• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakter dan Budaya Masyarakat Madura

2.3 Permukiman Tradisional

2.4.2 Karakter dan Budaya Masyarakat Madura

Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang memiliki gaya bicara yang khas dengan karakter dominan keras dan mudah tersinggung. Walaupun demikian, masyarakat Madura juga merupakan pribadi yang hangat, disiplin, dan rajin bekerja. Orang Madura tampak selalu ceria, lugu, suka berterus terang, dan apa adanya. Namun, citra sifat kaku dan kasar masih melekat karena rendahnya tingkat pendidikan masyarakat yang umumnya berasal dari daerah pedesaan.

Orang Madura juga dikenal mempunyai kesetiaan pada sistem dan pranata sosialnya. Ketekunan dan etos kerja yang tinggi menyebabkan mereka tidak takut melakukan pekerjaan apa saja (Rifai 2007). Secara umum, Rifai (2007) menyebutkan bahwa karakter orang Madura adalah ego tinggi, kaku dan kasar, pemberani, teguh pendirian, apa adanya, tulus setia, tertib, pamer, keras kepala, responsif, ulet, berjiwa wirausaha, suka berpetualang, hemat dan cermat, dan agamis.

Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang religius. Dapat dikatakan ajaran islam secara kental telah mewarnai budaya dan peradaban

Madura (Rifai 2007; Hidayah 1996). Islam telah menjadi identitas etnis, sehingga tidak aneh jika orang Madura juga memiliki hubungan yang khas dengan ulama. Ulama Madura dikenal dengan sebutan kiai. Gelar kiai merupakan gelar kehormatan yang diberikan masyarakat kepada ahli agama islam yang memimpin pondok pesantren dan mengajarkan kitab-kitab islam klasik. Kiai memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakat Madura bahkan hingga melampaui batas-batas geografi desa dan masyarakat tempat pesantrennya berada (Dhofier 1994).

Penghormatan yang tinggi terhadap ulama didasarkan pada falsafah dan prinsip hidup orang madura yang terdapat pada ungkapan buppa’-bhabbhu’, guru, rato; yang dalam bahasa Indonesia berarti bapak-ibu, guru, pemerintah. Ungkapan tersebut mencerminkan hierarki penghormatan dikalangan masyarakat Madura. Bagi orang Madura penghormatan yang pertama dan utama harus diberikan kepada kedua orang tua yang telah melahirkan, merawat, dan mengasuh hingga dewasa. Penghormatan pada orang tua merupakan kewajiban dan hal etik dari agama islam yang harus dilaksanakan. Penghormatan selanjutnya diberikan pada guru. Pengertian guru yang dimaksud adalah kiai. Kiai telah mengajarkan ilmu agama kepada santri-santri. Kiai juga dianggap dekat pada kesucian agama islam sehingga harus dihormati dan diteladani. Penghormatan kepada kedua orang tua dan kiai menjadi dasar untuk memberikan bakti pada ratu. Ratu dalam hal ini bermakna raja atau pemerintah. Seorang Madura dianggap baik apabila mampu menjalankan prinsip ini (Subaharianto dkk 2004, Taufiurrahman 2007).

Menurut Woodward (1989) dalam kategori tertentu, islam di Madura tidak

dapat dikatakan sebagai islam murni, tetapi termasuk “islam lokal” yaitu islam yang bercampur dengan adat seperti Abangan atau Agama Adam di Jawa (Geertz 1989). Selain melaksanakan ajaran agama dengan taat, orang Madura juga mempertahankan kepercayaan asal yang mempercayai bahwa roh leluhur mempunyai kekuatan yang dapat memberikan perlindungan. Gejala ini tampak pada kebiasaan masyarakat dalam melakukan upacara selamatan tanah dan rumah (rokat), upacara mengirim doa melalui sesaji yang telah didoakan kiai, dan kebiasaan mengubur jenazah di pekarangan atau tanah tegalnya.

Tanah mempunyai ikatan dengan roh leluhur dalam hal penguasaan. Menurut kepercayaan orang Madura, secara gaib tanah yang dimiliki oleh seseorang juga masih dikuasai oleh roh leluhur yang dulu memiliki tanah tersebut. Roh leluhur yang telah meninggal akan menyatu dengan tanah sehingga orang yang memiliki tanah harus tahu asal usul pemilik tanah sebab akan berkaitan dengan pengiriman doa dan pemohonan berkah. Secara fisik tanah dimiliki seseorang tetapi secara gaib roh leluhur menyatu dengan tanah dan mempunyai hak kekuasaan atas tanah tersebut (Subaharianto dkk 2004).

Hubungan tanah dan leluhur juga tampak pada tata cara penguburan jenazah. Setiap keluarga besar (extended family) pada umumnya memiliki kuburan keluarga sendiri. Pekuburan keluarga tersebut diletakkan di sebelah timur pekarangan atau di tanah tegalnya. Masyarakat Madura pada dasarnya tidak mengenal pemakaman umum, kecuali masyarakat perkotaan yang lahannya terbatas. Setiap keluarga sudah memiliki lokasi tertentu sebagai tempat mengubur jenazah bagi anggota keluarga yang meninggal sehingga tidak jarang dijumpai pemakaman yang kecil dan berdempetan dengan tanah pekarangan oarang lain.

Keberadaan makam-makam kecil ini dapat ditemui di wilayah perdesaan (Subaharianto dkk 2004).

Hubungan tanah dan leluhur yang sangat erat menyebabkan penjualan tanah pada dasarnya dianggap sama dengan menjual roh leluhur. Oleh sebab itu pantang bagi orang Madura untuk menjual tanah pekarangan atau tanah tegalan kepada orang luar yang bukan saudara. Penjualan tanah kepada orang luar akan merupakan aib bagi pemilik tanah dan dapat berakibat ecapok tola atau kenneng tola (tidak selamat atau sial).

Sistem kekerabatan yang berlaku pada setiap kelompok etnis menunjukkan berbagai variasi yang menggambarkan bentuk jalinan sosial yang lebih luas. Kerabat merupakan kerangka dasar terbentuknya ikatan sosial yang paling primer (Subaharianto dkk 2004). Masyarakat Madura termasuk masyarakat yang menganut hubungan kekerabatan bilateral patrilineal (Hidayah 1996). Hubungan kekerabatan ini memperhitungkan garis keturunan laki–laki dan perempuan secara sama dan setara sehingga sebutan kekerabatan bagi keluarga pihak laki–laki tidak berbeda dengan sebutan untuk keluarga pihak perempuan. Landasan ikatan kekerabatan yang penting bagi orang Madura adalah hubungan pertalian darah seketurunan dalam keluarga. Rasa keeratan tersebut diperlihatkan dan dipelihara dengan menggunakan sistem pengelompokan bhala (kerabat) atau taretan (persaudaraan) secara bertingkat. Konsep dasar kriteria kerabat tersebut ditumpukan pada asas seperindukan sebagai landasan utamanya (Rifai 2007).

Pada sistem pewarisan hubungan kekerabatan patrilineal ini tidak berlaku secara konsisiten, terutama pada pewarisan tanah pekarangan dan rumah. Berdasarkan adat, anak perempuan berhak mewarisi rumah dan tanah pekarangan. Hal ini disebabkan sistem matrilokal yang berlaku di Madura. Seorang laki-laki yang sudah menikah akan tinggal menetap di rumah istri dan keluar dari keluarga batihnya sendiri sementara seorang istri harus menyiapkan rumah di pekarangannya. Pola bermukim ini menunjukkan bahwa ikatan hubungan kekerabatan di Madura lebih kuat pada kaum perempuan. Pewarisan tanah tegalan berbeda dengan tanah pekarangan. Anak laki-laki dan perempuan memiliki bagian yang sama dalam pembagian waris tanah tegalan. Tanah tegalan mempunyai kekuatan mengikat dalam kegiatan budidaya pertanian berupa kebersamaan dalam mengolah tanah secara gotong royong. Bentuk ikatan gotong royong biasanya berdasarkan kepemilikan tanah yang berdekatan. Para pemilik tanah yang berdekatan biasanya masih satu keluarga karena tanah tegal yang diolah merupakan hasil pembagian warisan (tanah sangkolan).

Kegiatan sosial di perdesaan Madura diselenggarakan oleh organisasi massa yang dibentuk oleh masyarakat sendiri. Organisasi massa yang banyak dijumpai umumnya berlandaskan keagamaan. Ada kelompok yang secara teratur bertemu dan melakukan pembacaan diba’i dan barzanji dengan diiringi bunyi-bunyian hadrah atau samrah. Kamrat adalah organisasi massa lain yang lebih umum kegiatannya. Kadangkala kegiatan pertemuan teratur organisasi massa diikat pula dengan kegiatan arisan (Rifai 2007)

Dalam hal seni seni sastra, masyarakat Madura mengenal peribahasa, pepatah, dan kata-kata bijak seperti saloka. Baik pepatah, peribahasa, maupun saloka merupakan representasi dari kearifan lokal masyarakat Madura (Sadik 2012). Didalamnya terdapat simbol atau kiasan yang berisi falsafah hidup dan norma dalam bermasyarakat dan memelihara alam. Selain itu masyarakat Madura

juga mengenal seni tembang dan lagu. Tembang dan lagu ini umumnya memiliki makna yang menggambarkan adat kebiasaan masyarakat sehari-hari atau dapat pula berisi nasihat tentang nilai-nilai kehidupan (Junianto 2008, Syafiuddin 2011).

Dokumen terkait