• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Sampel .1 Sampel menurut Umur

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang (Halaman 40-53)

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3 Karakteristik Sampel .1 Sampel menurut Umur

Sampel pada penelitian ini adalah prajurit remaja yang mendapat jatah makan dari unit dapur umum Batalyon Infanteri 310/KK Cikembar Sukabumi. Sampel yang diambil sebanyak 43 orang dari jumlah seluruh prajurit remaja yang dapat jatah makan sebanyak 75 orang. Berdasarkan data yang diperolah, gambaran umum sampel dapat dilihat pada Tabel berikut ini :

TABEL 5.1

DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL MENURUT UMUR DI BATALYON INFANTERI 310/KK CIKEMBAR SUKABUMI

TAHUN 2011

Umur n %

18 – 30 42 97,7

>30 1 2,3

Jumlah 43 100

Dari tabel diatas dapat diketahui sampel yang diambil paling banyak berumur 18-30 tahun sebanyak 42 orang (97,7%) dan yang paling sedikit berumur >30 tahun sebanyak 1 orang (2,3%). Rentang usia yang sebagian besar ikut dalam penelitian ini sekitar

18-30 tahun. Rentang usia ini termasuk dalam usia dewasa yang mempunyai aktivitas tinggi dan produktif. Pada usia produktif ini berperan dalam menentukan kebutuhan gizi yang optimal.

5.3.2 Sampel Menurut Pangkat

TABEL 5.2

DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL MENURUT PANGKAT DI BATALYON INFANTERI 310/KK CIKEMBAR SUKABUMI

TAHUN 2011

Pangkat n %

Bintara 19 44,2

Tamtama 24 55,8

Jumlah 43 100

Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa prajurit yang berpangkat tamtama tidak jauh beda jumlahnya dengan prajurit yang berpangkat bintara, yaitu untuk yang berpangkat bintara sebanyak 19 orang (44,2%) dan yang berpangkat tamtama sebanyak 24 orang (55,8%). Meskipun pangkatnya berbeda akan tetapi dalam aktivitas dan pelayanan makan yang diterima sampel tidak berbeda.

5.4 Penilaian Sampel terhadap Makan Siang yang disajikan

Penilaian sampel terhadap hidangan makan siang yang disajikan adalah pendapat sampel mengenai hidangan makan siang yang disajikan berdasarkan nilai tertentu. Penilaian setiap sampel akan berbeda, karena dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya kebiasaan makan dan selera makan. Penilaian citarasa makanan ini meliputi penampilan makanan dan rasa makanan melalui kuesioner selama 2 hari (tidak berturut-turut) pada saat makan siang.

5.4.1 Penilaian Sampel Terhadap Penampilan Makanan

Penampilan makanan adalah bentuk fisik dari makanan yang disajikan meliputi penilaian sampel terhadap warna, besar porsi, bentuk makanan, konsistensi, dan cara penyajian. Penilaian sampel tehadap penampilan makanan dapat dilihat dari tabel dibawah ini.

TABEL 5.3

DISTRIBUSI FREKUENSI PENILAIAN SAMPEL

TERHADAP PENAMPILAN MAKAN SIANG YANG DISAJIKAN DI BATALYON INFANTERI 310/KK CIKEMBAR SUKABUMI

TAHUN 2011

Penampilan n %

Baik 23 53,5

Kurang 20 46,5

Jumlah 43 100

Berdasarkan tabel 5.3 diatas, data yang diperoleh dari kuesioner tentang kualitas makan siang yang disajikan diketahui dari 43 sampel, sebesar 23 orang (53,5%) menyatakan penampilan makanan baik dan sebesar 20 orang (46,5%) menyatakan penampilan kurang baik.

Dari data tersebut dapat diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang jauh atara penilaian makanan yang baik dan kurang baik. Dari hasil penelitian, terdapat 20 orang (46,5%) yang menyatakan aspek warna makanan kurang baik.

Penelitian yang dilakukan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fathonah tahun 2003 tentang hubungan persepsi siswa terhadap cita rasa dengan daya terima makan siang yang disajikan di asrama Wing Dik Tekkal TNI AU Lanud Husein Sastranegara Bandung, dimana sebesar 46,03% siswa menilai warna makanan yang disajikan di asrama tersebut kurang baik.

Hal ini dikarenakan kombinasi warna pada hari ke-1 penelitian lebih dominan ke warna kuning kecoklatan terlihat dari menu hidangan yang disajikan yaitu soto (kuning kecolatan), dan tempe goreng (kuning kecoklatan). Sehingga, untuk menu soto dapat diganti dengan menu capcay. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa suatu hidangan makanan akan lebih menarik dengan kombinasi warna yang terdiri lebih dari tiga warna (West, 1998). Selain itu juga, Moehyi (1992) menyatakan bahwa penampilan makanan yang disajikan akan dipengaruhi oleh warna, besar porsi, bentuk makanan, konsistensi dan cara penyajian. Aspek penampilan lain yang dinyatakan baik yaitu cara penyajian (86%), konsistensi (76,7%), bentuk makanan dan besar porsi (74%).

5.4.2 Penilaian Sampel Terhadap Rasa Makanan

Rasa makanan adalah rasa yang ditimbulkan dari makanan yang disajikan ini merupakan faktor kedua yang menentukan citarasa makanan setelah penampilan itu sendiri. Untuk melakukan citarasa lebih banyak menggunakan indra pengecapan. Indra kecapan dapat dibagi menjadi 4 macam yaitu rasa asin, rasa pahit, rasa manis dan rasa asam ( Winarno,1997). Menurut Moehyi (1992), rasa makanan dipengaruhi oleh aroma, tekstrur, suhu, bumbu dan tingkat kematangan. Penilaian sampel terhadap rasa makanan yang disajikan dapat dilihat pada tabel berikut ini :

TABEL 5.4

DISTRIBUSI FREKUENSI PENILAIAN SAMPEL TERHADAP RASA MAKAN SIANG YANG DISAJIKAN DI BATALYON INFANTERI 310/KK CIKEMBAR SUKABUMI

TAHUN 2011

Rasa n %

Baik 22 51,2

Kurang 21 48,8

Jumlah 43 100

Berdasarkan tabel diatas, data yang diperoleh dari kuesioner tentang kualitas makan siang yang disajikan diketahui dari 43 sampel, sebesar 22 orang (51,2%) menyatakan rasa makanan baik dan sebesar 21 orang (48,8%) menyatakan rasa makanan kurang baik.

Dari data tersebut dapat diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang jauh atara penilaian makanan yang baik dan kurang baik. Salah satu aspek dari rasa makanan yang dinilai kurang baik oleh sampel dalam penelitian ini yaitu suhu makanan. Sebanyak 20 orang (46,5%) dari 43 orang menilai suhu makanan kurang baik.

Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fathonah tahun 2003 tentang hubungan persepsi siswa terhadap cita rasa dengan daya terima makan siang siswa Wing Dik Tekkal Lanud Husein Sastranegara Bandung, dimana sebesar 46,03% siswa menilai kurang baik terhadap rasa yang disajikan.

Hal tersebut terjadi karena terdapat jeda waktu yang agak lama antara waktu pendistribusian dengan waktu makan para prajurit remaja yang mempunyai kegiatan yang tidak tentu. Selain itu juga, tempat penyajian sayurnya tidak disertai dengan alat penghangat makanan. Dengan itu perlu adanya alat penghangat

makanan khususnya untuk sayur yang berkuah. Menurut Pujinuryat (2008), suhu makanan juga mempengaruhi daya terima seseorang terhadap makanan yang disajikan sesuai dengan cuaca/lingkungan. Selain suhu, sebanyak 14 orang(32,6%) menyatakan aroma kurang baik dan 10 orang (23,3%) menyatakan bumbu dari salahsatu menu yang disajukan yaitu soto kurang baik. Penilaian yang kurang terhadap aroma dan bumbu tersebut terjadi karena pihak penyelenggaraan makanan belum pernah melakukan perencanaan dan pelatihan mengenai standar bumbu sehingga belum menggunakan standar bumbu dalam proses pengolahannya. Dalam perencanaan tersebut diperlukan seorang yang ahli yaitu seorang ahli gizi. Jenis bumbu yang digunakan dan banyaknya masing-masing jenis bumbu sudah ditentukan dalam setiap resep masakan ( Pujinuryat, 2008).

5.4.3 Penilaian Sampel Terhadap Citarasa Makanan

Cita rasa makanan menimbulkan terjadinya rangsangan terhadap berbagai indera dalam tubuh manusia, terutama indera penglihatan, indera penciuman dan indera pengecap. Makanan yang memiliki cita rasa yang tinggi adalah makanan yang disajikan dengan menarik, menyebarkan bau yang sedap dan memberikan rasa yang lezat. Penilaian cita rasa makanan yang dilakukan konsumen merupakan suatu persepsi, dimana merupakan suatu penilaian yang bersifat subyektif (Moehyi, 1992). Makanan yang memiliki cita rasa tinggi adalah makanan yang disajikan dengan menarik, menyebarkan bau yang sedap, bersih, dan memberikan rasa yang lezat. Hasil dari penilaian citarasa makan sampel dapat dilihat pada tabel berikut ini:

TABEL 5.5

DISTRIBUSI FREKUENSI PENILAIAN SAMPEL TERHADAP CITARASA MAKAN SIANG YANG DISAJIKAN DI BATALYON INFANTERI 310/KK CIKEMBAR SUKABUMI

TAHUN 2011

Citarasa n %

Baik 22 51,2

Kurang 21 48,8

Jumlah 43 100

Berdasarkan tabel diatas, data yang diperoleh dari kuesioner tentang kualitas makan siang yang disajikan diketahui dari 43 sampel, sebesar 22 orang (51,2%) menyatakan citarasa makanan baik dan sebesar 21 orang (48,8%) menyatakan citarasa kurang baik.

Hal tersebut timbul karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi seperti penilaian sampel terhadap penampilan makanan yang masih kurang sebanyak 20 orang (46,5%) dan rasa makanan yang masih kurang sebanyak 21 orang (48,8%). Menurut (Moehyi,1992), cita rasa mencakup dua aspek utama, yaitu penampilan sewaktu dihidangkan dan rasa makanan saat dimakan. Aspek dari penampilan yang paling menonjol yaitu aspek warna makanan. Sebesar 46,5% yang menyatakan aspek warna makanan kurang baik. Hal itu terlihat dari menu hari ke-1 dan ke-2 penelitian disominasi oleh warna kuning kecoklatan yaitu soto, tempe goreng, ayam bumbu kecap, sayur lodeh. Selain itu juga, dalam aspek rasa makanan yang paling menonjol yaitu suhu (46,5%), aroma (32,6%) dan bumbu (23,3%). Salah satu faktor yang menyebabkan kedua aspek citarasa itu kurang adalah karena perencanaan menunya tidak dibantu oleh seorang ahli gizi. Kedua

aspek ini sama pentingnya untuk diperhatikan agar betul-betul dapat menghasilkan makanan yang memuaskan.

Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fathonah tahun 2003 tentang hubungan persepsi siswa terhadap cita rasa dengan daya terima makan siang siswa Wing Dik Tekkal Lanud Husein Sastranegara Bandung, dimana sebesar 46,03% siswa menilai kurang baik terhadap rasa yang disajikan.

5.5 Asupan Energi Sampel

Asupan energi adalah rata-rata asupan energi sampel dari makan siang selama 2 hari tidak berturut-turut yang dibandingkan dengan kebutuhan energi makan siang.

TABEL 5.6

DISTRIBUSI FREKUENSI ASUPAN ENERGI SAMPEL DARI MAKAN SIANG YANG DISAJIKAN

BATALYON INFANTERI 310/KK CIKEMBAR SUKABUMI TAHUN 2011

Asupan Energi n %

Baik 41 95,3

Kurang 2 4,7

Jumlah 43 100

Hasil penelitian menunjukan asupan energi makan siang sampel yang didapat dari makanan yang disediakan berkisar antara 777, 8 kkal sampai 1283,05 kkal dengan rata-rata 933,28 kkal. Kebutuhan energi makan siang setiap sampel merupakan 30% dari kebutuhan sehari masing-masing sampel, dimana kebutuhan energi standar (80% kebutuhan energi makan siang masing-masing sampel) berkisar antara 730,75 kkal sampai 942,48 kkal.

Berdasarkan tabel diatas, menunjukan bahwa dari 43 orang sampel yang diteliti, 41 orang (95,3%) memiliki asupan energi makan siang yang baik, sedangkan sebanyak 2 orang (4,7) yang memiliki asupan energi makan siang yang kurang. Dari data tersebut sebagian besar sampel memiliki asupan energi makan siang yang baik. Tetapi, masih adanya sampel yang asupan energinya kurang.

Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Anggraeni tahun 2010 tentang Hubungan antara Tingkat Konsumsi Energi dan Protein dengan Status Gizi Siswa Pusat Pendidikan Artileri Medan Cimahi Tahun 2010 yang mana sebesar 94,7% memiliki tingkat konsumsi energi baik.

Hal tersebut timbul karena besar porsi dari makanan pokok (nasi) yang diambil oleh sampel tersebut lebih sedikit dari standar porsi yang ditentukan (400 gram) yaitu sekitar 257-274 gram.

Asupan makanan penting untuk memenuhi kebutuhan energi dalam tubuh, meskipun cadangan energi menyediakan cadangan penyangga pada kondisi kelaparan.(Marry, 2007)

5.6 Asupan Protein Sampel

Asupan protein adalah rata-rata asupan protein sampel dari makan siang selama 2 hari tidak berturut-turut yang dibandingkan dengan kebutuhan protein makan siang.

TABEL 5.7

DISTRIBUSI FREKUENSI ASUPAN PROTEIN SAMPEL DARI MAKAN SIANG YANG DISAJIKAN

BATALYON INFANTERI 310/KK CIKEMBAR SUKABUMI TAHUN 2011

Asupan Protein n %

Baik 30 69,8

Kurang 13 30,2

Jumlah 43 100

Hasil penelitian menunjukan asupan protein makan siang sampel yang didapat dari makanan yang disediakan institusi berkisar antara 26,3 gram sampai 38,2 gram dengan rata-rata 30,83 gram. Kebutuhan protein makan siang setiap sampel merupakan 30% dari kebutuhan protein sehari masing-masing sampel, dimana kebutuhan protein standar (80% kebutuhan energi makan siang masing-masing sampel) berkisar antara 27,4 gram sampai 35,34 gram. Berdasarkan tabel diatas, menunjukan bahwa dari 43 orang sampel yang diteliti 30 orang (69,8%) memiliki asupan protein makan siang yang baik, sedangkan sebanyak 13 orang (30,2%) memiliki asupan protein makan siang yang kurang.

Masih banyaknya asupan protein sampel yang kurang disebabkan karena besar porsi dari lauk hewani yaitu ayam bumbu kecap yang tidak semua sesuai dengan standar porsi yang telah ditentukan. Selain itu terdapat beberapa sampel yang tidak menyukai lauk nabati (tempe).

5.7 Hubungan Antara Cita Rasa Makan Siang yang disajikan dengan Asupan Energi Makan Siang Sampel

Hubungan Antara Cita Rasa Makan Siang yang disajikan dengan Asupan Energi Makan Siang Sampel dapat dilihat pada tabel berikut ini :

TABEL 5.8

HUBUNGAN ANTARA CITARASA MAKAN SIANG DENGAN ASUPAN ENERGI SAMPEL

DI BATALYON INFANTERI 310/KK CIKEMBAR SUKABUMI TAHUN 2011

Citarasa Makanan

Asupan Energi Total

Kurang baik Baik

n % n % n %

Kurang Baik 1 2,3 14 32,6 15 34,9

Baik 1 2,3 27 62,8 28 65,1

Total 2 4,6 41 95,4 43 100

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa cita rasa makanan mempengaruhi asupan energi makan siang sampel. Hal ini dapat dilihat dari 28 orang sampel terdapat 27 orang (62,8%) yang menilai citarasa dan asupan energinya baik.

Dari hasil uji statistic dengan menggunakan rumus Fisher Exact menunjukan tidak adanya hubungan yang bermakna, dimana nilai p-value > α (1 > 0,05).

Hal tersebut tidak sesuai dengan penelitian Nihayah (2007) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kualitas makanan dari segi penampilan dan rasa terhadap asupan energi. Tetapi sesuai dengan penelitian Livianti (2009) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara penilaian siswa terhadap citarasa dengan daya terima makan siang.

Adanya sampel yang menilai baik terhadap citarasa makanan dan asupan energi sebesar (62,8%), sedangkan sampel yang menilai kurang terhadap citarasa dan asupan energi sebesar (2,3%). Dari data tersebut terlihat bahwa sebagian besar sampel menghabiskan makan siangnya. Sedangkan pada tabel 5.7 sebesar (48,8%) menyatakan citarasa kurang baik. Sehingga tidak didapatkan adanya hubungan yang bermakna, padahal secara teoritis ada hubungan antara citarasa dengan asupan energi.

Terdapat hal ini yaitu dikarenakan adanya keterbatasan dalam hal metodologi penelitian dan pengumpulan data (penimbangan makanan). Selain itu terdapat faktor lain yang belum digali dalam penelitian ini. Faktor tersebut kemungkinan diantaranya adalah kondisi kesehatan dari sampel yang mana pada saat penelitian indera pengecapannya berkurang. Selain itu juga, faktor tingkat kebosanan terhadap menu, sanitasi makanan dan derajat kesukaan terhadap makanan.

5.8 Hubungan Antara Cita Rasa Makan Siang yang disajikan dengan Asupan Protein Sampel

TABEL 5.9

HUBUNGAN ANTARA CITARASA MAKAN SIANG DENGAN ASUPAN PROTEIN SAMPEL

DI BATALYON INFANTERI 310/KK CIKEMBAR SUKABUMI TAHUN 2011

Citarasa Makanan

Asupan Protein

Total Kurang Baik Baik

n % n % n %

Kurang Baik 20 46,5 5 11,6 25 58,1

Baik 10 23,3 8 18,6 18 41,9

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa cita rasa makanan tidak mempengaruhi asupan protein makan siang sampel. Hal ini dapat dilihat dari 25 orang sampel terdapat 20 orang (46,5%) yang menilai citarasa dan asupan proteinnya kurang baik.

Dari hasil uji statistic dengan menggunakan rumus Fisher Exact menunjukan tidak adanya hubungan yang bermakna antara citarasa makan siang dengan asupan protein, dimana nilai p-value > α (0,742 > 0,05).

Hal tersebut tidak sesuai dengan penelitian Nihayah (2007) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kualitas makanan dan asupan protein. Tetapi pada penelitian Indriana (2005) menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara persepsi siswa terhadap penampilan dan rasa makanan dengan asupan protein.

Adanya sampel yang menilai kurang terhadap citarasa makanan dan asupan protein sebesar (46,5%), sedangkan sampel yang menilai baik terhadap citarasa dan asupan energi sebesar (18,6%). Dari data tersebut didapatkan adanya hubungan yang bermakna, padahal secara teoritis ada hubungan antara citarasa dengan asupan energi.Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan dalam hal metodologi penelitian dan pengumpulan datanya serta terdapat faktor lain yang belum dimunculkan dalam penelitian ini. Kemungkinan faktor tersebut yaitu faktor psikologis, sosial, budaya yang dapat mempengaruhi asupan makan seseorang.

Cita rasa ini merupakan salah satu aspek penilaian kualitas makanan yang disajikan (Mukrie, 1990). Menurut Marry (2007) asupan protein yang tidak adekuat jarang terjadi sendiri.

BAB VI

Dalam dokumen BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang (Halaman 40-53)

Dokumen terkait