• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Pasien GGK di Unit Hemodilaisa dengan Harga Diri Rendah

TINJAUAN PUSTAKA

2.7 Karakteristik Pasien GGK di Unit Hemodilaisa dengan Harga Diri Rendah

Keunggulan dari CBT, terapi ini menggabungkan dua terapi yaitu Cognitive therapy (CT) dengan Behavior therapy (BT), kedua terapi ini dapat menjadi alat yang kuat untuk menghentikan pikiran –pikiran otomatis negatif dan perilaku distruktif sehingga pasien dapat berada pada arah hidup yang lebih memuaskan (Bush, 2005). Seperti penelitian yang dilakukan oleh sulistio (2006), tentang Cognitive Behavior Therapy untuk anak dengan konsep diri negatif hasilnya, CBT mempunyai pengaruh positif dalam meningkatkan konsep diri anak. Penelitian Sasmita (2007), tentang efektifitas CBT pada pasien harga diri rendah di RS MM Bogor, hasilnya menunjukkan kemampuan kognitif dan perilaku klien harga diri rendah meningkat secara bermakna sesudah diberikan terapi CBT.

2.7 Karakteristik Pasien GGK di Unit Hemodilaisa dengan Harga Diri Rendah

2.7.1 Usia

Stusrt dan Laraia ( 2005), usia berhubungan dengan pengalaman seseorang dalam menghadapi stressor, kemampuan memanfaatkan sumber dukungan dan ketrampilan dalam mekanisme koping. Individu yang mampu memanfaatkan kemampuannya untuk menghadapi stressor dengan kematangan usianya cenderung memiliki peningkatan harga diri. Pada penelitian ini apakah usia berpengaruh terhadap perubahan harga diri pasien setelah intervensi CBT.

2.7.2 Jenis kelamin

Dari berbagai penelitian yang dilakukan diberbagai negara didapatkan kesimpulan yang sama yaitu wanita duakali memiliki resiko yang lebih besar dibandingkan dengan pria, prevalensi depresi pada wanita sebesar 25% sedangkan pria 12%, hal ini diduga wanita terdapat permasalahan

yang komplek dan saling berhubungan seperti, faktor biologis, psikologis yang pada akhirnya dapat mempengaruhinharga dirinya. Pada penelitian apakah jenis kelamin berpengaruh terhadap perubahan harga diri pasien setelah intervensi CBT.

2.7.3 Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang dapat mempengaruhi kemampuanya dalam menerima informasi yang diberikan, penyelesaian masalah, perubahan perilaku dan gaya hidup. Pendidikan juga dapat di jadikan tolak ukur kemampuan seseorang dalam berinteraksi secara efektif ( Stuart dan Laraia, 2005). Seseorang dengan latar belakang pendidikan tinggi, biasanya ia memiliki tingkat kepercayaan diri dan harga diri yang tinggi pula sehingga ia akan lebih mudah dalam membina hubungan atau interaksi dengan orang lain. Pada penelitian ini apakah pendidikan berpengaruh terhadap perubahan harga diri pasien setelah pelaksanakan terapi CBT.

2.7.4 Pekerjaan

Masalah pekerjaan menjadi sumber stress bagi kebanyakan orang, karena bila dalam lingkungan kerja tidak kondusif maka orang akan merasa tidak nyaman dalam bekerja, jika situasi ini berlangsung lama maka akan mengakibatkan terjadinya depresi, pekerjaan terlalu banyak, pekerjaan tidak cocok dengan kemampuannya, tidak bekerja/tidak mempunyai pekerjaan, semua ini merupakan faktor resiko terkadinya masalah psiko sosial. Pada penelitian ini apakah pekerjaan berpengaruh terhadap perubahan harga diri pasien setelah terapi CBT.

2.7.5 Status perkawinan

Status perkawinan dapat mempengaruhi perilaku seseorang baik positif maupun negatif. Individu yang tidak menikah atau mengalami perceraian termasuk kelompok risiko tinggi mengalami gangguan jiwa ( Brunner, 1984). Pada penelitian ini apakah status perkawinan berpengaruh terhadap perubahan harag diri pasien setelah intervensi CBT.

2.7.6 Lama sakit

Ketika difonis GGK pasien akan mengalami ansietas untuk itu dibutuhkan kemampuan dalam menyeimbangkan diri dari berbagai keadaan yang disebabkan oleh penyakitnya tersebut, pada awalnya individu akan kesulitan menyesuaikan ‘hidup baru’ (cucidarah seumurhidupnya) ini sehingga potensial menimbulkan ansietas kronis, yang pada akhirnya dapat menyebabkan permasalahan lainnya seperti harga diri rendah (Anderson, 1988). Menurut Roos (1998), tahapan terakhir dari rasa kehilangan adalah Acceptance, artinya dengan berjalannya waktu maka mulai dapat menerima bahwa ia memang menderita penyakit kronis, dan mulai menata hidup selanjutnya. Pada penelitian ini apakah lama sakit berpengaruh terhadap perubahan harga diri pasien setelah pelaksanakan terapi CBT.

2.6.7 Frekuensi terapi hemodialisis yang telah dijalani

Setiap individu dalam hidupnya diharapkan mampu untuk beradaptasi dengan dirinya sendiri dan dengan lingkungannya, dengan banyaknya jumlah atau frekuensi terapi hemodialisis maka sudah menjadi habit, sehingga diharapkan sudah lebih nyaman, walaupun ternyata tidak sesederhana itu, berbagai hal justru menyertai pasien setiap akan dilakukan dialisis, seperti masalah penyuntikan awal, penggunaan waktu, biaya, ketergantungan dengan mesin atau orang (Suhardjono, 2000). Pada penelitian ini apakah frekuensi terapi hemodialisis berpengaruh terhadap perubahan harga diri pasien setelah melaksanakan terapi CBT.

Pada penelitian ini peneliti mengadop model adaptasi Roy, model ini dipilih karena Roy memandang klien sebagai sistem adaptasi holistik, menurut Roy bahwa klien dengan lingkungannya saling mempengaruhi secara timbal balik.

Lingkungan adalah segala kondisi, situasi dan keadaan yang ada disekitar klien yang terdiri dari tiga sub sistem yaitu: Stimulus fokal, kontekstual dan residual. Lingkungan inilah yang akan mempengaruhi setiap proses kehidupan individu dalam pertumbuhan dan perkembangannya (Stuart & Laraia, 2005)

Stimulus fokal pada kasus ini adalah klien GGK dengan hemodialisis yang mengalami harga diri rendah. Adapun faktor penyebab terjadinya harga diri rendah antara lain faktor biologis ; kerusakan lobus frontal, kerusakan lobus temporal, kerusakan sistem limbic dan kerusakan neurotransmiter ( Stuart dan Laraia, 2005; Towndsend, 2005; Boyd dan Nihart, 1998). Faktor psikologis; perubahan fungsi peran, harapan untuk hidup semakin berkurang, ancaman kematian, merasa tidak berguna, membebani keluarga, dan merasa tidak berdaya (Levy, 1979; Feldman, 1989). Faktor sosial; kemiskinan, terisolasi dari lingkungan, interaksi kurang baik dalam keluarga (Stuart dan Sundeen, 2005). Faktor kultural; tuntutan peran, perubahan gaya hidup (Towndsend, 2005).

Akibat dari berbagai faktor diatas adalah dari segi fisik; penurunan energi/ lemah, penurunan libido, insomnia, penurunan nafsu makan. Kognitif; pasien menjadi bingung, penurunan memori, kurang perhatian, merasa putus asa, merasa tidak berdaya, merasa tidak berharga. Perilaku; aktivitas menurun, menarik diri dari lingkungan sosialnya, mudah menangis, merusak diri/ bunuh diri. Emosi; sedih, kesepian, merasa dikejar dosa, dan kurang motifasi, (Stuart dan Sundeen, 2005).

Stimulus kontekstualnya adalah karakteristik pasien seperti; umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, status perkawinan, lama sakit dan frekuensi terapi hemodialisa yang telah dijalani, yang memungkinkan menyebabkan distorsi kognitif (Stuart & Sundeen, 2005)

Stimulus residualnya meliputi nilai, keyakinan dan pandangan keluarga dan masyarakat terhadap GGK yang dilakukan hemodialisis. Pada penelitian ini tidak meneliti tentang residualnya karena terapi akan divokuskan pada individu yang terkait dengan kognitif dan perilakunya (Townsend, 2009).

Respon terhadap stimulus dikontrol oleh dua mekanisme koping yaitu regulator atau respon biologis tubuh, dan kognator atau persepsi, perilaku dan emosi. Respon regulator merupakan respon otomatis tubuh terhadap stimulus yang diamati yaitu modus fisiologis, respon kognator terdiri dari modus konsep diri,

fungsi peran dan interdependensi. Pada pasien GGK dengan hemodialisis yang mengalami harga diri rendah gangguan pada respon tersebut diatas menghasilkan respon yang maladaptif. Pemberian CBT pada proses yaitu pada kognator menghasilkan respon adaptif yaitu pikiran dan perilaku yang positif terhadap stimulus yang muncul (Stuart & Laraia, 2005).

Bentuk perilaku harga diri rendah pasien GGK dengan hemodialisis yang sesuai dengan bentuk perilaku harga diri rendah menurut Stuart & Laraia (2005) adalah perasaan tidak mampu, penolakan terhadap kemampuan personal, merasa bersalah, mengkritik diri sendiri, perasaan negatif mengenai tubuhnya sendiri, penurunan produktivitas, mudah tersinggung, gangguan dalam berhubungan, menarik diri secara sosial, ketegangan peran yang dirasakan, perilaku destruktif yang diarahkan pada orang lain maupun diri sendiri, dan khawatir atau cemas dengan kondisi penyakit dan prognosa penyakitnya.