• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

B. Karakteristik Individu

Karakteristik usia dalam penelitian ini 9-12 bulan, yaitu usia dimana pemberian imunisasi dasar diberikan. Dilihat dari tahap perkembangan usia ini belum dapat mengungkapkan rasa nyeri oleh kata-kata oleh karena itu skor nyeri pada bayi diukur melalui respon perilaku nyeri yaitu ekspresi wajah, menangis dan pergerakan (Taddio & Hogan, 2011)

Hasil penelitian menyatakan bahwa kelompok kontrol yang berjumlah 10 responden lebih banyak laki-laki yaitu 6 responden (60%) sedangkan pada kelompok intervensi yang berjumlah 10 responden memiliki jumlah yang sama yaitu 50%. Distribusi frekuensi jenis kelamin pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi tidak sama, karena menurut peneliti jenis kelamin tidak mempengaruhi respon nyeri terutama pada bayi usia 9-12

bulan. Hal ini sesuai dengan Andarrmoyo (2013) bahwa jenis kelamin bukan merupakan faktor yang mempengaruhi respon nyeri pada seseorang. Pada analisis multivariat peneliti menemukan bahwa secara statistik umur tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap respon perilaku nyeri pada bayi saat diimunisasi

2. Jenis kelamin

Jenis kelamin temasuk bagian dari karakteristik individu yang diidentifikasi. Hasil analisis variabel jenis kelamin, menunjukan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dan skor nyeri pada bayi saat diimunisasi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Pieh, Altmeppen, Neumeier, Loew, Angerer, dan Lahman (2012) tentang perbedaan jenis kelamin, hasil riset menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan tidak berbeda dalam durasi nyeri, namun keduanya tidak berespon terhadap nyeri dengan cara yang sama.

Secara statistik tidak ada yang dapat mendukung perbedaan apakah laki-laki atau perempuan lebih responsif terhadap nyeri. Cohen dan Baxter (2012), mendapatkan bahwa distraksi yang diberikan pada bayi baik laki- laki maupun perempuan saat diimunisasi memberikan dampak nyeri dan emosi yang sama.

3. Rerata tingkat nyeri pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi

Hasil penelitian diketahui bahwa hasil nilai mean, median, nilai maximum dan standar deviasi dari skor nyeri lebih besar pada kelompok kontrol yaitu nilai mean 4,60 nilai median 4,00 dan nilai maximum 9 dan standar deviasi 1,993. Nilai minimum dari kedua kelompok sama yaitu 1. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat nyeri dalam kelompok kontrol yang tidak dilakukan perlakuan bola bobath lebih tinggi dibandingkan kelompok intervensi. Hasil ini menunjukkan bahwa setiap bayi yang diimunisasi akan mengalami nyeri walaupun tingkat nyeri berbeda-beda.(Hockenberry & Wilson ^2007)

4. Penggunaan bola bobath merupakan strategi untuk mengubah proses stimulasi nyeri. Ketika individu menerima pengalihan (penggunaan bola bobath), sebagian aliran darah ke otak yang berhubungan dengan proses terjadinya nyeri menurun. Demikian juga ketika perhatian bayi diisi oleh aktivitas dengan bola bobath, terjadi penurunan aktivasi di otak yang berhubungan dengan nyeri seperti thalamus, insula dan korteks anterior yang menghasilkan ambang nyeri yang rendah (Bantick et al, 2002, dalam Windich-Biermeier et al., 2007).

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penggunaan bola bobath pada bayi dengan posisi sitting up, respon perilaku nyeri didapatkan rerata skor MBPS lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan perlakuan.

Posisi sitting up pada bayi selama prosedur suntikan imunisasi dengan bola bobath juga mempengaruhi skor MBPS. Penelitian yang dilakukan Lacey,

et al. (2008), yang mendapatkan bahwa lama menangis pada posisi upright

lebih singkat dibanding dengan posisi supine saat dilakukan imunisasi. Posisi sitting up diatas bola bobath memberikan rasa kontrol yang kuat terhadap anak dibandingkan pada posisi lie down (berbaring). (Stephens dan Walsh-Sukys 1997, dalam Lacey et al., 2008). Posisi berbaring membuat anak merasa takut dan akan melakukan perlawanan dan semakin dilakukan restrain oleh orangtua ataupun petugas kesehatan, anak semakin merasa tak berdaya dan mengalami distress (Lacey, et al.,2008).

Posisi bayi sitting up diatas bola bobath membuat bayi merasa nyaman, selain itu orangtua juga dapat melakukan pembatasan pergerakan anaknya dengan cara yang lembut dan mengajak bayi bermain dengan mengayunkan badan diatas bola yang lentur dan besar, sehingga menimbulkan kenyamanan dan mengurangi rasa takut, dengan demikian secara tidak langsung mempengaruhi respon perilaku nyeri bayi selama imunisasi. Hal ini sejalan dengan penjelasan Davis (2001) bahwa emosi yang positif seperti merasa nyaman, gembira, bermain, merasa dicintai berhubungan dengan strategi koping yang digunakan dalam menghadapi nyeri. Rasa senang bermain pada bayi membuat tubuh memproduksi asam amino yang mengikat reseptor opiat yang berada di area otak yang dapat memberikan efek analgesik yaitu analgesik.

Respon perilaku nyeri pada bayi yang dilakukan imunisasi pada kelompok intervensi berbeda dengan kelompok kontrol. Rerata skor nyeri bayi pada kelompok intervensi penggunaan bola bobath lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol.

5. Analisa Perbedaan Tingkat Nyeri Setelah Dilakukan Perlakuan Pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Intervensi

Hasil analisis pada penelitian yang di uji menggunakan

independent t test menunjukkan nilai P value < 0,05 (0,000<0,05) yang berarti Ho ditolak dan Ha diterima sehingga ada pengaruh penggunaan bola bobath terhadap skor nyeri saat imunisasi pada bayi usia 9-12 bulan di Puskesmas Ciputat Timur. Penelitian ini sejalan dengan teori penelitian lain yang menyatakan bahwa bola bobath dapat mengalihkan perhatian dari nyeri pada ibu melahirkan (Maulida, 2012).

Bola bobath memiliki bentuk besar, warna yang cerah yaitu peneliti menggunakan warna biru cerah pada kelompok intervensi mampu mengalihkan perhatian bayi terhadap nyeri saat injeksi imunisasi, hal ini merupakan pengalihan perhatian secara pengamatan atau visual (Andarmoyo, 2013). Saat bayi bermain diatas bola bobath terlihat ekspresi senang dan bayi tertarik pada bola tersebut. Penatalaksanaan nyeri secara non farmakologi merupakan intervensi keperawatan adalah tindakan independen dari seorang perawat dalam mengatasi respon nyeri klien (Andarmoyo, 2013)

Dokumen terkait