• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

4. Karakteristik Edible Film a.Ketebalan Edible Film

Ketebalan adalah tebalnya edible film yang dihasilkan setelah pengeringan. Edible film yang terlalu tebal dapat memberikan efek yang merugikan (Ningsih, 2015: 16). Persentase ketebalan edible film dapat dilihat pada Gambar 4.1 sebagai berikut:

Grafik 4.1 Presentase Ketebalan Edible Film

0 0,05 0,1 0,15 0,2 10 20 30 40 50 K ete b al an (m m ) Konsentrasi Gliserol ETP 3% ETP 5% ETP 7%

45

Berdasarkan Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa penambahan gliserol dan ekstrak temu putih berturut-turut adalah gliserol 10% dan ekstrak temu putih 3% adalah 0,06 mm, gliserol 10% dan ekstrak temu putih 5% adalah 0,06 mm dan ketebalan edible film dari gliserol 10% dan ekstrak temu putih 7% adalah 0,07; gliserol 20% dan ekstrak temu putih 3% adalah 0,07 mm, gliserol 20% dan ekstrak temu putih 5% adalah 0,08 mm dan gliserol 20% dan ekstrak temu putih 7% adalah 0,08 mm; gliserol 30% dan ekstrak temu putih 3% adalah 0,09 mm, gliserol 5% dan ekstrak temu putih adalah 0,10 mm, gliserol 30% dan ekstrak temu putih 7% adalah 0,11 mm; gliserol 40% dan ekstrak temu putih 3% adalah 0,10 mm, gliserol 40% dan ekstrak temu putih 5% adalah 0,11 mm, gliserol 40% dan ekstrak temu putih 7% adalah 0,12 mm. Serta gliserol 10% dan ekstrak temu putih 3% adalah 0,15 mm, gliserol 50% dan ekstrak temu putih 5% adalah 0,15 mm, gliserol 50% dan ekstrak temu putih 7% adalah 0,16 mm.

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa penambahan gliserol 10%, 20%, 30%, 40% dan 50% berturut-turut akan mengalami peningkatan. Ketebalan edible film yang paling tipis terdapat pada konsentrasi gliserol 10% dan ekstrak temu putih 3% sedangkan edible film yang paling tebal adalah gliserol 50% dengan penambahan ekstrak temu putih 7%. Ini menunjukkan bahwa penambahan gliserol berbanding lurus dengan ketebalan edible film yang diperoleh. Kusumawati dan Widya (2013), menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi penambahan gliserol dan ekstrak temu hitam akan meningkatkan ketebalan edible film. Hal ini berkaitan dengan semakin tingginya konsentrasi komponen penyusun film maka akan meningkatkan total padatan sehingga meningkatkan ketebalan edible film. Peningkatan konsentrasi bahan

46

yang digunakan dalam pembuatan film akan meningkatkan total padatan yang terdapat dalam edible film.

Selain itu, luas plat cetakan yang digunakan serta volume bahan suspensi yang ditambahkan juga akan menambah ketebalan dari edible film. Nugroho, dkk., (2013), menyatakan bahwa peningkatan ketebalan terjadi disebabkan karena perbedaan konsentrasi bahan pembuat film, sedangkan volume larutan yang dituangkan masing-masing menggunakan plat atau cetakan yang berukuran sama. Hal ini mengakibatkan total padatan di dalam film setelah dilakukan pengeringan meningkat dan polimer-polimer yang menyusun matriks film juga akan semakin tinggi.

Semakin tinggi gliserol yang ditambahkan maka ketebalan film yang dihasilkan akan semakin tebal. Seperti yang dijelaskan dalam Q.S Qamar/54: 49 yang menjelaskan bahwa segala sesuatu diciptakan sesuai ukurannya, yaitu:













Terjemahnya:

“Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (Kementrian

Agama RI, 2016).

Menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azhar ialah bahwasanya azab siksaan yang di timpahkan oleh Tuhan kepada hamba-Nya itu, baik dinamai kejam, berat, namun dia adalah takdir karena langkah yang dituju oleh manusia itu sendiri. Begitulah takdir yang telah ditentukan oleh Tuhan. Memang, Tuhan boleh saja memberi ampun. Tetapi kalau diberi ampun saja, niscaya dalam hidup di dunia ini manusia tidak akan menentukan nilai-nilai mana perbuatan yang harus dikerjakan dan mana yang harus dihentikan.

Ayat tersebut menjelaskan tentang segala sesuatu yang diperbuat di muka bumi ini akan mendapatkan balasan di akhirat sesuai dengan apa yang telah

47

dilakukan. Hubungannya adalah ketebalan edible film yang dihasilkan sesuai konsentrasi dengan penambahan konsentrasi gliserol dan ekstrak temu putih.

Ketebalan edible film yang diperoleh berkisar antara 0,064 mm – 0,164 mm. Ketebalan yang terdapat pada film pati jagung mempunyai ketebalan yang tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu rendah sehingga efektif digunakan untuk menghambat laju uap air dan kemampuan penahannya lebih besar sehingga daya simpannya semakin tinggi.

b. Kuat Tarik Edible Film

Kekuatan tarik merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai edible film tetap bertahan sebelum putus/sobek. Kuat tarik menentukan kekuatan dari edible film. Semakin besar kekuatan tarik maka edible film semakin baik dalam menahan kerusakan mekanis (Ningsih, 2015: 20).

Konsentrasi gliserol pada kuat tarik (tensile strength) adalah semakin tinggi penambahan gliserol maka akan menurunkan kuat tarik. Persentasi kuat tarik edible film ditinjukkan pada Gambar 4.2 berikut:

Grafik 4.2 Persentase Kuat Tarik (Tensile Strength) 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 10 20 30 40 50 K u at T ar ik (N /m m 2) Konsentrasi Gliserol ETP 3% ETP 5% ETP 7%

48

Berdasarkan Gambar 4.2 dapat dilihat bahwa persentase kuat tarik edible film dengan penambahan gliserol dan ekstral temu putih berturut-turut yaitu gliserol 10% dan ekstrak temu putih 3% adalah 12,00, gliserol 10% dan ekstrak temu putih 16,78 N/mm2. Gliserol 10% dan ekstrak temu putih 7% adalah 14,19 N/mm2; Gliserol 20% dan ekstrak temu putih 3% adalah 5,31 N/mm2. Gliserol 20% dan ekstrak temu putih 5% adalah 9,21 N/mm2, gliserol 20% dan ekstrak temu putih 7% adalah 4,16 N/mm2; Gliserol 30% dan ekstrak temu putih 3% adalah 4,70 N/mm2, gliserol 30% dan ekstrak temu putih 5% adalah 5,60 N/mm2, gliserol 30% dan ekstrak temu putih 7% adalah 54,30 N/mm2; Gliserol 40% dan ekstrak temu putih 3% adalah 1,75 N/mm2, gliserol 40% dan ekstrak temu putih 5% adalah 3,30 N/mm2, gliserol 40% dan ekstrak temu putih 7% adalah 2,29 N/mm2; serta gliserol 50% dan ekstrak temu putih 3% adalah 2,40 N/mm2, gliserol 50% dan ekstrak temu putih 5% adalah 3,30 N/mm2, dan gliserol 50% dan ekstrak temu putih 7% adalah 0,74 N/mm2.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penambahan gliserol terhadap pembuatan edible film mengakibatkan adanya penurunan kuat tarik. Dilihat dari penambahan dari konsentrasi rendah yaitu 10%, 20%, 30%, 40% dan 50% terlihat bahwa semakin tinggi penambahan konsentrasi gliserol maka tingkat kuat tarik akan menurun. Kuat tarik edible film tertinggi yaitu dari gliserol 10% dengan penambahan ekstrak temu putih 5%, sedangkan kuat tarik terendah adalah gliserol 50% dengan penambahan ekstrak temu putih 7%. Kenaikan jumlah plasticizer menurunkan tensile strength, dikarenakan penambahan plasticizer menurunkan gaya antar molekul dari bahan penyusun polimer, sehingga polimer menjadi lentur dan tidak kaku.

Rantai polimer dalam edible film berbasis pati adalah amilosa dan amilopektin. Amilosa dalam edible film berperan dalam kekompakan film, sedangkan

49

amilopektin dalam edible film berperan dalam kestabilan film. Widyaningsih, dkk., (2012), menyatakan bahwa tanpa penambahan plasticizer, amilosa dan amilopektin akan membentuk suatu film dan struktur dengan daerah kaya amilosa dan amilopektin. Interaksi-interaksi antara molekul-molekul amilosa dan amilopektin mendukung formasi film, menjadikannya film pati rapuh dan kaku. Oleh karena itu ditambahkan plasticizer gliserol untuk mencegah hal tersebut.

Gliserol merupakan salah satu plasticizer yang ditambahkan dalam pembuatan edible film untuk menghasilkan film yang tidak kaku. Namun jika penambahan gliserol lebih dari jumlah konsentrasi tertentu akan menghasilkan film dengan kuat tarik lebih rendah. Menurut Widyaningsih, dkk (2012), plasticizer dapat mengurangi ikatan hidrogen inter molekul dan menyebabkan melemahnya gaya tarik intermolekul rantai polimer yang berdekatan sehingga mengurangi daya regang putus.

Semakin meningkatnya temperatur dapat meningkatkan nilai kuat tarik film akan menurun. Hal tersebut telah dijelaskan oleh Kristiani (2015), bahwa pengaruh temperatur yang semakin tinggi dapat menyebabkan ikatan intermolekul pada rantai pati menjadi semakin lemah, yaitu ikatan hidrogen antar rantai amilosa, sehingga mengalami pemutusan ikatan. Semakin tinggi temperatur pemanasan larutan pati dapat menyebabkan amillosa mengalami depolimerisasi, yaitu proses dimana rantai lurus amilosa terputus-putus dan menjadi lebih pendek, sehingga kadar amilosa semakin menurun. Berkurangnya kadar amilosa ini berpengaruh pada proses pembuatan film, dimana amilosa sangat berperan dalam pembentukan gel serta dapat menghasilkan lapisan tipis (film) yang lebih kompak. Sehingga dengan semakin menurunnya kadar amilosa dapat berdampak pada semakin menurunnya kadar

50

amilosa dapat berdampak pada semakin menurunnya kekompakan film yang terbentuk dan menurunnya nilai kekuatan tariknya.

Pengukuran kuat tarik dilakukan untuk mengetahui besarnya gaya yang diperlukan untuk mencapai tarikan maksimum pada setiap luas area film. Edible film dengan kuat tarik tinggi akan mampu melindungi produk yang dikemasnya dari gangguan mekanis dengan baik, sedangkan kuat tarik film dipengaruhi oleh formulasi bahan yang digunakan. Menurut Murni, dkk., (2013), bahwa nilai kuat tarik yang dapat diaplikasikan untuk edible film berkisar 10-100 MPa.

Berdasarkan hasil data persentase dari uji ketebalan dan uji kuat tarik dapat dilihat bahwa penambahan gliserol akan meningkatkan ketebalan edible film yang dihasilkan sehingga semakin bertambahnya ketebalan edible film yang dihasilkan akan menurunkan kekuatan tarik edible film. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan tarik dari edible film yang dihasilkan berbanding terbalik dengan ketebalan.

c. Uji Serap Air (Watter Uptake) terhadap ketahanan Edible Film

Uji serap atau ketahanan air merupakan salah satu uji yang dilakukan untuk mengetahui tingkat ketahanan edible film terhadap serap air. Pengunjian ini dilakukan untuk melihat kemampuan plastik dalam melindungi produk dari air (Lazuardi dan Sari, 2013: 163).

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui ketahan edible film saat dilakukan pengemasan. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi gliserol yang ditambahkan maka ketahanan terhadap penyerapan air semakin tinggi.

51

Berdasarkan Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa penambahan konsentrasi gliserol pada konsentrasi gliserol 10% dan ekstrak temu putih 3% adalah 18,8%; gliserol 20% dan ekstrak temu putih 5% adalah 43,9%; gliserol 30% dan ekstrak temu putih 5% adalah 61,48%, gliserol 40% dan ekstrak temu putih 5% adalah 68,22%; serta gliserol 50% dan ekstrak temu putih 3% adalah 75,87%.

Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa daya serap air disebabkan karena adanya penambahan kosentrasi gliserol. Semakin tinggi penambahan gliserol maka daya serap air akan semakin turun dan ketahanan air terhadap edible film akan semakin tinggi. Ketahanan edible film terhadap air akan semakin tinggi seiring dengan penambahan konsentrasi gliserol sehingga edible film akan semakin baik pada saat dilakukan pengemasan. Hasil ini sesuai dengan teori menurut Indriani (2014), yang menyatakan bahwa nilai penyerapan air oleh plastik semakin meningkat dengan semakin meningkatnya jumlah gliserol yang ditambahkan. Daya serap air edible film akan meningkat seiring dengan penambahan konsentrasi plasticizer yang ditambahkan.

Hasil karakteristik edible film dari pengukuran ketebalan, kuat tarik dan daya serap air terhadap ketahanan edible film maka dapat dihasilkan bahwa penambahan edible film dengan gliserol 50% dan ekstrak temu putih 3% yang memiliki karaktersitik terbaik

d. Morfologi dengan Scanning Elektron Mikroscope (SEM)

Uji morfologi edible film dilakukan menggunakan SEM bertujuan untuk mengetahui struktur morfologi permukaan edible film yang dihasilkan. Cara kerja SEM yaitu dengan memfokuskan sinar elektron di permukaan obyek dan mengambil

52

gambar dengan mendeteksi elektron yang muncul pada permukaan obyek tersebut (Cahyani, dkk., 2014: 24).

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan maka dihasilkan permukaan edible film ditunjukkan pada Gambar 4.1 berikut:

Gambar 4.1 Morfologi Edible Film dengan SEM

Berdasarkan hasil uji SEM dengan komposisi campuran pati jagung, gliserol dan ekstrak temu putih (5 gram:50%:3%) dapat dilihat bahwa permukaan edible film yang dihasilkan tidak halus. Selain itu, juga terdapat pori-pori, gelombang permukaan dan juga masih terdapat pati yang belum larut.

Permukaan yang tidak halus menandakan bahwa proses pembuatan film yang tidak homogen. Hal ini juga ditandai dengan adanya endapan putih. Endapan putih tersebut merupakan endapan pati amilosa yang tidak larut pada saat dilakukan pencampuran yang tidak homogen. Gelombang-gelombang kecil yang terdapat pada permukaan film menandakan bahwa penyebaran gliserol yang tidak merata pada permukaan plastik. Gelembung ini pula yang menyebabkan permukaan edible film menjadi tidak halus. Semakin meningkatnya gliserol, maka gelembung yang terdapat pada permukaan film akan semakin sedikit dan rongga gelembung akan semakin Pati Tidak

Larut

Gelombang Permukaan Gelembung

53

membesar. Hal ini dikarenakan sifat gliserol yang bersifat hidrofilik (suka air) yaitu dapat menyerap air sehingga kelarutan gliserol juga semakin meningkat. Gliserol digunakan sebagai plasticizer karena berbentuk cair. Bentuk cair ini yang menyebabkan gliserol lebih menguntungkan karena mudah tercampur dalam larutan film dan terlarut dalam air.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Warkoyo, dkk., (2014: 79), menyatakan bahwa morfologi edible film pati umbi kimpul tanpa penambahan bahan lain menghasilkan permukaan yang memiliki pori-pori atau lubang-lubang yang menandakan bahwa adanya pembentukan saluran yang tidak tampak oleh film karena pati tidak larut sempurna atau tidak homogen. Sedangkan untuk uji morfologi dengan pati dan penambahan gliserol menurut Coniwanti, dkk., (2014:128), menyatakan bahwa morfologi edible film dari pati jagung dengan penambahan gliserol memperlihatkan permukaan yang tidak merata disebabkan karena adanya penyebaran gliserol yang tidak merata dan terdapat titik-titik putoh disebabkan pati tidak larut. e. Analisis Gugus Fungsi dengan Fourier Transform Infra Red (FTIR)

Analisis gugus fungsi pada edible film dilakukan dengan menggunakan FTIR bertujuan untuk mengetahui gugus fungsi pada film yang dihasilkan. Spektroskopi Infra Red biasanya digunakan untuk menetapkan gugus fungsional apa yang terdapat dalam sampel. Apabila frekuensi energi elektromagnetik infamerah yang dilewatkan pada suatu molekul sama dengan frekuensi mengulur atau menekuknya ikatan maka energi tersebut akan diserap. Prinsip kerja FTIR adalah mengenali gugus fungsi suatu senyawa dari absorbansi inframerah yang dilakukan terhadap senyawa tersebut. (Bresnick, 2003).

54

Hasil analisis gugus fungsi pati jagung menggunakan FTIR dapat dilihat berdasarkan Grafik 4.4, sebagai berikut:

Grafik 4.3 Gugus Fungsi FTIR Pati Jagung

Hasil analisis FTIR untuk mengetahui gugus fungsi berdasarkan panjang gelombang yang menunjukkan pati jagung terdapat pada panjang gelombang berturut-turut adalah 3410,53 cm-; 2930,28 cm-; 1018,98 cm- dan 707,85 cm-. Pita serapan 3410,53 cm- merupakan panjang gelombang yang menunjukkan adanya ikatan O-H dengan bebas ikatan –H. Dimana frekuenzi serapan antara 3650-3600 cm -. Puncak serapan 2930,28 cm- menunjukkan adanya ikatan C-H dengan frekuenzi serapan antara 3000-2850 cm-. Puncak serapan 1018,98 cm- menunjukkan adanya ikatan C-O dengan frekuenzi 1300-1000 cm-. Dan panjang gelombang 707,83 cm -merupakan puncak serapan yang menunjukkan adanya ikatan C-H aromatik. Dimana frekuenzi panjang gelombang C-H aromatik adalah antara 900-690 cm-.

Pati jagung merupakan salah satu senyawa yang tersusun atas beberapa komponen, diantaranya. Amilosa dan amilopektin merupakan senyawa tersusun dari ikatan C-H, ikatan C-O, ikatan O-H dan juga terdapat ikatan C-H aromatik. Hasil FTIR menunjukkan proses pembuatan edible film merupakan proses pencampuran

O-H

C-H

55

secara fisik dengan adanya interaksi ikatan hidrogen antara rantai. Berdasarkan hasil analisis gugus fungsi dapat membuktikan bahwa gugus fungsi yang dihasilkan merupakan susunan gugus fungsi dari pati.

Hasil analisis gugus fungsi edible film dapat dilihat berdasarkan Grafik 4.5, sebagai berikut:

Grafik 4.4 Gugus Fungsi FTIR Edible Film

Hasil analisis gugus fungsi edible film berdasarkan Grafik 4.5 terlihat bahwa pita serapan 2839,19 cm- menujukkan adanya ikatan C-H dengan frekuenzi serapan ikatan C-H adalah 2900-2800 cm-. Ikatan C-H ini merupakan identifikasi adanya gugus fungsi aldehid. Gugus aldehid terdeteksi di dalam pati, dimana gugus aldehid merupakan salah satu gugus penyusun glukosa. Glukosa merupakan struktur dasar dari pembentukan 1 molekul amilosa dan amilopektin membentuk amilum atau pati. Amilosa dalam edible film berperan dalam kekompakan film, sedangkan amilopektin dalam edible film berperan dalam kestabilan film.

56

Usulan reaksi antara pati (amilosa dan amilopektin), gliserol dan ekstrak temu putih (kurkumin), ditunjukkan pada Gambar 4.4, berikut:

O H H O H O H O H O H O H O H O H H CHOH O H H O H O H O OH O H H O H O H O H O H O O O H O O O O O O CH3 CH3 CH2OH CH2OH CH2OH CH2OH CH2OH CH2OH CH2OH CH2OH H H OH H OH H OH H OH H OH H O H OH H OH H O OH H HO H H H OH H OH H H H OH H H OH H HO H H H OH H HOH H Ikatan OH amilopektin

dan amilosa Ikatan OH amilosadan gliserol Ikatan OH amilopektindan gliserol

Ikatan OH amilosa dan kurkumin

Ikatan OH amilopektin dan kurkumin

OH

Gambar 4.4 Usulan Struktur Pati (Amilosa dan Amilopektin), Gliserol dan Ektrak Temu Putih (Kurkumin)

Hasil usulan reaksi antara pati (amilosa dan amilopektin), gliserol dan ekstrak temu putih (kurkumin) dapat terlihat bahwa ikatan antara amilosa, amilopektin, gliserol dan kurkumin terjadi karena adanya ikatan O-H. Ikatan O-H intermolekul pada rantai pati mengalami pemutusan ikatan disebabkan karena adanya ikatan O-H antara gliserol maupun ikatan O-H terhadap kurkumin sehingga menyebabkan rantai lurus polimer penyusun pati (amilosa dan amilopektin) terputus-putus dan akan berpengaruh pada proses pembuatan film, dimana amilosa dan amilopektin sangat berperan dalam pembentukan gel.

57 f. Uji Umur Simpan Edible Film

Pengujian daya simpan bertujuan untuk mengetahui tingkat ketahanan edible film dari pengaruh suhu dan lingkungan terhadap pertumbuhan jamur. Pembuatan biopolimer yang menggunakan bahan-bahan organik pada umumnya memiliki umur simpan yang pendek (tidak tahan lama) dan mudah berjamur (Nahwi, 2016: 66).

Hasil pengamatan terhadap daya simpan edible film berdasarkan adanya pertumbuhan jamur terjadi pada percobaan ke VI dengan variasi pati:gliserol (5 gram:30%) tanpa penambahan ekstrak temu putih. Pati merupakan salah satu bahan organik yang banyak digunakan sebagai bahan dasar pembuatan film karena sifatnya yang banyak mudah didapatkan ekonomis dan pengolahannya yang sederhana. Namun, pati juga merupakan yang mudah mengalami kerusakan terutama terhadap daya simpan.

Daya simpan dari bahan yang terbuat dari pati memiliki daya simpan pendek. Kerusakan pada pati terjadi karena pati pada suhu ruang mudah mengalami penyerapan kelembapan. Kelembapan mengakibatkan pati biasanya ditumbuhi jamur. Jamur dapat menyebabkan bahan berbahan dasar pati cepat mengalami kerusakan.

Edible film yang dihasilkan berdasarkan pengamatan terjadi pertumbuhan jamur dan hama seperti kutu terjadi pada percobaan ke VI dengan variasi pati dan gliserol. Sedangkan pada penambahan ekstrak temu putih tidak ada perubahan baik pertumbuhan jamur maupun adanya hama seperti kutu. Hal ini membuktikan bahwa adanya penambahan ekstrak temu putih dalam pembuatan edible film dapat mengahambat daya simpan dari edible film yang dihasilkan sehingga dapat dikatakan bahwa ekstrak temu putih dapat memberikan kualitas dan nilai mutu film yang tinggi.

58 BAB V

Dokumen terkait