• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.4. Pengukuran Faktor fisik dan Kimia Perairan

3.4.8. Kandungan Organik Substrat

100

×

=

A

B

A

KO

Pengukuran COD dilakukan dengan Metoda Refluks di Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan (Lampiran C).

3.4.7 Kecepatan Arus

Diukur dengan menggunakan gabus, yang dimasukkan kedalam permukaan, kemudian dengan menggunakan stopwatch di tentukaan kecepatan hingga mencapai titik tertentu.

3.4.8 Kandungan Organik Substrat

Pengukuran kandungan organik substrat dilakukan dengan metoda analisa abu, dengan cara substrat diambil, ditimbang sebanyak 100 gr dan dimasukkan ke dalam oven dengan temperatur 450C sampai beratnya konstan (2-3 hari), substrat yang kering di gerus di lumpang dan dimasukkan kembali kedalam oven dan dibiarkan selama 1 jam pada temperatur 450C agar substrat benar-benar kering. Kemudian ditimbang 25 gr dan diabukan dalam tanur dengan temperatur 7000C selama 3,5 jam (Lampiran D) . Kemudian substrat yang tertinggal ditimbang berat akhirnya, dan dihitung kandungan organik substrat dengan rumus :

dengan :

KO = Kandungan Organik

A = Berat Konstan Substrat B = Berat Abu

(Widle, 1972 dalam Adianto, 1993, hlm : 17) Analisis kandungan organik substrat dilakukan di Laboratorium Sentral Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia beserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.

Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.

Tabel 1. Alat dan Satuan yang dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik - Kimia Perairan.

No Parameter Fisik-Kimia

Satuan Alat Tempat

Pengukuran 1 Temparatur Air 0C Termometer Air Raksa In – situ

2 Kecepatan arus m/s Stop watch In–situ

3 Penetrasi Cahaya cm Keping Sechii In – situ

4 pH Air - pH meter In – situ

5 DO (Oksigen Terlarut) mg/l Metode winkler In – situ

6 BOD5 mg/l Metode winkler Laboratorium

7 COD mg/l Metoda Refluks Laboratorium

8 Kandungan Organik Substrat

% Oven dan Tanur Laboratorium

3.5 Analisis Data

Data makrozoobentos yang diperoleh dihitung indeks kepadatan populasi, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon-Weinner, indeks ekuitabilitas dan analisis korelasi dengan persamaan sebagai berikut :

a. Kepadatan populasi (K)

Jumlah individu suatu jenis K = ulangan/ luas surber net

(Michael, 1984, hlm : 161). b. Kepadatan Relatif (KR)

KR = Kepadatan suatu jenis x 100 % ∑ seluruh jenis

(Brower et. al, 1990, hlm : 88). c. Frekuensi Kehadiran (FK) FK= x100% Plot Total Jumlah jenis suatu ditempati yang Plot Jumlah

Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.

dimana nilai FK : 0 – 25% = sangat jarang 25 – 50% = jarang

50 – 75% = sering

> 75% = sangat sering

(Krebs, 1985, hlm : 521).

d. Indeks Diversitas Shannon – Wiener (H’) H’ = −

pi ln pi

dimana :

H’ = indeks diversitas Shannon – Wiener ln = logaritma Nature

pi =

ni /N (Perhitungan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis)

(Krebs, 1985, hlm : 522) e. Indeks Equitabilitas/Indeks Keseragaman (E)

(E) = max ' H H dimana :

H’ = indeks diversitas Shannon – Wienner H max = keanekaragaman spesies maximum

= ln S (dimana S banyaknya spesies)

(Krebs, 1985, hlm : 522).

f. Analisis Korelasi

Analisis korelasi menurut Pearson di gunakan untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor fisik kimia dengan indeks keanekaragaman.

BAB 4

Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.

4.1. Klasifikasi Makrozoobentos

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh klasifikasi makrozoobentos yang didapatkan pada lokasi penelitian sebagai berikut :

Tabel 2. Klasifikasi Makrozoobentos yang Didapatkan pada Setiap Stasiun Penelitian di Sungai Padang Kota Tebing Tingi

Filum Kelas Ordo Famili Genus

Arthropoda Insecta

Odonata Gamphidae Progomphus sp

Plecoptera Chloroperlidae Allocapnia sp

Himiptera

Belostomitadae Belostoma sp

Hyroptilidae Hyrophillus sp

Macrovlidae Macrovelia sp

Nipidae Ranatra sp

Anelida Chaetopoda Oligochaeta Tubicidae Tubifex sp

Molusca Gastropoda Mesogastropoda

Heterodonta Pleuroceridae Thiaridae Bulimidae Sphaeridae Goniobasis sp Pleurocora sp Apella sp Macrobrachium sp Viviparus sp Thiara sp Lyrodes sp Paludestrina sp Pomatiopsis sp Sphaerium sp

Dari Tabel 2, dapat dilihat bahwa makrozoobentos yang ditemukan adalah dari 3 filum, 3 kelas, 6 ordo, 11 famili dan 17 genus.

4.1.1. Tanda -Tanda Khusus (Morfologi)

Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.

Genus ini memiliki panjang tubuh 2-4 cm, jumlah kaki ada 2 pasang, memiliki mata majemuk, terdapat garis pada tubuhnya. Tubuhnya bewarna coklat, tipe mulut menguyah, terdapat ekor yang disebut cerci.(Patrick, 1983) (Gambar 1)

Gambar 1. Genus Progomphus sp

b. Genus Allocapnia sp

Genus ini memiliki panjang tubuh 2-3 cm, jumlah kaki ada 3 pasang, sepasang antena, sepasang cercus. Terdapat bintik hitam pada seluruh tubuh, warna tubuh coklat, metamorfosis tidak sempurna dan nimfa ini di akuatik (Patrick, 1983) (Gambar 2).

Gambar 2. Genus Allocapnia sp c. Genus Belestoma sp

Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.

Bentuk tubuh oval, pipih, ukuran 2,5 – 5 cm, umumnya berwarna hitam. Kaki depan untuk menangkap mangsa, kaki belakang pipih untuk berenang. Antena lebih pendek dari kepala, sring meninggalkan air karena tertarik oleh cahaya. Beberapa jenis induknya meletakkan telur-telur di punggungnya dan membawanya sampai menetas, jenis yang lain telur menetas di tanaman air. Predator serangga dan binatang air lainnya (Patrick, 1983) (Gambar 3).

Gambar 3. Genus Belestoma sp d. Genus Hydrophillus sp

Genus ini memilki bentuk tubuh bulat, dan bewarna hitam, permukaan tubuh memliki kulit yang keras. Memiliki sepasang kaki serta memiliki mata yang mejemuk (Patrick, 1983) (Gambar 4).

Gambar 4. Genus Hydrophillus sp

Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.

Genus ini ukuran tubuh berkisar 3-4 cm, berwarna coklat, memiliki sepasang antena, memiliki 2 pasang kaki, dengan tidak sama panjang, memiliki mata majemuk, dan bentuk tubuhnya oval( Patrick, 1983) (Gambar 5).

Gambar 5. Genus Macrovelia sp

f. GenusRanatra sp

Genus ini memiliki panjang tubuh 5-6 cm, jumlah kaki ada 2 pasang, sapasang antena, memiliki sepasang antena, mata majemuk, warna tubuh coklat kehitaman, dengan bentuk tubuh panjang memipih, dengan ekor yang meruncing (Patrick, 1983) (Gambar 6).

Gambar 6. Genus Ranatra sp

Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.

Cacing air ini memiliki bentuk tubuh bilateral simetris, memanjang, dengan panjang tubuh berkisar antara 1-3 cm yang terdiri dari 76-85 segmen/cincin dengan diameter tubuh berkisar antara 1-2 mm, pada segmen tubuh terdapat setae bersifat hermafrodit, reproduksi secara seksual. cacing ini hidup di dasar perairan dengan membuat tabung ( Edmonson, 1963 ) (Gambar 7)

Gambar 7. Genus Tubifex sp

h. Genus Goniobasis sp

Ukuran tubuh antara berkisar antara 2-3 cm, tipe cangkang memanjang, bewarna coklat dengan garis-garis coklat, cangkang kecil, bagian permukaan cangkang bergelombang, memiliki 5 garis pertautan. Celah mulut sempit dengan tipe apeks tumpul(Edmonson, 1963) (Gambar 8).

Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.

i. Genus Pleurocora sp

Ukuran tubuh berkisar antara 3-3,5 cm, tipe cangkang memanjang, memiliki 8 garis pertautan. Cangkangnya bewarna hitam, tebal dan pada bagian permukaan bergelombang. Bagian apeks meruncing Celah mulut lebar dengan tipe apeks tumpul (Pennak, 1978) (Gambar 9).

Gambar 9. Genus Pleurocora sp

j. Genus Apella sp

Genus ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2-6 cm, tipe cangkang memanjang, bagian permukaan cangkang lebih bergelombang dengan apeks tumpul dengan celah mulut yang kecil, serta memiliki 5 garis pertautan, serta pada cangkang memiliki garis pertautan ( Payne, 1996) (Gambar 10).

Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.

k. Genus Macrobrachium sp

Genus ini memiliki tubuh yang bewarna kekuningan dan terdapat garis-garis kuning di permukaan tubuhnya, karapaks memutupi seluruh bagian tubuh, rostrum bergerigi, memiliki caput yang berbeda panjangnya (Pennak, 1978) (Gambar 11).

Gambar 11. Genus Macrobrachium sp

l.Genus Viviparus sp

Genus ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2-5 cm, tipe cangkang berbentuk dextral (cangkang berlekuk kanan, yang hanya pada cangkang siput gastropoda), memiliki 3 garis pertautan. Celah mulut lebar dengan tipe apeks tumpul, serta tubuh bewarna hitam kecoklatan ( Payne, 1996) (Gambar 12).

Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.

m. Genus Thiara sp

Genus ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 1,5-3 cm, tipe cangkang memanjang, dan kasar yang berduri, bewarna hitam kekuning-kuningan degan garis-garis coklat pada bagian dorsal celah mulut menyempit.genus ini memiliki operkulum (penutup insang untuk menutup cangkang saat hewan masuk kedalam cangkang) tipis dan tidak berkapur. Bagian apeksnya meruncing (Pennak, 1978) (Gambar 13).

Gambar 13. Genus Thiara sp

n. Genus Lydores sp

Genus ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2-5 cm, tipe cangkang berukuran sedang, bagian permukaan cangkang lebih bergelombang dengan apeks tumpul dengan celah mulut yang kecil dan memiliki tubuh bewarna coklat. (Hutchinson, 1993) (Gambar 14).

Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.

Gambar 14. Genus L ydores sp o.Genus Paludestrina sp

Genus ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 3-5 cm, tipe cangkang memanjang dan berukuran sedang, bagian permukaan cangkang terdapat garis pertautan yang menyelimuti seluruh cangkang dengan apeks tumpul dengan celah mulut yang kecil (Payne, 1996)(Gambar 15).

Gambar 15. Genus Paludestrina sp

p. Genus Pomatiopsis sp

Genus ini memiliki panjang tubuh berkisar antara 2-6 cm, tipe cangkang memanjang dan berukuran sedang, bagian permukaan cangkang lebih bergelombang dengan apeks tumpul dengan celah mulut yang kecil, pada bagian apeks atas memiliki warna yang lebih gelap, serta memilki 4 garis pertautan (Payne, 1996)(Gambar 16).

Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.

Q .Genus Sphaerium sp

Genus ini kebanyakan hidup dilaut dan beberapa hidup di air tawar ini, memiliki ukuran tubuh berkisar antara 1- 2,5 cm, memiliki cangkang yang terdiri dari 2 keping atau 2 valve, cangkang pipih, simetri bilatral, bewarna kuning dengan bercak-bercak hitam. ( Pennak, 1978)(Gambar 17).

Gambar 17. Genus Sphaerium sp

4.1.2. Kepadatan Bentos (K), Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran (FK) Pada Setiap Stasiun Penelitian.

Berdasarkan data jumlah makrozoobentos yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian, maka didapatkan indeks kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran seperti tertera pada tabel berikut ini.

Tabel 3. Nilai Kepadatan Populasi ( ind./ m2), Kepadatan relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran Makrozoobentos (%) pada Setiap Stasiun Penelitian di Sungai Padang Kota Tebing Tinggi.

No Taksa

Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun

I II III IV K KR FK K KR FK K KR FK K KR FK 1. Progomphus sp - - - 12,34 15,38 44,44 - - - 7,40 12,75 44,44 2. Allocapnia sp 4,93 7,99 33,33 - - - 2,46 3,83 11,11 - - - 3. Belestoma sp 6,17 100,00 44,44 - - - - - - - - - 4. Hydrophillus sp - - - - - - 3,70 5,76 33,33 - - -

Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009. 5. Macrovelia sp - - - - - - - - - 6,17 10,63 44,44 6. Ranatra sp - - - - - - 4,93 7,68 22,22 8,64 14,89 44,44 7. Tubifex sp - - - 7,40 9,22 55,55 - - - 30.86 53.20 88,88 8 Goniobasis sp 8,64 14,00 44,44 4,93 6,14 33,33 7,40 11,53 33,33 - - - 9 Pleurocera sp 7,40 11,99 44,44 - - - 12,34 19,23 55,55 - - - 10 Apella sp - - - 9,87 12,30 44,44 8,64 13,46 44,44 - - - 11 Macrobrachium sp - - - 8,64 10,77 44,44 - - - - - - 12 Viviparus sp - - - 7,40 9,22 44,44 - - - - - - 13 Thiara sp 18,51 30,02 66,66 - - - - - - - - - 14 Lyrodes sp 6,17 10,00 44,44 11,11 13,85 44,44 - - - - - - 15 Paludestrina sp - - - 18,51 23,15 66,66 - - - - - - 16 Pomatiopsis sp 9,87 16,01 55,55 - - - - - - 4,93 8,5 33,33 17 Sphaerium sp - - - - - - 24,69 38,48 77,77 - - - Jumlah 76,5 100 333,33 80,2 100 377,74 64,16 99,97 277,75 58 99,97 633,27 ∑ taksa 7 8 7 5 Ket :

Stasiun I : Tanpa aktivitas Stasiun II : Aktivitas masyarakat Stasiun III : Pengerukan pasir Stasiun IV : Pabrik kayu

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa pada stasiun I nilai Kepadatan, Kepadatan Relatif yang tertinggi didapatkan pada genus Thiara sp dari kelas Gastropoda sebesar 18,51 ind./m2 dan 30,02%, sedangkan untuk Frekuensi Kehadiran sebesar 66,66%. Pada stasiun I genus yang dapat hidup dan berkembang baik adalah Thiara sp, hal ini disebabkan stasiun I memiliki kondisi fisik kimia perairan yang paling sesuai dengan habitatnya, selain itu disertai juga dengan kondisi substrat dasar berupa tanah yang berpasir sangat cocok bagi kehidupan genus ini (Tabel 5). Hal ini didukung oleh Hynes (1976) dalam Wargadinata (1995), menyatakan bahwa Thiara sp adalah hewan yang menyukai habitat dasar lumpur berpasir.

Nilai kepadatan terendah yang didapatkan pada stasiun I yaitu dari genus Allocapnia sp dengan nilai Kepadatan Populasi 4,93 ind./m2,Kepadatan Relatif 7,99% dan Frekuensi Kehadiran 33,33%. Sedikitnya jumlah genus Allocapnia sp pada stasiun I dikarenakan kondisi perairan yang kurang mendukung bagi genus ini. Pengaruh DO serta kondisi substrat dasar berupa pasir yang agak berlumpur (tabel 5), dapat menghambat kepadatan pertumbuhan populasi dari spesies ini. Menurut Pennak (1978, hlm : 461), genus ini menyukai tempat dengan substrat dasar berupa pasir dan berbatu.

Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.

Nilai kepadatan tertinggi didapatkan pada stasiun II dari genus Paludestrina dengan nilai kepadatan populasi 18,51 ind/m2, kepadatan relatif 23,15% dan frekuensi kehadiran 66,66%. Hal ini karena kondisi lingkungan perairan tersebut sesuai dengan kehidupannya yaitu substrat dasar perairan yang berupa pasir berlumpur dan pH perairan yang sesuai bagi kehidupan genus tersebut. Hutchinson (1993) menyatakan bahwa Paludestrina dapat bertahan hidup pada kisaran pH 7-8. Hal tersebut sesuai dengan faktor fisik kimia perairan yang didapatkan, dengan pH sebesar 6,4 serta substrat berupa pasir berlumpur. Selanjutnya Wargadinata (1995), menyatakan beberapa genus bentos ada yang dapat mentolerir perubahan faktor lingkungan yang besar dan drastis atau dapat mentolerir faktor lingkungan yang sangat ekstrim.

Nilai kepadatan terendah pada stasiun II adalah dari genus Goniobasis dengan nilai kepadatan populasi 4,93ind/m2, nilai kepadatan relatif 6,14 %, dan nilai frekuensi kehadiran 33,33 %. Rendahnya jumlah kepadatan Goniobasis pada stasiun ini karena kondisi perairan yang kurang mendukung bagi kehidupan hewan ini. Tingginya jumlah kandungan organik pada stasiun ini yakni sebesar 0,21 % yang berpengaruh terhadap tingkat penetrasi cahaya yang rendah yang hanya berkisar 36 cm sehingga akan mempengaruhi jumlah kelarutan oksigen pada perairan tersebut. Selain itu kondisi substrat perairan yang berupa lumpur tidak sesuai untuk mendukung kehidupan genus ini. Hutchinson (1993), menyatakan bahwa Goniobasis melimpah pada perairan dengan substrat dasar yang berbatu dan berpasir.

Pada stasiun III genus dengan nilai kepadatan tertinggi adalah dari genus Sphaerium dengan nilai kepadatan populasi 24,69ind/m2, kepadatan relatif 38,48% dan nilai frekuensi kehadiran 77,77%. Kehadiran jenis Sphaerium yang mendominasi pada stasiun III karena kondisi perairan yang mendukung bagi kehidupan hewan ini. Kondisi perairan yang dangkal dengan substrat dasar berpasir sangat cocok bagi kehidupan genus ini. Selain itu kondisi pH air sebesar 7,1 masih dapat mendukung kehidupan hewan ini. Pennak (1978, hlm : 137), menyatakan bahwa Sphaerium didapatkan pada hampir semua substrat dasar, terutama substrat berpasir. Umumnya jumlah Sphaerium akan melimpah pada tempat yang dangkal serta pada perairan

Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.

dengan pH = 6, akan tetapi genus Sphaerium juga memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap pH sehingga dapat hidup pada perairan dengan pH > 6.

Nilai kepadatan terendah yang didapatkan pada stasiun III yaitu dari genus Allocapnia sp dengan nilai Kepadatan Populasi 2,46 ind./m2,Kepadatan Relatif 3,83% dan Frekuensi Kehadiran 11,11%. Sedikitnya jumlah genus Allocapnia sp pada stasiun III dikarenakan kondisi perairan yang kurang mendukung bagi genus ini. Pengaruh DO serta kondisi substrat dasar berupa pasir yang agak berlumpur (tabel 5), dapat menghambat kepadatan pertumbuhan populasi dari spesis ini. Menurut Pennak (1978, hlm : 461), genus ini menyukai tempat dengan substrat dasar berupa pasir dan berbatu.

Pada stasiun IV genus dengan nilai kepadatan tertinggi adalah dari genus Tubifex dengan nilai kepadatan populasi 30,86ind/m2, nilai kepadatan relatif 53,20%, dan nilai frekuensi kehadiran 88,88 %. Kehadiran Tubifex dengan nilai yang tinggi pada stasiun ini karena kondisi substrat perairan yang berupa lumpur serta tingginya kandungan organik terlarut pada badan perairan sangat mendukung bagi kehidupan genus ini. Pennak (1978), menyatakan bahwa hewan jenis Chaetopoda suka hidup pada substrat yang berlumpur. Menurut Oey et. al., (1980) dalam Wargadinata (1995), kehadiran kelas Chaetopoda pada perairan menunjukkan bahwa perairan telah mengalami pencemaran bahan organik. Hal ini juga didukung oleh Barnes (1987), yang menyatakan bahwa famili Tubificidae terdistribusi luas pada perairan yang miskin akan oksigen dan telah tercemar oleh bahan organik.

Nilai terendah didapat pada stasiun IV dari genus Pomatiopsis sp dengan nilai kepadatan 4,93ind/m2, kepadatan relatif 8,5 % dan frekuensi kehadiran 33,33 %. Sedikitnya jumlah genus pomatiopsis pada stasiun ini di karenakan pada kondisi perairan dengan pH lebih dari 5 dan suhu yang cukup tinggi. Hal tersebut sesuai dengan faktor fisik kimia perairan yang di dapatkan yaitu 7 dan suhu yang relatif tinggi yaitu 26o C.

Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.

Berdasarkan analisis data didapatkan nilai Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (E) makrozoobentos pada masing-masing stasiun seperti terlihat pada Tabel 4 berikut :

Tabel 4. Nilai Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (E) Makrozoobentos pada Masing - Masing Stasiun Penelitian.

INDEKS STASIUN

I II III IV

Keanekaragaman (H’) 1,873 1,952 1,188 1,473

Keseragaman (E) 0,267 0,244 0,169 0,294

Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai keanekaragaman (H’) yang didapatkan pada keempat stasiun penelitian berkisar antara 1,188-1,952. Indeks keanekaragaman (H’) tertinggi terdapat pada stasiun II (aktivitas masyarakat) yakni sebesar 1,952. Hal ini disebabkan keanekaragaman spesies pada suatu komunitas yang di tempati masing-masing individu sehingga indeks keanekaragaman pada setiap stasiun berbeda-beda. Brower et.al (1990, hlm : 52) menyatakan bahwa suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies relatif merata. Dengan kata lain bahwa apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata, maka komunitas tersebut mempunyai keanekaragaman yang rendah.

Indeks Diversitas Shannon-Wienner (H’) yang terendah terdapat pada stasiun III (aktivitas penerukan pasir) yakni sebesar 1,188. Rendahnya indeks keanekaragaman ini disebabkan melimpahnya jumlah dari genus Sphaerium sp, sehingga menyebabkan penyebaran jumlah dari individu pada setiap spesiesnya tidak merata. Odum (1994, hlm : 376), menyatakan keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh pembagian atau penyebaran individu dalam tiap jenisnya, karena suatu komunitas walaupun banyak jenisnya tetapi bila penyebaran individunya tidak merata maka keanekaragaman jenis dinilai rendah. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) adalah suatu indeks keanekaragaman biota pada suatu daerah, bila nilainya semakin tinggi, maka semakin tinggi tingkat keanekaragamannya dan begitu juga sebaliknya. Keanekaragaman makrozoobentos pada setiap stasiun berkaitan dengan faktor lingkungan yang ada pada stasiun tersebut. Dari tabel yang didapatkan Indeks

Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.

Keanekaragaman (H’) tertinggi pada stasiun II yaitu sebesar 1,952 yang merupakan lokasi aktivitas masyarakat, sedangkan Indeks Keanekaragaman terendah pada stasiun III yaitu sebesar 1,188 yang merupakan lokasi pengerukan pasir. Menurut Sastrawijaya (1991, hlm : 127) bahwa klasifikasi derajat pencemaran air berdasarkan indeks diversitas dapat digolongkan sebagai berikut :

H’< 1,0 : Tercemar Berat H’ = 1,0 – 1,6 : Tercemar Sedang H’ = 1,6 – 2,0 : Tercemar Ringan H’ > 2,0 : Tidak Tercemar

Berdasarkan pengelompokan tersebut, maka berdasarkan data yang diperoleh stasiun I (tanpa aktivitas) dan stasiun II ( aktivitas masyarakat) termasuk kedalam kelompok perairan yang tercemar ringan bedasarkan pada indeks deversitasnya yakni 1,873 dan 1,952, sedangkan stasiun III (aktivitas pengerukan pasir) dan stasiun IV (aktivitas pabrik kayu) tergolong perairan tercemar sedand dengan indeks deversitasnya yakni 1, 188 dan 1, 473.

Indeks Keseragaman (E) yang diperoleh dari keempat stasiun penelitian berkisar antara 0,169-0,294. Indeks Keseragaman yang tertinggi terdapat pada stasiun IV (aktivitas pabrik kayu), sebesar 0,294 dan terendah pada stasiun I (tanpa ativitas), sebesar 0,169. Pada stasiun I (tanpa ativitas), jumlah spesies dari masing-masing genus yang diperoleh tidak ada yang mendominasi, sedangkan pada stasiun IV (aktivitas pabrik kayu) terdapat genus yang jumlahnya sedikit dan terdapat spesies yang jumlahnya mendominasi yaitu Tubifex sp. Menurut Krebs (1985, hlm :186) indeks Keseragaman (E) berkisar antara 0–1. Jika indeks keseragaman mendekati 0 berarti keseragamannya rendah karena ada jenis yang mendominasi. Bila nilai mendekati 1, maka keseragaman tinggi dan menggambarkan tidak ada jenis yang mendominasi sehingga pembagian jumlah individu pada masing-masing jenis sangat seragam atau merata.

Nilai Indeks Keseragaman (E) yang diperoleh dari keempat stasiun penelitian berkisar 0,169-0,294. Indeks Ekuitabilitas yang tertinggi terdapat pada stasiun IV sebesar 0,294 dan terendah pada stasiun III sebesar 0,169.

Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.

4.2. Parameter Fisik – Kimia Perairan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Sungai Padang Kota Tebing Tinggi diperoleh nilai rata-rata faktor fisik-kimia pada setiap stasiun, seperti tertera pada tabel 5 berikut ini

Tabel 5. Rata – Rata nilai Faktor Fisik Kimia Perairan yang Diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian di Sungai Padang.

No. Parameter Satuan

Stasiun I II III IV 1. Temperatur oC 23 24 25 26 2. Kecepatan Arus m/s 0,6 0,3 0,5 0,5 3. Penetrasi Cahaya cm 25 36 23 20 4. Ph Air - 7,2 6,4 7,1 7,5 5. DO (Oksigen Terlarut) mg/l 7,3 6,2 6,1 5,5 6. BOD5 mg/l 0,5 1,5 1,2 2,1 7. COD mg/l 7,9 9,54 11,92 12,43 8. Kandungan Substrat Organik % 1,21 0,21 0,38 0,48 Ket :

Stasiun I : Tanpa aktivitas Stasiun II : Aktivitas masyarakat Stasiun III : Pengerukan pasir Stasiun IV : Pabrik kayu

Dari Tabel 5 dapat kita lihat bahwa temperatur air pada keempat stasiun penelitian berkisar 23 – 26°C, dengan temperatur tertinggi terdapat pada stasiun IV (Lokasi pabrik kayu) sebesar 26°C dan terendah pada stasiun I (Lokasi tanpa aktivitas) sebesar 23°C. Perbedaan temperatur pada keempat stasiun penelitian karena perbedaan waktu pengukuran serta kondisi cuaca saat pengukuran dilakukan, juga sebagai akibat dari perbedaan aktivitas pada masing-masing stasiun. Menurut Brehm & Meijering (1990) dalam Barus (2004) pola temperatur ekosistem perairan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas matahari, pertukaran panas antara air dengan udara disekelilinginya dan juga faktor kanopi (pertupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuhan di tepi.

Dahlia Rosmelina Simamora : Studi Keanekaragaman Makrozoobentos Di Aliran Sungai Padang Kota Tebing Tinggi, 2009.

Nilai arus sungai pada keempat stasiun penelitian berkisar 0,3 – 0,6 m/det. Kecepatan arus yang lebih tinggi adalah stasiun I (tanpa aktivitas) sedangkan paling rendah adalah stasiun II (aktivitas masyarakat). Perbedaan arus sungai ini disebabkan karena sungai tersebut memiliki kemiringan ataupun ketinggian yang berbeda dimana stasiun I (tanpa aktivitas) itu merupakan daerah hulu yang lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga stasiun lainnya sedangkan stasiun II (aktivitas masyarakat) memiliki kedalaman yang lebih rendah sehingga air mengalir lebih cepat dibandingkan dengan ketiga stasiun lainnya.

Nilai penetrasi cahaya pada keempat stasiun berbeda.Penetrasi cahaya yang paling tinggi terdapat pada stasiun II (aktivitas masyarakat) yakni 36 cm. Hal ini disebabkan karena adanya berbagai faktor seperti adanya bahan-bahan terlarut dan suspensi padatan yang tinggi, serta bahan organik yang tinggi, sehingga matahari sulit untuk menembus badan perairan. sedangkan penetrasi yang terendah pada stasiun IV (aktivitas pabrik kayu) yakni 20 cm. Rendahnya penetrasi cahaya pada stasiun ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti adanya bahan-bahan terlarut kondisi vegetasi pada daerah tepi sungai yang terbatas juga adanya aktivitas manusia yang cukup tinggi

Dokumen terkait