• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Karakteristik Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Secara umum rumah tangga permukiman kumuh dan liar termasuk ke dalam kelompok berpenghasilan rendah, walaupun terdapat juga rumah tangga berpenghasilan lebih tinggi. Karakteristik masyarakat berpenghasilan rendah ini memberi pengaruh yang signifikan terhadap preferensi bermukim mereka.

2.4.1 Golongan Masyarakat yang Berpenghasilan Rendah (GMBR)

Pengertian kemiskinan tidak dapat dinyatakan secara tepat karena merupakan satu istilah yang subjektif. Namun biasanya kemiskinan dikaitkan dengan kekurangan pendapatan, kesusahan dan ketidakmampuan individu dan isi rumah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Menurut Poerwadarminta (1976) dalam Gunawan dan Sugiyanto (2007), kemiskinan berasal dari kata dasar miskin yang berarti “tidak berharta-benda”. Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi ketidakmampuan baik secara individu, keluarga maupun kelompok, sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain. Menurut Nasikun (1995) dalam Gunawan dan Sugiyanto (2007), kemiskinan adalah sebuah fenomena multiaset, multidimensional, dan terpadu. Hidup miskin bukan hanya berarti hidup di dalam kondisi kekurangan pangan, sandang dan papan.

Hidup dalam kemiskinan seringkali juga berarti akses yang rendah terhadap berbagai ragam sumberdaya dan aset produktif yang sangat diperlukan untuk dapat memperoleh sarana pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang paling dasar tersebut, antara lain: informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan kapital. Lebih dari itu, hidup dalam kemiskinan sering kali juga berarti hidup dalam alienasi, akses yang rendah terhadap kekuasaan, dan oleh karena itu pilihan-pilihan hidup yang sempit dan pengap.

Hal senada juga dinyatakan oleh Oscar Lewis dalam Simanihuruk (2003), bahwa kemiskinan bukanlah semata-mata kekurangan dalam ukuran ekonomi saja, tetapi juga kekurangan dalam ukuran budaya dan kejiwaan dimana di dalamnya terkandung proses sosialisasi corak kebudayaan dari generasi tua ke generasi berikutnya, yang mana ini disebut juga budaya kemiskinan. Budaya kemiskinan ini akan tumbuh pada kondisi masyarakat yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Sistem ekonomi uang, buruh, upahan dan sistem produksi untuk keuntungan. 2. Tetap tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga

tidak terampil.

3. Rendahnya upah buruh.

4. Tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi sosial, ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah.

6. Kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya sikap hemat serta adanya anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidaksanggupan pribadi atau pada dasarnya sudah rendah kedudukannya.

Kondisi kemiskinan tercermin dari distribusi pendapatan golongan masyarakat berpenghasilan rendah dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga seperti makanan, kesehatan, pendidikan, transportasi, perumahan, ibadah, dan sebagainya. Selama ini berkembang pengertian bahwa besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan sebuah rumah tangga. Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran makanan yang lebih besar mengindikasikan rumah tangga yang berpenghasilan rendah. Makin tinggi tingkat penghasilan rumah tangga, makin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga.

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa rumah tangga/keluarga akan semakin sejahtera bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non makanan. Bagi masyarakat miskin di perkotaan, persentase pengeluaran rumah tangga terbesar adalah untuk makanan yaitu sebesar 73,5%, sedangkan pengeluaran untuk perumahan 8,43%, transportasi 2,48%, pendidikan 2,4% dan pengeluaran untuk listrik 3,3% (Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, 2010).

Charles Booth dalam Mohammad, KA (2000) juga menyatakan bahwa konsep kekurangan, kemiskinan dan peminggiran sosial sangat berkaitan erat. Ini disebabkan

karena dalam kemiskinan bukan hanya mengalami kekurangan dari aspek pendapatan, peluang-peluang dalam ekonomi, dan sebagainya tetapi juga harus mengalami peminggiran dari aspek sosial. Kemiskinan dapat menyebabkan tekanan dalam jiwa, disebabkan tekanan terhadap masalah harian seperti kehidupan yang terus menerus tidak nyaman, masalah kekurangan kebutuhan dasar, dan sebagainya. Tekanan ini terkadang mengakibatkan terjadinya keruntuhan moral yang melahirkan masalah-masalah sosial yang lain. Berdasarkan pandangan tersebut, diisyaratkan bahwa permasalahan kemiskinan tidak hanya berdiri sendiri, melainkan bersifat kompleks karena mempunyai berbagai dimensi yang berbeda serta memiliki kontribusi banyak faktor, sehingga dalam penanggulangannya menuntut pemahaman, kecermatan dan kehati-hatian.

Namun, Koenraad Verhagen (1996) dalam Gunawan dan Sugiyanto (2007), mengatakan bahwa kita cenderung melebih-lebihkan kemiskinan dan melupakan apa yang mereka miliki. Orang-orang miskin bukanlah orang-orang yang “tidak memiliki” (havenot). Di dalam diri masyarakat miskin tidak hanya terdapat kelemahan (kondisi serba kekurangan), tetapi dalam diri mereka juga terdapat potensi yang dapat dipergunakan sebagai modal dasar dalam pengembangan dirinya. Dari sudut pandang ekonomi mereka adalah orang-orang yang memiliki sedikit” (have-

little) tetapi di sisi lain orang-orang miskin memiliki kekayaan budaya dan sosial.

Gunawan dan Sugiyanto (2007) mengemukakan, bahwa dalam konteks penanggulangan kemiskinan, mereka tidak hanya didekati sebagai objek (gejala yang

dalam Golongan Masyarakat yang Berpenghasilan Rendah (GMBR). Mereka adalah pelaku yang berperan sepenuhnya untuk menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya.

Oleh karena itu, dalam kerangka memahami potensi keluarga miskin, paling tidak terdapat tiga bentuk potensi yang diamati, yakni:

A. Kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Tinjauan tentang kemampuan dalam memenuhi kebutuhan akan dilihat dari aspek:

1. Pengeluaran keluarga,

2. Kemampuan menjangkau tingkat pendidikan dasar formal yang ditamatkan (human capital).

3. Kemampuan menjangkau perlindungan dasar (security capital).

B. Kemampuan dalam pelaksanaan peran sosial. Tinjauan tentang kemampuan peran sosial akan dilihat dari:

1. Peran dalam bidang ekonomi (dilihat dari kegiatan utama dalam mencari nafkah).

2. Peran dalam bidang pendidikan (pelaksanaan ibadah atau membimbing keluarga, menanamkan nilai dan norma; mendorong pendidikan keluarga, mengerjakan kegiatan kerumahtanggaan, mengasuh anak dan mendampingi anak belajar).

3. Peran dalam bidang perlindungan (melindungi keluarga, turut memecahkan masalah keluarga dan turut serta memelihara kesehatan keluarga).

4. Peran dalam bidang kemasyarakatan (kunjungan keluarga, rekreasi, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan kelembagaan).

C. Kemampuan dalam menghadapi permasalahan.

Tinjauan tentang kemampuan dalam menghadapi permasalahan, akan dilihat dari upaya yang mereka lakukan untuk mempertahankan diri dari tekanan ekonomi dan non ekonomi. Dari hasil penelitian yang dilakukan (Gunawan dan Sugiyanto, 2007) menunjukkan bahwa peran sosial yang dilaksanakan oleh keluarga fakir miskin lebih banyak bersifat intern, artinya lebih banyak terkonsentrasi dalam urusan keluarga. Kepala keluarga lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk mencari nafkah, pendidikan dan perlindungan keluarga. Pelaksanaan peran sosial kemasyarakatan kurang terintegrasi dalam kehidupan keluarga. Mereka tidak begitu aktif untuk melakukan kunjungan keluarga, rekreasi, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan kelembagaan. Namun, terungkap cukup banyak strategi yang dipergunakan keluarga fakir miskin dalam menghadapi permasalahannya, antara lain:

1. Optimalisasi sumber daya manusia (SDM)

Strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk peningkatan penghasilan karena tuntutan hidup yang semakin besar. Berbagai bentuk strategi yang dibangun oleh keluarga fakir miskin antara lain melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan atau mengerahkan anggota keluarga untuk memperoleh penghasilan, termasuk mengerahkan anak yang masih duduk di bangku sekolah. Di satu sisi, strategi pelibatan anak dalam peran ekonomi ini akan memupuk

Mereka akan lebih mampu memanfaatkan situasi dan kondisi untuk mengakses uang. Namun di sisi lain, strategi ini akan berdampak pada pemenuhan kebutuhan hak anak terutama hak untuk memperoleh pendidikan. Sebagian besar waktu yang seharusnya untuk belajar mereka pergunakan untuk bekerja atau membantu keluarga dalam peran ekonomi. Akibat lanjut, kualitas pendidikan anak-anak mereka relatif rendah. Sadar ataupun tidak, pemanfaatan strategi ini dapat dikonotasikan sebagai suatu jebakan kemiskinan.

2. Penekanan/pengetatan pengeluaran.

Penekanan/pengetatan pengeluaran merupakan strategi yang bersifat pasif, yaitu mengurangi pengeluaran keluarga misalnya pengeluaran biaya untuk sandang, pangan, biaya sosial, transportasi, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Dalam kerangka penekanan/pengetatan pengeluaran, seringkali mereka mengabaikan kebutuhan pelayanan untuk kesehatan. Walaupun mereka telah mempunyai kartu sehat dari Dinas Kesehatan. Pengurangan pengeluaran biaya kesehatan lebih banyak dilakukan, karena kesehatan tidak menjadi prioritas utama mereka. Perhatian mereka lebih terfokus kepada kegiatan yang berhubungan dengan pencarian nafkah.

3. Pemanfaatan jaringan.

Strategi pemanfaatan jaringan, merupakan salah satu upaya yang ditempuh oleh keluarga fakir miskin dalam mengatasi masalah keluarga. Jaringan yang dimaksud adalah relasi sosial mereka, baik secara informal maupun formal dengan lingkungan sosialnya dan lingkungan kelembagaan. Pemanfaatan jaringan ini terlihat

jelas dalam mengatasi masalah ekonomi dengan pinjam uang kepada tetangga, mengutang ke warung terdekat, memanfaatkan program anti kemiskinan, bahkan ada yang pinjam uang ke rentenir atau bank dan sebagainya. Relasi mereka tidak hanya sebatas bidang ekonomi, tetapi mencakup bidang-bidang yang lain, misalnya dalam peningkatan mental spiritual. Kegiatan ini merupakan strategi yang bersifat aktif untuk memperoleh dukungan emosional.

2.4.2 Preferensi Bermukim

Turner (1969) dalam Yunus (2000) mengemukakan bahwa ada 4 (empat) macam dimensi yang bergerak paralel dengan mobilitas tempat tinggal yaitu :

1. Dimensi Lokasi, mengacu pada lokasi tertentu pada suatu kota yang dianggap paling cocok untuk tempat tinggal sesuai dengan kondisi diri. Kondisi diri ini lebih ditekankan pada penghasilan dan siklus kehidupan, sehingga lokasi dalam konteks ini berkaitan erat dengan jarak terhadap tempat kerja.

2. Dimensi Perumahan, dikaitkan dengan aspirasi terhadap macam/tipe perumahan. Turner membatasi aspek perumahan ini pada aspek ”penguasaan”, yang juga selalu dikaitkan dengan penghasilan dan siklus kehidupan. Masyarakat yang berpenghasilan rendah akan memilih menyewa atau mengontrak saja daripada berangan-angan untuk memiliki rumah, karena kemampuan itulah yang paling sesuai dengan tingkat penghasilannya.

3. Dimensi Siklus Kehidupan, membahas tahap-tahap peningkatan kemandirian dalam kehidupan, dimana semua kebutuhan hidup ditopang oleh penghasilan

penghasilan, sehingga kaitannya dengan dimensi lokasi dan dimensi perumahan menjadi semakin jelas.

4. Dimensi Penghasilan, menekankan pembahasan pada besar kecilnya penghasilan yang diperoleh persatuan waktu, dengan asumsi bahwa makin lama menetap di kota maka makin mantap pekerjaannya sehingga makin tinggi pula penghasilan yang diperoleh persatuan waktu tertentu.

Lebih lanjut Turner (1968) menyatakan bahwa terdapat kaitan antara kondisi ekonomi dengan tingkat prioritas kebutuhan perumahan pada setiap manusia. Bagi masyarakat golongan berpenghasilan rendah, terdapat 3 tingkat prioritas kebutuhan perumahan yaitu :

1. Faktor jarak menjadi prioritas utama,

2. Faktor status lahan dan rumah menjadi prioritas kedua, dan 3. Faktor bentuk dan kualitas rumah menjadi prioritas ketiga.

Menurut Panudju (1999), dalam menentukan prioritas kebutuhan rumah, masyarakat golongan berpenghasilan rendah cenderung meletakkan prioritas utama pada lokasi rumah yang berdekatan dengan tempat yang dapat memberikan kesempatan kerja. Tanpa kesempatan kerja yang dapat menopang kebutuhan sehari- hari, sulit bagi mereka untuk dapat mempertahankan hidupnya. Status pemilikan rumah dan lahan menempati prioritas kedua, sedangkan bentuk maupun kualitas rumah menjadi prioritas terakhir. Yang terpenting bagi mereka adalah tersedianya rumah untuk berlindung dan istirahat dalam upaya mempertahankan hidupnya.

Begitu juga Jo Santoso (2002) dalam Kurniasih (2007) mengungkapkan bahwa rumah bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah adalah :

1. Dekat dengan tempat kerja atau di tempat yang berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan, minimal pekerjaan di sektor informal.

2. Kualitas fisik rumah dan lingkungan, tidak penting sejauh masih dapat menyelenggarakan kehidupan.

3. Hak-hak penguasaan khususnya hak milik atas tanah dan bangunan, tidak penting. Yang penting adalah tidak diusir atau digusur, sesuai dengan cara berpikir mereka bahwa rumah adalah sebuah fasilitas.

Menurut Urban Poor Consortium (2007), rakyat bergerak mencari nafkah dan tempat bermukim yang sesuai dengan kemampuan mereka untuk bekerja mencari nafkah. Gerakan semut yang mencari sumber-sumber gula seperti ini, seharusnya diterima sebagai kenyataan sosial yang tak terelakkan. Sebagaimana diungkapkan oleh Suparlan (2007) bahwa permukiman kumuh dan liar yang umumnya merupakan masyarakat yang berpenghasilan rendah, memiliki beraneka ragam mata pencaharian dimana sebagian besar di sektor informal.

Hal ini telah memungkinkan bagi mereka untuk dapat hidup sebagai sebuah komunitas yang mandiri karena telah memungkinkan untuk dapat saling menghidupi dalam batas-batas tertentu. Kegiatan-kegiatan mereka di sektor informal telah menyebabkan bahwa rumah bukan hanya sebagai tempat untuk beristirahat, sebagai ruang untuk kegiatan-kegiatan pribadi dan keluarga, tetapi rumah juga merupakan

(halaman rumah atau lapangan terbuka) dimanfaatkan untuk tempat kegiatan bekerja, mempersiapkan produk-produk kerja atau sebagai tempat penyimpanan/ gudang.

Dokumen terkait