TINJAUAN PUSTAKA
2.6 Karakterisasi Modifikasi Aspal Polimer
Karakteristik dari modifikasi aspal polimer yang diukur dengan pengujian sifat mekanik, sifat fisik dan analisis dengan FTIR. Dimana untuk pengujian sifat mekanis yaitu dengan uji kuat tekan. Sedangkan pengujian sifat fisik yaitu dengan uji penyerapan air, uji sifat termal material dengan DTA, dan uji morfologi dengan SEM. Untuk analisis gugus fungsi dengan Spektroskopi FT-IR.
2.6.1 Pengujian Kuat Tekan
Untuk pengujian kuat tekan berdasarkan ASTM D 1559-76. Prinsip dasar metode ini adalah pemeriksaan stabilitas dan kelelehan (flow), serta analisis kepadatan dan pori dari campuran padat yang terbentuk. Prosedur pengujian mengikuti SNI 03-6758-2002, atau ASTM D 1559-76.
Pemeriksaan uji kuat tekan dilakukan untuk mengetahui secara pasti akan kekuatan tekan yang sebenarnya apakah sesuai dengan yang direncanakan atau tidak. Pada mesin uji kuat tekan benda diletakkan dan diberikan beban sampai benda runtuh, yaitu pada saat beban maksimum. Pengukuran kuat tekan (compressive strength) aspal polimer dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
A P
Fc ...(2.1)
Dengan : P = Gaya maksimum dari mesin tekan, kgf A = Luas permukaan yang diberi tekanan, mm2 Fc = Nilai kuat tekan, kgf/mm2 (MPa)
Nilai P yang merupakan gaya maksimum dari hasil pengujian dimasukkan ke dalam persamaan diatas untuk memperoleh nilai kuat tekan dari masing-masing material yang diuji (Newdesnetty, 2009).
2.6.2 Pengujian Penyerapan Air
Pengujian penyerapan air ini mengacu pada ASTM C 20-00-2005. Dimana untuk mengetahui besarnya penyerapan air oleh aspal polimer, dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Newdesnetty, 2009) :
( ) x100% B B B PA Air Penyer apan Nilai k k j ... (2.2) Dengan : PA = persentase penyerapan air (%)Bk = berat sampel kering (kg) Bj = berat jenuh air (kg)
2.6.3 Pengujian Termal dengan Differential Thermal Analysis
Differential Thermal Analysis (DTA) yaitu merupakan suatu alat untuk menganalisis sifat termal suatu sampel yang memiliki berat molekul tinggi seperti bahan-bahan polimer dengan perlakuan sampel dipanaskan sampai terurai, yang kemudian transisi-transisi termal dalam sampel tersebut dideteksi dan diukur. DTA digunakan untuk menentukan temperatur kitis atau transisi gelas (Tg), temperatur maksimum (Tm) dan perubahan temperatur (∆T), dengan ukuran sampel berkisar 30 mg (Stevens, 2001).
Analisis termal bukan saja mampu untuk memberikan informasi tentang perubahan fisik sampel (misalnya titik leleh dan penguapan), tetapi terjadinya proses kimia yang mencakup polimerisasi, degradasi, dekomposisi, dan sebagainya. Dalam bidang campuran polimer (poliblen) pengamatan suhu transisi kaca (Tg) sangat penting untuk meramalkan interaksi antara rantai dan mekanisme pencampuran beberapa polimer.
Campuran polimer yang homogen akan menunjukkan satu puncak Tg (eksotermis) yang tajam dan merupakan fungsi komposisi. Tg campuran biasanya berada diantara Tg dari kedua komponen, karena itu pencampuran homogen digunakan untuk menurunkan Tg , seperti halnya plastisasi dengan pemlastis cair.
Pencampuran polimer heterogen ditujukan untuk menaikkan ketahanan bentur bahan polimer. Campuran polimer heterogen ini ditandai dengan beberapa puncak Tg, karena disamping masing-masing komponen masih merupakan fase terpisah, daerah antarmuka mungkin memberikan Tg yang berbeda. Pengamatan termal campuran polimer juga dapat digunakan untuk menentukan parameter interaksi, yang merupakan faktor penurunan suhu leleh kristal (Wirjosentono, 1995).
Sifat termal polimer merupakan salah satu sifat yang paling penting karena menentukan sifat mekanis bahan polimer. Senyawa – senyawa polimer menunjukkan suhu transisi gelas pada suhu tertentu. Senyawa polimer amorf seperti polistirena dan bagian amorf dari polimer semi – kristalin seperti polietilen memiliki suhu transisi gelas (Tg), namun polimer kristalin murni seperti elastomer tidak memiliki suhu transisi gelas, namun hanya menunjukkan suhu leleh (Tm). Gambar 2.9 berikut merupakan pola kuva umum DTA.
Suhu transisi gelas terjadi ketika polimer amorf atau bagian amorf polimer semi-kristalin menunjukkan perubahan dari keadaan lunak dan elastis menjadi keadaan keras, rapuh dan mirip getas. Suhu transisi gelas dipengaruhi oleh fleksibilitas rantai, kekuatan dan ukuran gugus samping dan fleksibilitas rantai samping. Fleksibilitas rantai ditentukan oleh kemudahan gugus – gugus yang berikatan kovalen untuk berotasi. Rotasi ditentukan oleh energi dari gaya – gaya kohesi molekul. Penurunan fleksibilitas rantai meningkatkan Tg melalui peningkatan halangan sterik. Halangan sterik ditentukan oleh ukuran dan bentuk rantai utama.
Gugus – gugus samping yang besar dan kaku menurunkan fleksibilitas rantai utama sehingga Tg meningkat. Penamabahan gugus samping yang fleksibel menghsilkan peningkatan jarak antar rantai sehingga gaya intermolekuler menurun dan kemuluran meningkat. Hal ini dapat dicapai dengan penambahan pemlastis dan aditif lainnya (Kristian, 2008).
2.6.4 Pengujian Morfologi dengan Scanning Electron Microscopy
Scanning Elektron Mikroskopy (SEM) merupakan alat yang dapat membentuk bayangan permukaan. Morfologi suatu benda uji dapat dipelajari dengan mikroskop elektron pancaran karena jauh lebih mudah mempelajari struktur permukaan atau morfologi itu secara langsung (Stevens, 2001).
Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada spesimen. Interaksi berkas elektron dengan spesimen menghasilkan beberapa fenomena yaitu hamburan balik berkas elektron, sinar X, elektron sekunder dan absorpsi elektron. Teknik SEM pada hakekatnya merupakan pemeriksaan dan analisa permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau dari lapisan yang tebalnya sekitar 20 µ m dari permukaan.
Gambar permukaan yang diperoleh merupakan tofografi dengan segala tonjolan, lekukan dan lubang pada permukaan. Gambar tofografi diperoleh dari penagkapan elektron sekunder yang dipancarkan oleh spesimen. Sinyal elektron sekunder yang dihasilkan ditangkap oleh detector yang diteruskan ke monitor. Pada
monitor akan diperoleh gambar yang khas menggambarkan mofologi spesimen. Selanjutnya gambar di monitor dapat dipotret dengan menggunakan film hitam putih atau dapat pula direkam ke dalam suatu disket. Sampel yang dianalisa dengan teknik ini harus mempunyai permukaan dengan konduktivitas tinggi. Karena polimer mempunyai kondiktivitas rendah maka bahan perlu dilapisi dengan bahan konduktor (bahan pengantar) yang tipis. Bahan yang biasa digunakan adalah perak, tetapi juga dianalisa dalam waktu yang lama, lebih baik digunakan emas atas campuran emas dan palladium (Rafli, 2008).
2.6.5 Analisis Gugus Fungsi dengan Spektroskopi Fourier Transform Infra Red Spektroskopi FT-IR merupakan suatu metode analisis yang umum dipakai untuk meneliti bahan polimer dan analisis gugus fungsi. Dengan cara menentukan dan merekam hasil spektra residu dengan serapan energi oleh molekul organik dalam sinar infra merah.
Daerah infra merah merupakan bagian yang memiliki panjang gelombang dari 760–1 jt nm. Apabila daerah ini, molekul diberi energi maka molekul tersebut dapat menyebabkan tekukan dan uluran ikatan itu akan meningkat, atau energi ini dapat menyebabkan getaran dalam molekul-molekul dimana atom dalam molekul mengubah posisi relatifnya. Setiap gugus fungsi dalam molekul umumnya mempunyai karakteristik sendiri sehingga spektroskopi IR dapat digunakan untuk mendeteksi gugus yang spesifik pada polimer. Intensitas pita serapan merupakan ukuran konsentrasi gugus yang khas yang dimiliki oleh polimer (Stevens, 2001).
Penetapan secara kualitatif dapat dilakukan dengan membandingkan tinggi peak (transmitansi) pada panjang gelombang tertentu yang dihasilkan oleh zat yang diuji dan zat yang standar. Dalam ilmu material analisa ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya reaksi atau interaksi antara bahan -bahan yang dicampurkan. Selain itu, nilai intensitas gugus yang terdeteksi dapat menentukan jumlah bahan
BAB 3