• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman Lampiran 1 Lokasi dan tata letak pabrik PT SMII

III. TINJAUAN PUSTAKA

1. Kandungan Padatan Lemak

Kandungan padatan lemak atau solid fat content (SFC) merupakan proporsi padatan

lemak yang terkandung di dalam suatu minyak pada suhu observasi tertentu. Menurut Weiss (1983), lemak padat sebenarnya terdiri dari campuran berbagai komponen padatan lemak yang

19 membentuk matriks kristal. Hal ini yang menahan porsi minyak cair di dalamnya seperti

sponge yang menahan air. Jika lemak didinginkan hingga suhu yang cukup, misalnya -30⁰C

maka lemak tersebut akan mengandung padatan lemak 100%. Namun jika diberikan kondisi di atas titik cair nya, maka lemak tersebut akan menjadi lemak cair seluruhnya tanpa adanya padatan lemak.

O’Brien (2004) menyebutkan bahwa pengukuran SFC atau SFI penting dalam industri margarin, shortening, dan industri pengolahan lemak lainnya. Menurut Gothra et.al (2002),

fungsi-fungsi produk shortening banyak dideskripsikan oleh industri dalam bentuk profil SFC-

nya seperti dapat dilihat pada Lampiran 2. Kurva SFC yang dihasilkan akan membantu proses untuk mencapai konsistensi dan performa yang diharapkan. Hal ini dibutuhkan untuk mengontrol proses dalam hidrogenasi, interestifikasi, dan pencampuran.

Berdasarkan Nielsen (1998), pengujian SFC pada prinsipnya adalah pendinginan minyak untuk mengetahui jumlah lemak padat pada berbagai tingkatan suhu. Kandungan padatan lemak akan diuji pada beberapa suhu observasi, yaitu pada suhu 10⁰C, 20⁰C, 30⁰C, dan 40⁰C. Suhu observasi maupun jangkauan yang digunakan untuk menguji SFC dapat beragam sesuai

dengan kebutuhan pengujian (Nielsen, 1998). O’Brien (2004) menjelaskan bahwa suhu

observasi SFC untuk produk margarin pada suhu 10⁰C (50⁰F) merupakan indikator daya oles produk pada suhu refrigerator. SFC pada suhu observasi 21.1⁰C (70⁰F) akan mengindikasikan

ketahanan produk selama masa penyimpanan di suhu ruang dan SFC pada suhu observasi 33.3⁰C (92⁰F) akan menunjukan karakteristik mouthfeel yaitu karakteristiknya saat meleleh di

dalam mulut. Produk shortening juga memiliki suhu observasi SFC tipikal yang utamanya ditujukan untuk melihat karakter produk tersebut dalam industri bakeri. O’Brien (2004) juga

menjelaskan bahwa suhu observasi SFC untuk produk shortening pada suhu 10⁰C (50⁰F)

mengindikasikan konsistensi produk pada saat adonan mengalami proses retarding. SFC pada

suhu observasi 26.7⁰C (80⁰F) akan mengindikasikan ketahanan produk selama proses pengadukan adonan dan SFC pada suhu observasi 40⁰C (104⁰F) akan menunjukan resistensi produk pada penyimpanan suhu tinggi.

Wan (2000) melaporkan bahwa kandungan padatan lemak dapat diukur menggunakan metode dilatometri. Peningkatan suhu akan menurunkan densitas dari lemak padat maupun minyak cair akibat dari thermal expansion. Perubahan densitas maupun volume dari lemak

ataupun minyak tersebut pada berbagai suhu observasi dapat diukur dengan menggunakan dilatometer. Dilatometer merupakan piknometer yang secara khusus di desain untuk dapat mengukur perubahan volume yang sangat kecil secara spesifik (mL/g) akibat adanya thermal expansion pada lemak, minyak, maupun campurannya. Pengujian dengan metode dilatometri

membutuhkan waktu 5 jam. Hal ini terkadang menjadi penghambat jika diinginkan hasil yang cepat, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam perdagangan. Hasil dari pengukuran secara dilatometri berupa solid fat index (SFI).

Metode terkini yang banyak digunakan sekarang untuk menguji kandungan padatan lemak adalah dengan menggunakan NMR (nuclear magnetic resonance). Pada umumnya

dilakukan menggunakan spektrometer NMR dengan resolusi denyut yang rendah (low- resolution pulse). Standar deviasi dari denyut spektrometer NMR tidak boleh lebih besar dari

0.3% padatan. Menurut Hendrikse et. al. (1994), persentase solid yang dihasilkan dari

pengukuran dengan NMR dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara respon dari inti hidrogen dalam fase solid dengan respon dari keseluruhan inti hidrogen dalam sampel. Atom

20 Sampel diletakkan di dalam alat NMR dan diberikan denyut (pulse) berfrekuensi radio.

Hal ini akan menginduksi sinyal NMR dalam sampel yang kemudian menghasilkan kecepatan gelombang yang berbeda antara padatan maupun likuid dalam minyak tersebut. Sinyal yang dihasilkan dari padatan lemak akan memiliki kecepatan lebih cepat daripada sinyal yang berasal dari fase likuid nya sehingga kedua komponen tersebut dapat dibedakan. Nilai SFC akan dapat disimpulkan dari respon yang diberikan pada suhu yang sama oleh inti proton padatan pada denyut 10µs serta inti proton likuid triasilgliserida pada denyut 70µs (Hendrikse

et.al., 1994).

Kelebihan NMR antara lain dapat melakukan pengujian secara independen menggunakan

tube yang berbeda untuk masing-masing perlakuan temperatur sehingga menghasilkan waktu

pengujian yang lebih efisien. Data yang dihasilkan SFI merupakan perbandingan empiris rasio

solid/likuid sedangkan hasil NMR merupakan nilai mutlak SFC sehingga akan lebih akurat

dan dapat dipertanggungjawabkan (Hendrikse et. al., 1994).

2. Slip Melting Point

Minyak terdiri dari trigliserida beberapa jenis asam lemak dengan panjang rantai dan derajat ketidakjenuhan yang beragam sehingga trigliserida tersebut ada yang memiliki titik cair rendah maupun titik cair tinggi. Lawson (1995) menyatakan bahwa titik leleh sempurna (complete melting point) merupakan suhu dimana minyak padat menjadi minyak cair

seluruhnya. Setiap asam lemak murni memiliki titik cair spesifik. Sedangkan minyak dan lemak merupakan campuran dari berbagai jenis asam lemak berupa trigliserida sehingga tidak memiliki titik cair yang tajam dan digunakan slip melting point untuk mengkarakterisasi

minyak tersebut. Sementara menurut Ketaren (1996), slipping point digunakan untuk

pengenalan minyak dan lemak serta pengaruh kehadiran komponen-komponennya. Pengujian

slip melting point menggunakan silinder kecil yang diisi minyak atau lemak padat dan

diberikan kenaikan suhu secara perlahan hingga lemak atau minyak dalam silinder mulai meluncur. Temperatur pada saat lemak mulai meluncur disebut slipping point.

Buckle et.al (2009) menyatakan bahwa perbedaan titik cair kristal-kristal lemak dapat

terjadi berdasarkan dua mekanisme utama, yaitu karena heterogenitas kristal dan perbedaan bentuk polimorfik. Pendinginan lemak cair secara cepat akan menghasilkan kristal heterogen dari campuran trigliserida yang mencair pada suhu lebih rendah daripada kristal lemak yang homogen. Trigliserida murni dapat menunjukkan polimorfisme yaitu memiliki beberapa bentuk kristal. Masing-masing bentuk ditandai dengan titik cair, berat jenis, panas laten dan stabilitasnya masing-masing.

Polimorfisme dari bentuk kristal lemak dapat menyebabkan masalah pada konsistensi produk margarin maupun spread. Selama proses produksi, lemak pada awalnya mengkristal dalam bentuk alfa (α) dan normalnya akan berubah menjadi bentuk kristal beta prime (β’) secara cepat. Bentuk kristal β’ merupakan bentuk yang diinginkan dalam produk spread

karena memiliki bentuk kristal seperti jarum-jarum kecil (sekitar 1µm) sehingga menghasilkan plastisitas yang baik. Jika bentuk β’ berubah menjadi bentuk beta (β) yang lebih besar (>20

µm) maka spread yang dihasilkan akan memiliki konsistensi berpasir dan disebut ”sandiness

(Flack, 1997).

Menurut Lawson (1995), faktor-faktor yang penting dalam menentukan titik cair dan

21 semakin panjang rantai maka titik cairnya akan semakin tinggi, (2) posisi asam lemak pada molekul gliserol juga mempengaruhi titik cair, (3) proporsi relatif asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh dimana semakin tinggi proporsi asam lemak tidak jenuh, maka titik cairnya akan semakin rendah, (4) teknik proses seperti derajat hidrogenasi dan winterisasi. Krischenbauer (1960) yang diacu dalam Ketaren (1996) juga menyebutkan bahwa struktur asam lemaknya akan mempengaruhi titik cair, dimana asam lemak yang berstruktur trans akan

IV.METODELOGI PENELITIAN

E.

WAKTU DAN TEMPAT

Penelitian dilakukan di lokasi magang yaitu di PT Sinar Meadow International Indonesia yang berlokasi di Jalan Pulo Ayang I/6, Kawasan Industri Pulo Gadung, Jakarta Timur. Penelitian magang dilakukan di bawah departemen Quality Control and Assurance (QC&QA) dari tanggal

14 Februari hingga 6 Juli 2011. Kegiatan penelitian magang dilakukan setiap hari, dimulai dari hari Senin sampai Jumat, selama sembilan jam kerja per hari mulai pukul 08.00-17.00 WIB dengan waktu istirahat selama satu jam.

F.

BAHAN DAN ALAT

Bahan baku yang digunakan dalam formulasi oil blend adalah minyak sawit (PO), minyak

sawit stearin (PS), dan minyak kelapa (CNO) yang berasal dari PT SMII. Bahan-bahan yang digunakan dalam analisis antara lain akuades, sikloheksan, larutan pati, pelarut Wijs, KI, Na2S2O3, CH3COOH, dan CHCl3.

Alat-alat yang digunakan melakukan formulasi oil blend antara lain beker gelas, penangas

panas, timbangan dan pipet. Alat-alat yang digunakan untuk analisa kimia seperti bilangan iodin dan bilangan peroksida antara lain timbangan, Erlenmeyer, digital buret, pipet ukur, dan balb. Alat-alat yang digunakan untuk analisa fisik seperti titik cair antara lain; pipa kapiler (micro haematocrit tubes), magnetic stirrer, termometer, gelas beker dan alat-alat gelas lainnya.

Sedangkan alat yang digunakan untuk analisa solid fat content (SFC) adalah The Minispec Bruker

NMR Analyzer mq20.

G.

METODE PENELITIAN

Penelitian dibagi mejadi beberapa tahap, yaitu: (1) pengujian bahan baku, (2) formulasi dan analisis oil blend antara PO dan PS, (3) formulasi dan analisis oil blend PO dan CNO, serta

(4) formulasi dan analisis oil blend PO, PS, dan CNO.

1.

Pengujian Bahan Baku

Pengujian bahan baku dilakukan untuk memastikan bahan yang digunakan sesuai dengan yang dibutuhkan. Bahan baku yang digunakan dalam formulasi campuran minyak (oil blend) adalah minyak kelapa sawit (PO), minyak sawit stearin (PS), dan minyak kelapa

(CNO). Pengujian yang dilakukan meliputi uji bilangan iodin dan bilangan peroksida.

Pengujian bilangan iodin atau iodine value (IV) umumnya dilakukan dengan dengan

prinsip titrasi dimana pereaksi halogen ditambahkan secara berlebih, salah satu metode yang digunakan adalah metode Wijs.

23 a. Bilangan Iod

Pengujian bilangan iod atau iodine value (IV) dilakukan berdasarkan AOCS Cd1-25.

Sampel minyak terlebih dahulu ditimbang. Berat sampel disesuaikan dengan perkiraan IV. Minyak sawit dan stearin dengan prediksi IV kisaran 20-60 digunakan sampel seberat ±0.34 g, sementara minyak kelapa dengan prediksi IV 0-5 digunakan sampel seberat ±3.0 g (Hendrikse, 1994). Sampel dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 500 ml dan dilarutkan dengan 20 ml kloroform. Larutan Wijs sebanyak 25 ml ditambahkan ke dalam larutan. Larutan dikocok sebentar dan didiamkan di dalam tempat gelap bersuhu 20oC±5 oC selama

1 jam. Setelah bereaksi, diharapkan terdapat kelebihan volume pereaksi sekitar 50-60%. Kemudian 20 ml larutan kalium iodida 15% dan 100 ml air ditambahkan ke dalam Erlenmeyer. Erlenmeyer dikocok perlahan, dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0.1N hingga

warna kuning hilang. Titrasi dihentikan sejenak lalu dilakukan penambahan 1-2 ml indikator pati ke dalam campuran tersebut. Titrasi kemudian dilanjutkan lagi hingga warna biru hilang. Bilangan iod sampel dihitung menggunakan rumus:

Bilangan Iod (mg Iod/g sampel) = 12.69 N b- s

(e.q. 1) Keterangan:

W = berat sampel lemak (gram)

Vb = volume Na2S2O3 untuk titrasi blanko (ml)

Vs = volume Na2S2O3 untuk titrasi contoh (ml)

N = Konsentrasi Na2S2O3 hasil standardisasi (N)

b. Bilangan Peroksida

Pengujian bilangan peroksida dilakukan berdasarkan metode AOCS Cd8-53. Sampel minyak seberat 5± 0.05 gram dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250 ml dan dilarutkan dengan menggunakan 30 ml pelarut CH3COOH-CHCl3 (3:2). Larutan KI jenuh sebanyak

0.5 ml kemudian ditambahkan ke dalam larutan tersebut, didiamkan selama 1 menit, dan sesekali digoyang. Selanjutnya 30 ml air destilata ditambahkan ke dalam larutan dan dilakukan titrasi dengan Na2S2O3 0.1 N atau 0.01 N tergantung banyaknya iod bebas

hingga warna kuning hampir menghilang. Larutan pati 1% kemudian ditambahkan sebagai indikator dan titrasi dilanjutkan hingga warna biru menghilang. Prosedur yang sama juga dilakukan untuk blanko dengan volume titrasi blanko harus <0.1 ml Na2S2O3 . Bilangan

peroksida didapatkan dari perhitungan rumus :

Bilangan Peroksida (meq O2/kg sampel) = ( s

- b) N 1000

(e.q. 2)

Keterangan:

W = berat sampel minyak (gram)

Vs = volume Na2S2O3 untuk titrasi contoh (ml)

Vb = volume Na2S2O3 untuk titrasi blanko (ml)

24

2.

Formulasi campuran minyak

Campuran minyak yang akan diformulasi antara lain; (1) minyak sawit dan stearin, (2) minyak sawit dan minyak kelapa, serta (3) minyak sawit, stearin, dan minyak kelapa. Langkah awal dari pencampuran minyak dapat dilakukan dengan cara penimbangan dan pencampuran langsung bahan baku di dalam gelas piala sesuai formulasi. Lalu dilakukan pengadukan menggunakan pengaduk dengan pemanasan hingga 60°C hingga minyak-minyak penyusunnya tercampur merata. Formulasi untuk binary oil blends baik antara minyak sawit

dengan stearin maupun dengan minyak kelapa dilakukan dengan selang persentase 10%. Formulasi minyak sawit dan stearin terlihat pada Tabel 7, sedangkan formulasi minyak sawit dan minyak kelapa dapat dilihat pada Tabel 8. Formulasi oil blend antara minyak sawit,

stearin, dan minyak kelapa dilakukan setelah melihat karakteristik hasil binary blends.

Tabel 7. Kombinasi persentase (%w/w)minyak sawit (PO) dan stearin (PS) dalam oil blend

Minyak Sawit (PO) Minyak Stearin (PS)

0 100 10 90 20 80 30 70 40 60 50 50 60 40 70 30 80 20 90 10 100 0

Tabel 8. Kombinasi persentase(%w/w) minyak sawit (PO) dan minyak kelapa (CNO) dalam oil blend

Minyak Kelapa (CNO) Minyak Sawit (PO)

100 0 10 90 20 80 30 70 40 60 50 50 60 40 70 30 80 20 90 10 0 100

25

3.

Analisis Karakter Oil Blend

Karakter oil blend yang diujikan antara lain karakakter fisik berupa kandungan padatan

lemak (solid fat content SFC) dan slip melting point.

a. Kandungan padatan lemak

Pengujian SFC dilakukan dengan menggunakan alat Nuclear Magnetic Resonance

(NMR) Bruker The Minispec mq20 Solid Fat Content Analyzer berdasarkan metode AOCS Cd16b-93. Pre-treatment atau prosedur stabilisasi sangat menentukan jumlah dan

tipe kristal lemak yang terbentuk, dan konsekuensinya terhadap kandungan padatan (solid content) yang diukur dengan NMR. Prosedur stabilisasi dan metode non-tempering untuk

pengukuran SFC margarin sesuai dengan yang dikeluarkan oleh Bruker (Typical Applications for Industry : Minispec Application Note 8).

Sampel dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 80oC agar mencair seluruhnya dan

menjadi homogen. Sampel kemudian diisikan ke dalam tabung NMR dengan ketinggian ±2.5 cm. Tabung yang digunakan harus bersih dan kering di bagian luar tabung. Sampel yang telah leleh sempurna dipertahankan pada suhu 60°C selama 5 menit. Selanjutnya sampel didiamkan pada water bath 0°C selama 60±2 menit. Masing-masing sampel

selanjutnya didiamkan pada suhu observasi yang telah ditentukan yaitu 10°C, 20°C, 30°C, dan 40°C selama ±30 menit. Sampel kemudian dipindahkan ke alat spektrofotometri NMR dengan segera untuk diujikan. Alat spektrofotometri NMR akan membaca kandungan lemak padat yang terkandung dalam sampel. Denyut hasil pengukuran dengan spektrofotometri NMR secara otomatis akan terdeteksi oleh komputer.

SFC oil blend dari bahan baku tertentu yang telah diketahui nilai SFC-nya dapat

diprediksi dengan menggunakan rumus:

SFC (%) = [(SFCoil1 × %oil1) + (SFCoil2 × %oil2) + (SFCoil3 × %oil3)] (e.q. 3)

Persamaan diatas digunakan pada penelitian untuk melakukan pendekatan secara teoritis terhadap karakter SFC dalam oil blend. SFC hasil percobaan dengan menggunakan

NMR akan dibandingkan dengan nilai teoritis yang dihasilkan.

b. Slip Melting Point

Pangujian dilakukan sesuai AOCS Cc3-25. Sedikitnya 3 buah pipa kapiler gelas berdiameter ±1 mm dicelupukan ke dalam sampel yang telah terlebih dahulu dipanaskan hingga minyak naik setinggi 1 cm di dalam pipa kapiler. Pipa kapiler yang telah berisi sampel didiamkan pada suhu 4-10oC selama 16 jam. Pipa kapiler dipasangkan pada

termometer dengan diikat sedemikian rupa sehingga ujung pipa kapiler sejajar dengan ujung termometer. Pipa kapiler dan termometer dicelupkan ke dalam gelas piala 600 ml berisi air destilata dengan suhu 8-10 oC di bawah SMP contoh. Gelas piala diletakkan di

atas hotplate dengan peningkatan suhu 0.5-1 oC setiap menit. Pembacaan suhu dilakukan

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

PENGUJIAN BAHAN BAKU

1. Bilangan Iod

Bilangan iod menunjukkan jumlah rata-rata ikatan rangkap yang terdapat pada sampel minyak sehingga selain menunjukkan tingkat ketidakjenuhan juga dapat digunakan sebagai salah satu spesifikasi untuk menentukkan jenis minyak atau lemak (Weiss, 1983). Pengujian bilangan iod dilakukan untuk melihat kesesuaian spesifikasi bahan baku yang digunakan (Scrimgeour, 2005).

Bilangan iod yang dihitung menggunakan persamaan (e.q. 1) untuk masing-masing bahan baku minyak sawit (PO), stearin (PS), dan minyak kelapa (CNO) secara berurutan adalah 54.66; 41.19; dan 9.2. Nilai tersebut masih termasuk dalam rentang jangkauan spesifikasi bilangan iod untuk masing-masing bahan di PT SMII seperti yang tercantum pada Tabel 9. Sementara menurut literatur, minyak sawit memiliki kisaran bilangan iod 41.8-64.4 dengan rata-rata 53.2 (Yusof, 2005).

Tabel 9. Hasil uji bahan baku PT SMII

Sampel Bilangan Iod (mg Iod/g)

Bilangan Peroksida (meq O2/kg) max. Hasil Uji Spec. PT SMII Hasil Uji Spec. PT SMII Minyak Sawit (PO) 54.655±0.074 51.5 0.4983±0.053 0.5 Stearin (PS) 41.189±0.061 39-42 0.4784±0.072 0.5 Minyak Kelapa (CNO) 9.2018±0.019 7.5-10 0.2126±0.030 1.0

Stearin memiliki kisaran bilangan iod yang cukup luas, yaitu 21.6-49.4 (Yusof, 2005). Bilangan iod menunjukkan jenis stearin yang digunakan, dari jenis lunak (bilangan iod sekitar 50) hingga stearin jenis keras (bilangan iod sekitar 20) (Basiron, 2005). Pada penelitian ini digunakan stearin lunak dengan bilangan iod 41.19.

Zaliha et.al. (2004) melaporkan bahwa bilangan iod juga dapat dipengaruhi oleh proses

produksi minyak. Bilangan iod fraksi stearin maupun olein dapat meningkat saat digunakan proses kristalisasi dengan suhu yang lebih rendah. Selain itu, kedua fraksi tersebut akan mulai

clouding pada suhu yang lebih rendah.

2. Bilangan Peroksida

Bilangan peroksida merupakan pengujian analitik yang umumnya digunakan untuk mengukur kerusakan oksidatif dari sampel minyak dan lemak. Peroksida merupakan produk yang terbentuk dari hasil reaksi primer dalam tahap awal oksidasi dan menjadi tolak ukur adanya oksidasi lemak (Ketaren, 1996), sehingga bahan baku yang akan digunakan harus memiliki bilangan peroksida yang sangat rendah. Rata-rata hasil pengujian untuk masing-

27 masing bahan baku yang dihitung menggunakan persamaan (e.q. 2) yaitu 0.50; 0.48; dan 0.21 untuk minyak sawit, stearin, dan minyak kelapa. Minyak kelapa memiliki nilai spesifikasi bilangan peroksida lebih tinggi yaitu maksimal 1.0 dibandingkan minyak sawit maupun stearin yaitu maksimal 0.5 seperti pada Tabel 9. Hal ini disebabkan karena minyak kelapa memiliki ketahanan oksidatif yang lebih tinggi sehingga diharapkan memiliki ketahanan yang lebih tinggi jika proses oksidasi berlanjut. Bilangan peroksida sendiri hanya menunjukkan proses awal (inisiasi) pada proses oksidasi lemak.

B.

FORMULASI OIL BLEND

Formulasi dilakukan terhadap bahan baku minyak sawit (PO), stearin (PS), dan minyak kelapa (CNO). Formulasi untuk oil blend dengan dua jenis minyak dilakukan mengikuti metode

dan formulasi sesuai dengan metodologi penelitian yang telah direncanakan pada Tabel 7 dan Tabel 8. Setelah mengetahui karakter oil blend antara PO dan PS serta PO dan CNO didapatkan

formulasi untuk kombinasi ketiganya. Formulasi pertama dilakukan dengan proporsi CNO yang tetap dengan peningkatan PS setiap 20% hingga PS mencapai proporsi 80% dari oil blend seperti

yang ditunjukkan pada Tabel 10. Hipotesis hasil percobaan pada dua oil blend PO dan PS yang

menunjukkan kesesuain dan keteraturan akan diuji cobakan di dalam tiga jenis oil blend. Hal ini

dilakukan untuk melihat karakter PS dalam tiga oil blend, yaitu dalam campurannya dengan PO

dan CNO. Sementara formulasi kedua dilakukan dengan menggunakan komposisi CNO sebagai variabel nya.

Tabel 10. Kombinasi persentase (%w/w) minyak sawit (PO), stearin (PS), dan minyak kelapa (CNO) dalam oil blend dengan variasi komposisi PS

PO PS CNO

70 20 10

50 40 10

30 60 10

10 80 10

Formulasi kedua merupakan kombinasi oil blend tiga jenis minyak dilakukan dengan

peningkatan proporsi CNO sebanyak 10% hingga mencapai oil blend dengan komposisi CNO

sebesar 50%. Sementara perbandingan antara PO dan PS dalam oil blend kombinasi tiga minyak

tersebut dipertahankan tetap 50%:50%. Kombinasi untuk tahap kedua untuk oil blend tersebut

dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Kombinasi persentase (%w/w) minyak sawit (PO), stearin (PS), dan minyak kelapa (CNO) dalam oil blend dengan variasi komposisi CNO

PO PS CNO 45 45 10 40 40 20 35 35 30 30 30 40 25 25 50

28

C.

ANALISIS KARAKTER OIL BLEND

1.

Kandungan Padatan Lemak/ Solid Fat Content (SFC)

Pengujian SFC pada minyak atau lemak dilakukan untuk mengetahui jumlah padatan lemak pada sampel oil blend di berbagai tingkat suhu observasi. Perbandingan dilakukan pada

penggunaan suhu yang sama. Karakter SFC pada oil blend umumnya sulit diprediksi dan

belum banyak dipelajari karakter minyak penyusunnya setelah dalam oil blend. Pada

penelitian ini digunakan persamaan matematis untuk melakukan pendekatan secara teoritis terhadap karakter SFC dalam oil blend seperti pada persamaan (e.q. 3).

Gambar 4. Tipikal kurva solids fat index (SFI) untuk beberapa produk (O’Brien, 2004)

Lemak atau minyak yang didinginkan pada suatu suhu di bawah titik cair tertinggi komponen penyusunnya dan pada kondisi memungkinkan terjadinya kesetimbangan penuh yaitu dapat mengkristal hingga maksimum dengan kondisi polimorfik yang stabil maka akan terdapat suatu rasio padatan terhadap minyak cair yang bergantung pada keadaan alami campuran trigliserida dalam lemak alaminya (Metin dan Hartel, 2005). Karakter SFC maupun SFI suatu campuran minyak akan menentukan jenis produk yang akan dihasilkan. Pada Gambar 4 disajikan beberapa karakter tipikal kurva SFI untuk beberapa produk turunan minyak.

O’Brien (2004) menjelaskan bahwa kurva SFC dapat memberikan berbagai informasi

mengenai karakteristik plastisitas, kestabilan oksidatif maupun titik leleh yang dihasilkan dari minyak maupun lemak. Kisaran suhu dimana produk memiliki sifat plastisitas diamati pada saat nilai SFC berkisar 15 -25%. Semakin landai (flat) kurva SFC, maka kisaran sifat

plastisitas yang dihasilkan akan semakin luas. Karakter stabilitas oksidatif minyak atau lemak akan semakin tinggi jika teramati memiliki kurva SFC yang semakin curam (steep). Kurva

29 a.Oil blend stearin (PS) dengan minyak sawit (PO)

Oil blend yang merupakan penyusun margarin dan shortening tersusun dari minimal

dua jenis minyak. Braipson-Danthine dan Deroanne (2004) melaporkan bahwa perubahan sifat kekerasan pada produk shortening dengan oil blend yang tersusun dari dua jenis minyak

sebagian besar dipengaruhi oleh profil SFC dan polimorfisme minyak penyusunnya. Karakteristik minyak sawit (PO) pada suhu ruang cenderung mengkristal dan lunak pada suhu ruang, sementara stearin (PS) memiliki karakteristik berbentuk padat sempurna dan keras. Minyak sawit memiliki titik cair yang lebih rendah (31.1-37.6ºC) dibandingkan dengan stearin (44.5-56.2 ºC) sehingga penambahan stearin diharapkan akan meningkatkan titik cair serta meningkatkan kurva SFC. Minyak sawit memiliki bentuk kurva SFC yang lebih landai dibandingkan dengan stearin.

Nilai SFC seluruh formulasi oil blend PO/PS terhadap suhu observasinya disajikan

pada Gambar 5 sehingga menghasilkan kurva SFC. Hasil pengamatan menunjukkan kurva nilai SFC yang semakin meningkat secara teratur seiring dengan peningkatan proporsi stearin dalam oil blend dari formulasi PO/PS=90/10 hingga PO/PS=10/90. Kurva formulasi

Dokumen terkait