dari target) dan dari kabupaten Kepulauan Riau sebanyak 3 ekor (1.34% dari target) dengan penghitungan sampai pada bulan Mei 2002 telah terlaporkan.

Persentase realisasi lahir dari target kelahiran yang direncanakan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 13 Persentase realisasi kelahiran dari target kelahiran tahun 1999-2002

Kabupaten 1999

(%)

Persentase realisasi lahir ditinjau dari banyaknya IB yang dilakukan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 14 Persentase realisasi lahir dari jumlah realisasi IB tahun 1999-2002

Kabupaten 1999

(%)

(41)

besar kepada sapi-sapi spesies kecil karena keterbatasan stok berhubung di propinsi Riau umumnya didominasi oleh ternak sapi Bali.

Keberhasilan pelaksanaan program inseminasi buatan untuk satu tahun anggaran di suatu daerah, selain diukur dari presentase kelahiran juga sangat ditentukan oleh profil reproduksi yang parameternya dapat dilihat dari angka service per conception (S/C) dan nilai conception rate (CR). Angka S/C dapat diketahui dari keberhasilan petugas IB dalam melayani akseptor. Service per conception dihitung dengan pembagian jumlah dosis atau pelayanan IB dengan jumlah/angka kebuntingan, sedangkan conception rate (angka kebuntingan) adalah persentase jumlah ternak bunting pada IB pertama (IB I) dibagi dengan jumlah seluruh ternak yang di IB pertama kali, dalam hal ini kebuntingan hasil IB II, IB III dan seterusnya tidak diperhitungkan. Angka service per conception dan conception rate dari ke empat kabupaten contoh tersebut dapat dilihat pada table berikut :

Tabel 15 Nilai service per conception dan conception rate dari tahun 1999-2001

1999 2000 2001

(42)

pelaksanaan program IB di propinsi Riau. Rendahnya frekuensi pelayanan IB dan angka kelahiran menyebabkan nilai parameter profil reproduksi di kabupaten Kepulauan Riau menjadi sangat buruk. Pada tahun 1999, nilai S/C hanya 3.75 dengan CR sebesar 26.66%. Pada tahun 2000, nilai S/C menjadi 3.60 dengan CR 16.66%. Rendahnya nilai CR pada tahun 2000 menunjukkan bahwa keberhasilan inseminator sangat rendah dalam merealisasikan pelayanan IB pada pelaksanaan IB pertama. Tahun 2001 nilai S/C menjadi 7.42 dengan CR hanya 11.40%, merupakan nilai terendah jika dibandingkan dengan perolehan dari kabupaten lainnya.

(43)

0 1 2 3 4 5 6 7 8

1 9 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1 T a h u n

Service per Conception (SC)

I n h u K a m p a r K e p ri R o h u l N a s io n a l

(44)

Grafik perbandingan nilai profil reproduksi empat kabupaten contoh dengan parameter nasional untuk nilai Conception Rate tahun 1999-2001.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

1999

2000

2001

Tahun

C

on

cep

ti

on R

a

te (

C

R

)

(45)

Kinerja IB yang ditunjukkan oleh hasil realisasi IB dan jumlah ternak lahir dibandingkan dengan banyaknya dosis inseminasi yang digunakan cenderung sangat rendah apabila mengacu pada parameter reproduksi skala nasional. Nilai CR di keempat kabupaten contoh yang dapat dijadikan ukuran tingkat keberhasilan dan evaluasi kinerja IB di propinsi Riau tersebut memiliki interval perbedaan yang sangat signifikan dengan parameter reproduksi berskala nasional. Hanya hasil di kabupaten Rokan Hulu pada tahun 2000 dengan nilai CR 69.35% yang dapat dikatakan baik karena angka tersebut lebih besar dari skala nasional (62.5%), sedangkan untuk kabupaten lain jauh di bawah standar nasional. Kecenderungan rendahnya nilai CR ini untuk propinsi Riau sangat dipengaruhi oleh keadaan wilayah dengan luasnya lokasi cakupan pelayanan IB per satu SP-IB II sehingga jangkauan pelaksanaan IB belum terlayani dengan baik. Keterbatasan sarana dan prasarana penunjang terutama jumlah kontainer untuk distribusi semen beku dan Nitrogen cair yang masih kurang sehingga kondisi semen beku di inseminator di lokasi pelayanan IB sering tidak layak lagi untuk di inseminasikan. Proses pengadaan keperluan semen beku yang didatangkan dari BIB Lembang atau BIB Singosari memerlukan waktu yang cukup lama sehingga kerap terjadi kekosongan semen beku di tingkat lapangan.

Tidak berbeda jauh dengan nilai CR, angka peubah parameter reproduksi yang dapat dijadikan tolok ukur kesuburan ternak betina dalam suatu kelompok ternak yaitu angka S/C dari ke-empat kabupaten contoh tersebut jika dibandingkan dengan nilai parameter reproduksi berskala nasional untuk S/C (1.6), masih sangat rendah. Beberapa hal yang dapat diduga sebagai faktor penyebab rendahnya nilai S/C di Propinsi Riau seperti masih sangat kurangnya pengetahuan peternak tentang ciri-ciri atau cara mendeteksi berahi sapi yang benar sehingga sering terjadi salah pelaporan waktu optimal inseminasi, masih rendahnya kemampuan inseminator dalam melaksanakan pelayanan IB juga mendukung menurunnya angka kebuntingan ditambah lagi seringnya inseminator menginseminasi sapi yang dilaporkan berahi oleh peternak tampa memperhitungkan waktu awal mulai terlihatnya berahi, hal ini juga berpengaruh terhadap waktu optimal pelaksanaan dan keberhasilan inseminasi. Rendahnya mutu semen beku yang digunakan yang disebabkan oleh seringnya kerterlambatan distribusi semen beku ke lapangan sehingga inseminator tetap atau terpaksa menggunakan semen beku yang sudah lewat masa pakai (kadaluarsa), belum lagi jumlah Nitrogen cair yang didistribusikan ke lapangan kadang tidak mencukupi sehingga semen beku yang tersedia di kontainer inseminator lapangan tidak semuanya terendam dalam Nitrogen cair.

Perkembangan kegiatan Inseminasi Buatan di Propinsi Riau selama empat tahun terakhir telah menunjukkan peningkatan apabila dilihat dari segi lokasi/SP-IB dan jumlah akseptor. Akan tetapi jika diperhatikan kinerja pelaksanaan IB secara keseluruhan yang ditunjukkan dari hasil realisasi IB dan jumlah ternak lahir cenderung menurun. Pada tahun 1999 realisasi inseminasi mencapai 54.17% tetapi pada tahun 2001 hanya mencapai 29.07%. Demikian juga dengan angka kelahiran, jika tahun 2000 tercapai 35% dari target, pada tahun 2001 hanya 20.47% dari nilai yang ditargetkan.

(46)

kesiapan inseminator, keberadaan akseptor, ketersediaan sarana dan prasarana penunjang, organisasi pengelola IB dan keuangan belum terlaksana secara terpadu, sehingga sumber daya tersebut belum sinergi dan pada akhirnya belum memperlihatkan hasil yang memuaskan.

(47)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Terjadi peningkatan perkembangan kegiatan inseminasi buatan di propinsi Riau apabila dilihat dari segi lokasi/SP-IB dan jumlah akseptor, tetapi terjadi penurunan jika diperhatikan dari kinerja pelaksanaan inseminasi secara keseluruhan yang ditunjukkan oleh hasil realisasi IB dan jumlah ternak lahir, dibuktikan dengan perbedaan yang sangat signifikan antara skala peubah parameter profil reproduksi di propinsi Riau dengan skala parameter nasional.

Saran

1. Diperlukan adanya pelatihan keterampilan pelaksana IB secara menyeluruh di propinsi Riau, ditinjau dari seringnya kegagalan proses pelaksanaan IB disebabkan kesalahan tekhnis petugas pelaksana IB di lapangan.

2. Perlu dilakukan penataan ulang terhadap pola pelaksanaan kegiatan IB, jumlah akseptor terdaftar dan objektifitas pelaporan hasil IB dari SP-IB II ke Dinas Peternakan untuk menunjang keakuratan data di lapangan sehingga dapat dicari solusi atau terobosan baru untuk menanggulangi masalah yang terjadi.

(48)

DAFTAR PUSTAKA

Achjadi R K. 1992. Reproduksi Ternak Sapi Potong. Materi pada kegiatan pelatihan dan kunjungan petani dan petugas proyek pengembangan usaha peternakan Kalimantan II. Dinas Peternakan Propinsi Riau. 2002. Laporan Perkembangan Inseminasi Buatan Selama Tahun 1999-2002, Materi Pertemuan Peternakan Regional Sumatera di Palembang Sumatera Selatan Tanggal 15-17 Juli 2002. Pekanbaru : Dinas Peternakan Propinsi Riau.

Dinas Peternakan Propinsi Riau. 2001. Petunjuk Teknis Pelayanan Inseminasi Buatan di Propinsi Riau. Pekan Baru : Dinas Peternakan Propinsi Riau.

Direktorat Jenderal Peternakan. 1991. Petunjuk Teknis Pelayanan Inseminasi Buatan Terpadu. Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian.

Mc Dowel L E et al. 1972. Improvement of Livestock Production in Warm Climates. San Fransisco : W H Freeman and company.

Partodiharjo S. 1987. Ilmu Reproduksi Hewan. Jakarta : Mutiara Sumber Widya.

Payne W J A, Williamson G. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Terjemahan S G N Djiwa Darmaja. Yogyakarta : Gajdah Mada University Press.

Sutan S M. 1988. Suatu perbandingan performans reproduksi dan produksi antara sapi Brahman, Ongole dan Bali di daerah transmigrasi Batumarta Sumatera Selatan. [disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana IPB.

Toelihere M R. 1979. Inseminasi Buatan pada Ternak. Bandung : Angkasa.

Gambar

Gambaran Potensi Wilayah ..............................................................................
Tabel 1 Populasi sapi potong di Propinsi Riau tahun 2000
Table 2 Bagan Organisasi kegiatan pelayanan IB Dinas Peternakan Riau
Tabel 3 Perkembangan lokasi kegiatan IB per SP-IB selama tahun 1999-2002
+7

Referensi

Dokumen terkait

terhadap Mikroba Patogen Tular Tanah pada Beberapa Kondisi Pertumbuhan: Jenis Media, Waktu Produksi, pH dan Suhu adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan

Madrasah Diniyyah Putri Lampung menyiapkan calon ibu pendidik melalui sistem pendidikan asrama dan pendidikan madrasah. Sistem pendidikan madrasah diniyyah berbasis

Perkara ini jelas kerana pada peringkat awal, pemimpin negara dan media Barat tidak mengambil peduli mengenai persidangan tersebut, tetapi mula bertindak mengkritik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 16 unsur pelayanan yang diteliti, terdapat satu unsur dengan kategori sangat baik yaitu prosedur pelayanan sirkulasi, sedangkan

Bagi seorang pelajar pula, ianya berkaitan dengan penerimaan oleh orang lain terhadap diri seseorang pula, ianya berkaitan dengan penerimaan oleh orang lain terhadap diri

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Kreativitas siswa dengan gaya belajar Visual-Spatial dalam menyelesaikan masalah geometri, mencakup (a) Kefasihan,

Telah dipastikan bahwa berdasarkan penelitian yang saya lakukan menggunakan Metode Topsis, oleh karena itu secara otomatis untuk menentukan Pemilihan Perusahaan Jasa

Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data yang diperlukan sebagai data yang akan digunakan untuk memecahkan masalah yang telah dirumuskan sebelumnya.Data yang dikumpulkan