• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jamur memiliki kandungan lemak yang lebih rendah dari pada daging. Jamur juga memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan makanan lain yang berasal dari tanaman. Gizi yang terkandung dalam jamur antara lain; karbohidrat, berbagai mineral seperti kalsium, kalium, fosfor dan besi serta vitamin B, B12 dan C.

Tabel 2.1 Perbandingan Kandungan Protein Beberapa Jamur dengan Beberapa Bahan Makanan.

Jenis makanan Kandungan protein (%)

Berat segar Berat kering Daging Ikan Telur Jagung Susu sapi Jamur merang Kubis Pisang Apel

Jamur Tiram Putih kelabu Jamur Tiram Putih putih Jamur Tiram Putih merah Kacang asin Polong-polongan Yeast kering Kismis 19-21 17-19 1,8 3,5 3,2 1,8 1-2 1,1 0,3 - - - - - - - - - - - - - - - - 44,0 31,0 33,0 26,0 24,0 38,0 3,0 Sumber: Quimio, 1981

Tabel 2.2 Kandungan Gizi Beberapa Jenis Jamur Tiram Zat Gizi Kandungan

Protein Lemak Karbohidrat Thiamin Riboflavin Niacin Ca K P Na Fe 10,5 – 30,4% 1,7 – 2,2% 56,6% 0,2 mg 4,7 – 4,9 mg 77,2 mg 314 mg 3.793 mg 717 mg 837 mg 3,4 – 18,2 mg Sumber : Djarijah,2001

2.4 Protein

Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien. Tidak seperti bahan makronutrien lain, protein ini berperan lebih penting dalam pembentukan biomolekul daripada sebagai sumber energi. Namun demikian apabila organisme sedang kekurangan energi, maka protein ini terpaksa dipakai sebagai sumber energi.

Keistimewaan lain dari protein ini adalah strukturnya yang mengandung N, disamping C, H, O, S dan kadang-kadang P. Dengan demikian maka salah satu cara terpenting yang cukup spesifik untuk menentukan jumlah protein secara kuantitatif adalah dengan penentuan kandungan N yang ada dalam bahan tersebut. Apabila unsure N ini dilepaskan dengan cara destruksi (perusakan bahan sampai terurai unsure-unsurnya) dan N yang terlepas ditentukan jumlahnya secara kuantitatif, maka jumlah protein dapat diperhitungkan.

Pada organisme yang sedang tumbuh, protein sangat penting dalam pembentukan sel-sel baru. Oleh sebab itu apabila organisme kekurangan protein dalam bahan makanannya maka organisme tersebut akan mengalami hambatan pertumbuhan ataupun dalam proses biokimiawinya. Pentingnya protein dalam jaringan hewan dapat ditunjukkan oleh kadarnya yang sangat tinggi yaitu antara 80-90% dari seluruh bahan organik yang ada dalam jaringan hewan (Sudarmadji, 1989).

Protein adalah suatu polipeptida yang mempunyai bobot molekul yang sangat bervariasi, dari 5000 hingga lebih dari satu juta. Kata protein berasal dari protos atau proteos yang berarti pertama atau utama. Protein merupakan komponen paling penting sel hewan atau manusia. Oleh karena sel itu merupakan pembentuk tubuh, maka protein yang terdapat dalam makanan berfungsi sebagai zat utama dalam pembentukan dan pertumbuhan tubuh.(Poedjiadi, 2006)

Tumbuhan membentuk protein dari CO2, H2O dan senyawa nitrogen. Di samping digunakan untuk pembentukan sel-sel tubuh, protein juga dapat digunakan sebagai sumber energi apabila tubuh kekurangan karbohidrat dan lemak. Komposisi rata-rata unsur kimia yang terdapat dalam protein adalah : karbon 50%, hydrogen 7%, oksigen 23%, nitrogen 16%, belerang 0-3% dan fosfor 0-3%. Dengan berpedoman pada kadar nitrogen sebesar 16%, dapat dilakukan penentuan kandungan protein dalam suatu bahan makanan. Unsur nitrogen ditentukan secara kuantitatif, misalnya dengan cara Kjeldhal, yaitu dengan cara destruksi dengan asam pekat. Berat protein yang ditentukan ialah 6,24 kali berat unsur nitrogen.

Molekul protein sendiri merupakan rantai panjang yang tersusun oleh mata rantai asam-asam amino. Asam amino adalah senyawa yang memiliki satu atau lebih gugus karboksil (-COOH) dan satu atau lebih gugus amino (-NH2) yang salah satunya terletak pada atom C tepat di sebelah gugus karboksil. Asam-asam amino yang berbeda-beda bersambung melalui ikatan peptida yaitu ikatan antara gugus karboksil satu asam amino dengan gugus amino dari asam amino yang disampingnya (Sudarmadji, 1989).

Rumus umum asam amino: H H O

I I II N – C – C – OH I I

H R (Gaman dan Sherrington,1992).

2.4.1 Analisa protein

Peneraan jumlah protein secara empiris yang umum dilakukan adalah dengan menentukan jumlah Nitrogen yang dikandung oleh suatu bahan. Cara penentuan ini dikembangkan oleh Kjeldahl pada tahun 1883. dalam penentuan protein, seharusnya hanya nitrogen yang berasal dari protein saja. Akan tetapi secara teknis hal ini sulit sekali dilakukan dan mengingat jumlah kandunga senyawa lain selain protein dalam bahan biasanya sangat sedikit, maka penentuan jumlah N total ini tetap dilakukan untuk mewakili jumlah protein yang ada. Kadar protein yang ditentukan berdasarkan cara Kjeldahl ini sering disebut sebagai kadar protein kasar (crude protein).

Dasar perhitungan menurut Kjeldahl adalah hasil penelitian dan pengamatan yang menyatakan bahwa umumnya protein alamiah mengandung unsur N rata-rata 16% (dalam protein murni). Untuk senyawa – senyawa protein tertentu yang telah diketahui kadar unsur N nya maka angka yang lebih tepat dapat dipakai.

Penentuan protein berdasarkan jumlah N menunjukkan protein kasar karena selain protein juga terikut senyawa N bukan protein misalnya urea, ammonia, nitrat, nitrit, asam amino, amida, purin dan pirimidin. Penentuan cara ini yang paling terkenal adalah cara Kjeldhal yang terdiri dari 3 tahap yaitu proses destruksi, destilasi dan titrasi.

Pada tahap destruksi, sampel dipanaskan dengan asam sulfat pekat sehingga terjadi destruksi menjadi unsur-unsurnya. C,H teroksidasi menjadi CO, CO2 dan H2O. sedangkan N akan berubah menjadi (NH4)2SO4. Penggunaan Selenium sebagai

katalisator untuk mempercepat proses destruksi. Destruksi selesai dilakukan apabila larutan menjadi jernih atau tidak berwarna.

Pada tahap destilasi, ammonium sulfat dipecah menjadi ammonia dengan penambahan NaOH sampai alkalis dan dipanaskan. Ammonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap oleh larutan asam standar. Asam yang dapat dipakai adalah HCl atau asam borat dalam jumlah yang berlebih. Agar kontak antara asam dan ammonia lebih baik maka diusahakan ujung tabung destilasi tercelup dalam asam. Destilasi diakhiri bila sudah semua ammonia terdestilasi ditandai destilat tidak bereaksi basa

Apabila penampung destilat digunakan asam klorida maka asam klorida yang tidak bereaksi dengan ammonia dititrasi dengan NaOH standar, akhir titik titrasi ditandai dengan tepat perubahan warna larutan menjadi merah muda dan tidak hilang selama 30 detik bila menggunakan indikator PP. Apabila penampung destilasi digunakan asam borat maka banyaknya asam borat yang bereaksi dengan ammonia dapat diketahui dengan titrasi menggunakan asam klorida 0,1N dengan indicator BCG + MR. akhir titrasi ditandai dengan perubahan warena larutan dari biru menjadi merah muda.

Setelah diperoleh %N selanjutnya dihitung kadar proteinnya dengan mengalikan suatu faktor. Besarnya faktor perkalian N menjadi protein ini tergantung pada persentase N yang menyusun protein dalam suatu bahan (Sudarmadji,1989)

2.5 Karbohidrat

Molekul karbohidrat terdiri atas atom-atom karbon, hydrogen dan oksigen. Jumlah atom hydrogen dan oksigen merupakan perbandingan 2:1 seperti pada molekul air. Dengan demikian, dahulu orang berkesimpulan adanya air dalam karbohidrat. Karena hal ini, maka dipakai kata karbohidrat yang berasal dari kata “karbon” yang berarti mengandung unsur karbon dan “hidrat” yang berarti air. Walau pada kenyataannya senyawa karbohidrat tidak mengandung molekul air, maka kata karbohidrat tetap digunakan disamping nama lain yaitu sakarida.

Berdasarkan gugus yang ada pada molekul karbohidrat, maka karbohidrat dapat didefinisikan sebagai polihidroksialdehid atau polihidroksi keton serta senyawa yang menghasilkannya pada proses hidrolisis.

Berbagai senyawa yang termasuk kelompok karbohidrat mempunyai molekul yang berbeda-beda ukurannya, yaitu dari senyawa yang sederhana yang mempunyai berat molekul 90 hingga senyawa yang mempunyai berat molekul 500.000 lebih. Berbagai senyawa itu dibagi dalam tiga golongan, yaitu golongan monosakarida, golongan oligosakarida dan golongan polisakarida (Poedjiadi, 2006).

Berbagai cara analisa dapat dilakukan terhadap karbohidrat untuk memenuhi berbagai keperluan. Dalam ilmu dan teknologi pangan, analisa karbohidrat yang biasa dilakukan misalnya penentuan jumlahnya secara kuantitatif dalam rangka menentukan komposisi suatu bahan makanan, penentuan sifat fisis dan kimiawinya dalam kaitannya dengan pembentukan kekentalan, kelekatan, stabilitas larutan dan tekstur hasil olahannya. Dalam ilmu gizi mungkin sangat penting untuk mengadakan analisa biologis senyawa-senyawa karbohidrat dalam kaitan peranannya membentuk kalori, pencegahan penyakit (diabetes, kegemukan, dan lain-lain) serat kasar dalam pencernaan (dietary fibers) dan sebagainya (Sudarmadji, 1989).

2.5.1 Analisa Karbohidrat

Banyak cara yang dapat digunakan untuk menentukan banyaknya karbohidrat dalam suatu bahan yaitu antara lain dengan cara kimiawi, cara fisik, cara enzimatik dan cara kromatografi. Penentuan karbohidrat yang termasuk polisakarida maupun oligosakarida memerlukan perlakuan pendahuluan yaitu hidrolisa lebih dahulu sehingga diperoleh monosakarida, maka bahan dihidrolisa dengan asam atau enzim pada suatu keadaan tertentu.

Pada penentuan gula cara Luff SchoorlSchoorl yang ditentukan dengan menentukan kuprioksida dalam larutan sebelum direaksikan dengan gula reduksi (titrasi blanko) dan sesudah direaksikan dengan sampel gula reduksi (titrasi sampel).

Penentuannya dengan titrasi menggunakan Na-tiosulfat. Selisih titrtasi blanko dengan titrasi sampel ekuivalen dengan kupriooksida yang terbentuk dan juga ekuivalen dengan jumlah gula reduksi yang ada dalam bahan/ larutan. Reaksi yang terjadi selama penentuan karbohidrat cara ini mula-mula kuprioksida yang ada dalam reagen akan membebaskan iod dari garam K-Iodida. Banyaknya iod yang dibebaskan ekuivalen dengan banyaknya kuprioksida. Banyaknya iod dapat diketahui dengan titrasi menggunakan Na-tiosulfat. Untuk mengetahui bahwa titrasi sudah cukup maka diperlukan indicator amilum. Apabila larutan berubah warna dari biru menjadi putih

berarti titrasi sudah selesai. Agar perubahan warna biru menjadi putih tepat, maka penambahan amilum diberikan pada saat titrasi hampir selesai. Setelah diketahui selisih banyaknya titrasi blanko dan titrasi sampel kemudian dikonsultasikan dengan table yang sudah tersedia yang menggambarkan hubungan antara banyaknya Na-tiosulfat dengan banyaknya gula reduksi (Sudarmadji,1989).

Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

R-COH + CuO Cu2O + R-COOH

Endapan merah bata

H2SO4 + CuO CuSO4 + H2O CuSO4 + 2KI CuI2 + K2SO4 2CuI2 Cu2I2 + I2 I2 + Na2S2O3 Na2S4O6 + NaI

2.6 Lemak

Suatu lipid didefinisikan sebagai senyawa organik yang terdapat dalam alam serta tak larut dalam air, tetapi larut dalam perlarut organik non polar seperti suatu hidrokarbon atau dietil eter (Fessenden,1986). Yang dimaksud dengan lemak ialah suatu ester asam lemak dengan gliserol. Gliserol ialah suatu trihidroksi alcohol yang terdiri atas 3 atom karbon. Jadi tiap atom karbon memiliki gugus –OH. Satu molekul gliserol dapat mengikat satu, dua atau tiga molekul asam lemak dalam bentuk ester, yang disebut monogliserida, digliserida atau trigliserida. Pada lemak, satu molekul gliserol mengikat 3 molekul asam lemak, oleh karena itu lemak adalah suatu trigliserida.

Lemak dan minyak atau secara kimiawi adalah trigliserida merupakan bagian terbesar dari kelompok lipida. Trigliserida ini merupakan senyawa hasil kondensasi satu molekul gliserol dengan 3 molekul asam lemak. Lemak dan minyak di bidang biologi dikenal sebagai salah satu bahan penyusun dinding sel dan penyusun bahan-bahan biomolekul. Dalam bidang gizi, lemak dan minyak merupakan sumber biokalori yang cukup tinggi nilai kalorinya yaitu sekitar 9 kkal/g. juga merupakan sumber alamiah vitamin-vitamin yang terlarut dalam minyak yaitu vitamin A, D, E dan K (Sudarmadji,1989).

Lemak hewan umumnya berupa zat padat pada suhu ruangan, sedangkan lemak nabati berupa zat cair. Lemak cair biasa disebut minyak mengandung asam lemak tidak jenuh. Lemak hewan dan tumbuhan memiliki susunan asam lemak yang berbeda. Untuk menentukan derajat ketidakjenuhan asam lemak yang terkandung di dalamnya diukur dengan bilangan Iodium.

Lemak atau gliserida asam lemak pendek dapat larut dalam air, sedangkan gliserida asam lemak panjang tidak larut. Semua gliserida larut dalam ester, kloroform atau benzene. Alkohol panas adalah pelarut lemak yang baik (Poedjadi,2006).

2.6.1 Analisa Lemak

Sebagai senyawa hidrokarbon, lemak dan minyak pada umumnya tidak larut dalam air, akan tetapi larut dalam pelarut organik. Pemilihan bahan pelarut yang paling sesuai untuk ekstraksi lipida adalah dengan menentukan derajat polaritasnya. Pada dasarnya suatu bahan akan mudah larut dalam pelarut yang sama polaritasnya.

Penentuan kadar lemak dengan pelarut, selain lemak juga terlarut fosfolipid, sterol, asam lemak bebas, karotenoid dan pigmen yang lain. Karena itu hasil analisanya disebut lemak kasar (crude fat). Pada garis besarnya analisa lemak kasar ada dua macam yaitu dengan cara kering dan cara basah.

Pada cara kering bahan dibungkus atau ditempatkan di dalam thimble kemudian dikeringkan dalam oven untuk menghilangkan airnya. Pemanasan harus secepatnya dan dihindari suhu yang terlalu tinggi. Apabila bahan masih mengandung air yang tinggi maka bahan pelarut akan sulit masuk ke dalam jaringan sehingga ekstraksi lemak oleh pelarut tidak efisien. Selain itu, adanya air akan menyebabkan zat-zat yang ada dalam air ikut pula terekstraksi bersama lemak sehingga hasil analisa kurang mencerminkan yang sebenarnya.

Sejumlah sampel ditimbang dengan teliti dan dimasukkan ke dalam thimble yang terbuat dari kertas saring. Ukuran thimble dipilih sesuai dengan besarnya soxhlet yang digunakan. Sampel yang belum kering harus dikeringkan lebih dahulu. Di atas sampel dalam thimble ditutup dengan kapas bebas lemak supaya partikel bahan tidak ikut terbawa aliran pelarut. Selanjutnya labu gondok dipasang berikut kondensornya. Pelarut yang digunakan sebanyak 1,5-2 kali isi tabung ekstraksi.

Pemanasan sebaiknya menggunakan pemanas listrik harus dilengkapi dengan pembungkus labu dari asbes. Lipida akan terekstraksi dan melalui sifon terkumpul ke

dalam labu gondok. Pada akhir ekstraksi yaitu kira-kira 4-6 jam, labu gondok diambil dan ekstrak diuapkan di atas penangas air sampai pekat. Selanjutnya dikeringkan dalam oven sampai pekat. Selanjutnya dikeringkan dalam oven sampai diperoleh berat konstan pada suhu 100ºC. berat residu dalam labu dinyatakan sebagai berat lemak atau minyak (Sudarmadji,1989).

Dalam analisis lemak, sulit untuk melakukan ekstraksi lemak secara murni. Hal itu disebabkan pada waktu ekstraksi lemak dengan pelarut lemak, seperti phospholipid, sterol, asam lemak bebas, pigmen karotenoid, dan klorofil. Oleh karena itu, hasil analisis lemak ditetapkan sebagai lemak kasar. Terdapat dua metode dalam penentukan kadar lemak suatu sampel, yaitu metode ekstraksi kering (menggunakan soxhlet) dan metode ekstraksi basah. Selain itu, metode yang digunakan dalam analisis kadar lemak dapat menggunakan metode weibull. Prinsip kerja dari metode weubull adalah ekstraksi lemak dengan pelarut nonpolar setelah sampel dihidrolisis dalam suasana asam untuk membebaskan lemak yang terikat (Harper dkk 1979).

BAB 3

Dokumen terkait