• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 802012106 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 802012106 Full text"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN EMOSIONAL ORANGTUA

DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA YANG MENIKAH

AKIBAT KEHAMILAN DILUAR NIKAH

OLEH SITI NADHIROH

802012106

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagaian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

HUBUNGAN DUKUNGAN EMOSIONAL ORANGTUA DENGAN

RESILIENSI PADA REMAJA YANG MENIKAH AKIBAT

KEHAMILAN DILUAR NIKAH

Siti Nadhiroh Heru Astikasari S. Murti

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(8)

i Abstrak

Tujuan penelitian ini ingin melihat hubungan antara dukungan emosional orangtua

dengan resiliensi pada remaja yang menikah akibat kehamilan diluar nikah.

Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan skala dukungan emosional

orangtua yang menggunakan teori Sarafino (2007) yang berjumlah 25 item dan skala

resiliensi menggunakan skala oleh Wagnild & Young (1993) yang berjumlah 25 item.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan uji korelasi Spearman

untuk melakukan perhitungan korelasi antara dukungan emosional orangtua dengan

resiliensi. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai korelasi Spearman sebesar 0,231 dan

signifikansi sebesar 0,219 (p> 0,05). Kesimpulan sebagai hasil akhir penelitian ini

adalah bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan emosional orangtua

dengan resiliensi.

Kata kunci : Dukungan emosional orangtua, resiliensi, remaja yang menikah akibat

(9)

ii Abstract

The aim of this research was to know the correlation between parental emotional

support with resilience to the married adolescents due to pregnancy outside of

marriage. The collecting data in this research used the scale parental emotional

support used the theori Sarafino (2007) that the amount were 25 item and scale

resilience used scale by Wagnild & Young (1993) that the amount sere 25 item. This

study uses a quantitative method with Spearman correlation test to perform correlations

between of parental emotional support with resilience. From the calculation of

Spearman correlation we had result values of 0,231 and a significance of 0,219

(p>0,05). Conclusions as the end result of this research, there is no correlation of

parental emotional support with resiliensce to the married adolescents due to

pregnancy outside of marriage

Keywords : Parental Emotional Support, Resilience, Married Adolescents Due To

(10)

PENDAHULUAN

Masa remaja sebagai masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Masa ini ditandai dengan berubahnya bentuk fisik dan hormonal. Perubahan hormonal inilah yang biasanya mempengaruhi tingkat emosional pada remaja. Remaja seringkali mempunyai emosi yang kurang stabil, memiliki mood yang sering berubah-ubah dan mulai memiliki dorongan seksual seperti, timbulnya rasa ketertarikan terhadap lawan jenis. Rasa ketertarikaan inilah yang biasanya menjadi awal mula pasangan remaja untuk menjalin hubungan yang lebih intim lagi, yang biasanya dikenal dengan istilah “pacaran”. Pacaran diartikan sebagai masa pendekatan antar individu dari kedua lawan jenis yang ditandai dengan mengenal satu sama lain dari masing individu (Santrock, 2007).

Dalam era modern ini, istilah pacaran merupakan hal yang dianggap biasa dan wajar terjadi dan tidak dianggap sebagai hal yang tabu. Gaya berpacaran pasangan remaja sekarang punlebih berani dan terbuka, sangat berbeda dengan gaya berpacaran remaja jaman dahulu. Hal ini disinyalir semakin mendorong maraknya seks bebas dikalangan remaja. Selain itu, semakin maraknya video porno, kemudahan dalam mengakses situ-situs porno dan kurangnya pendidikan seks dikalangan remaja turut

berpengaruh pada perilaku dan pola pikir remaja dalam berpacaran yang seringkali melewati batas seperti mengartikan sebuah hubungan “pacaran”. Seringkali para remaja menjadikan status “pacaran” sebagai momen untuk melegalkan perilaku seksual, yang sebenarnya melanggar norma seperti bersentuhan, berciuman, bercumbu, dan melakukan hubungan badan. Perilaku-perilaku semacam inilah yang kemudian dapat mengakibatkan terjadinya “kehamilan” yang tidak diharapkan. Perilaku seks bebas saat ini sudah menjadi hal yang biasa dan marak dilakukan oleh para remaja, baik yang sedang menjalin hubungan berpacaran, ataupun hanya sekedar mencari kesenangan sesaaat (Dewi, 2015).

(11)

(Anna, Tingginya Kematian Ibu Terkait Nikah Usia Dini, 2015, http://health.kompas.com/read/2015/10/16/150000523/tingginya.kematian.ibu.terkait.ni

kah.usia.dini?utm_source=bola&utm_medium=bp&utm_campaign=related& diakses pada 11 Maret 2016). Selain itu, berdasarkan hasil Survei Badan Pusat Statistik tahun 2012 (dalam Jurnal Perempuan, 2013) mengungkapkan angka kehamilan remaja pada usia 15-19 tahun mencapai 48 dari 1000 kehamilan (Ramadhan, Meningkatnya Usia Kehamilan Remaja, 2013, http://www.jurnalperempuan.org/meningkatnya-usia-kehamilan-remaja.html diakses pada 11 Maret 2016).

Fenomena kehamilan sendiri merupakan konsekuensi dari perilaku seks pranikah yang dilakukan remaja, yang kehadirannya bisa menjadi suatu dambaan apabila didapatkan setelah adanya pernikahan yang sah. Namun, akan dinilai sebagai aib apabila kehamilan tersebut diperoleh sebelum adanya pernikahan yang sah atau terjadi sebagai akibat dari seks pranikah (Dewi, 2015). Berdasarkan data di pengadilan Agama (PA) Ambarawa selama kurun waktu 2015 tercatat sebanyak 173 anak dibawah umur mengajukan dispensasi nikah dan mayoritas disebabkan adanya kehamilan diluar nikah, data tersebut lebih tinggi dibandingkan tahun 2014 yang terdapat 139 kasus pengajuan dispensasi nikah. Sehingga dapat disimpulkan bila dirata-rata terdapat 15 anak-anak dibawah umur yang menikah setiap bulannya (Ranin, Pemohon Dispensasi

Nikah Tinggi, 2015, http://berita.suaramerdeka.com/pemohon-dispensasi-nikah-tinggi/diakses pada 11 Maret 2016)

(12)

Berdasarkan data yang penulis peroleh di KUA Kecamatan Tuntang, selama tahun 2015 tercatat sebanyak 38 pasangan mendaftarkan pernikahannya di KUA Kecamatan Tuntang lantaran sang wanita yang terlajur hamil terlebih dahulu sehingga diputuskan untuk menikahkannya. Sementara itu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Komite Perlindungan Anak Indonsia (KPAI) dan Kementrian Kesehatan (Kemenkes) pada Oktober 2013 menunjukkan, bahwa sekitar 62,7% remaja di Indonesia telah melakukan hubungan seks diluar nikah. 20% dari 94.270 perempuan yang mengalami hamil diluar nikah juga berasal dari kelompok usia remaja dan 21% diantaranya melakukan aborsi (Rumah Belajar Persada, 63 Persen Remaja Di Indonesia Melakukan Seks Pra Nikah, 2015, http://kompasiana.com/rumahbelajar-persada/63-persen_-emaja-di-indonesia-melakukan-seks-pranikah__54f91d77a33311fc078b45fd

Diakses pada 11 Maret 2016)

Data-data tersebut sesuai dengan data dari pilar PKBI 2012 yang menunjukkan bahwa angka kehamilan pranikah yang tidak diinginkan pada remaja semakin meningkat dari tahun ke tahun. Solusi yang seringkali dilakukan oleh para remaja yang mengalami kehamilan pranikah adalah dengan menikahkan atau ada juga yang memilih melakukan aborsi. Walaupun kenyataan dilapangan lebih banyak remaja putri yang memilih untuk melakukan aborsi. Meski sebenarnya wanita manapun yang memilih

melakukan aborsi pada hakikatnya sedang dalam kondisi terjepit (terpaksa). Tidak ada satupun wanita yang menginginkan aborsi. Tetapi dipihak lain wanita tersebut takut pada dampak yang akan terjadi jika memilih untuk tidak melakukan aborsi (Sarwono, 2002).

Kehamilan semacam ini membuat remaja atau calon ibu tidak ingin dan tidak siap untuk hamil sehingga, mereka berusaha mencari solusi dari permasalahan tersebut. Hamil sebelum menikah sebagai imbas dari adanya pergaulan bebas saat ini dan sebagai salah satu akternatif untuk menutupi aibnya ialah dengan menikahkannya . Pernikahan yang akhirnya dilaksanakan tanpa adanya persiapan terlebih dahulu ini dapat menyebabkan beberapa permasalahan pada pasangan remaja yang tidak jarang dapat menimbulkaan konflik atau pertengkaran (Srijauhari, 2008).

(13)

konflik permasalahan yang sering menyebabkan pasangan remaja ini bertengkar seperti permasalahan ekonomi keluarga, suami belum bekerja, kecurigaan yang berlebihan pada suami, dan reaksi suami yang tidak suka ketika istri bercerita tentang kejelekan suami kepada temannya. Sedangkan dampak dari permasalahan tersebut bagi pasangan remaja ini diantaranya adalah saling tidak tegur sapa dengan pasangan, perasaan jengkel, komunikasi yang memburuk, rasa percaya kepada pasangan yang berkurang. Agar permasalahan tidak semakin meruncing dan memperparah hubungan mereka, para pasangan biasanya mensiasatinya dengan bercandaan guna meredam kemarahan dan memperbaiki hubungan, saling mendukung tugas dan peran masing-masing, mengajak pasangan untuk bersama-sama menyelesaikan permasalahan, serta meminta saran untuk permasalahan yang dirasa sulit untuk mereka selesaikan kepada orang tua atau kepada orang yang mereka percayai.

Namun hal tersebut berbeda dengan subjek yang penulis temui pada 20 Februari 2016. Dari partisipan tersebut, penulis memperoleh gambaran mengenai apa saja yang dirasakan partisipan sebagai remaja yang harus menikah karena faktor kehamilan terlebih dahulu. Partisipan mengaku hampir setiap hari mereka bertengkar untuk

permasalahan yang terbilang sepele seperti, pembagian dalam mengatur tugas rumah tangga, mengasuh anak, masalah keuangan yang kurang karena suami yang belum mempunyai pekerjaan yang tetap, pasangan yang mudah cemburu dengan kedekatan

(14)

saat ini, orangtua subjek serta mertua subjek masih turut andil dalam pembiayaan kebutuhan sehari-hari serta biaya sekolah anak subjek.

Permasalahan-permasalahan yang dialami pasangan remaja yang menikah tanpa adanya persiapan ini tentu akan membuat pasangan remaja lebih mudah tertekan dengan beragam resiko yang mengancam perkembangan psikologis mereka (Dlori, 2005). Dalam menghadapi berbagai masalah diperlukan kemampuan individu agar dapat beradaptasi terhadap setiap kondisi guna dapat meningkatkan potensi diri setelah menghadapi situasi penuh tekanan (Rew & Horner, 2003). Kemampuan itulah yang dimaksud dengan resiliensi. Janas (dalam Dewi, dkk, 2004) mendefinisikan resiliensi sebagai suatu kemampuan untuk mengatasi rasa frustasi dan permasalahan yang dialami oleh individu. Individu yang resilien akan lebih tahan terhadap stress sehingga lebih sedikit mengalami gangguan emosi dan perilaku (Hauser, 1999). Dalam keadaan tertekan diharapkan remaja memiliki resiliensi yang baik, namun pada kenyataannya masih terdapat pasangan remaja yang tidak resilien, mereka cenderung kurang mampu dalam menghadapi masalah sehingga berdampak pada kehidupan sehari-harinya (Aisha, 2014). Resiliensi penting agar seseorang dapat menghadapi stress dalam menjalani

kehidupan serta penting untuk memperkaya pegalaman hidup seseorang. Individu yang resilien merupakan orang-orang yang terus berjuang beriringan dengan kekecewaan, penderitaan dan tantangan. Dalam menghadapi penderitaan dan tantangan tersebut

terdapat kemungkinan ditemuinya kegagalan dan kekecewaan yang mungkin menghadang dan dengan adanya kemampuan resiliensi tersebut memungkinkan individu untuk terus menerus bangkit dari kekecewaan dan kegagalan yang mungkin dihadapinya.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa individu yang resilien lebih mampu untuk menunjukkan sifat-sifat positif dalam menghadapi lingkungan yang beresiko. Penelitian yang dilakukan oleh Aimi (2008) mengenai resiliensi remaja “High Risk” ditinjau dari faktor protektif (keterampilan sosial, ketrampilan menyelesaikan masalah, autonomy, kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam aktifitas kelompok, hubungan

(15)

Hal yang sama juga terjadi pada penelitian yang dilakukan oleh Sasongko dan Febriana (2011) yang meneliti mengenai resiliensi pada wanita usia dewasa awal pasca perceraian ditemukan bahwa mereka yang mempunyai resiliensi yang baik mampu menyelesaikan dan menghadapi permasalahan, dapat mengambil hikmah dari keputusan perceraian yang dialami serta lebih mensyukuri apa yang dimiliki saat ini dan selalu positif dalam menjalani kehidupan. Menurut Resnick, Gwyther & Roberto (dalam Iqbal, 2012) salah satu faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah dukungan sosial. Baron & Byrne (2005) menyatakan bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan secara fisik dan psikologis yang diberikan oleh teman/anggota keluarga. Dukungan sosial ini dapat dilihat dari banyaknya kontak sosial yang terjadi atau yang dilakukan individu dalam menjalin hubungan dengan individu lain yang berada dalam lingkup lingkungannya (Adicondro & Purnamasari, 2011). Menurut Johnson & Johnson (dalam Adicondro & Purnamasari, 2011) dukungan sosial dapat berasal dari orang-orang penting yang dekat (significant others) bagi individu yang memerlukan bantuan misalnya dirumah seperti

orangtua dan anggota keluarga yang lain. Orangtua sebagai figur yang lekat kehidupan individu, sehingga dukungan orangtua merupakan salah satu sumber dukungan yang

dapat memberikan fungsi signifikan dalam hidup remaja (Arjani, 2015).

Terdapat beberapa fungsi dukungan sosial yang berkaitan dengan ketahanan atau

resiliensi individu dalam menghadapi kesulitan dan permasalahan hidup termasuk yang dialami oleh remaja yang mengalami kehamilan diluar nikah. Dengan adanya dukungan sosial, akan membantu individu untuk menurunkan distress psikologis yang diakibatkan oleh peristiwa sulit yang dialami, serta membantunya untuk bangkit kembali dari kejadian yang menghambat rencana hidupnya (Nasution dalam Arjani, 2015). Dukungan sosial juga berfungsi untuk mendukung kesejahteraan individu untuk beradaptasi terhadap kesulitan atau dengan cara menahan (buffer) hubungan antara stressor dan dampak merugikan (Johnson & Johnson dalam Arjani, 2015). Fungsi

dukungan sosial sebagai pencegah distress serta buffer terhadap stressor lebih mengarah kepada bentuk dukungan emosional (dalam Arjani, 2015).

(16)

dukungan emosional menjadi faktor paling penting bagi remaja. Dukungan emosional ini meliputi ekspresi empati misalnya, kemampuan mendengarkan, bersikap terbuka, menunjukkan sikap percaya terhadap apa yang dikeluhkan, mau memahami, ekspresi kasih sayang serta perhatian. Dengan adanya dukungan emosional akan membuat si penerima merasa berharga, nyaman, aman, terjamin, dan disayangi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa remaja yang memperoleh dukungan emosional yang baik tentunya akan mempunyai kemampuan resiliensi yang lebih baik. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yenni (2011) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan emosional keluarga dengan kejadian stroke pada lansia hipertensi yang mendapatkan dukungan emosional yang baik.

Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Arjani (2015) yang meneliti mengenai dukungan emosional orangtua dengan resiliensi mahasiswa dalam pengerjaan skripsi. Berdasarkan penelitian tersebut dapat diketahui bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan antara dukungan emosional orangtua dengan resiliensi mahasiswa dalam pengerjaan skripsi. Mahasiswa yang memperoleh dukungan emosional orangtua akan mempunyai kemampuan resiliensi yang lebih baik dibandingkan dengan yang tidak memperolehdukungan emosional orangtua. Orangtua sebagai figur terdekat dengan kehidupan individu diartikan bahwa peran dukungan orangtua sangat signifikan

terhadap kemampuan resiliensi seseorang (Arjani, 2015). Dengan adanya dukungan emosional yang diberikan oleh orangtua sebagai lingkungan terdekat akan membuat individu merasa nyaman, tidak menanggung beban sendirian karena ada orangtua yang selalu mendukung dan menyertainya. Faktor dukungan emosional orangtua ini merupakan faktor yang paling efektif sebagai pendukung resiliensi dalam menghadapi tekanan-tekanan dan permasalahan yang sedang dialami (Arjani, 2015).

(17)

TINJAUAN PUSTAKA Resiliensi

Menurut Grotberg (1995) resiliensi merupakan kemampuan atau aktivitas insan yang dimiliki seseorang, kelompok atau masyarakat yang memungkinkannya untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi yang tidak menyenangkan atau bahkan mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. Selain itu resiliensi dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk dapat bertahan dalam menghadapi cobaan serta untuk mempertahankan kehidupan yang baik dan seimbang setelah ditimpa kemalangan atau setelah mengalami tekanan yang berat (Tugade & Frederikson, 2004).

Karakteristik Resiliensi

Karakteristik resiliensi menurut Wagnild & Young (1993) yaitu: 1. Ketenangan hati (equanimity)

Ketengangan hati diartikan dalam bentuk berpegang teguh pada pendirian dalam hidup. 2. Ketekunan/kekerasan hati (perseverance)

Ketekunan/kekerasan hati diartikan dengan keberlanjutan untuk berusaha keras mengatasi kesulitannya.

3. Kepercayaan diri (self reliance)

Kepercayaan diri meliputi keyakinan seseorang terhadap kemampuannya. 4. Kesendirian (existensial aloneness)

Perasaan sendiri adalah pengungkapan keunikan masing-masing individu dan keyakinan atas keberlanjutan kehidupannya

5. Spiritualitas (spirituality/meningfulness)

Spiritualitas memiliki peran yang penting dalam resiliensi yaitu melalui kemampuan individu untuk membangun kesimpulan atas kejadian yang terjadi pada dirinya juga mencakup kebutuhan individu akan perubahan, fleksibilitas, dan tumbuh.

Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi

Menurut Resnick, Gwyther & Roberto (dalam Iqbal, 2012) terdapat 4 faktor yang mempengaruhi resiliensi pada individu yaitu :

(18)

Memiliki self esteem yang baik pada membantu individu dalam menghadapi permasalahan. Berdasarkan data dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Collins & Smyer (2005) yang bertujuan menggali self esteem sepanjang rentang kehidupan manusia (yang dilakukan selama periode 3 tahun) pada individu yang mengalami stres pada usia lanjut (memiliki beban finansial). Para partisipan menyelesaikan alat ukur self esteem nilai dan perasaan kehilangan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terjadi sedikit penuruan self esteem pada individu meskipun mereka menghadapi kehilangan. Kemudian, ketika mereka mengalami kehilangan yang sangat berarti, seperti merasa terpukul” tidak mengurangi self esteem yang dimiliki meskipun individu tersebut teridentifikasi sebagai individu yang sehat begitu juga pada individu yang memiliki penyakit tidak menghasilkan perubahan yang berarti pada self esteem.

2. Dukungan Sosial (Social Support)

Dukungan sosial sering dihubungkan dengan resiliensi (Hildon et al, 2009; Maddi et al, 2006). Penelitian lain menunjukkan bahwa resiliensi dan dukungan emosional (bukan dukungan instrumental) menghasilkan kualitas hidup yang lebih

tinggi pada individu usia lanjut (Natuveli & Blane, 2008). Penelitian pada orang dewasa di New York, Poindexter dan Shippy (2008) yang dilakukan pada partisipan yang mengalami positiv HIV menunjukkan bahwa jaringan dukungan sosial yang unik

berkontribusi pada resiliensi. Para peneliti juga melakukan penelitian pada lima kelompok yang memiliki jaringan dukungan sosial informal yang terdiri atas individu-individu yang kebanyakan mengidap positif HIV.Meskipun upaya untuk memperoleh dukungan sosial menurun karena ketakutan dan stigma yang dialami namun mereka mampu merelokasi sumber daya dan mengisi dukungan melalui sumber daya HIV positif pada komunitas mereka. Para partisipan menunjukkan bahwa kehilangan anggota untuk memperkuat ikatan dukungan.

(19)

3. Spiritualitas (Spirituality)

Faktor lain yang mempengaruhi resiliensi dalam menghadapi tekanan dan penderitaan adalah ketabahan (hardiness) dan keberagamaan (religiousness) serta spiritualitas (spirituality) (Maddi et al, 2006). Spiritualitas membutuhkan suatu pencarian di alam

semesta, suatu pandangan bahwa dunia lebih luas daripada diri sendiri. Selain itu spiritualitas juga berarti ketaatan pada suatu ajaran (agama) yang spesifik. Penelitian tentang ketabahan, keberagamaan dan spiritualitas menunjukkan kualitas yang membantu individu dalam mengatasi kondisi stres dalam hidup dan menyediakan perlindungan pada individu dalam menghadapi depresi dan stres (Maddi et al. 2006).

Aspek positif dari spiritualitas juga turut membantu individu dalam memulihkan perasaan kontrol diri saat sakit dan membantu perkembangan adaptasi saat sakit kronis dan tidak seimbang (Crowther et al, 2002). Pada suatu hasil penelitian, spiritualitas memiliki hubungan erat dengan resiliensi pada orang yang selamat dari penyakit kanker meskipun individu tersebut memiliki resiko lebih dalam mengembangkan depresi dan kecemasan, tetapi tingkat spiritualitas dan personal mereka tumbuh lebih baik setelah pemulihan (Costanzo et al. 2009).

4. Emosi Positif (Positive Emotion)

Bereaksi dengan emosi positif saat mengalami krisis dapat menjadi cara dalam menurunkan dan mengatasi respon stres secara lebih efektif (Davis et al. 2007).

Kemudian, emosi positif juga dapat menjadi pelindung menghadapi ancaman terhadap ego. Parangkat teori ini dibangun dan dikembangkan oleh Frederickson (1998) menyatakan bahwa sebagai manusia yang berkembang, emosi positif telah membantu dalam beradaptasi pada situasi-situasi stres. Secara speisifik, respon negatif terhadap stres (respon melawan atau menghindar) adalah sifat yang terbatas, karena memilih respon positif selama mengalami stres memungkin beragam respon yang lebih luas.

(20)

adanya hubungan antara emosi positif dan penilaian positif. Melalui beberapa penelitian tersebut, menunjukkan bahwa individu yang memiliki resiliensi lebih baik, lebih memungkinkan untuk mengalami emosi positif dan memanfaatkannya untuk mengatasi stres.

Dukungan Emosional

Sarafino (2007) menyebutkan dukungan emosional adalah dukungan yang melibatkan ekspresi rasa empati dan perhatian terhadap individu sehingga individu merasa nyaman, dicintai dan diperhatikan. Dukungan ini meliputi perilaku seperti memberikan perhatian dan afeksi serta bersedia mendengarkan keluh kesah orang lain. Dukungan emosional menyediakan keamanan, kepastian, dimiliki dan dicintai pada saat orang tersebut mengalami permasalahan.

Dari berbagai macam bentuk-bentuk dukungan sosial, dukungan emosional menjadi dukungan yang penting karena dukungan emosional memberikan kenyamanan dan perasaan dicintai bagi orang yang mendapatkannya. Aspek-aspek dukungan emosional menurut Sarafino (2007) adalah sebagai berikut :

1. Emphaty : Merasakan seperti apa yang dirasakan oleh orang lain sehingga

seolah-olah juga mengalami hal yang sama seperti yang dialaminya. Rasa empati ini hanya ikut merasakan tanpa adanya tindak lanjut yang dapat meringankan beban. 2. Caring : Sikap dan tindakan menghargai apa yang dibutuhkan orang lain, sikap

ini merupakan tindakan langsung yang diberikan pada orang yang sedang mengalami permasalahan.

3. Concern : Sikap positif untuk memfokuskan diri pada orang lain. Sikap ini ditunjukkan hanya sebatas perhatian yang diberikan pada orang lain. Sikap ini ditunjukkan hanya sebatas perhatian yang diberikan kepada yang mengalaminya.

(21)

Remaja Yang Menikah Akibat Hamil Diluar Nikah

Masa remaja yang dimulai saat anak berusia 12-21 tahun (Monks dkk, 2001), dimana pada usia 13 tahun merupakan batas usia pubertas yang secara biologis sudah mengalami kematangan seksual (Mohammad dalam Lubis, 2012). Sementara itu, pada remaja kematangan rahim mulai mengalami kematangan sejak umur 14 tahun yang ditandai dengan dimulainya menstruasi dan terus mengalami perubahan ukuran sejalan dengan pertambahan umur dan perkembangan hormonal (Kusmiran, 2011). Pada masa ini, remaja perempuan secara biologis masa reproduksinya sudah dapat berfungsi sebagaimana mestinya atau mengalami kehamilan apabila terjadi pembuahan (Lubis, 2012). Meski begitu, pada rentang usia 14-19 tahun, sistem hormonal belum bisa dikatakan stabil. Hal ini terlihat pada periode menstruasi yang belum teratur. Pada periode ketidakteraturan ini apabila terjadi kehamilan, dapat menyebabkan kehamilan yang tidak stabil, mudah terjadi pendarahan, dan terjadilah abortus atau kematian janin. Kehamilan pada remaja mempunyai risiko medis yang cukup tinggi karena pada masa remaja ini, alat reproduksi belum cukup matang untuk melakukan fungsinya. Rahim (uterus) baru siap melakukan fungsinya setelah umur 20 tahun karena pada usia ini fungsi hormonal telah melewati masa kerjanya yang maksimal (Kusmiran, 2011).

Kehamilan yang terjadi pada usia remaja ini selain mempunyai resiko medis

yang cukup tinggi juga beresiko pada kondisi psikologis remaja itu sendiri apabila kehamilan yang terjadi merupakan kehamilan yang terjadi diluar nikah. Pada kehamilan seperti ini, terdapat rasa malu dan perasaan bersalah yang berlebihan dapat dialami remaja. Apalagi jika kehamilan tersebut telah diketahui oleh pihak lain selain orangtua. Hal yang memperberat masalah adalah terkadang orang tua atau orang yang mengetahui tidak mampu menghadapi persoalan tersebut secara proporsional, bahkan cenderung mengakibatkan suatu tindak kekerasan yang traumatik pada anak. Hal ini tentu berpotensi menambah tekanan psikologis yang berat yang mengarah pada depresi atau rasa tertekan yang mendalam (Kusmiran, 2011).

(22)

pada orang tua tetapi mau tidak mau harus siap menjadi istri, ibu, suami, maupun ayah. Mereka seharusnya masih memiliki waktu untuk bersenang-senang tetapi diminta untuk menjadi dewasa lebih cepat (Domenico & Jones dalam Sonata, 2014).

Ratnadita dalam Sonata (2014), mengungkapkan bahwa remaja yang hamil diluar nikah cenderung merasa terisolasi. Hal ini dikarenakan kondisi lingkungan yang turut membicarakan kehamilan yang mereka alami. Padahal pada fase ini merupakan fase remaja untuk menemukan jati diri, remaja memerlukan fidelity yang merupakan kekuatan utama seorang remaja. Sedangkan disisi lain relasi significant pada masa ini yaitu teman-teman sepergaulannya. Karena hal tersebut teman-temannya ini menjauhinya, hal ini menyebabkan remaja semakin terpuruk dan sulit untuk melewati masa krisisnya sehingga menyebabkan remaja semakin tidak percaya pada orang lain (Feist & Feist dalam Sonata, 2014).

Apabila remaja memperoleh dukungan, terutama dari keluarga mereka dapat mengalami emosi positif dan mampu beradaptasi dengan situasi yang dialaminya (Perez, Lopez dkk dalam Sonata 2014). Jika remaja mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya, hal ini akan membuat individu yang menikah

pada tahap ini merasa lebih tertekan dibandingkan individu yang menikah ditahap dewasa (Perez, Lopez dkk dalam Sonata 2014). Akibatnya mereka tidak merasa memperoleh cukup kasih sayang yang dapat membuat mereka merasa bahagia.

Kesulitan penyesuaian diri menyebabkan mereka merasakan ketidakbahagiaan (Soesilowati, dalam Sonata 2014).

Hubungan Antara Dukungan Emosional Dengan Resiliensi Pada Remaja Yang Menikah Akibat Kehamilan Diluar Nikah

(23)

Dukungan emosional orangtua sangat penting perannya bagi remaja yang menikah akibat kehamilan diluar nikah yang dialami remaja memiliki dampak psikologis khususnya bagi remaja putri. Seperti adanya rasa malu, perasaan bersalah yang berlebihan, ketidaksiapan untuk bertanggungjawab dan peralihan peran sebagai orangtua tentunya dapat menimbulkan perasaan stress dan rasa tertekan serta perasaan terisolasi karena faktor lingkungan yang turut membicarakan kehamilan mereka sehingga dapat menimbulkan permasalahan yang mengancam perkembangan psikologis (Sonata, 2014).

Remaja yang mengalami kehamilan diluar nikah pasti merasakan perasaan ketidaknyamanan atas yang dialami dan saat ini masih dianggap sebagai aib bagi sebagian orang karena termasuk melanggar norma dan agama yang diyakini. Dengan adanya dukungan emosional orangtua maka remaja akan merasa dihargai dan tetap diterima keberadaannya dalam keluarga tersebut serta secara psikologis lebih sehat sehingga sangat bagus bagi kesehatan ibu dan bayinya. Melalui bentuk dukungan emosional yang diberikan, akan membuat individu memiliki keyakinan bahwa mereka dicintai, diperhatikan, dihargai dan bernilai serta menjadi bagian dalam suatu ikatan sosial yang akan menjadi sumber pertahanan dalam menghadapi situasi yang sulit (Cobb, dalam Arjani 2015).

(24)

Hipotesis

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, hipotesis yang diajukan adalah “ada hubungan signifikan antara dukungan emosional orangtua dengan resiliensi pada remaja yang menikah akibat kehamilan diluar nikah.” Artinya, semakin tinggi dukungan emosional orangtua maka akan semakin tinggi resiliensi remaja yang menikah akibat kehamilan diluar nikah.

Metode Penelitian

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Terdapat dua variabel dalam penelitian ini yaitu dukungan emosional orangtua sebagai variabel bebas dan resiliensi sebagai variabel terikat.

B. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah remaja putri yang tinggal di kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang yang menikah akibat kehamilan diluar nikah. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Snowball Sampling. Sampel yang dipilih yaitu remaja perempuan yang berusia 12-21 tahun, usia perkawinan antara 0-5 tahun, subjek merupakan pasangan yang menikah akibat kehamilan dilkuar nikah

serta berdomisili di Kecamatan Tuntang-Kabupaten Semarang serta masih tinggal bersama dengan orangtuanya.

(25)

menikah ( Sadarjoen, dalam Dewanti, 2012) dan juga berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lathifah (2013) yang mendapati hasil bahwa banyak terjadi perceraian pada usia pernikahan antara 0 - 5 tahun dengan prosentase tinggi yaitu 36,8%. Sehingga, apabila remaja tidak berhasil dalam melakukan penyesuaian dan adaptasi dengan pasangannya maka dikhawatirkan akan berpengaruh dengan hubungan dan keharmonisan pernikahannya serta dapat berujung pada perceraian.

C. Alat Ukur dan Prosedur Pengambilan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur yaitu skala. Skala Resiliensi disusun berdasarkan aspek-aspek resiliensi oleh Wagnild & Young (1993) yaitu, ketenangan hati, (equanimity), ketekunan / kekerasan hati (perseverence), kepercayaan diri (self relience), kesendirian (existential aloneness), spiritualitas (spirituality/meaningfulness). Skala psikologi ini terdiri dari 25 item yang semuanya

merupakan item favorable. Skala dukungan emosional yang digunakan disusun berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Sarafino (2007) dengan aspek-aspek : Emphaty, caring, concern, positive regard, encoragement toward the person. Skala

psikologi ini terdiri dari 25 item, yang terdiri dari 20 item favorable dan 5 item unfavorable.

Metode yang digunakan yaitu skala Likert, dengan menggunakan empat respon : sangat setuju, setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Jika pernyataan bersifat

favorable maka masing-masing diberi skor berturut-turut 4,3,2, dan1. Sebaliknya jika isi pernyataan unfavorable, maka masing-masing respon diberi skor 1,2,3 dan 4. Penelitian ini menggunakan try out terpakai, sehingga pengambilan data hanya dilakukan satu kali. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan hasil try out yang telah dilakukan sebagai bahan dalam menganalisis data.

(26)

Alat Ukur Dukungan Emosional Orangtua. Berdasarkan uji validitas item yang telah dilakukan sebanyak dua kali terhadap 25 item angket dukungan emosional orangtua, 23 item bertahan sedangkan 2 item dinyatakan gugur. Kemudian, pengujian terhadap reliabilitas alat ukur ini dengan menggunakan cronbach’s alpha. Dari uji reliabilitas didapatkan hasil koefisien reliabilitas sebesar 0,869.Maka alat ukur dukungan emosional orangtua termasuk dalam kategori reliabel.

HASIL PENELITIAN Hasil Analisis Deskriptif a. Resiliensi

Variabel resiliensi memiliki 12 item yang tidak gugur dengan jenjang skor antara 1 sampai dengan 4. Pembagian skor tertinggi dan terendah adalah sebagai berikut,

Skor tertinggi : 4 X 12 = 48 Skor terendah : 1 X 12 = 12

Pembagian interval dilakukan menjadi 5 kategori, yaitu sangat tinggi, tinggi, rendah, dan sangat rendah. Pembagian interval dilakukan dengan mengurangi jumlah skor tertinggi dengan jumlah skor terendah dan membaginya dengan jumlah kategori. Untuk

menghitung interval menurut Hadi (2000) digunakan rumus sebagai berikut :

Berdasarkan hasil pembagian interval tersebut, maka didapati data resiliensi remaja sebagai berikut :

Tabel 1.

Kategorisasi Hasil Pengukuran Skala Resiliensi

No. Interval Kategori Mean Frekuensi Presentase

1 40,8 x 48 Sangat Tinggi 7 23,33%

(27)

3 33,6 Sedang 3 10%

4 19,2 Rendah 0 0

5 19,2 Sangat Rendah 0 0

Jumlah 30 100%

SD : 4, 003 MIN : 28 MAX : 45

Berdasarkan hasil kategori diatas, diketahui terdapat 7 remaja (23,44%) memiliki resiliensi dalam kriteria sangat tinggi, 20 remaja (66,67) memiliki resiliensi tinggi, dan sebanyak 3 remaja (10%) memiliki resiliensi yang berada pada kategori sedang. Rata-rata dari skor resiliensi sebesar 37,10 %. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa rata-rata subjek memiliki resiliensi yang masuk dalam kategori tinggi.

b. Dukungan Emosional Orangtua.

Variabel dukungan emosional orangtua memiliki 23 item yang tidak gugur dengan jenjang skor antara 1 sampai dengan 4. Pembagian skor tertinggi dan terendah adalah sebagai berikut :

Skor tertinggi : 4 X 23 = 92 Skor terendah : 1 X 23 = 23

Pembagian interval dilakukan menjadi 5 kategori, yaitu sangat tinggi, tinggi, rendah, dan sangat rendah. Pembagian interval dilakukan dengan mengurangi jumlah skor tertinggi dengan jumlah skor terendah dan membaginya dengan jumlah kategori. Untuk menghitung interval menurut Hadi (2000) digunakan rumus sebagai berikut :

(28)

Tabel 2.

Kategorisasi Hasil Dukungan Emosional Orangtua

No. Interval Kategori Mean Frekuensi Presentase

1 78,2 x 92 Sangat Tinggi 5 16,67%

Berdasarkan hasil kategori diatas, diketahui terdapat 5 remaja (16,67%) memperoleh dukungan emosional orangtua dalam kategori sangat tinggi, 20 remaja (66,67%) memperoleh dukungan emosional orangtua dalam kategori tinggi serta sebanyak 5

remaja (16,67 %) memperoleh dukungan emosional orangtua sebesar 71,23. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa rata-rata subjek memiliki

dukungan emoisonal orangtua yang masuk dalam kategori tinggi.

Uji Asumsi

1. Uji Normalitas

Uji normalitas menggunakan uji Kolmogrov-Smirnov. Dari hasil uji tersebutdidapatkan hasil yaitu varibel resiliensi dengan K-S-Z yang memiliki signifikansi 0,628 (p>0,05) dan variabel dukungan emosional orangtua dengan K-S-Z yang memiliki signifikansi 0,542 (p > 0,05). Ini berarti bahwa kedua variabel berdistribusi normal.

2. Uji Linearitas

(29)

Uji Korelasi

Berdasarkan uji korelasi yang dilakukan menggunakan Spearman Correlation, maka didapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 3.

Uji Korelasi antara Dukungan Emosional Orangtua dengan Resiliensi

Correlations

Tabel diatas menunjukkan bahwa taraf signifikansi hubungan antara dukungan emosional orangtua dengan resiliensi dengan n = 30 sebesar 0,219 (p >0,05) dan nilai Spearman Correlation 0,231.Nilai signifikansi 0,219 (p>0,05), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada hubungan antara dukungan emosional orangtua dengan resiliensi pada remaja yang menikah akibat kehamilan diluar nikah, dalam hal ini hipotesis ditolak.

PEMBAHASAN

(30)

Ozbay dkk, (2007), Lestari, (2007) yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara dukungan emosional dengan resiliensi. Hal ini dapat disebabkan bahwa sebenarnya tidak hanya dukungan emosional orangtua saja yang menjadi faktor dalam terbentuknya resiliensi tetapi ada beberapa kemungkinan mengapa tidak ada hubungan atau korelasi yang signifikan antara dukungan emosional orangtua dengan resiliensi. Diantara beberapa kemungkinan tersebut yaitu, karena subjek tidak hanya memperoleh dukungan emosional hanya dari orangtua saja, tetapi juga dari suami, saudara kandung, serta kakek dan nenek subjek yang juga masih tinggal serumah dengan keluarga subjek. Selain itu, penulis juga mencoba mencari tahu penyebab terjadinya hipotesis penelitian yang tidak terbukti, yaitu dengan mewawancarai beberapa subjek yang menikah akibat kehamilan diluar nikah di Kecamatan Tuntang. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada beberapa subjek melalui wawancara tersebut didapatkan beberapa kesimpulan yaitu :

Pertama, subjek cenderung menganggap bahwa permasalahan-permasalahan

yang ada memang harus dihadapi dan diselesaikan.Mereka juga menyadari bahwa pernikahan tidak selamanya berjalan dengan lancar tanpa adanya permasalahan. Subjek juga menyampaikan bahwa mereka cenderung lebih nyaman menyelesaikan permasalahan dengan pasangan atau menyelesaikannya sendiri tanpa melibatkan

orangtua. Meskipun mereka menyadari bahwa orangtua sangat terbuka dan tidak segan untuk membantu apabila subjek sedang menemui permasalahan. Selain itu, meski subjek masih tinggal bersama dengan orangtua tetapi subjek berusaha untuk menghasilkan uang sendiri dengan cara berjualan online ataupun bekerja menjadi karyawan pabrik. Hal ini sesuai dengan pendapat Bernard (dalam Haningrum dkk,l 2014) yang menyebutkan bahwa autonomy (kemandirian) merupakan salah satu ciri dari individu yang resilien.

Kedua, subjek mempunyai kemampuan menilai kemampuan diri sendiri atau

(31)

aktif dalam pengajian rutin yang dilakukan dilingkungan sekitarnya serta dalam kesehariannya subjek mengaku berusaha menjaga dan melakukan ibadah secara kontinu.Selain itu, subjek juga mengaku dalam kesehariannya berusaha untuk rutin membaca Al-Quran dan buku-buku keagamaan lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Gwyther & Roberto (dalam Iqbal 2010) yang menyatakan bahwa spiritualitas merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi resiliensi seseorang. Dimana spiritualitas yang tinggi akan mempengaruhi cara berfikir, bagaimana mengelola emosi serta bagaimana berperilaku yang baik. Individu yang mempunyai spiritualitas yang tinggi akan cenderung memandang permasalahan yang dihadapinya dengan sudut pandang positif, lebih bijak dalam mengelola emosi dan bagaimana mereka nantinya berperilaku dan bertindak. Serta mereka akan berusaha menjalani kehidupannya dengan sebaik mungkin karena mereka percaya, bahwa setiap kejadian baik ataupun buruk merupakan kehendak Tuhan yang harus diterima dan dijalani dengan sebaik mungkin. Hal ini sesuai dengan pendapat Aman (dalam Pustakasari, 2014) yang menyatakan bahwa spiritualitas yang matang akan mengantarkan seseorang untuk bisa menempatkan diri pada situasi atas peristiwa dan melakukan apa yang seharusnya

dilakukan dan yang tidak seharusnya dilakukan. Keempat, adanya emosi positif. Individu yang memiliki spiritualitas yang tinggi akan mengubah permasalahan-permasalahan yang menekannya menjadi emosi positif sehingga mereka tidak akan

lekas menyerah pada keadaan yang menekannya. Individu yang mempunyai emosi positif, akan berusaha berfikir secara positif meski sedang ditimpa permasalahan yang rumit sekalipun. Pada diri subjek, hal ini terlihat pada cara berfikir subjek yang memandang segala permasalahan yang dihadapinya sudah disesuaikan dengan kemampuannya serta pasti mampu untuk mereka selesaikan dan mereka lalui. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Khoiriyah (2013) yang menyatakan bahwa adanya emosi positif akan mempengaruhi aspek-aspek kehidupan secara keseluruhan baik secara kognitif, fisik maupun sosial.

(32)

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data maka dapat diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara dukungan emosional orangtua dengan resiliensi pada remaja yang menikah akibat kehamilan diluar nikah di Kec. Tuntang. Temuan lain dari penelitian ini adalah sebagian besar subjek yaitu 66,67% memiliki dukungan emosional orangtua dan resiliensi yang tinggi sehingga dapat dikatakan besar tidaknya dukungan emosional orangtua tidak berpengaruh signifikan pada resiliensi remaja yang menikah akibat kehamilan diluar nikah.

SARAN Bagi Remaja

Dengan adanya hasil tingkat resiliensi yang tinggi, diharapkan remaja untuk mempertahankan atau meningkatkan resiliensinya dengan cara lebih terbuka terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapinya, tidak menutup diri ketika sedang mengalami masalah atau saat membutuhkan orang lain untuk mendengarkan permasalahannya serta tidak menilai negatif tentang dirinya sendiri seperti merasa tidak

mempunyai kelebihan, banyak menyesali kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya sebelumnya. Selain itu remaja diharapkan agar semakin mengembangkan, self esteem, emosi positif serta meningkatkan spiritualitas dengan cara semakin mendekatkan diri

kepada Tuhan.

Bagi Orangtua

Dengan membantu mempertahankan dan meningkatkan resiliensi remaja dengan cara lebih memperhatikan kesejahteraan remaja dan sikap peduli pada keadaan serta kemungkinan permasalahan yang sedang dihadapi oleh remaja.

Penelitian Selanjutnya

(33)
(34)

DAFTAR PUSTAKA

Aimi. (2008). Resiliensi Remaja “High Risk” Ditinjau dari Faktor Protektif: Studi di Kelurahan Tanah Tinggi Kecamatan Johar Baru Jakarta Pusat. Tesis (tidak

diterbitkan). Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Arjani, A.S.(2015). Hubungan Antara Dukungan Emosional Orangtua Dan Resiliensi Mahasiswa dalam Pengerjaan Skripsi. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gajah

Mada

Bandura. (1997). Self-Efficacy (The Exercise Of Control).New York: W. H. Freeman and Company.

Dewi,F.I.R, Djoenaina,V& Melisa. (2004). Hubungan antara Resiliensi dengan Depresi pada Perempuan Pasca Pengangkatan Panyudara (Mastektomi). Jurnal

Psikologi, vol.2,No.2,101-120S

Dewi,Siana (2015). Gambaran Resiliensi Pada Remaja Yang Memiliki Anak Di Luar Nikah. Undergraduate Thesis: Surabaya. Universitas Katholik Widya Mandala

Desmita. (2010). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Dewanti. (2012). Perbedaan Penyesuaian Pernikahan Pada Suami Dan Istri Yang Dijodohkan Dengan Yang Tidak Dijodohkan. Thesis: Jakarta. Universitas Bina

Nusantara

Feist, J. & Feist, G.J (2006). Theories of Personality (6th ed). New York: McGraw-Hill.

Grothberg, E. (1995). A Guide to Promoting Resilience in Children: Strengthening the Human Spirit. The Series Early Childhood Development: Practice and

Reflections. Number 8. The Hague : Benard van Leer Voundation.

Gufron, M.N & Risnawati. (2010). Teori-teori Psikologi. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

(35)

Hapsari & Herdiana. (2012). Hubungan antara self esteem dengan intensi perilaku Prososial donor darah pada donor di unit Donor Darah PMI Surabaya. Skripsi.

Surabaya: Universitas Airlangga

Hermawan, DY. (2012). Profil KTD Pilar PKBI Tahun 2012. PKBI Jawa Tengah

Iqbal. (2011). Hubungan antara Self Estem Dan Religiusitas Terhadap Resiliensi Pada Remaja Di Yayasan HIMMATA. Skripsi: Jakarta. UIN Syarif Hidayatullah.

Kusmiran,Eni. (2011). Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Jakarta: Salemba

Khoiriyah. (2013). Emosi Positif Pada Guru Sekolah Luar Biasa (SLB) C. Skripsi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga

Latifah. (2013). Faktor Penyebab Tingginya Cerai Gugat Berdasarkan Usia

Perkawinan Di Pengadilan Agama Malang. Skripsi. Malang: UIN Maulana Malik

Ibrahim

Lestari. (2007). Hubungan Antara Bentuk-Bentuk Dukungan Sosial Dengan Tingkat Resiliensi Penyintas Gempa Di Desa Canan, Kecamatan Wedi, Kabupaten

Klaten. Skripsi. Semarang: Universitas Diponegoro

Lubis,Namora Lumongga. (2013). Psikologi Kespro “Wanita & Perkembangan Reproduksinya” Ditinjau dari Aspek Fisik dan Psikologisnya. Jakarta: Kencana

Monks, F.J., Knoers, A. M. P., Haditono, S.R. (2001). Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gajah Mada University

Press.

Ozbay, F., Johnson et al .(2007). Social Support and Resilience to Stress.Journal Psychiatry (Edgmont), 4(5): 35–40.

Reich, Zautra & Hall. (2010). Handbook of adult resilience. New York: The Guilford Press

Reivich, K & Shatte, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Essential Skills for

(36)

Resnick, M. D. (2000). Resilience and Protective Factors in The Lives of Adolesccents. Journal of Adolescent Health, 27, 1-2.

Rew, L., & Horner, S. D. (2003). Youth Resilience Framework for Reducing Health Risk Behaviorism Adolescents. Journal of Pediatric Nursing, 18, 379- 388.

Richardson, G. E. (2002). The Meta Theory of Resilience and Resiliency. Journal of Clinical Psychology, 58, 307- 321.

Ruswahyuningsih & Afiatin. (2015). Resiliensi pada Remaja Jawa.Thesis.Yogyakarta:Universitas Gajah Mada

Sales & Perez, P. (2005). Post Traumatic Factors and Resilience: The Role of Shelter Management and Survivours’ Attitudes After Earthquakes in El Salvador. Journal of Community & Applied Psychology, 15, 368- 382.

Santrock, J.W. (2007). Psikologi Perkembangan. Edisi 11/jilid 1. Jakarta: Erlangga

Sasongko & Febriana (2011). Resiliensi Pada Wanita Usia Dewasa Awal Pasca Perceraian Di Sendangmulyo Semarang. Skripsi: Semarang. Universitas

Diponegoro

Singarimbun, M. & Efendi, S. (1989). Metode Penelitian Survei. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Sonata. (2014). Aku Bertahan Karena Dukungan: Peran Keluarga terhadap Subjective Well-Being Pernikahan Dini akibat Kehamilan Diluar Nikah. Calyptra: Jurnal

Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol.3 No.2.

Srijauhari. (2008). Konflik Pasutri yang Menikah karena Hamil Diluar Nikah (Sebuah Penelitian Kualitatif Deskriptif). Skripsi. Fakultas Psikologi UIN Malang: Tidak

(37)

Sundari. (2015). Hubungan Dukungan Emosional Teman Sebaya dengan Motivasi Berprestasi pada atlet Hockey di Kabupaten Kendal. Skripsi. Salatiga:

Universitas Kristen Satya Wacana

Tugade, M.M., Fredrickson. (2004). Resilient individual use positive emotions to bounce back from negative emotional experiences. Journal of Personality and

Social Psychology, 24(2), 320-333.

Setengah Tahun, PA Klaten Terima 73 Permintaan Dispensasi Kawin. Diakses pada 11 Maret 2016. Dari http://www.solopos.com/2015/07/27/pernikahan-dini-setengah-tahun-pa-klaten-terima-73-permintaan-dispensasi-kawin-627450

Pemohon Dispensasi Nikah Tinggi. Diakses pada 11 Maret 2016. Dari http://berita.suaramerdeka.com/pemohon-dispensasi-nikah-tinggi/

Tingginya Kematian Ibu Terkait Nikah Usia Dini. Diakses pada 11 Maret 2016. Dari http://health.kompas.com/read/2015/10/16/150000523/tingginya.kematian.ibu.ter

kait.nikah.usia.dini?utm_source=bola&utm_medium=bp&utm_campaign=related

&

63 Persen Remaja Di Indonesia Melakukan Seks Pra Nikah. Diakses pada 16 Maret

2016. Dari http://kompasiana.com/rumahbelajar-persada/63-persen_-emaja-di-indonesia-melakukan-seks-pranikah__54f91d77a33311fc078b45fd

(38)

Gambar

Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3. Uji Korelasi antara Dukungan Emosional Orangtua dengan Resiliensi

Referensi

Dokumen terkait

Canna edulis Kerr yang dikenal dengan tanaman Ganyong merupakan tanaman yang berpotensi mengandung karbohidrat dalam bentuk gula kompleks seperti serat

8 Pasal 1 angka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 menyebutkan bahwa penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu

Bahan baku utama adalah bahan yang digunakan dalam jumlah yang besar dan fungsinya tidak dapat digantikan oleh bahan baku lain, seperti tepung tapioka atau tepung

kategori cukup dan pada pertemuan II memiliki presentase sebesar 79,68 % dengan kategori baik. Selain itu, berdasarkan catatan observer diperoleh dalam kelas diantaranya adalah

Upaya-upaya yang dilakukan dalam menanggulangi tindak pidana kekerasan seksual pada anak di wilayah kota Tangerang Selatan yang dilakukan oleh Pihak Kepolisian Resor Kota

Surat Berharga yang Diterbitkan oleh Bank Indonesia diisi dengan nilai surat berharga yang dimiliki pada tanggal pelaporan sesuai dengan Laporan Posisi Keuangan..

Penyebab atribut pelayanan yang kritis tersebut antara lain terdapat kelonggaran waktu yang digunakan dalam Blueprint Service , anggaran daerah dan pajak penerimaan daerah

RMH Collection Dede Sumarna Konveksi Kerudung Kp. Berkah Abadi Atik Widia Kue Bronis