• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

5.2. Karakteristik Petani Sampel

Karakteristik petani sampel yang akan diuraikan dalam Sub Bab ini meliputi data : (a) umur petani, (b) pendidikan petani, (c) pengalaman usahatani, (d) luas lahan garapan, (e) status lahan garapan, dan (f) data petani yang memiliki pendapatan di luar usahatani padi. Dari hasil wawancara terhadap 30 sampel petani padi organik dan 30 sampel petani non organik, diperoleh karakteristik petani sampel di Kabupaten Sragen yang menggambarkan kondisi sosial ekonomi petani. Data keragaman umur sampel petani yang terdiri dari petani padi organik dan non organik selengkapnya disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Keragaman Umur Petani Padi Organik dan Non Organik di Kabupaten Sragen Tahun 2010

Tabel 5 dapat diketahui bahwa bahwa 60% petani padi di Kabupaten Sragen berumur lebih dari 50 tahun, merupakan masa menjelang umur non produktif. Kekuatan fisik dan produktivitas kerja akan semakin menurun seiring dengan bertambahnya umur. Jika ditinjau dari masing-masing kelompok petani, 53.3% sampel petani padi organik berumur lebih dari 50 tahun dan 66.7% sampel petani non organik berumur lebih dari 50 tahun. Petani padi organik banyak diusahakan petani dengan rata-rata umur lebih muda dibandingkan dengan petani non organik. Sifat usahatani padi organik yang lebih banyak memerlukan curahan tenaga kerja dibandingkan dengan usahatani non organik, merupakan salah satu penyebab jumlah petani organik lebih banyak diusahakan oleh kelompok umur di bawah 50 tahun.

Umur Petani

(Tahun) Jumlah Persentase Jumlah Persentase

(Orang) (%) (Orang) (%) ≤ 30 0 0.0 1 3.3 31 - 40 4 13.3 3 10.0 41 - 50 10 33.3 6 20.0 51 - 60 7 23.3 11 36.7 61 - 70 7 23.3 5 16.7 ≥ 70 2 6.7 4 13.3

Umur seseorabg berpengaruh pada pola pikir yang lebih terbuka dan bisa menerima sesuatu yang baru. Petani muda akan lebih bersifat lebih suka pada sesuatu tantangan baru yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan melakukan usahatani yang sama sepanjang tahun. Lawal dan Oluyole (2008) mengatakan bahwa umur petani dapat dihubungkan dengan kemampuan dalam mengaplikasikan teknik-teknik usahatani yang baru. Petani muda lebih bisa menerima sesuatu yang baru dibandingkan dengan petani yang sudah tua. Gambaran tingkat pendidikan petani dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Distribusi Pendidikan Petani Padi Organik dan Non Organik di Kabupaten Sragen Tahun 2010

Usahatani padi di Kabupaten Sragen 63.3% dilakukan oleh petani dengan tingkat pendidikan maksimum SD. Data ini menunjukkan bahwa mayoritas petani padi di Kabupaten Sragen rata-rata memiliki pendidikan formal yang masih rendah. Tingkat pendidikan berpengaruh dalam pengelolaan usahatani, terutama dalam menentukan pilihan dan pengambilan keputusan dari berbagai alternatif pilihan teknologi yang dihadapi. Ogada et al. (2010) menyatakan bahwa peningkatan tingkat pendidikan akan mempengaruhi meningkatnya kemungkinan petani dalam mengadopsi suatu teknologi. Petani dengan pendidikan lebih tinggi akan lebih cakap

Pendidikan Jumlah Persentase Jumlah Persentase

(Orang) (%) (Orang) (%) Tidak tamat SD 3 10.0 5 16.7 SD 16 53.3 14 46.7 SLTP 9 30.0 5 16.7 SLTA 1 3.3 2 6.7 D3 1 3.3 2 6.7 S1 0 0.0 2 6.7

atau lebih mampu dalam mencari dan mengolah akses informasi dan teknologi. Gambaran pengalaman usahatani padi yang dimiliki petani, disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7. Keragaman Pengalaman Petani dalam Melakukan Usahatani Padi di Kabupaten Sragen Tahun 2010

Pengalaman dalam berusahatani padi sawah pada daerah penelitian sangat beragam. Tabel 7 menunjukkan bahwa dari keseluruhan sampel petani padi, 71.7% petani padi memiliki pengalaman lebih dari 20 tahun. Mayoritas petani padi organik dan non organik mempunyai pengalaman usahatani padi di atas 20 tahun. Pengalaman dalam melakukan usahatani akan mempengaruhi pada keterampilan dan kecakapan petani dalam mengatasi permasalahan. Semakin lama pengalaman usahatani akan semakin banyak ilmu usahatani padi praktis yang dimiliki, karena sesama petani akan terjadi pertukaran informasi, pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan yang dimiliki. Petani juga mendapatkan penyuluhan secara berkala dari Petugas Penyuluh Lapangan. Menurut Sauer dan Zilberman (2009), pengalaman petani berpengaruh positif terhadap adopsi suatu teknologi. Pada tahap awal, petani akan melihat dan pada tahap berikutnya sedikit demi sedikit petani akan mencoba sambil terus mempelajari teknologi yang baru tersebut. Data keragaman luas lahan garapan disajikan dalam Tabel 8.

Tabel 8. Sebaran Luas Lahan Garapan Petani Padi Organik dan Non Organik di Kabupaten Sragen Tahun 2010

Pengalaman

Usahatani Padi Jumlah Persentase Jumlah Persentase

(Tahun) (Orang) (%) (Orang) (%)

0 - 10 3 10.0 3 10.0

11 - 20. 7 23.3 4 13.3

21 - 30 5 16.7 7 23.3

31 - 40 4 13.3 8 26.7

> 40 11 36.7 8 26.7

Data luas lahan garapan di Tabel 8 menunjukkan bahwa mayoritas petani padi merupakan petani kecil dengan luas lahan garapan kurang dari 0.5 hektar. Luas lahan yang dikuasai menggambarkan kemampuan modal finansial petani dalam melakukan usahatani. Lahan besar akan memberikan penerimaan yang besar pula dan luas lahan yang diusahakan dapat digunakan sebagai cermin tingkat kesejahteraan petani. Tetapi petani lahan sempit akan lebih intensif dalam mengelola usahataninya dibandingkan dengan petani dengan lahan luas. Ada beberapa peneliti yang menyatakan bahwa ada hubungan terbalik antara ukuran luas usahatani dengan produktivitas yang dicapai. Penelitian yang dilakukan Carter (1984) disimpulkan bahwa pada usahatani dengan lahan kecil menggunakan lebih banyak input per hektar dibandingkan dengan usahatani skala besar. Tenaga kerja per hektar yang digunakan pada petani kecil 36% diatas tingkat optimum penggunaan tenaga kerja pada kondisi maksimum keuntungan. Ellis (2008) menjelaskan bahwa pemakaian tenaga kerja yang lebih banyak pada petani berlahan sempit disebabkan karena petani lahan sempit umumnya melakukan usaha tumpang sari (melakukan usahatani lebih dari satu macam komoditi). Untuk data status lahan garapan petani disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Sebaran Status Lahan Garapan Petani Padi Organik dan Non Organik di Kabupaten Sragen Tahun 2010

Luas Lahan

Garapan Jumlah Persentase Jumlah Persentase

(Hektar) (Orang) (%) (Orang) (%)

< 0.25 12 40.0 3 10.0

0.25 - 0.50 9 30.0 9 30.0

0.51 - 0.75 3 10.0 6 20.0

0.76 - 1.00 4 13.3 6 20.0

> 1 2 6.7 6 20.0

Tabel 9 menunjukkan bahwa secara keseluruhan, 83% petani di Kabupaten Sragen merupakan petani pemilik penggarap. Status kepemilikan lahan akan berpengaruh pada usaha konservasi lahan dalam jangka panjang. Petani dengan status lahan sewa atau bagi hasil cenderung tidak mau melakukan usaha-usaha yang berhubungan dengan konservasi lahan dalam jangka panjang, misalnya usaha pemakaian tambahan pupuk organik untuk pengembalian kesuburan tanah. Petani bukan pemilik lahan akan fokus pada pencapaian hasil produksi dalam jangka pendek. Petani dengan status pemilik penggarap akan memperhitungkan faktor kesuburan tanah dalam jangka panjang. Hasil studi yang dilakukan Ogada et al. (2010) menyebutkan bahwa status kepemilikan lahan berpengaruh pada adopsi teknologi yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan dalam jangka panjang. Informasi mengenai data petani yang mempunyai penghasilan dari luar usahatani padi disajikan dalam Tabel 10.

Tabel 10. Data Petani yang Mempunyai Penghasilan dari Luar Usahatani Padi di Kabupaten Sragen Tahun 2010

Tabel 10 menunjukkan bahwa 65% petani padi di Kabupaten Sragen tidak mempunyai penghasilan dari luar usahatani padi. Hal ini berarti 65% petani padi hanya mengandalkan hasil usahatani padi untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Status

Kepemilikan Lahan Jumlah Persentase Jumlah Persentase

(Orang) (%) (Orang) (%)

Milik Sendiri 28 93.3 22 73.3

Sewa 1 3.3 5 16.7

Bagi Hasil 1 3.3 3 10.0

Petani Padi Organik Petani Padi Non Organik

Penghasilan dari Luar

Usahatani Padi Jumlah Persentase Jumlah Persentase

(Orang) (%) (Orang) (%)

Mempunyai 12 40 9 30

Tidak Mempunyai 18 60 21 70

Kondisi ketergantungan terhadap hasil usahatani padi mempengaruhi sikap petani akan berusaha menghindari gagal panen atau penurunan hasil yang tinggi. Karena apabila mengalami penurunan produksi ataupun gagal panen, tidak ada lagi sumber penghasilan yang bisa digunakan untuk biaya modal usahatani musim tanam berikutnya dan biaya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sehingga sumber penghasilan di luar usahatani padi akan mempengaruhi sikap keberanian petani dalam mengambil risiko.