Kapang/khamir merupakan salah satu mikroorganisme yang dipengaruhi oleh beberapa faktor pertumbuhan. Menurut Syarief dan Halid (1993) faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kapang/khamir adalah aktivitas air (aw), suhu penyimpanan dan suhu pengolahan, ketersediaan oksigen, pH dan kandungan zat gizi bahan pangan. Khamir pada umumnya menyukai bahan pangan yang mempunyai kisaran aw
Kapang/khamir dapat tumbuh pada sosis fermentasi selama penyimpanan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Yin et al. (2002) dan Hu et al. (2008) yang melaporkan bahwa kapang/khamir ditemukan pada sosis fermentasi ikan mackerel dan silver carp selama penyimpanan.
0,87-0,91, bahan pangan berkadar gula 65% atau mengandung 15% NaCl.
Mikroflora biasanya yang mendominasi pada produk fermentasi daging adalah jenis khamir dari genus Saccharomyces, Hansenula, Candida, Torulopsis, Debaryomyces, Pichia, Kluyveromyces dan Cryptococcus. Khamir berkemampuan untuk tumbuh pada aw
Hasil penelitian sebelumnya oleh Abunyewa et al. (2000) melaporkan bahwa jenis khamir yang terdapat pada sosis kering (salami) adalah Candida parapsilosis, C. tropicalis, Debaryomyces hansenii, Rhodotorula mucilaginosa, Yarrowia lipolytica, Cryptococcus albidus dan Crypt. Neoformans ditemukan selama proses pembuatan dan pematangan.
yang rendah pada konsentrasi gula dan garam yang tinggi, misalnya strain dari Hansenula anomala dan Debaryomyces hansenii yang diisolasi dari produk daging asin dan sosis fermentasi ( Adams & Moss 2008).
Pada fermentasi daging koloni khamir dapat mencapai 2x105 cfu/g pada pada hari ke-20. Khamir berkontribusi terhadap flavor pada produk tersebut. Adanya aktivitas proteolisis pada proses fermentasi akan menghasilkan biogenik amin (terdapat kandungan tiramin, histamin, putresin, kadaverin, feniletilamin dan triptamin). Apabila pada produk tersebut juga terbentuk alkohol, maka keberadaan keduanya secara bersamaan akan menyebabkan terjadinya keracunan makanan. Hal ini disebabkan alkohol berpotensi member fasilitas terjadinya difusi komponen amin melalui dinding usus dan ikut berperan dalam pemecahan
histamin. Kandungan histamin pada sosis fermentasi belum diatur dengan Standar Internasional (Pais et al. 1999 & Abunyewa et al. 2000).
Keberadaan khamir yang melebihi 2x105
2.8 Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroorganisme
cfu/g (overgrowth) pada produk sosis fermentasi, apabila dikonsumsi manusia dapat menimbulkan alergi, asma, mudah lelah, berkurangnya daya ingat, gangguan pencernaan, diare, konstipasi dan kembung (Abbas et al. 2000). Hal ini disebabkan tidak ada keseimbangan antara bakteri di usus dan khamir (terjadi disbiosis), yang mengakibatkan kemampuan penyerapan zat pada usus terganggu. Komponen berbobot molekul besar yang harusnya tinggal dalam usus menjadi masuk kedalam dinding usus tanpa hambatan. Potongan molekul yang besar ini dianggap sebagai antigen (benda asing) oleh tubuh sehingga tubuh memproduksi suatu reaksi pertahanan yang dikatakan sebagai reaksi alergi (Williamson 1998).
Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme adalah pH, aw, suhu, suplai makanan, dan ketersediaan oksigen. Mikroorganisme membutuhkan suplai makanan yang akan menjadi sumber energi dan unsur lainnya seperti karbon, nitrogen, hidrogen, oksigen, sulfur, fosfor, magnesium, zat besi untuk pertumbuhan sel. Karbon dapat diperoleh dari jenis gula karbohidrat sederhana seperti glukosa. Kebutuhan nitrogen dapat diperoleh dari sumber anorganik seperti (NH4)2SO4 atau NaNO3
Mikroba lebih banyak membutuhkan air yaitu sekitar 70-80% untuk beraktivitas. Air yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dapat diperoleh melalui a
atau sumber organik seperti asam amino dan protein (Buckle et al. 2009).
w (water activity), yaitu rasio antara tekanan uap air dalam larutan disekitar mikroorganisme (kelembaban relatif tertentu) dengan tekanan uap air murni (Bamforth 2005). Buckle et al. (2009) mengemukakan bahwa aw
Fermentasi salah satunya berfungsi untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan.Menurut Hammes et al. (2003) penghambatan oleh bakteri asam laktat terhadap bakteri lain, ditandai dengan pertumbuhannya melalui aktivitas air (a
adalah jumlah air yang terdapat dalam bahan pangan atau larutan. Jenis mikroba yang berbeda membutuhkan jumlah air yang berbeda pula untuk pertumbuhannya.
0,95 dan kisaran nilai pH yaitu 4,7-5,6. Hasil penelitian Spaziani et al. (2008) melaporkan bahwa pada sosis fermentasi yang melibatkan bakteri asam laktat, nilai aw
Mikroorganisme umumnya tumbuh pada pH sekitar 5,0-8,0 dan hanya beberapa mikroorganisme jenis tertentu yang ditemukan pada bahan pangan yang hidup pada pH rendah. Bakteri yang tidak tahan asam seperti bakteri proteolitik, Gram negatif bentuk batang tidak dapat tumbuh pada bahan pangan yang bersifat asam. Bakteri yang tahan asam dari golongan Lactobacillus dan Streptococcus berperan sangat penting dalam fermentasi produk (Buckle et al. 2009). Hasil penelitian Todorov et al. (2007) melaporkan bahwa pada produk salami (sosis fermentasi daging) dengan aplikasi kultur starter L. plantarum, mengalami penurunan pH dengan kisaran 4,4-4,5.
menurun dengan kisaran 0,87-0,88 yang diamati selama produksi tahun 2006 s/d 2007.
Vuyst et al. (2008) mengemukakan bahwa produk fermentasi daging dengan bakteri tertentu yang menghambat pertumbuhan bakteri patogen, ditandai dengan menurunnya nilai pH akibat keasaman dan rendahnya nilai aw
2.9 Sosis Fermentasi
. Menurut Bamforth (2005) untuk dapat mencegah pertumbuhan bakteri patogen salah satu syarat adalah dengan menurunnya nilai pH harus dibawah 5,8. Hal ini sejalan dengan laporan Riebroy et al. (2007) bahwa nilai pH yang rendah dapat meminimalkan pertumbuhan mikroorganisme.
Fontana et al. (2005) mengemukakan bahwa sosis fermentasi adalah produk olahan berupa campuran daging dan lemak, garam, bahan pengawet, bumbu dan lainnya yang dimasukkan ke dalam casing kemudian dilakukan proses fermentasi dan pengeringan.
Pada sosis fermentasi, terjadi keasaman (asidifikasi) yang dilakukan oleh bakteri asam laktat salah satunya menghasilkan asam laktat. Produk sosis yang diinginkan (dry atau semi dry) tergantung dari waktu tahapan pematangan (ripening) yang menghasilkan aw yang lebih rendah dan terbentuknya flavor. Pada akhir proses fermentasi dapat juga dilakukan pengasapan atau pemanasan. Pemanasan dilakukan pada suhu 58,3 oC sebelum produk dijual (Leroy & Vuyst 2006).
Bakteri asam laktat yang digunakan pada sosis fermentasi biasanya berupa kultur starter. Menurut Hammes (1996) diacu dalam Espinoza dan Navarro (2008) kultur starter adalah persiapan kultur bagi mikroorganisme untuk hidup dan berkembang biak agar diperoleh aktivitas metabolisme yang diinginkan. Kultur starter lebih bermanfaat dibandingkan kultur secara spontan pada proses fermentasi, sebab dapat meningkatkan dan mengoptimalkan proses fermentasi dan menghasilkan sosis yang lebih enak, lebih aman dan sehat.
Mikroba yang digunakan sebagai starter pada proses pengolahan fermentasi daging, ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3 Mikroba sebagai kultur starter pada proses pengolahan daging fermentasi
Bakteri Asam Laktat Lactobacillus acidophilus,
L. alimentarius, L. paracasei, L. ramnosus, L. curvatus, L. plantarum, L. pentosus, L. sakei, Lactococcus lactis, Pediococcus acidilactici, P.pentosaceus
Actinobacteria Kocuria varians, Streptomyces giseus Bifidobacterium spp.
Staphylococci Staphylococcus xylosus, S.carnosus spp., S. Equorum Halomonadaceae Halomonas elongata
Jamur Penicillium nalgiovence, P. chrysogenum,
P.camemberti
Ragi Debaryomyces hanseni, Candida famata
Sumber : Hammes et al. (2003)
Prinsip proses fermentasi berbahan daging sapi dan babi yang telah melalui pendinginan dan pembekuan selanjutnya dilakukan proses penggilingan. Tahap berikutnya dilakukan proses pencampuran yang ditambahkan nitrat, glucono-δ- lactone, askorbat dan glutamat. Namun pada proses secara tradisional tidak menggunakan glucono-δ-lactone. Selain itu juga dilakukan penambahan garam, gula, bumbu dan starter bakteri. Setelah tahapan pencampuran tersebut, adonan dimasukkan ke dalam selongsong (proses stuffing) dan selanjutnya dilakukan fermentasi dan pengasapan. Temperatur pada ruang fermentasi umumnya >20oC dan <28oC. Namun pada produk semidry sausage menggunakan temperatur berkisar antara 32-38oC misalnya pada sosis fermentasi di Jerman, Netherland dan Scandinavia (Hammes et al. 2003). Proses pengolahan daging menjadi produk fermentasi daging ditunjukkan pada Gambar 3.
Penggilingan Pencampuran
Gambar 3 Skema pembuatan sosis fermentasi kering (dry fermented sausage) secara tradisional dari berbagai jenis sosis Jerman
(Hammes et al. 2003).
Fermentasi pada daging akan menyebabkan terjadinya perubahan secara fisik, biokimia dan mikrobiologi yang menghasilkan karakteristik fungsional pada produk fermentasi. Hamm et al. (2008) mengemukakan bahwa perubahan akibat proses fermentasi termasuk pengasaman (katabolisme karbohidrat), solubilisasi dan gelasi myofibril dan protein sarkoplasma, degradasi protein dan lemak, reduksi nitrat menjadi nitrit serta pembentukan nitrosomioglobin dan dehidrasi. Proses ini terutama disebabkan oleh endogeneous dan aktivitas enzim mikroba.
Produk fermentasi berbahan baku daging, bertujuan untuk mengubah daging yang mudah rusak (highly perishable) menjadi produk fermentasi yang memiliki masa simpan yang lebih lama dan menghasilkan karakteristik sensori dari produk tersebut (Hammes et al. 2003). Riebroy et al. (2008) mengemukakan bahwa penggunaan bakteri asam laktat salah satunya untuk meningkatkan karakteristik sensoris (flavor dan rasa), mempersingkat waktu fermentasi, dan mutu mikrobiologi (menghambat pembentukan bakteri patogen).
Daging sapi Daging sapi Lemak punggung Daging babi Pembekuan
Pendinginan Pembekuan Pembekuan
Garam, Gula Nitrat, Askorbat, Glutamat
Bumbu Glucono- δ-lactone
Stuffing Starter bakteri
Zhang et al. (2010) mengemukakan bahwa perubahan biokimia yang terjadi selama proses fermentasi salah satunya menghasilkan senyawa flavor. Hal ini berhubungan dengan proses fermentasi yaitu sangat kompleks dan beragam, tergantung pada bahan baku (daging, bumbu dan kultur starter) dan teknologi (penggaraman, fermentasi, ripening drying, proses fermentasi dan drying) yang digunakan pada produk daging.
Vries et al. (2006) mengemukakan bahwa Lactobacillus dapat digunakan sebagai kultur starter pada fermentasi pangan. Pada proses fermentasi mengkonversi gula yang terdapat pada bahan menjadi asam laktat, menghasilkan antimikroba, eksopolisakarida dan hasil metabolit lainnya.
2.10 Bahan Penyusun Sosis Fermentasi Ikan Patin
Bahan penyusun yang digunakan dalam pembuatan sosis fermentasi ikan patin meliputi bahan dasar (bahan baku), bahan pembantu (tambahan) dan bahan pelengkap yang merupakan bahan penunjang pada produk sosis tersebut. Surimi mentah ikan patin merupakan bahan dasar pembuatan sosis fermentasi. Bahan tambahan berupa minyak nabati (minyak jagung), garam, bahan pemanis (gula), karagenan, bumbu dan bakteri L. plantarum. Bahan penunjang berupa casing (selongsong).
Pembuatan sosis memerlukan bahan pengisi dan bahan pengikat. Bahan pengisi bertujuan untuk membentuk tekstur yang padat dan kompak, menstabilkan emulsi, mengikat air dan memperbaiki sifat adonan. Penambahan bahan pengisi juga dapat menambah volume bahan sehingga dapat mengurangi biaya produksi. Bahan pengisi yang biasa digunakan adalah tepung tapioka, tepung jagung, tepung beras dan tepung terigu. Bahan pengikat adalah bahan bukan daging yang dapat mengemulsi lemak dan meningkatkan kapasitas mengikat air. Air dan lemak akan terikat oleh protein untuk membentuk suatu emulsi. Bahan pengikat yang umum digunakan salah satunya adalah susu skim dan Isolate Soy Protein (ISP). USDA membatasi penambahan bahan pengisi dan bahan pengikat pada emulsi daging maksimal 3,5% (Heinz et al. 2007).
2.10.1 Tepung tapioka
Bahan pengisi yang ditambahkan pada sosis fermentasi umumnya berasal dari karbohidrat misalnya tepung tapioka. William et al. (2006) mengemukakan bahwa tepung tapioka digunakan pada produk pangan disebabkan mengandung pati. Pati berbentuk granula terdiri atas amilosa dan amilopektin. Pati tapioka digunakan pada produk daging, sebab dapat mengikat air dan memiliki suhu gelatinasi adalah 52-64 o
2.10.2 Garam
C (Winarno 2008).
Garam (sodium klorida) merupakan salah satu bahan pengawet alami yang telah digunakan masyarakat luas selama bertahun-tahun. Garam selain mempunyai fungsi sensori yakni sebagai pembentuk citarasa pada produk pangan juga berfungsi mengawetkan produk olahan daging sebagai bahan pengikat pada produk berbahan baku daging (nugget, sosis, dan bakso) (Suryanto 2009). Selain memperbaiki tekstur dan sebagai pengawet pada produk, menurut Nakai dan Modler (2000) garam dalam pembuatan sosis berfungsi; 1) mengekstraksi protein myofibril dari serabut daging selama penggilingan, 2) membentuk tekstur produk, 3) memberikan citarasa asin pada produk dan 4) sebagai antimikroba.
Garam berfungsi sebagai ingredient yang terpenting dalam campuran bahan curing daging, untuk 1) pemberi rasa produk, 2) menurunkan aktivitas air dan meningkatkan ionic strength (meningkatnya kekuatan ionik/tekanan osmotik) yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba, 3) membantu solubilisasi protein otot yang berfungsi sebagai pengikat partikel daging, 4) menurunkan kadar otot pada konsentrasi tinggi (5-8%), 5) bersinergis dengan sodium nitrit untuk mencegah pertumbuhan Clostridium botulinum (Suryanto 2009).
2.10.3 Gula
Gula atau disebut dengan sukrosa merupakan karbohidrat golongan disakarida yang dibentuk dari monomer glukosa dan fruktosa dengan rumus molekul C12H22O11 (Ophardt 2003). Zhang et al. (2010) mengatakan bahwa dalam pembuatan sosis fermentasi biasanya ditambahkan gula. Gula berfungsi sebagai salah satu sumber karbohidrat dalam proses fermentasi, oleh bakteri asam laktat dirubah menjadi asam laktat.
Bakteri asam laktat yang tergolong homofermentatif seperti Lactobacillus pada fermentasi karbohidrat menggunakan jalur Embden Meyerhof Parnas, menghasilkan dua molekul asam laktat sebagai produk akhir yang diawali dari penguraian glukosa (Girard & Bucharles 1992). Ross et al. (2002) dan Tamime (2002) diacu dalam Vries et al. (2006) mengemukakan bahwa gula yang ditambahkan pada adonan sosis fermentasi berfungsi untuk mendukung proses fermentasi yang hasil akhirnya adalah asam laktat, memproduksi antimikroba peptida, exopolisakarida dan metabolit lainnya.
2.10.4 Bumbu
Hui et al. (2001) mengemukakan bahwa bumbu adalah bahan tambahan pangan yang dihasilkan dari tumbuhan untuk memberikan aroma pada produk tersebut. Ellmore dan Fieldberg (1994) mengatakan bahwa salah satu bumbu yang bersifat sebagai antimikroba adalah bawang putih, karena mengandung senyawa allisin, yang menghambat pertumbuhan Gram positif dan bakteri Gram negatif. Allisin adalah senyawa enzimatis yang dihasilkan dari aliin sebagai prekusor melalui produk intermediate asam allylsulfenat.
Yang et al. (2004) mengemukakan bahwa bawang bombay merupakan salah satu tanaman utama di negara Eropa. Bawang bombay mengandung senyawa flavonol quersetin dan derivatnya. Selain itu, menurut Kim et al. (2006) bawang bombay mengandung senyawa fruktooligosakarida dan sulfur yang bersifat sebagai antioksidan. Berdasarkan studi epidemiologi menunjukkan bahwa mengkonsumsi buah dan sayur yang dipadukan dengan bawang bombay dapat mengurangi penyakit kronis, seperti penyakit jantung dan kanker.
2.10.5 Nitrit dan Angkak
Fungsi utama nitrit dalam pembuatan sosis adalah untuk memperbaiki warna daging. Perbaikan warna daging dicapai ketika pigmen otot (myoglobin) berikatan dengan natrium oksida (NO) yang berasal dari nitrit membentuk NO-myoglobin, sehingga terbentuk warna daging yang khas. Selain itu nitrit berfungsi sebagai penambah citarasa, mencegah pertumbuhan bakteri dan sebagai antioksidan. Penggunaan nitrit pada produk daging dimaksudkan sebagai antimikroba untuk
menghambat pembentukan toksin oleh mikroorganisme Clostridium botulinum (Sebranek & Bacus 2007).
Penggunaan nitrit pada produk pangan berdampak negatif bagi tubuh. Peters et al. 1994 ; Sebranek dan Bacus (2007) mengemukakan bahwa nitrosamin yang terbentuk dari nitrit untuk mengawetkan daging menimbulkan kanker. Pada tahun 1990, studi epidemiologi melaporkan bahwa pemakaian nitrit berhubungan dengan penyakit leukimia dan kanker otak.
Nitrit mulai dibatasi penggunaannya sebab berpotensi membentuk nitrosamin sebagai pemicu karsinogenik Sebranek dan Bacus (2007) menyatakan bahwa kadar sodium nitrit yang diizinkan pada produk daging maksimum adalah 200 ppm. Sedangkan menurut USDA 1995 kadar sodium nitrit atau potassium nitrit yang diijinkan pada produk daging adalah 156 ppm. Menurut Winarno (1997) Dirjen POM Depkes mensyaratkan penambahan nitrit dalam bahan makanan maksimum 170 ppm dan nitrit tersisa pada produk akhir adalah 200 ppm.
Pada sosis fermentasi ikan patin dengan memanfaatkan bakteri L. plantarum 1B1 tidak perlu ditambahkan nitrat sebagai pewarna dan pengawet pada sosis. Hal ini didukung oleh Casaburi et al. (2005) yang mengemukakan bahwa bakteri asam laktat berupa kultur starter yang digunakan pada sosis fermentasi, khususnya bakteri L. plantarum dan Pediococcus acidilactici, tidak dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit. Bakteri yang mampu mereduksi nitrat adalah bakteri coccus seperti Kocuria (Micrococcus), Staphylococcus xylosus, S.carnosus dan bakteri lainnya.
Angkak atau beras merah cina adalah salah satu bahan pengawet dan pewarna makanan alami
Menurut Pattanagul et al. (2007) angkak digunakan untuk meningkatkan mutu pada produk daging sebagai pengganti nitrat atau nitrit. Angkak mengandung pigmen merah monascorubramine dan rubropuntamine yang dihasilkan dari kapang Monascus sp. Kadar optimum penggunaan angkak pada produk daging adalah 1,6% (w/w).
, tidak beracun dan aman dikonsumsi dibandingkan dengan pewarna sintetik. Angkak dapat digunakan sebagai pengganti nitrit pada bahan pangan seperti pada produk sosis, daging asap dan kornet (Astawan 2008).
Pattanagul et al. (2007) mengatakan bahwa kapang Monascus sp. menghasilkan 6 jenis pigmen yang dikategorikan terdiri atas 3 jenis warna yaitu pigmen kuning, orange dan merah. Pigmen kuning terdiri dari monascin (C21H26O5) dan ankaflavin (C23H30O5), pigmen orange terdiri dari monascorubrin (C23H26O5) dan rubropunctatin (C21H22O5) dan pigmen merah terdiri dari monascorubramine (C23H27NO4) dan rubropuntamine (C21H23NO4
Gambar 4 Struktur kimia pigmen dari kapang Monascus sp. (Pattanagul et al. 2007).
Angkak atau beras merah cina yang digunakan sebagai pewarna alami pada makanan, dapat dilihat pada Gambar 5.
). Struktur kimia pigmen yang dihasilkan dari Monascus sp. ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 5 Angkak (beras merah cina) sebagai pewarna alami (Astawan 2008).
Heber et al. (1999) mengemukakan bahwa mengkonsumsi makanan yang mengandung angkak dapat menurunkan Total Colesterol (TC), Low Density Lipoprotein (LDL) dan Total Triacylglycerol (TG). Angkak juga digunakan untuk mengobati hiperlipidemia dan cardiocerebro-vascular yaitu penyakit yang disebabkan oleh kolesterol darah tinggi adalah 5-10 mg/hari/berat badan.
2.10.6 Karagenan
Karagenan merupakan sulfat polimer galaktosa dan anhidrogalaktosa yang dihasilkan dari alga merah yang terdiri atas tiga fraksi utama yaitu iota (ι), lambda (λ) dan kappa (κ) karagenan (Koutsopoulos et al. 2007). Imeson (2007) mengemukakan bahwa karagenan bersumber dari agar merah (Rhodophyceae), menghasilkan jenis karagenan yang berbeda tergantung jenis alga tersebut. Alga merah Eucheuma cottonii menghasilkan kappa karagenan (κ), dan E. spinosum menghasilkan iota karagenan (ι) yang diperoleh melalui ekstraksi. Jenis kappa (κ)
dan iota (ι) karagenan ini digunakan pada produk pangan sebab berkemampuan membentuk gel yang termoreversible.
Ayadi et al. (2009) mengemukakan bahwa karagenan merupakan suatu hidrokoloid yang digunakan pada pengolahan daging sebab berkemampuan untuk mengikat air dan membentuk gel.
2.10.7 Susu bubuk skim
Susu skim termasuk pada Nonfat Milk Solid (NFMS) yang mengandung protein, gula (laktosa) dan mineral (Xiong diacu dalam Tarte 2009). Susu skim berfungsi sebagai bahan pengisi yang mampu mengikat air pada produk pangan. Selain itu dapat meningkatkan kapasitas emulsifikasi dan stabilitas emulsi. Penggunaan susu skim yang mengandung laktosa tinggi, dapat menyebabkan reaksi pencoklatan (browning) akibat reaksi Maillard selama perlakuan pemanasan (Kurt & Zorba 2005 diacu dalam Tarte 2009).
Susu bubuk skim adalah produk yang telah mengalami pengurangan kadar air dan tanpa lemak, bebas dari bahan pengawet, bahan kimia, dan kotoran lainnya. Susu berfungsi untuk mempertahankan stabilitas emulsi dan meningkatkan flavor serta mouthfeel pada salad, sup, saus, sosis dan krim asam. Selain itu mengandung kalsium dan nutrisi (Anonim 2010).
Susu skim berfungsi membantu proses pembentukan gel oleh karagenan. Susu skim akan menyumbang ion Ca2+ yang dibutuhkan karagenan untuk pembentukan gel. Chaplin (2007) menyatakan bahwa kappa dan iota karagenan memiliki kemampuan untuk pembentukan gel dengan adanya kation seperti kalium (K+) dan kalsium (Ca2+
Susu skim mengandung laktosa yang termasuk dalam golongan disakarida selain sukrosa. Laktosa terbentuk dari dua monomer yakni 1 molekul glukosa dan galaktosa. Melalui fermentasi gula susu (laktosa) yang dilakukan oleh bakteri asam laktat dapat menghasilkan asam laktat dan flavor yang khas pada produk fermentasi
).
Liu et al. (2011) mengemukakan bahwa asam laktat yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat dari hasil proses fermentasi, membantu dalam penyerapan kalsium, fosfor, besi dan vitamin D. Selain itu laktosa yang terdiri dari glukosa dan galaktosa bermanfaat untuk mendukung pertumbuhan otak.
2.10.8 Isolate soy protein (isolat protein kedelai)
Isolate Soy Protein (ISP) merupakan produk dari protein kedelai bebas lemak atau berlemak rendah yang memiliki kandungan protein tinggi. Kandungan protein pada ISP minimum 95%. ISP sangat diperlukan dalam industri pangan dan formulasi berbagai produk pangan, sebab ISP berfungsi sebagai bahan pengikat dan pengemulsi (Koswara 2005).
Zhang et al. (2010) mengemukakan bahwa soy protein (protein kedelai) secara luas digunakan pada produk daging dalam bentuk tepung, dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan mengikat air dan lemak, meningkatkan stabilitas emulsi, meningkatkan kandungan nutrisi dan menghasilkan nilai tambah.
Isolate Soy Protein (ISP) berasal dari protein kedelai yang terdiri dari 90% protein kedelai dan Textured Vegetable Protein (TVP) yang berbentuk serat atau granula. ISP ini banyak digunakan sebagai campuran produk olahan daging seperti sosis, bakso, meat ball dan lainnya. ISP secara fisiologis dapat menurunkan trigliserida darah (68%) bila dikonsumsi 7,3 g/hari/kg berat badan setelah satu bulan. Konsumsi sosis yang menggunakan ISP sebanyak 9,9 g/hari/kg berat badan selama 2 minggu dilaporkan dapat menurunkan kolesterol dan
meningkatkan High Density Lipoprotein (HDL) serta menurunkan trigliserida (Winarno & Kartawidjajaputra 2007).
2.10.9 Minyak nabati
Minyak nabati yang digunakan pada sosis fermentasi salah satunya adalah minyak jagung. Menurut Ketaren (2005) minyak jagung merupakan trigliserida yang disusun oleh gliserol dan asam lemak. Persentase trigliserida sekitar 98,6 % dan sisanya merupakan bahan non minyak, seperti abu, air, zat warna atau lilin. Asam lemak yang menyusun minyak jagung terdiri dari asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh yang menyusun trigliserida minyak jagung berkisar 86% yang terdiri dari asam oleat (30,1%) dan asam linoleat (56,8%). Asam lemak jenuh dalam minyak jagung berkisar 13% berupa asam palmitat dan asam stearat.
Penambahan minyak nabati atau lemak hewani pada pembuatan sosis bertujuan untuk membentuk sosis yang kompak, empuk dan lezat. Minyak nabati yang ditambahkan pada sosis salah satunya adalah minyak jagung. Minyak ini digolongkan sebagai semi drying oil selain minyak biji kapas dan minyak bunga matahari, mengandung senyawa fitosterol dan mengandung lebih banyak asam lemak tak jenuh. Penambahan minyak ke dalam sosis fermentasi dimaksudkan untuk menambah kalori, memperbaiki tekstur dan sebagai citarasa pada produk pangan (Winarno 2008).
Minyak jagung digunakan pada produk pangan sebab memiliki nilai gizi yang sangat tinggi yaitu 250 kkal/ons. Selain itu, minyak jagung mengandung sitosterol sehingga bila dikonsumsi dapat terhindar dari gejala atherosclerosis (endapan pada pembuluh darah) yang mengakibatkan terjadinya ikatan kompleks antara sitosterol dan Ca++
2.10.10 Es batu
dalam darah (Ketaren 2005).
Fungsi pemakaian es batu pada produk pengolahan daging bertujuan untuk menurunkan suhu selama proses cuttering (pencacahan), memperbaiki sifat fluiditas emulsi sehingga mudah diisi ke dalam selongsong dan mempengaruhi tekstur pada produk akhir (Hui et al. 2001).
Pengasapan merupakan proses pemanasan dengan berbagai variasi suhu di dalam smokehouse yang umumnya digunakan pada produk daging. Kombinasi antara panas dan asap, sangat efektif untuk menurunkan populasi bakteri pada produk yang diasap (Suryanto 2009).
Asap lebih banyak dihasilkan dari pembakaran kayu dalam bentuk serbuk gergaji. Kayu yang digunakan dalam pengasapan berasal dari kayu keras (non resinous) dengan kandungan selulosa 40-60%, hemiselulosa 20-30% dan lignin 20- 30%. Asap berfungsi untuk menghambat pertumbuhan bakteri, menghambat oksidasi