• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Hakekat Pembelajaran Kontekstual

2. Karakteristik Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa dalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individual siswa dan peran guru. Adapun karakteristik pembelajaran kontekstual, meliputi:

1. Adanya kerjasama 2. Saling menunjang

3. Menyenangkan, tidak membosankan 4. Belajar dengan bergairah

5. Pembelajaran terintegrasi 6. Menggunakan berbagai sumber 7. Siswa aktif

8. Sharing dengan teman 9. Siswa kritis, guru kreatif

10.Laporan kepada orang tua berwujud, rapor, hasil karya siswa, laporan praktikum, dan karangan siswa, dan lain-lain.

Pembelajaran kontekstual pada hakekatnya pendekatan yang menekankan pada berfikir tingkat tinggi, transfer pengetahuan lintas disiplin, serta pengumpulan, penganalisisan dan pensintesisan informasi serta data dari berbagai sumber dan pandangan. The Northwest Education Laboratory USA mengidentifikasikan adanya enam kunci dasar dari pembelajaran kontekstual, yaitu:

1. Pembelajaran bermakna: pemahaman, relevansi dan penilaian pribadi sangat terkait dengan kepentingan siswa di dalam mempelajari isi materi pelajaran. Pembelajaran dirasakan terkait dengan kehidupan nyata atau siswa mengerti manfaat isi pembelajaran, jika mereka merasakan berkepentingan untuk belajar demi kehidupannya di masa mendatang. Prinsip ini sejalan dengan pembelajaran bermakna

(meaningful learning) yang diajukan oleh Ausuble (2000).

2. Penerapan pengetahuan: adalah kemampuan siswa untuk memahami apa yang dipelajari dan diterapkan dalam tatanan kehidupan dan fungsi di masa sekarang atau di masa datang.

3. Berfikir tingkat tinggi: siswa diwajibkan untuk memanfaatkan berfikir kritis dan berfikir kreatifnya dalam pengumpulan data, pemahaman suatu isu dan pemecahan suatu masalah.

4. Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar: isi pembelajaran harus dikaitkan dengan standar lokal, provinsi, nasional, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan dunia kerja.

5. Responsif terhadap budaya: guru harus memahami dan menghargai nilai, kepercayaan, dan kebiasaan siswa, teman pendidik dan masyarakat tempat ia mendidik. Ragam individu dan budaya suatu kelompok serta hubungan antar budaya tersebut akan mempengaruhi pembelajaran dan sekaligus akan berpengaruh terhadap cara mengajar guru. Setidaknya ada 4 (empat) hal yang perlu diperhatikan di dalam pembelajaran kontekstual, yaitu: individu siswa, kelompok siswa baik sebagai tim atau keseluruhan kelas, tatanan sekolah, dan besarnya tatanan komunitas kelas.

6. Penilaian autentik: penggunaan berbagai strategi penilaian (misalnya penilaian proyek/tugas terstruktur, kegiatan siswa, penggunaan portofolio, rubrik, daftar cek, pedoman observasi, dan sebagainya) akan merefleksikan hasil belajar yang sesungguhnya. Model penilaian ini memberikan kesempatan kepada siswa ikut aktif berperan serta dalam menilai pembelajaran mereka sendiri dan penggunaan berbagai jenis penilaian untuk meningkatkan kompetensi siswa.

Menurut Nurhadi (2002:10), bahwa pendekatan pembelajaran kontekstual memiliki tujuh komponen utama pembelajaran yang efektif, yaitu:

1. Kontruktivisme (contructivisme)

Kontruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan Contectual Teaching and Learning (CTL), yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, dan hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) serta tidak sekonyong-konyong, pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep-konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan dingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalamn nyata.

Dengan dasar itu pembelajaran harus dikemas menjadi proses “mengkontruksi” bukan “menerima” pengetahuan. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar siswa menjadi pusat kegiatan bukan guru.

Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum objektivitas, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan konstruktivisme “strategi memperoleh” lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan:

1) Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa.

2) Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri, dan

3) Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri. 2. Menemukan (inquiry)

Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis Contectual Teaching and Learning (CTL). Pengetahuan dan keterampian yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi dari menemukan sendiri. Guru harus merancang kegiatan yang merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun meteri yang diajarkannya.

1) Siklus inquiry:

Siklus Inquiry Observasi (Observation)

Bertanya (Questioning)

Mengajukan dugaan (Hipotesis)

Pengumpulan data (Data ghatering)

Penyimpulan (Conclution) Gambar 1. Proses Inquiry 2) Langkah-langkah kegiatan menemukan (inquiry):

a) Merumuskan masalah (dalam mata pelajaran apapun). b) Megamati atau melakukan observasi.

c) Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel dan karya lainnya.

d) Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pembaca, teman sekelas, guru atau audien lain.

3. Bertanya (questioning)

Pengetahuan yang dimiliki seseorang bermula dari “bertanya”.

Questioning (bertanya) merupakan strategi utama dalam pembelajaran yang berbasis Contectual Teaching and Learning (CTL). Bertanya dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inkuiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan pada aspek yang belum diketahuinya.

Bertanya adalah suatu strategi yang digunakan secara aktif oleh siswa untuk menganalisis dan mengeksplorasi gagasan-gagasan. Pertanyaan-pertanyaan spontan yag diajukan siswa dapat digunakan untuk merangsang siswa berpikir, berdiskusi, dan berspekulasi. Guru dapat meggunakan teknik bertanya dengan cara memodelkan keingin tahuan siswa dan mendorong siswa agar mengajukan pertanyaan- pertanyaan.

4. Masyarakat belajar (learning community)

Konsep Learning Community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing, antar teman, antar kelompok, dan antara mereka

yang tahu ke mereka yang belum tahu. Dalam pembelajaran

Contectual Teaching and Learning (CTL), guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberi tahu yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat.

Pada dasarnya, learning community atau masyarakat belajar itu mengandnug arti sebagai berikut :

a. Adanya kelompok belajar yang berkomunikasi untuk berbagai gagasan dan pengalaman.

b. Ada kerjasama untuk memecahkan masalah.

c. Pada umumnya hasil kerja kelompok lebih baik daripada kerja individual.

d. Ada rasa tanggung jawab kelompok, semua anggota dalam kelompok mempunyai tanggung jawab.

e. Upaya membangun motivasi belajar bagi anak yang belum mampu dapat diadakan.

f. Menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan seorang anak belajar dengan anak lainnya.

g. Ada rasa tanggung jawab dan kerjasama antar anggota kelompok untuk saling memberi dan menerima.

h. Ada fasilitator/guru yang memandu proses belajar dengan kelompok.

i. Harus ada komunikasi dua arah atau multi arah. j. Ada kemauan untuk menerima pendapat orang lain. k. Ada kesedian untuk menghargai pendapat orang lain. l. Tidak ada kebenaran yang hanya satu saja.

m. Dominasi siswa-siswa yang pintar perlu diperhatikan agar yang lambat/lemah bisa pula berperan.

n. Siswa bertanya kepada teman-temannya itu sudah mengandung arti

learning community. 5. Pemodelan (modeling)

Pemodelan maksudnya, dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Model itu bisa berupa cara pengoperasian sesuatu, cara memperbesar dan memperkecil skala peta, cara menggunakan peta, cara mengukur suhu udara dan sebagainya.

Dalam pendekatan Contectual Teaching and Learning (CTL), guru bukan satu-satunya model, model dapat dirancang dengan melibatkan siswa, model juga dapat didatangkan dari luar. Contoh praktek pemodelan di kelas adalah guru menunjukkan peta jadi yang dapat digunakan sebagai contoh dalam merancang peta daerahnya.

6. Refleksi (reflection)

Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang telah kita lakukan di masa yang lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajari sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya.

Realisasi refleksi dapat berupa:

a. Pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu. b. Catatan atau jurnal di buku siswa.

c. Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu. d. Diskusi.

e. Hasil karya.

f. Cara-cara lain yang ditempuh guru untuk mengarahkan siswa kepada pemahamn mereka tentang materi yang dipelajari.

7. Penilaian sebenarnya (authentic assessment)

Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan guru mengidentifikasikan bahwa siswa mengalami kemacetan dalam belajar, maka guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat agar siswa terbatas dari kemacetan belajar. Karena gambaran tentang kemajuan belajar itu diperlukan

sepanjang proses pembelajaran, maka assessment tidak hanya dilakukan diakhir periode (semester) pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi hasil belajar seperti UAS/UAN, tetapi dilakukan bersama dengan secara terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran.

Data yang dikumpulkan dalam assessment bukanlah untuk mencari informasi tentang belajar siswa. pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari, bukan ditekankan pada perolehan sebanyak mungkin informasi diakhir pembelajaran. Karena assessment

menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran.

Prinsip-prinsip yang dipakai dalam penilaian authentik assessment adalah sebagai berikut:

1) Harus mengukur semua aspek pembelajaran: proses, kinerja dan produk.

2) Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung.

3) Menggunakan berbagai cara dan berbagai sumber.

4) Tes hanya sebagai salah satu alat pengumpul data penilaian. 5) Penilaian harus menekankan kedalaman pengetahuan dan

6) Tugas-tugas yang diberikan harus mencerminkan bagian kehidupan siswa yang nyata setiap hari.

Karakteristik authentic assessment dapat dikemukaan butir- butir berikut:

1) Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung.

2) Bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif.

3) Yang diukur ketrampilan performance, bukan mengingat fakta. 4) Berkesinambungan.

5) Terintegrasi.

6) Dapat digunakan untuk feed back.

3. Penerapan Pembelajaran Kontekstual

Dokumen terkait