• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.5. Karakterisasi Film sambung silang kitosan sitrat

Cairan pembentuk film (CPF) F1, F2, F3 dan F4 diuji viskositas dengan menggunakan viskotester HAAKE 6R dengan nomor spindel 3R dan kecepatan putaran spindel 60 rpm pada suhu ruang (Rane dan Kale, 2009 dengan modifikasi).

3.4.5.2. Organoleptis Film

Pengamatan organoleptis film dilakukan secara mikroskopik dan makroskopik. Pengamatan mikroskopik film dilakukan pada penampang membujur dan melintang dari film tersebut. Pengamatan makroskopik film dilakukan dengan mengamati secara visual warna dan tekstur permukaan film (J.Balasubramanian et al., 2012).

3.4.5.3. Uji Ketebalan Film

Pengukuran ketebalan film diukur dengan menggunakan mikrometer pada keenam sisi di sekeliling film. Kemudian dihitung rata-rata ketebalannya dan dinyatakan dalam satuan mikrometer (µm) (Semalty,

M. et al., 2008 dengan modifikasi).

3.4.5.4.Uji Keragaman Bobot

Film dari semua formulasi yang memiliki ukuran yang sama (3,5 x 2 cm2) ditimbang dan rata-rata berat film tersebut dihitung. Pengujian ini dilakukan sebanyak tiga film pada masing masing formula. Kemudian

standar deviasi dari masing-masing formula dihitung (Chinta, Durga Praveena et al, 2013 dengan modifikasi).

3.4.5.5.Uji Daya Mengembang film

Film dengan ukuran 3,5x2 cm2 dibiarkan mengembang di dalam 15 ml medium dapar fosfat pH 6,8 pada cawan penguap. Film ditimbang pada waktu ke 5, 10, 15, 30, 60, 90 dan 120 menit. Sebelum ditimbang film dihilangkan airnya dengan kertas saring. Persen mengembang dapat diukur dengan persamaan berikut:

Indeks Mengembang % = W −WW X %

Dimana Wt adalah berat pada waktu t dan Wo adalah berat pada waktu 0 (Mahalaxmi et al., 2010). Hasil yang diperoleh dianalisa secara statistik mengunakan sofware SPSS

3.4.5.6. Penetapan Panjang Gelombang Maksimum Verapamil HCl

Dilakukan scanning panjang gelombang dari larutan standar verapamil HCl dengan konsentrasi 40 ppm menggunakan spektrofotometer UV dengan panjang gelombang 200-400 nm (USP-NF, dengan modifikasi).

3.4.5.7. Pembuatan Kurva Kalibrasi Verapamil HCl

Kurva kalibrasi verapami HCl diukur dengan melarutkan 100 mg verapamil HCl dalam 100 ml dapar fosfat, sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 1000 ppm. Kemudian dibuat seri konsentrasi 0,10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80 ppm. Seri konsentrasi verapamil HCl tersebut diukur menggunakan spektrofotometer UV pada panjang gelombang maksimum verapamil HCl yaitu 277,6 nm (Ajeng, Wisnu, 2012 dengan modifikasi).

3.4.5.8. Keseragaman kandungan Verapamil HCl dalam Film 3.4.5.8.1. Optimasi Waktu ekstraksi Verapamil HCl dari Film

Film yang terdapat didalam cetakan keseluruhannya ditimbang kemudian dipotong potong. Film yang telah terpotong potong tersebut dimasukkan ke dalam 100 ml medium dapar fosfat pH 6,8 kemudian

dilakukan pengadukan dengan pengaduk magnetik selama 6 jam dan kemudian didiamkan selam 18 jam. Pada setiap jam saat pengadukan dengan pengaduk magnetik dan saat terakhir setelah didiamkan selama 18 jam larutan diambil sampelnya sebanyak 5 ml untuk kemudian diukur kadar verapamil HCl yang terkandung didalamnya dan larutan yang diambil tersebut digantikan dengan 5 ml dengan dapar fosfat pH 6,8. Sampel tersebut disaring dengan penyaring membran 0,45 µm. Kemudian 0,5 ml larutan uji diencerkan dengan medium dapar fosfat pH 6,8 hingga 25 ml. kemudian diukur kandungan verapamil tersebut dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 277,6 nm. Uji ini dilakukan triplo.

3.4.5.8.2. Uji Keseragaman Kandungan Film

Tiga unit film berukuran 3,5 x 2 cm2 yang berasal dari satu cetakan film yang sama dari setiap formula diambil untuk dilakukan pengujian keseragaman kandungan dalam film tersebut. Film yang telah dipotong-potong dimasukkan ke dalam 100 ml medium dapar fosfat pH 6,8. Kemudian dilakukan pengadukan dengan pengaduk magnetik selama 6 jam dan didiamkan selama 18 jam. Larutan uji diambil 5 ml kemudian disaring dengan penyaring membran 0,45 µm. Larutan tersebut diambil sebanyak 0,5 ml kemudian di encerkan kedalam labu ukur 5 ml. Setelah itu larutan diukur dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang maksimum verapamil HCl 277,6 nm. Uji ini dilakukan secara triplo (Deshmane, Subhash V et al., 2009 dengan modifikasi).

3.4.5.9. Uji Penetapan Kadar Verapamil HCl dalam Film

Penetapan kadar verapamil HCl dilakukan dengan cara seperti pada keseragaman kandung film, tetapi sampel film yang digunakan merupakan film dengan bobot yang sama atau hampir sama. Penetapan kadar film dengan menggunakan film dengan bobot yang hampir sama bertujuan untuk mengetahui kadar verapamil HCl di dalam film yang memiliki bobot yang mirip sebagai acuan pemilihan sampel untuk uji pelepasan obat.

3.4.5.10. Uji Ketahanan Pelipatan Film

Daya tahan pelipatan diukur dengan melipat film sebanyak 300 kali secara terus menerus. Daya tahan dapat dilihat dari jumlah pelipatan yang dilakukan di tempat yang sama sampai film sobek (Koland, Charyulu dan Prablu, 2010).

3.4.5.11. Sifat Mekanik Film

Sifat mekanik film diuji berdasarkan kekuatan tarik (tensile

strength) dan perpanjangan pada saat putus (elongation at breaks).

Pengujian sifat mekanik dilakukan dengan menggunakan alat tensile tester

Storograph R1. Film dipotong dengan bentuk halter dengan dumbbell Astm-D-1822 L Crosshead seperti berikut:

(Sumber : http://www.dumbbell.co.jp, 2014)

Gambar 3.4. Contoh potongan film untuk uji sifat mekanik

Film ditarik dengan gaya 100 kg, dengan kecepatan 25 mm/menit, dan dibaca dengan kertas grafik dengan skala terkecil 0,01 kg. Pengukuran % elongasi dan kekuatan peregangan dilakukan dengan rumus berikut: Perpanjangan putus (%) = Pa a a i i −Pa a awa i

Pa a awa i

Kekuatan tarik = Gaya a i N

L a a a i 2

Hasil yang diperoleh dianalisa secara statistik mengunakan sofware SPSS (Abbaspour, M.R., S. Makhmalzadeh, dan S. Jalali, 2010 dengan modifikasi).

3.4.5.12. Uji Pelepasan Verapamil HCl secara In vitro

Uji pelepasan obat secara invitro dari film 3,5 x 2 cm2 dilakukan dengan menggunakan metode dayung berputar. Uji disolusi dilakukan

dalam larutan buffer fosfat pH 6,8 sebanyak 400 mL pada suhu 37°C ± 0,5°C, dan dengan kecepatan putaran 50 rpm. Film dimasukkan ke dalam medium disolusi tersebut. Sampel sebanyak 5 ml ditarik pada interval waktu yang telah ditentukan dan diganti dengan sejumlah larutan dapar fosfat pH 6,8 dengan volume yang sama. Sampel disaring melalui penyaring membran 0,45 µm dan dianalisis dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang maksimum verapamil HCl 277,6 nm. Durasi pengujian disolusi ditentukan dengan optimasi terlebih dahulu dan pengujian dilakukan secara triplo. Hasil yang diperoleh dianalisa secara statistik mengunakan sofware SPSS (Deshmane, Subhash V et al., 2009 dengan modifikasi).

26 BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Uji Pendahuluan

4.1.1. Optimasi Konsentrasi Larutan Natrium Sitrat

Pada penelitian ini dilakukan uji pendahuluan yaitu optimasi konsentrasi larutan natrium sitrat. Optimasi ini bertujuan agar mendapatkan konsentrasi natrium sitrat yang terbaik yang dapat menghasilkan ikatan sambung silang kitosan dengan sitrat dan dapat dilarutkan dalam asam asetat 4%. Variasi konsentrasi natrium sitrat yang digunakan yaitu 1%; 1,5%; dan 2%. Konsentrasi natrium sitrat yang optimal ditentukan dengan uji turbidimetri dan uji kelarutan.

Gambar 4.1. Cairan Pembentuk Eksipien Kitosan Sitrat Sambung Silang 1%; 1,5%; dan 2% serta Kitosan Pembanding

Tabel 4.1. Karakteristik Cairan Pembentuk Eksipien dan Eksipien Sambung Silang Kitosan Sitrat dengan Variasi Konsentrasi

No Nama sampel Bentuk Cairan Pembentuk Eksipien

% Kekeruhan (100-T%) 1 Kitosan

pembanding

Koloidal, bening, tanpa terlihat

bentuk partikel 41,0 % 2 Kitosan-sitrat 1% Koloidal, sedikit keruh, tanpa

terlihat bentuk partikel 42,5% 3 Kitosan-sitrat

1,5%

Kolidal, keruh, tanpa terlihat

bentuk partikel, 63,1% 4 Kitosan-sitrat 2% Koloidal, sangat keruh terlihat

Kekeruhan merupakan salah satu tanda terjadinya ikatan sambung silang antara kitosan dan natrium sitrat, semakin banyak ikatan sambung silang antara kitosan dan natrium sitrat maka semakin meningkat kekeruhannya. Interaksi sodium sitrat dan kitosan diuji dengan uji turbidimetri, metode pengujian ini telah dilakukan oleh park et al. (Park et al., 1992; Mattison et al., 1995).

Berdasarkan uji pendahuluan pembentukan eksipien dengan variasi natrium sitrat menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium sitrat yang digunakan maka semakin besar persentase kekeruhan yang dihasilkan. Berdasarkan hal tersebut maka semakin tinggi konsentrasi natrium sitrat menghasilkan ikatan sambung silang yang semakin tinggi. Hal tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi natrium sitrat akan meningkatkan derajat ikatan sambung silang sehingga menurunkan daya mengembang film tersebut (Ashok Kumar Tiwary dan Vikas Rana, 2010). Berdasarkan hasil penelitian, Ikatan sambung silang yang terbesar terdapat pada eksipien sambung silang kitosan sitrat dengan konsentrasi natrium sitrat sebesar 2%. Ikatan sambung silang yang semakin besar dapat menghambat pelepasan obat pada film, selain itu juga akan menurunkan daya mengembang film (Honary, Soheyla, Behnam Hoseinzadeh dan Payman Shalchian, 2010). Sehingga dari hasil turbidimetri tersebut menunjukkan jika larutan narium sitrat dengan konsentrasi 2% dan pH 5 dapat menghambat pelepasan obat secara signifikan pada film yang akan dibuat. Pengahambatan pelepasan obat yang terlalu besar ini tidak diharapkan karena dapat membuat persentase kumulatif obat pelepasan obat dari film tidak mencapai 100%.

Eksipien sambung silang kitosan sitrat dengan variasi konsentrasi natrium sitrat tersebut selanjutnya diuji kelarutan dalam asam asetat 4%. Konsentrasi asam asetat dipilih berdasarkan konsentrasi asam asetat yang digunakan untuk membentuk film. Dari hasil uji kelarutan tersebut semua variasi konsentrasi larutan natrium sitrat dapat larut dalam asam asetat 4% dengan membentuk koloidal kental berwarna bening kekuningan.

Berdasarkan uji turbidimetri dan kelarutan maka dipilih konsentrasi natrium sitrat 1,5%. Konsentrasi tersebut dipilih karena pada konsentrasi tersebut menghasilkan ikatan sambung silang yang cukup baik dan dapat larut dalam asam asetat 4%.

4.2. Preparasi Eksipien Sambung Silang Kitosan Sitrat

Eksipien sambung silang kitosan-sitrat dibuat dengan tiga variasi pH larutan natrium sitrat yaitu pH 4, 5, dan 7 dengan konsentrasi 1,5%. Ketiga variasi pH ini dipilih berdasarkan tiga nilai pKa asam sitrat yaitu 3,14; 4,77; dan 6,39 (Doores S., 2005). Variasi pH ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan pH larutan natrium sitrat terhadap karakterisik eksipien sambung silang kitosan sitrat. Eksipien sambung silang kitosan sitrat dibuat dengan menambahkan larutan natrium sitrat dengan berbagai pH ke dalam larutan kitosan sambil diaduk dengan menggunakan stand up stirrer 1300 rpm. Setelah itu cairan pembentuk eksipien diuji turbidimetri dan viskositasnya. Setelah diujikan cairan pembentuk eksipien tersebut dikeringkan dengan mengggunakan oven suhu 55oC. Sambung silang kitosan sitrat yang telah kering dihaluskan menggunakan lumpang dan alu dengan sesegera mungkin. Hal tersebut karena eksipien sambung silang kitosan sitrat yang terbentuk bersifat higroskopis sehingga jika terlalu lama terpapar udara akan membuat eksipien tersebut menjadi elastis dan tidak dapat dihaluskan sehingga tidak dapat membentuk serbuk.

4.3. Karakterisasi Eksipien Sambung Silang Kitosan Sitrat 4.3.1 Uji Turbidimetri

Interaksi antara kitosan dan natrium sitrat akan dianalisa menggunakan uji turbidimetri. Perubahan turbiditas akan ditentukan dengan spetrofotometer visibel pada panjang gelombang 420 nm dan turbiditasnya dihitung dengan 100 - T%.

Tabel 4.3. Uji Turbidimetri Eksipien Sambung Silang Kitosan-Sitrat No Nama sampel % kekeruhan (100 - T%)

1 Kitosan pembanding 39,7 %

2 F1 39,8 %

3 F2 61,4 %

4 F3 76,1 %

Berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa sambung silang kitosan sitrat pH 7 memiliki nilai kekeruhan yang paling tinggi kemudian kekeruhan semakin menurun secara berturut-turut pada larutan natrium sitrat ph 5 dan pH 4. Hal ini menunjukkan bahwa semakin meningkat pH larutan natrium sitrat maka ikatan sambung silang kitosan sitrat yang terbentuk akan semakin meningkat (Shu, X.Z et al.,2001).

4.3.2. Uji Penampilan Fisik

Keterangan: a) kitosan; b) kitosan sambung silang sitrat

Gambar 4.3. Penampilan Fisik Kitosan dan Sambung Silang Kitosan Sitrat Eksipien kitosan memiliki warna yang berbeda dengan eksipien sambung silang kitosan sitrat yaitu serbuk kitosan berwarna putih gading sedangkan kitosan yang telah tersambung silang oleh sitrat berwarna kuning. Perubahan warna ini terjadi akibat proses pengeringan cairan pembentuk eksipien.

Kitosan memiliki bentuk serbuk halus sedangkan eksipien sambung silang kitosan sitrat yang dihasilkan berbentuk serpihan. Perbedaan bentuk ini terjadi akibat proses penyerbukan yang tidak sempurna. Sifat eksipien sambung silang kitosan sitrat yang higroskopis membuat proses

penyerbukan menjadi sulit, sehingga eksipien sambung silang kitosan sitrat yang dihasilkan berupa serpihan.

Kitosan tidak berbau sedangkan kitosan sambung silang sitrat berbau asam. Bau asam dari kitosan sambung silang sitrat berasal dari asam asetat yang digunakan sebagai pelarut kitosan pada saat proses sambung silang dengan natrium sitrat.

4.3.3. Penentuan Derajat Keasaman (pH)

Tabel 4.3. Uji Derajat Keasaman Eksipien Sambung Silang Kitosan-Sitrat

No Nama sampel Derajat keasaman (pH) 1 Kitosan pembanding 7,844 ± 0.059

2 F1 5,242 ± 0,027

3 F2 5,275 ± 0,038

4 F3 5,275 ± 0,038

Penentuan derajat keasaman dilakukan terhadap kitosan dan kitosan sambung silang kitosan-sitrat dengan konsentrasi 2% dalam aquades. Dari hasil penentuan derajat keasaman (pH) kitosan memiliki pH 7,844 sedangkan kitosan yang telah disambung silang dengan sitrat pH 4, 5, dan 7 masing masing memiliki pH 5,242; 5,275; 5,275 secara berturut turut. Hal tersebut menunjukkan bahwa kitosan sambung silang sitrat memiliki pH lebih rendah dari kitosan. Perubahan pH ini terjadi akibat penggunaan pelarut asam asetat pada proses sambung silang. Perbedaan pH eksipien sambung silang kitosan sitrat juga dipengaruhi oleh pH larutan natrium sitrat yang digunakan, semakin rendah pH natrium sitrat yang digunakan maka pH ekspien yang dihasilkan juga akan semakin rendah.

4.3.4. Derajat Substitusi

Tabel 4.3. Uji Derajat Substitusi Eksipien Sambung Silang Kitosan-Sitrat

No Nama sampel Derajat Substitusi (g/mol)

2 F1 1,424

3 F2 5,399

4 F3 7,5

Pengujian derajat substitusi dari kitosan sambung silang sitrat dilakukan dengan menggunakan titrasi asam basa secara tidak langsung.

Eksipien F1, F2, F3 memiliki derajat subtitusi secara berturut turut 1,424; 5,399 ; dan 7,5 gram/mol. Hasil derajat substitusi tersebut menunjukkan bahwa F3 dengan sambung silang larutan natrium sitrat pH 7 memiliki jumlah kandungan sitrat yang paling besar yang selanjutnya diikuti oleh pH 5 dan pH 4. Hasil derajat substitusi ini sesuai dengan hasil turbidimetri yang menunjukan bahwa ikatan sambung silang kitosan dengan sitrat paling besar terjadi pada larutan natrium sitrat pH 7.

4.3.5. Analisa Gugus Fungsi

Tabel 4.3. Spektrum FTIR Kitosan Sitrat (pH4 ; pH 5; pH 7) dan Kitosan Gugus fungsi Bilangan Gelombang (cm-1) Kitosan sitarat pH 4 Kitosan sitarat pH 5 Kitosan sitarat pH 7 Kitosan pembanding -OH, -NH2 3476,84 3473,95 3476,84 3294,56 -NH3+ 3053,15 2879,85 3053,45 - -N-H bend 1665,60 1656,92 1665,60 1556.92 -C=O 1589,41 1575,91 1589,41 1588,45 -COO- 1384,95 1409,06 1384,95 -

Analisis gugus fungsi dilakukan untuk mengetahui adanya perubahan gugus fungsi pada eksipien kitosan-sitrat. Analisa gugus fungsi dilakukan dengan menggunakan Fourier Transform Infrared (FTIR). Spektrum IR kitosan dan kitosan sitrat (pH 4; pH 5; & pH 7) ditunjukan pada gambar 4.3. Spektrum IR kitosan dan kitosan sitrat memiliki puncak pada 3500-3000 cm-1 yang menunujukkan terdapatnya gugus OH dan NH

2.

Kitosan sitrat (pH 4; pH 5; dan pH 7) terdapat puncak 3100- 3053 cm-1 yang menunjukkan terdapatnya gugus NH3+ gugus ini merupakan hasil interaksi

antara amida dari kitosan dengan sitrat. Pada spektrum kitosan puncak 1655 cm-1 dan 1600.02 cm-1 menunjukan adanya gugus N-H dan C=O, pada spektrum kitosan sitrat puncak yang menunjukkan gugus N-H dan C=O mengalami perubahan yaitu puncak 1656,92 cm-1 yang menunjukkan gugus N-H memiliki serapan yang lebih rendah dari serapan dengan gugus yang sama pada spektrum kitosan. Puncak 1588,45 cm-1 pada spektrum kitosan sitrat yang merupakan gugus karbonil memiliki serapan yang lebih tajam dibandingkan dengan gugus karbonil pada spektrum kitosan. Hal tersebut terjadi karena terjadinya interaksi antara amida pada kitosan dengan karboksilat dari sitrat sehingga gugus amida berkurang karena berubah menjadi NH3+dan C=O bertambah akibat gugus karboksilat yang berasal

dari sitrat. Puncak 1375 cm-1 pada spektrum kitosan merupakan gugus C-O. Puncak 1407,13 pada spektrum kitosan sitrat merupakan gugus COOH

-yang terbentuk dari ikatan sambung silang atara kitosan dengan sitrat (Pavia, Donald L., Gary M. Lampman, George S. Kriz, dan James R. Vyvyan, 2008).

4.4. Preparasi Film

Film dibuat dengan empat formula, perbedaan dari keempat formula tersebut adalah berdasarkan dari eksipien pembentuk filmnya. F1, F2 dan F3 menggunakan eksipien hasil sambung silang kitosan dengan natrium sitrat sedangkan F4 merupakan film pembanding sehingga eksipien yang digunakan sebagai pembentuk filmnya adalah kitosan yang tidak mengalami proses sambung silang. Film tersebut ditambahkan gliserin sebanyak 70 % v/b dari kitosan dan kitosan sitrat yang digunakan. Gliserin berfungsi sebagai plastisizer pada film sehingga mengurangi kerapuhan film (Nadarajah, Kandasamy, 2005). Kitosan, gliserin dan verapamil HCl dilarutkan dengan asam asetat 4% dan diaduk dengan pengaduk magnetik selama satu jam. CPF yang telah homogen didiamkan selama 24 jam untuk menghilangkan gelembung. CPF tersebut kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 50oC selama 20 jam. Selanjutnya film disimpan dalam wadah kedap udara sampai bobot konstan. Setelah dilakukan pengamatan kestabilan bobot maka diketahui film akan konstan pada hari ke 5.

4.5. Karakterisitik film 4.5.1. Viskositas

Tabel 4.5. Viskositas Cairan Pembentuk Film dari Keempat Formula Film

No Nama sampel Viskositas (cPs)

1 F1 590

2 F2 590

3 F3 581

4 F4 730

Viskositas cairan pembentuk film kitosan (F4) memiliki nilai viskositas lebih besar yaitu 730 cPs dari cairan pembentuk film yang berasal dari eksipien sambung silang kitosan sitrat pH 4, pH 5, pH, 7 yaitu 581, 590, dan 590 cPs. Viskositas dari cairan pembentuk film kitosan sitrat yang lebih rendah dapat terjadi akibat eksipien sambung silang kitosan sitrat mengandung natrium sitrat 15% dari total kitosan. Kitosan merupakan

polimer pembentuk film sehingga jika kitosan jumlahnya berkurang maka dapat membuat viskositas CPF menjadi lebih rendah.

4.5.2. Organoleptis Film

Gambar 4.5. Pengamatan Visual Keempat Formula Film

Berdasarkan pengamatan secara visual film F1, F2, F3 dan F4 berwarna kuning transparan berbau asam yang berasal dari asam asetat yang digunakan sebagai pelarut. Film F1 dan F2 saat setelah dikeringkan pada permukaan atas filmnya terdapat cairan yang berbentuk seperti tetesan. Tetesan tersebut berdasarkan uji spektrofotometer UV mengandung verpamil HCl. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi ketidakstabilan verpamil HCl dengan formula yang digunakan. Pada F3 dan F4 tidak terdapat cairan yang berbentuk seperti tetesan tersebut namun permukaan film tersebut lengket yang menandakan bahwa verapamil HCl tersebut masih mengalami ketidakstabilan walaupun jumlahnya tidak sebanyak yang terjadi pada film F1 dan F2.

Pengamatan secara mikroskopik dilakukan pada penampang membujur dan melintang dengan perbesaran 100x. Hasil pengamatan mikroskopik tersebut terlihat pada gambar 4.5. Pengamatan mikroskopik dengan penampang membujur dilakukan dengan menggunakan sampel pada bagian permukaan bawah film.

Keterangan: Penampang membujur film: A) F1; B) F2; C) F3; D) F4 Gambar 4.5. Penampang Membujur Keempat Formula Film

Keterangan: Penampang melintang film: a) F1; b) F2; c) F3; d) F4 Gambar 4.5. Penampang Melintang Keempat Formula Film

Berdasarkan pada pengamatan penampang membujur tersebut terlihat bahwa verapamil hidroklorida terdapat banyak diluar permukaan film. Pada penampang melintang terlihat bahwa verapamil pada keempat formula film tersebar di bagian permukaan atas dan bawah serta terdapat dibagian tengah film. Pada gambar penampang membujur film F1, F2 dan F3 terlihat terdapat serat-serat halus yang menjerat verapamil HCl. Hal tersebut terjadi akibat proses sambung silang yang terjadi pada F1, F2 dan F3.

4.5.3. Uji Ketebalan Film

Tabel 4.5. Ketebalan Film Keempat Formula Film

Berdasarkan pengujian ketebalan film pada keempat formula, diketahui bahwa film yang dihasilkan ketebalannya tidak homogen. Hal ini terlihat dari besarnya simpangan baku yang diperoleh dari pengukuran ketebalan film bahkan di satu film yang sama. Ketebalan yang beragam ini dipengaruhi oleh kemirangan oven pada saat pengeringan film. Selain itu, ketebalan yang beragam ini juga disebabkan ukuran cetakan film yang telalu sempit mengakibatkan pada saat pengeringan CPF mudah untuk tertarik ketengah sehingga ketebalan film pada posisi tengah cetakan lebih besar dibandingkan dengan bagian pinggirnya.

4.5.4. Keragaman Bobot

Tabel 4.5. Keragaman Bobot Keempat Formula Film

Bobot film yang dihasilkan pada keempat formula terlihat beragam, hal ini terlihat pada besarnya simpangan baku yang dihasilkan dalam satu formula. Bobot film dipengaruhi oleh homogenitas film dan ketebalan film. Berdasarkan uji ketebalan film, terlihat bahwa ketebalan film tidak homogen sehingga hasil tersebut sesuai dengan hasil pengujian bobot film yang beragam. Formula Tebal (μm) 1 2 3 Rata rata F1 319,33 ± 114,2 280,83 ± 92,9 245,83 ± 120,0 300,08 ± 36,8 F2 291,33 ± 145,4 350,17 ± 156,8 294,17 ± 183,1 311,89 ± 29,4 F3 238,67 ± 71,0 252,67 ± 132,6 260,67 ± 88,2 250,67 ± 27,3 F4 273,5 ± 71,1 234,83 ± 58,2 280,83 ± 44,3 263, 06 ± 27,3

Formula Berat Film (mg) Rata rata (mg)

1 2 3

F1 245,7 166,8 244,6 219,0 ± 45,2 F2 251,3 253,9 157,6 220,9 ± 54,9 F3 219,1 224,6 210,0 217,9 ± 7,4 F4 270,9 255,2 249,4 258,5 ±11,12

4.5.5. Panjang gelombang maksmum dan kurva kalibrasi Verapamil HCl

Gambar 4.5. Panjang Gelombang Maksimum Verpamil HCl

Tabel 4.5. Panjang Gelombang Maksimum Verapamil HCl

No Puncak (nm) Absorbansi

1 382,4 0,004

2 277,6 0,438

3 228,6 1,161

4 206,0 2,928

Verapamil hidroklorida 40 ppm dalam dapar fosfat pH 6,8 diukur panjang gelombang maksimumnya. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan spektofotometer UV pada panjang gelombang 400-200 nm. Panjang gelombang maksimum verapmil hidroklorida yang didapatkan yaitu 277,6 nm. Pada panjang gelombang maksimum ini verapamil hidroklorida memiliki absorbansi 0,438.

Gambar 4.5. Kurva Kalibrasi Verpamil HCl dalam Dapar Fosfat pH 6,8

Tabel 4.5. Kurva Kalibrasi Verapamil HCl dalam Dapar Fosfat pH 6,8

No Absorbansi Konsentrasi (ppm) 1 0,000 0,000 2 0,116 10,000 3 0,211 20,000 4 0,328 30,000 5 0,437 40,000 6 0,533 50,000 7 0,637 60,000 8 0,739 70,000 9 0,823 80,000

Kurva kalibrasi verapamil hidroklorida dalam dapar fosfat pH 6,8 dilakukan pada panjang gelombang maksimum yang diperoleh sebelumnya yaitu 277,6 nm. Kurva kalisasi diukur dengan seri konsentrasi 0 , 10, 20, 30, 40, 50 ,60, 70, dan 80 ppm. Hasil pengujian kurva kalibrasi memmberikan hasil persamaan regresi linear yaitu y = 0,0104x + 0,0104 dengan r2 yaitu 0,999 . panjang gelombang maksimum dan kurva kalibrasi yang diperoleh digunakan pada pengujian keseragaman kandungan, penetapan kadar dan uji pelepesan verapamil HCl.

4.5.6. Keseragaman Kandungan Verapamil HCl

Pada pengujian keseragaman kandungan sebelumnya dilakukan optimasi untuk menentukan waktu ekstraksi verapamil HCl dalam film. Optimasi tersebut menggunakan sampel keseluruhan film satu cetakan yang telah diketahui mengandung verapamil HCl sebanyak 240 mg. Selanjutnya, dilakukan pengujian penetapan kadar film dalam satu cetakan keseluruhan

y = 0.0104x + 0.0104 R² = 0.999 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 0 50 100 A UC (m A U* m in ) Konsentrasi (ppm)

tersebut, pengujian ini dilakukan untuk mendapatkan persentase kadar obat terhadap film yang dapat diperoleh dengan menggunakan metode yang dilakukan. Berdasarkan hasil penetapan kadar pada sampel film keseluruhan satu cetakkan menunjukkan bahwa verapamil HCl dapat terektraksi sebanyak 95,11± 3,49 % dengan diaduk menggunakan pengaduk magnetik selama 6 jam kemudian didiamkan selama 18 jam.

Tabel 4.5. Hasil Optimasi Waktu Ektraksi Verapamil HCl dalam Film Formula Berat film (mg) Kadar (mg) % UPK (%) % kadar verapamil

dalam film (%)

F1 879,3 238,08 99,20 27,08

F2 895,3 228,97 95,40 25,57

F3 889,0 217,58 90,66 24,48

F4 969,4 228,4 95,17 23.56

Rata rata % UPK film (%) 95,11 ± 3,49

Persentase kadar verapamil HCl dalam film di masing masing formula berbeda. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh ketidakhomogenan kandungan verapamil HCl di dalam film karena verapamil HCl mengalami migrasi. Migrasi verapamil HCl menyebabkan verapamil HCl banyak berada di permukaan film. Hal tersebut membuat setiap perlakuan film seperti penimbangan dan pemotongan dapat mempengaruhi kadar verapamil HCl di dalam film.

Keseragaman kandungan dilakukan dengan menggunakan tiga film berukuran 3,5 x 2 cm2 yang berasal dari satu cetakan yang sama. Tujuan

pengujian keseragam kandungan film ini untuk mengetahui keseragaman

Dokumen terkait