• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakter atau Wataking Tembang

Dalam dokumen buku pengantar teori sastra jawa (Halaman 87-114)

BAB IV. KHASANAH SASTRA JAWA MODERN

B. Jenis-jenis Sastra Jawa Modern Berdasarkan Bentuknya

5) Karakter atau Wataking Tembang

Dalam tembang yasan, terutama tembang macapat dan tembang tengahan, pernah dilontarkan suatu teori bahwa setiap jenis tembang mempunyai wataknya masing-masing. Padmosoekatjo (tt, jld. I: 22-23) misalnya, menyatakan bahwa penggunaan tembang semestinya mengingat waktak tembang masing- masing, yakni sbb.

1. Kinanthi, berwatak senang, kasih, cinta. Tepatnya dipergunakan untuk menbeberkan ajaran, cerita yang berisi cinta kasih , asmara, atau jatuh cinta (gandrung)

2. Pucung, berwatak santai (kendho), tanpa ambisi, seenaknya. Tepatnya untuk menceritakan sesuatu yang netral, tanpa ambisi tertentu.

3. Asmaradana, berwatak jatuh cinta, sedih, prihatin. Dalam hal ini sedih dan prihatin yang disebabkan oleh perasaan jatuh cinta. Tepatnya untuk menceritakan tentang jatuh cinta.

4. Mijil, berwatak ekspresif (wedharing rasa). Tepatnya untuk mengekspresikan ajaran tertentu, namun juga dapat untuk mengungkapkan perasaan jatuh cinta.

5. Maskumambang, berwatak kesal, sedih, menyesal. Tepatnya untuk mengungkapkan perasaan sakit hati, sedih, kesal, menyesal.

6. Pangkur, berwatak keras, marah. Tepatnya untuk mengungkapkan perasaan marah, geregetan, ekspresi keras. Jika untuk mengungkapkan ajaran tertentu, yakni ajaran yang bernada marah. Bila untuk mengungkapkan perasaan cinta, cinta yang sangat bergejolak. Pada umumnya juga untuk menceritakan perang.

7. Sinom, berwatak ramah, segar. Cocoknya untuk mengungkapkan ajaran atau pendidikan.

8. Dhandhanggula, berwatak luwes, senang. Dapat untuk berbagai macam cerita, antara lain untuk membuka atau menutup cerita, untuk mengajar, untuk cerita perihal jatuh cinta, dsb.

9. Durma, berwatak keras (galak), marah (muntab). Tepatnya untuk mengungkapkan kemarahan, luapan dendam, atau cerita perang.

10. Gambuh, berwatak ramah, sehati, terbiasa, kenal akrab. Cocok untuk mengungkapkan ajaran yang agak keras karena sudah akrab, sehingga penyampaian ajarannya dapat dengan bahasa ragam ngoko, suatu ragam bahasa bagi mereka yang telah akrab.

11. Megatruh, berwatak sedih, prihatin, atau putus asa. Tepatnya untuk mengungkapkan perasaan sedih, menyesal tiada henti, atau putus asa.

12. Balabak, berwatak nakal, senda gurau, tidak serius. Tepatnya untuk mengungkapkan cerita yang tidak serius atau senda gurau. 13. Wirangrong, berwatak berwibawa, agung. Tepatnya untuk

mengungkapkan perasaan ketertarikan pada budi baik, ajaran luhur, dsb.

14. Jurudemung, berwatak lincah menyenangkan, indah. Tepatnya untuk mengungkapkan tentang hal-hal yang indah menyenangkan atau menarik hati.

15. Girisa, berwatak mengharapkan atau memesan. Tepatnya untuk mengungkapkan ajaran yang memesan atau mengharapkan sesuatu kepada orang lain.

Walaupun banyak pujangga dan pengarang yang menguasai teori perwatakan tembang tersebut, namun pada realitanya, tidak setiap karya sastra yang berbentuk tembang setia memperhatikan dan mengikuti pola perwatakan tembang tersebut. Hal ini antara lain disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut.

1. Bait-bait tembang yang tergabung menjadi satu dan disebut pupuh, sering kali tidak dapat luwes untuk selalu mengikuti perkembangan latar cerita atau suasana batin cerita. Dalam satu pupuh sering berisi cerita yang berlatar suasana yang bermacam-macam secara berganti- ganti. Dapat saja hanya dalam beberapa bait saja, latar suasana dalam cerita telah berganti, sementara pupuh-nya belum berganti.

2. Hal di atas bermula pada unit atau kesatuan bait (pada) tembang. Sering kali pergantian latar suasana terjadi di antara baris-baris tembang yang ada dalam suatu bait tembang tertentu. Dengan demikian tidak mungkin kesatuan bait tersebut dipenggal dalam baris- baris yang belum selesai menurut aturan guru gatra-nya. Hal ini jelas berbeda sekali bila dibandingkan dengan jenis puisi bebas, apalagi dengan jenis prosa. Puisi Jawa modern yang disebut geguritan, bait- baitnya tidak terikat oleh jumlah barisnya, bahkan sering kali hanya terdiri atas satu baris dengan satu atau dua kata saja. Dengan demikian pergantian suasana kejiwaannya lebih bebas, dapat berganti-ganti setiap

saat. Jauh lebih bebas lagi pada jenis prosa yang dapat mendeskripsikan secara detail perkembangan suasana kejiwaan pada cerita yang disuguhkan.

Bila dicermati lebih jauh, agaknya teori tentang watak tembang menurut jenis tembang-nya tersebut perlu ditinjau kembali, mengingat adanya berbagai cengkok atau lagu pada setiap jenis tembang. Kiranya akan lebih tepat bila watak tembang itu ditinjau dari jenis cengkok-nya, karena setiap cengkok tembang membawakan rasa alunan lagunya masing-masing yang tentu saja juga menyuguhkan sifat atau wataknya masing-masing yang berbeda-beda.

6) Jenis-jenis Cengkok Lagu Macapat

Yang dimaksud cengkok adalah jenis gaya atau tipe lagu tertentu pada tembang yang disesuaikan dengan nada dan irama iringan gamelan. Tembang, pada dasarnya merupakan sastra lisan, disebarkan dari mulut ke mulut dengan cara dilagukan (ditembangkan). Secara umum diketahui bahwa setiap nada dan irama itu mengandung rasa masing-masing yang juga bisa dikatakan sebagai sifat atau watak nada dan irama yang bersangkutan. Tentu saja hal ini juga berlaku pada setiap cengkok lagu tembang macapat. Namun sayang sekali sampai saat ini belum ditemukan teori yang mengidentifikasikan masing-masing watak cengkok lagu tembang. Adapun jenis-jenis cengkok lagu tembang macapat adalah sebagai berikut (Prawiradisastra, 1993: 88-91).

(1). Pucung

(a) Pucung Tunjungseta Slendro pathet sanga (b) Pucung Dengklung Slendro pathet manyura (c) Pucung Gliyung Pelog pathet nem (d) Pucung Larasmadya Pelog pathet barang (e) Pucung Paseban Slendro pathet sanga (f) Pucung Sangubranta Pelog pathet bem (g) Pucung Randhasemaya Pelog pathet barang (h) Pucung Klenthung Slendro pathet sanga (i) Pucung Linduran Slendro pathet sanga (2) Maskumambang

(b) Maskumambang Kembangtiba Pelog pathet nem (c) Maskumambang Dhadhapan Pelog pathet nem

(d) Maskumambang Limaran Pelog pathet nem (e) Maskumambang Malatsih Pelog pathet nem (f) Maskumambang Rencasih Pelog pathet nem (g) Maskumambang Mangkubumen Pelog pathet barang (h) Maskumambang Natakusuman Peog pathet barang (3) Gambuh

(a) Gambuh Panglipur Slendro pathet sanga (b) Gambuh Tejamaya Slendro pathet sanga (c) Gambuh Buminatan Slendro pathet manyura

(d) Ganbuh Wewarah Pelog pathet barang

(e) Gambuh Lala Pelog pathet nem

(f) Gambuh Natakusuman Pelog pathet nem (g) Gambuh Mangkubumen Pelog pathet nem

(h) Gambuh Genjung Pelog pathet nem

(i) Gambuh Gonjing Pelog pathet nem

(j) Gambuh Rimang Pelog pathet nem

(4) Megatruh

(a) Megatruh Wulugadhing Slendro pathet manyura (b) Megatruh Ngurawan Slendro pathet sanga

(c) Megatruh Sastranagaran Pelog pathet barang (d) Megatruh Gagatan Pelog pathet barang (e) Megatruh Tejamaya Pelog pathet nem

(f) Megatruh Kocak Pelog pathet nem

(g) Megatruh Amonglulut Pelog pathet nem (h) Megatruh Tunjungseta Pelog pathet nem (5) Wirangrong

(a) Wirangrong Tunjungseta Slendro pathet sanga (b) Wirangrong Tejamaya Slendro pathet sanga

(d) Wirangrong Lagu Maos Pelog pathet bem (e) Wirangrong Buminatan Pelog pathet nem (f) Wirangrong Mangkubumen Pelog pathet nem (g) Wirangrong Wiratmaya Pelog pathet nem (6) Balabak

(a) Balabak Patranala Slendro pathet sanga (b) Balabak Marasanja Slendro pathet sanga (c) Balabak Lara-lara Slendro pathet sanga (d) Balabak Tinjomaya Pelog pathet nem (e) Balabak Tunjungseta Pelog pathet barang (f) Balabak Wirabangsa Pelog pathet barang (3) Kinanthi

(a) Kinanthi Mangu Slendro pathet manyura (b) Kinanthi Sekargadhung Slendro pathet manyura (c) Kinanthi Sandhung Slendro pathet manyura (d) Kinanthi Gagatan Slendro pathet sanga (e) Kinanthi Kasilir Pelog pathet bem (f) Kinanthi Panglipurwuyung Pelog pathet nem (g) Kinanthi Pujamantra Slendro pathet sanga (h) dsb.

(4) Mijil

(a) Mijil Sekarsih Slendro pathet manyura (b) Mijil Larasati Slendro pathet sanga (c) Mijil Tinjomaya Slendro pathet sanga (d) Mijil Wedharingtyas Pelog pathet bem (e) Mijil Raramanglong Pelog pathet nem

(f) Mijil Larasdriya Pelog pathet barang (g) Mijil Kulanthe Pelog pathet barang (5) Asmaradana

(b) Asmaradana Tinjomaya Slendro pathet sanga (c) Asmaradana Mangkubumen Slendro pathet sanga (d) Asmaradana Lagu Kawin Pelog pathet bem (e) Asmaradana Lagu Slobog Pelog pathet barang

(f) Asmaradana Bawaraga Pelog pathet barang

(g) Asmaradana Semarangan Pelog pathet nem (h) Asmaradana Jakalola Pelog pathet nem

(6) Pangkur

(a) Pangkur Laras Madya Slendro pathet sanga

(b) Pangkur Paripurna Slendro pathet sanga

(c) Pangkur Dhudhakasmaran Slendro pathet sanga

(d) Pangkur Suranggagreget Slendro pathet

manyura

(e) Pangkur Kasmaran Pelog pathet nem

(f) Pangkur Nyamatmas Pelog pathet nem

(g) Pangkur Gegersore Pelog pathet nem

(h) Pangkur Ngrenasmara Pelog pathet nem

(7) Durma

(a) Durma Dhendharangsang Slendro pathet

manyura

(b) Durma Rangsang Slendro pathet sanga

(c) Durma Gagatan Slendro pathet sanga

(d) Durma Surengkewuh Pelog pathet barang

(e) Durma Guntur Pelog pathet barang

(f) Durma Linduran Pelog pathet barang

(g) dsb. (8) Jurudemung

(b) Jurudemung Buminatan Pelog pathet barang (c) Jurudemung Tunjungseta Slendro pathet sanga (d) Jurudemung Tunjungseta Pelog pathet nem (e) Jurudemung Natakusuman Slendro pathet sanga (f) Jurudemung Natakusuman Pelog pathet barang (g) Jurudemung Sastranegaran Slendro pathet sanga (h) Jurudemung Sastranegaran Pelog pathet barang

(9) Girisa

(a) Girisa Tejamaya Slendro pathet sanga (b) Girisa Ruhara Slendro pathet sanga

(c) Girisa Wantah Maos Pelog pathet nem (d) Girisa Kasaya Pelog pathet nem

(e) Girisa Natakusuman Pelog pathet barang (f) Girisa Buminatan Pelog pathet barang (10) Sinom

(a) Sinom Wenikenya Slendro pathet sanga (b) Sinom Logondhang Slendro pathet sanga (c) Sinom Mengkreng Slendro pathet sanga (d) Sinom Pangrawit Slendro pathet manyura (e) Sinom Kentar Slendro pathet manyura

(f) Sinom Ginonjing Pelog pathet nem (g) Sinom Bangwetan Pelog pathet nem (h) Sinom Wenikepyur Pelog pathet barang (11) Dhandhanggula

(a) Dhandhanggula pasowanan Slendro pathet sanga

(b) Dhandhanggula Padhasih Slendro pathet sanga (c) Dhandhanggula Rencasih Slendro pathet manyura (d) Dhandhanggula Tlutur Slendro pathet sanga

(e) Dhandhanggula Banjet Pelog pathet barang (f) Dhandhanggula Baranglaya Pelog pathet barang

(g) Dhandhanggula Penganten anyar Pelog pathet nem (h) Dhandhangula Kanyut Pelog pathet nem

(i) Dhandhangula Turulare Pelog pathet nem

Seperti telah disinggung di atas, dalam bentuk tembang yasan, sering disisipkan bentuk-bentuk khusus, antara lain sandi asma, sengkalan, wangsalan dan sebagainya. Perihal sandi asma telah di bicarakan di atas. Sedang wangsalan akan dibahas dalam hubungannya dengan jenis tembang para. Adapun sengkalan dapat dijelaskan sebagai berikut.

7) Sengkalan

Dalam bentuk tembang, khususnya macapat, selain sasmitaning tembang dan sandiasma, masih ada jenis-jenis tertentu yang juga sering diselipkan di antara baris-baris atau bait-bait tembang macapat itu, yakni antara lain sengkalan.

Kata sengkalan mungkin berasal dari kata saka kala dan akhiran -an, yakni hitungan waktu yang berdasarkan tahun Saka, karena pada mulanya sengkalan memang berdasarkan tahun Saka (Subalidinata, 1981: 92- 93). Namun kemudian pengucapannya bergeser menjadi sangkalan yang dapat juga berasal dari kata sang kala dan akhiran -an. Kata kala dalam bahasa Jawa baru dapat berarti ‘waktu’, sedang akhiran -an dapat bermakna ‘membentuk kata benda baru’ atau bermakna ‘tempat’. Jadi sengkalan dimaknai sebagai ‘tempat atau bagian yang menandakan waktu atau tahun’.

Sengkalan berisi gambar, atau ornamen atau relief atau semacam patung yang merupakan simbol dari rangkaian kata-kata atau rangkaian kata-kata itu sendiri yang mempunyai makna nilai bilangan dan nilai bilangannya dimaknai dari belakang sebagai angka tahun.

Jadi dari segi cara ekspresinya, sengkalan ada dua macam, yakni sengkalan memet dan sengkalan lamba. Sengkalan memet ialah sengkalan yang berupa bangunan bergambar atau relief atau semacam patung. Kata memet atau njlimet berarti ‘rumit’. Disebut memet karena penafsirannya lebih rumit. Menurut Subalidinata (1981: 93), dalam bahasa Jawa, gambar atau relief sering disebut pepethan, oleh karena itu sengkalan memet juga disebut sangkala petha.

Adapun sengkalan lamba ialah sengkalan yang telah berupa rangkaian kata atau kalimat. Kata lamba dapat berarti ‘sederhana’. Jadi sengkalan lamba

maksudnya adalah sengkalan yang lebih sederhana (dibanding sengkalan memet). Dalam bentuk tembang, atau dalam kitab-kitab di Jawa tentu saja yang ada adalah sengkalan lamba.

Sengkalan sebenarnya telah ada sejak sastra Jawa Kuna. Misalnya terdapat dalam kitab Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Sengkalan yang ada berbunyi sanga kuda śuddha cāndramā, yang berarti tahun Saka 1079. Kata sanga bernilai sembilan, kata kuda bernilai tujuh, kata suddha bernilai nol, dan kata candrama bernilai satu. Contoh yang berupa sengkalan memet terdapat dalam candi Sukuh berupa relief seekor lembu menggigit ekornya, yang harus dimaknai goh wiku naut buntut atau tahun Saka 1378; dan gapuranya berujud raksasa makan orang yang harus dimaknai gapura buta mangan wong atau tahun 1379 Saka.

Dari segi dasar perhitungan tahunnya, ada dua sengkalan yakni surya sengkala dan candra sengkala. Surya sengkala adalah sengkalan yang tahunnya dihitung berdasarkan tahun matahari. Adapun candra sengkala dihitung berdasarkan hitungan tahun bulan.

Menurut Padmosoekotjo (tt, jld. II: 134), kata-kata yang dipergunakan dalam sengkalan adalah kata-kata yang mengandung makna watak bilangan. Kata-kata yang dipilih adalah sesuai dengan nilai atau watak angkanya, sekaligus disesuaikan dengan peristiwa atau kejadiannya. Hal ini dikarenakan tujuan pembuatan sengkalan adalah untuk mengingat-ingat tahun terjadinya sesuatu. Pada dasarnya watak bilangan yang ada dalam sengkalan sebagai berikut.

1) Bernilai satu ialah kata-kata untuk bilangan satu, atau barang atau manusia atau bagian tubuh manusia atau binatang yang berjumlah satu, atau barang yang berbentuk bulat, atau bermakna ‘berani’. Kata-kata yang bernilai satu antara lain, wulan (bulan), candra (bulan), sasa (kelinci/ bulan), sasadara (bulan), nabi (nabi), bumi (bumi), buda (buda/ rabu), iku (ekor), janma (manusia), anak (anak), wani (berani), nyata (nyata), rupa (rupa), dsb.

2) Bernilai dua ialah kata untuk bilangan dua, atau barang yang jumlahnya pada umumnya dua. Kata-kata yang bernilai dua antara lain, paksi (sayap), lar (bulu panjang pada sayap), mata (mata), netra (mata), tangan (tangan), nembah (menyembah), suku (kaki), talingan (telinga), karna (telinga), buja (bahu), dsb.

3) Bernilai tiga ialah kata untuk bilangan tiga, atau api atau barang-barang yang menggunakan api atau berunsur api, atau putri. Kata-kata yang bernilai tiga antara lain, dahana (api), bahni (api), geni (api), agni (api), pawaka (api), tri (tiga), tiga (tiga), telu (tiga), wedha (weda), guna (ilmu pengetahuan), dsb. 4) Bernilai empat ialah kata untuk bilangan empat, atau air, atau barang-barang

yang berisi air, atau kata-kata yang bermakna ‘membuat’. Kata-kata yang bernilai empat antara lain, banyu (air), we (air), wedang (air panas), tirta (air), segara (laut) samodra (laut), wahana (sarana), suci (suci), dsb.

5) Bernilai lima ialah kata-kata untuk bilangan lima, atau kata-kata untuk menyebut raksasa (buta), atau kata-kata untuk menyebut senjata tajam seperti panah, anak panah, atau kata-kata yang berunsur angin. Kata-kata yang bernilai lima antara lain buta (raksasa), pandawa (pandawa), tata (tata), 6) Bernilai enam ialah kata-kata untuk bilangan enam, atau unsur-unsur rasa, atau

kata-kata yang bermakna ‘bergerak’, yang bermakna ‘kayu’, yang bermakna ‘binatang berkaki enam (sadpada)’.

7) Bernilai tujuh ialah kata-kata untuk menyebut bilangan tujuh, kata-kata untuk menyebut gunung, pendeta (pandhita), kuda, atau menunggang atau mengendarai.

8) Bernilai delapan ialah kata-kata untuk menyebut bilangan delapan, kata-kata untuk menyebut gajah, atau binatang melata (reptil), atau pujangga.

9) Bernilai sembilan ialah kata-kata untuk menyebut bilangan sembilan, atau dewa, atau barang-barang yang dianggap berlubang.

10) Bernilai nol ialah kata-kata untuk bilangan nol, atau kata-kata yang bermakna ‘tidak ada’ atau ‘hilang’, atau ‘tinggi’, atau ‘langit’.

Dalam bentuk tembang Dhandhanggula, watak bilangan tersebut dituliskan dalam satu bait, sebagai berikut.

Janma buweng wani tunggal Gusti (kata-kata yang bernilai 1) / panganten dwi akekanthen asta (bernilai 2) / gegeni putri katlune (bernilai 3) / papat agawe banyu (bernilai 4) / buta lima amanah angin (bernilai 5) / sad rasa kayu obah (bernilai 6) / wiku pitweng gunung (bernilai 7) / gajah wewolu rumangkang (bernilai 8) / dewa sanga anggeganda terus manjing (bernilai 9) / dhuwur wiyat tanpa das (bernilai 0).

Menurut Bratakesawa dalam bukunya Candra Sengkala (Padmosoekotjo, tt, Jld. II: 135), ada delapan patokan dalam memilih kata-kata untuk sengkalan, yakni sebagai berikut.

1) Guru dasa nama, yakni kata-kata yang sama artinya atau bersinonim, mempunyai watak bilangan sama. Contohnya kata bumi yang bernilai atau berwatak satu dapat digantikan dengan kata siti, pratiwi, pratala, bantala, kisma, dsb.

2) Guru sastra, yakni kata-kata yang penulisannya atau namanya sama, meskipun artinya berbeda mempunyai watak bilangan sama. Contohnya kata esthi yang berarti ‘maksud’ atau ‘kehendak’ bernilai sama dengan kata esthi yang bermakna ‘gajah’ yakni delapan.

3) Guru wanda, yakni kata-kata yang bersuku kata sama dapat dianggap bernilai sama. Misalnya kata dadi yang berarti ‘menjadi’ sama nilainya dengan kata waudadi yang berarti ‘laut’ yakni bernilai empat.

4) Guru warga, yakni kata-kata yang dapat dikategorikan dalam warga atau jenis atau golongan yang sama dapat dianggap mempunyai nilai yang sama. Misalnya nama binatang jenis reptil mempunyai nilai yang sama. Nilai baya ‘buaya’ sama dengan nilai naga ‘naga’ atau ula ‘ular’ yakni bernilai delapan. 5) Guru karya, yakni nama bendanya dianggap sama watak bilangannya dengan

hasil kerjanya. Misalnya kata mripat ‘mata’ bernilai sama dengan kata mandeng ‘memandang tajam’, atau ndeleng ‘memandang’, yakni bernilai dua. 6) Guru sarana, yakni nama alat tertentu sama nilainya dengan fungsinya.

Misalnya ilat ‘lidah’ sama nilainya dengan rasa ‘rasa’ yakni bernilai enam. 7) Guru darwa, yakni nama benda dengan sifatnya dianggap bernilai sama.

Misalnya kata geni ‘api’ bernilai sama dengan kata panas ‘panas’, yakni bernilai tiga.

8) Guru jarwa, yakni kata-kata yang mempunyai kemiripan arti dianggap sama nilainya. Misalnya kata retu ‘tidak tenteram’ atau ‘galau’ bernilai sama dengan kata geger ‘huru-hara’ yakni bernilai enam.

Menurut Subalidinata (1981: 96-97), masih ada patokan selain di atas, yakni sebagai berikut.

9) Berdasarkan pertautan nilai angka dalam huruf Jawa, yakni untuk angka 1 atau 7 yakni dengan huruf Jawa ga, dan 8 yakni dengan huruf Jawa pa. Jadi kata lega, raga, boga, dsb dapat bermakna 1 atau 7 karena mengandung bunyi ga.

Adapun kata papa, nastapa, wilapa dapat bermakna 8, karena mengandung bunyi pa.

10) Berdasarkan hukum kebiasaan dan kenyataan yang berlaku secara umum. Ratu atau raja ‘raja’, bumi, jagad ‘bumi’ atau ‘dunia’, biasanya hanya satu sehingga bernilai 1. Kata manten ‘pengantin’, tangan ‘tangan’, kuping ‘telinga’ bernilai 2, dsb.

11) Berdasar logika umum, yakni sesuatu yang secara logis dapat dihubungkan dengan nilai angka tertentu. Misalnya kata gandheng ‘bergandeng’ atau ‘bersambung’ dapat bernilai 2. Ilang ‘hilang’ atau musna ‘musnah’ dapat berarti 0, dsb.

Contoh-contoh sengkalan adalah sebagai berikut.

1. Rasa rupa dwi sitangsu (tahun 1216, R. Wijaya menjadi raja)

2. Kuda bumi paksaning wong (tahun 1217, pemberontakan Ranggalawe) 3. Brahmana papat muji tunggal (tahun 1748, penobatan Pakubuwana V) 4. Naga iku ngrusak jagad (tahun 1018, Candi Sewu)

5. Sirna ilang gunaning janmi (tahun 1300, Pajajaran runtuh) 6. Geni mati siniraming janmi (tahun 1403, Demak berdiri) 7. Tri lunga manca bumine (tahun 1503, Pajang berdiri) 8. Panerus tingal tataning nabi (tahun 1529, Suluk Wujil) 9. Sirneng tata pandhita siwi (tahun 1750, Serat Rama) 10.Atata resi mulang janma (tahun 1795, Serat Centhini). b) Tembang Para

Berbeda dengan tembang yasan, tembang para pada umumnya tidak mengenal pupuh. Artinya kesatuan bait-baitnya tidak dapat disebut pupuh karena patokan bait-baitnya tidak konsisten. Jadi pada umumnya, antara bait yang satu dengan bait selanjutnya berbeda-beda pola metrisnya, baik yang menyangkut jumlah barisnya, jumlah suku katanya, maupun persajakannya.

Jenis tembang para, antara lain berupa pepindhan yakni menyangkut sanepa, panyandra, isbat, paribasan, bebasan, dan saloka, wangsalan, parikan, lagu dolanan, dan guritan.

Secara luas, sebenarnya kata pepindhan berarti perumpamaan. Dengan demikian sebenarnya pepindhan itu menyangkut sanepa, panyandra, isbat, paribasan, bebasan dan saloka. Kata pepindhan berasal dadi kata dasar pindha yang mengalami perulangan, yakni perulangan dwi purwa salin swara dan mendapatkan akhiran –an. Kata pindha, memiliki sinonim kaya, lir, pendah, lir pendah, kadi, dan kadya yang semuanya beararti ‘seperti’. Jadi pepindhan adalah ungkapan bahasa yang mengandung perbandingan atau perumpamaan.

Menurut Padmosoekotjo (t.t., jld. I: 93), perbedaan di antara penamaan beberapa perumpamaan, terutama karena sudut pandangnya. Dari segi pembentukan kalimatnya bisa berupa pepindhan, dari segi isinya bisa berupa panyandra, dari segi diksinya (bregasing basa) bisa berupa basa rinengga, dan dari segi suaranya bisa mengandung purwakanthi, dan seterusnya.

Agaknya yang perlu lebih ditekankan adalah antara sanepa, panyandra dan isbat di satu sisi, dan paribasan, bebasan dan saloka di sisi lain.

(a) Sanepa

Yang disebut sanepa, menurut Padmosoekotjo (t.t., Jld. II: 66), yakni jenis pepindhan yang bentuknya stereortipe (tetap) dan terdiri atas kata sifat yang diikuti kata benda. Sedang menurut Subalidinata (1981: 81) sanepa mengandung arti menyangatkan sesuatu sifat yang diumpamakan dengan cara mempertentangkan. Contohnya sebagai berikut.

Ambune arum jamban (baunya, lebih harum comberan dari pada baunya) Balunge atos gedebog (tulangnya lebih keras batang pisang, lunak sekali) Cahyane abang dluwang (air mukanya, lebih merah kertas putih)

Eseme pait madu (senyumnya, lebih pait madu)

Lungguhe anteng kitiran (duduknya, lebih tenang putaran kipas) Suwe mijet wohing ranti (mudahnya, lebih lama memijat buah ranti) (b) Panyandra

Panyandra adalah ungkapan yang mengandung perbandingan dan mengandung persamaan, di dalamnya berisi perbandingan keindahan. Dalam hal ini yang dipentingkan keadaan indahannya, sehingga bahasanya bisa bahasa sehari- hari maupun dengan bahasa indah (basa rinengga). Contohnya sebagai berikut.

Athi-athine ngudhup turi (rambut di depan teliunga seperti kuncup turi) Alise nanggal sepisan (alisnya seperti bulan tanggal satu)

Bangkekane nawon kemit (pinggangnya bagaikan pinggang tawon kemit) Idepe tumengeng tawang (bulu matanya melengkung ke langit)

Kempole ngembang pudhak (betisnya seperti bunga pudak)

Lengene nggendhewa pinenthang (lengannya seperti busur dibentang) Ulate ndamar kanginan (air mukanya seperti dian tertiup angin) Untune miji timun (giginyta bagaikan biji mentimun)

(c) Isbat

Kata isbat berarti ‘ketetapan’. Isbat, yakni ungkapan yang mengandung pengertian tetap, mengandung arti kias, dan pada umumnya bermakna dalam hubungannya dengan tasawuf atau bersifat filosofis-mistis. Contohnya sebagai berikut.

Golek banyu apikulan warih (mencari air berpikulan air) Golek geni adedamar (mencari api dengan api)

Kodhok ngemuli lenge (Katak menyelimuti liangnya)

Nggoleki galihing kangkung (mencari galih pohon kangkung) Nggoleki gigiring punglu (mencari bagian punggung biji asam) Nggoleki susuhing angin (mencari sangkar angin)

Nggoleki isining bumbung wungwang (mencari isi bumbung kosong) Nggoleki tapaking kuntul nglayang (mencari jejak burung kuntul terbang)

(2) Pepindhan: Paribasan, Bebasan dan Saloka

Antara paribasan, bebasan dan saloka memiliki kemiripan bentuk yang pada dasarnya dapat disejajarkan dengan kata peribahasa dalam bahasa dan sastra Indonesia. Paribasan, bebasan dan saloka, ketiganya merupakan kata atau kelompok kata yang mengandung makna kiasan dan bentuknya tetap atau stereotip. Oleh karena kemiripannya, banyak orang yang menyamakan saja antara ketiganya, atau antara pakar yang satu dengan yang lain berbeda dalam hal pemilahannya. Padmosoekotjo (tt, jilid I: 62) menuliskan komentarnya mengenai hal tersebut, yakni bahwa ketiga-tiganya memang sulit dibedakan, bahkan beliau belum pernah mendapatkan atau menemukan penjelasan dari pakar lain yang layak untuk diacu (durung tau mrangguli katrangan sing gumathok lan maremake

Dalam dokumen buku pengantar teori sastra jawa (Halaman 87-114)