BAB II LANDASAN TEOR
2.1.1 Sekolah Dasar Negeri Perumnas Condongcatur
2.1.1.2 Karakteristik Siswa Kelas IIIB
Siswa kelas IIIB berjumlah 23 siswa dengan 11 siswa laki-laki dan 12 siswa perempuan. Kebanyakan siswa kelas IIIB ini adalah siswa yang aktif, mereka sangat antusias ketika belajar dengan menggunakan sebuah media, apalagi jika menggunakan reward. Mereka juga suka bekerja secara kelompok, akan tetapi mereka masih kurang dalam hal kebersihan terutama kebersihan di kelas. Kadang- kadang setiap pagi, orang tua siswa yang mengantar ikut membantu membersihkan kelas, kalau tidak guru harus marah-marah agar siswa membersihkan kelas. Di sisi lain, berdasarkan wawancara yang saya lakukan, semua siswa kelas IIIB sudah tahu cara menjaga lingkungan yang benar dan cara merawat tanaman, misalnya seperti menyiram bunga dan membuang sampah pada tempatnya. Akan tetapi, praktiknya masih kurang.
Siswa kelas IIIB di SD N Perumnas rata-rata adalah anak orang mampu, yaitu kalangan menengah ke atas, dan mereka kebanyakan bertempat tinggal di perumahan. Jenis perumahan yang mereka tempati berbeda-beda. Ada yang tinggal di perumahan homogen (rata-rata penduduknya adalah orang kaya) dan ada yang tinggal di perumahan heterogen (penduduknya bervariasi, yaitu ada yang kaya dan ada yang pas-pasan). Selain itu, dari 26 siswa kelas IIIB, ada 6 siswa yang tinggal di pedesaan. Akan tetapi desa yang mereka tempati sudah mirip seperti perumahan. Sehingga, siswa di kelas ini rata-rata hanya mau berbaur dengan siswa yang sesuai dengan keadaan ekonominya.
2.1.2 Pendidikan Emansipatoris
Pendidikan emansipatoris merupakan pendidikan yang mampu memberdayakan dan memberi pencerahan pada siswa (Mangunsong, 2005:15). Menurut Giroux (dalam Winarti dan Anggadewi, 2015:53) pendidikan emansipatoris dipandang sebagai pendidikan yang pergerakannya menekankan perwujudan masyarakat yang adil dan demokratis. Tiga kata kunci untuk model pendidikan emansipatoris, yaitu humanisasi, kesadaran kritis, dan mempertanyakan sistem (Winarti dan Anggadewi, 2015).
1.2.1.1 Humanisasi
Humanisasi dalam KBBI diartikan sebagai penumbuhan rasa peri kemanusiaan. Menurut Nouri, Sajjadi, dan Freire (dalam Winarti dan Anggadewi ,2015) humanisasi dipahami sebagai memberdayakan pemahaman kritis antara kedua belah pihak guru dan murid, dan mengembangkan kesadaran kritis (critical awarness) relasi pribadi dengan dunia. Berdasarkan dua pernyataan di atas peneliti berpendapat bahwa humanisasi adalah penumbuhan rasa kemanusiaan melalui pemberdayaan pemahaman kritis antara guru dan siswa.
1.2.1.2 Kesadaran Kritis
Kesadaran kritis memiliki makna belajar menerima keadaan sosial, ekonomi, dan politik yang bertolak belakang, dan kemudian melawan arus dan penindasan realitas (Winarti dan Anggadewi, 2015). Menurut Browne dan Keeley (2012:16) sebagai seorang pemikir kritis, anda akan mencari kesimpulan yang lebih baik, keyakinan yang lebih baik, dan keputusan yang lebih baik. Oleh karena hal tersebut, seseorang yang mempunyai kesadaran kritis akan memiliki sikap, yaitu
kemandirian dalam membentuk kesimpulan, keingintahuan terhadap apa yang dijumpai, kerendahan hati bahwa pendapat pribadi belum tentu benar, dan menghargai pendapat orang lain. Jadi dapat disimpulkan bahwa kesadaran kritis adalah pemahaman terhadap berbagai kondisi dan kemudian melawan arus penindasan.
1.2.1.3 Mempertanyakan Sistem
Winarti dan Anggadewi (2015:53-54) menyatakan bahwa untuk menjadi pemikir kritis, perlu ada dialog dalam bentuk mempertanyakan sistem untuk menentukan realitas. Dari pernyataan tersebut, mempertanyakan sistem difungsikan untuk menentukan sebuah realitas.
Salah satu cara yang dilakukan untuk mempertanyakan sistem yaitu dengan berdialog. Dialog dilakukan oleh guru dan siswa terhadap sistem pembelajaran yang dilakukan. Seperti pernyataan Winarty dan Anggadewi bahwa ketika terjadi dialog diantara keduanya, maka pemahaman dan pengalaman akan realitas dari kedua belah pihak pun berkembang.
Sehingga ketika seorang guru mempertanyakan sistem kepada siswa mengenai sistem pembelajaran yang dianut, maka guru akan memperoleh timbal balik dari siswa. Hasil timbal balik tersebut akan digunakan untuk evaluasi sistem pembelajaran selanjutnya, sehingga sistem pembelajarannya akan berkembang dan pengalaman belajar siswa serta pemahamannya pun turut berkembang.
Jadi pendidikan emansipatoris adalah pendidikan demokratis yang mampu memberdayakan pemahaman siswa dimana di dalam pembelajarannya terdapat unsur humanis, kesadaran kritis, dan mempertanyakan sistem.
2.1.4 Modul
2.1.4.1 Pengertian Modul
Pendidikan emansipatoris menuntut siswa agar belajar secara mandiri dan berkembang sesuai kemampuannya. Salah satu bahan pembelajaran yang dapat digunakan sebagai sarana belajar secara mandiri adalah modul. Modul merupakan salah satu bentuk bahan ajar yang dikemas secara utuh dan sistematis, didalamnya memuat seperangkat pengalaman belajar yang terencana dan didesain untuk membantu peserta didik menguasai tujuan belajar yang spesifik (Daryanto, 2013:9). Modul minimal memuat tujuan pembelajaran, materi/substansi belajar, dan evaluasi. Modul berfungsi sebagai sarana belajar yang bersifat mandiri, sehingga peserta didik dapat belajar secara mandiri sesuai dengan kecepatan masing-masing. Penulisan modul bertujuan :
a. Memperjelas dan mempermudah penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbal.
b. Mengatasi keterbatasan waktu, ruang, dan daya indera, baik siswa atau peserta diklat maupun guru/instruktur.
c. Dapat digunakan secara tepat dan bervariasi, seperti :
d. Meningkatkan motivasi dan gairah belajar bagi siswa atau peserta diklat; e. Mengembangkan kemampuan peserta didik dalam berinteraksi langsung dengan
lingkungan dan sumber belajar lainnya,
2.1.4.2 Karakteristik Modul
Modul yang baik menurut Daryanto (2013:9) adalah modul yang mampu meningkatkan motivasi belajar, sehingga pengembangan modul harus
memperhatikan karakteristik yang diperlukan, yaitu: a) Self instructional, b) Self Contained, c) Stand alone (berdiri sendiri), d) Adaptif dan e) User friendly. a. Self Instruction
Merupakan karakteristik penting dalam modul, dengan karakter tersebut
memungkinkan seseorang belajar secara mandiri dan tidak tergantung pada pihak
lain.
Untuk memenuhi karakter self instruction, maka modul harus:
1) Memuat tujuan pembelajaran yang jelas, dan dapat menggambarkan pencapaian
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar.
2) Memuat materi pembelajaran yang dikemas dalam unit-unit kegiatan yang
kecil/spesifik, sehingga memudahkan dipelajari secara tuntas;
3) Tersedia contoh dan ilustrasi yang mendukung kejelasan pemaparan materi
pembelajaran;
4) Terdapat soal-soal latihan, tugas dan sejenisnya yang memungkinkan untuk
mengukur penguasaan peserta didik;
5) Kontekstual, yaitu materi yang disajikan terkait dengan suasana, tugas atau
konteks kegiatan dan lingkungan peserta didik;
6) Menggunakan bahasa yang sederhana dan komunikatif,
7) Terdapat rangkuman materi pembelajaran;
8) Terdapat instrumen penilaian, yang memungkinkan peserta didik melakukan
penilaian mandiri (self assessment);
9) Terdapat umpan balik atas penilaian peserta didik, sehingga peserta didik
10)Terdapat informasi tentang rujukan/ pengayaan/referensi yang mendukung
materi pembelajaran dimaksud.
b. Self Contained
Modul dikatakan self contained bila seluruh materi pembelajaran yang dibutuhkan
termuat dalam modul tersebut. Tujuan dari konsep ini adalah memberikan
kesempatan peserta didik mempelajari materi pembelajaran secara tuntas, karena
materi belajar dikemas kedalam satu kesatuan yang utuh. Jika harus dilakukan
pembagian atau pemisahan materi dari satu standar kompetensi/kompetensi dasar,
harus dilakukan dengan hati-hati dan memperhatikan keluasan standar
kompetensi/kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh peserta didik.
c. Berdiri Sendiri (Stand Alone)
Stand alone atau berdiri sendiri merupakan karakteristik modul yang tidak
tergantung pada bahan ajar/media lain, atau tidak harus digunakan bersama-sama
dengan bahan ajar/media lain. Dengan menggunakan modul, peserta didik tidak
perlu bahan ajar yang lain untuk mempelajari dan atau mengerjakan tugas pada
modul tersebut. Jika peserta didik masih menggunakan dan bergantung pada bahan
ajar lain selain modul yang digunakan, maka bahan ajar tersebut tidak dikategorikan
sebagai modul yang berdiri sendiri.
d. Adaptif
Modul hendaknya memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap perkembangan ilmu
dan teknologi. Dikatakan adaptif jika modul tersebut dapat menyesuaikan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta fleksibel/luwes digunakan di
berbagai perangkat keras (hardware).
Modul hendaknya juga memenuhi kaidah user friendly atau bersahabat/akrab
dengan pemakainya. Setiap instruksi dan paparan informasi yang tampil bersifat
membantu dan bersahabat dengan pemakainya, termasuk kemudahan pemakai
dalam merespon dan mengakses sesuai dengan keinginan. Penggunaan bahasa yang
sederhana, mudah dimengerti, serta menggunakan istilah yang umum digunakan,
merupakan salah satu bentuk user friendly.
Jadi dalam modul yang dikembangkan dalam penelitian ini mengandung unsur-
unsur, yaitu:
a) Self Instruction
Pada modul ini dapat digunakan siswa untuk kegiatan pembelajaran secara
mandiri karena modul ini memuat tujuan pembelajaran yang jelas, memuat
materi pembelajaran, tersedia contoh dan ilustrasi yang mendukung, terdapat
soal-soal latihan, tugas dan sejenisnya, kontekstual, menggunakan bahasa yang
sederhana dan komunikatif, dan terdapat umpan balik atas penilaian peserta
didik.
b) Self Contained
Pada modul pembelajaran IPA ini termuat seluruh materi pembelajaran yang
dibutuhkan.
c) Adaptif
Modul pembelajaran IPA ini dapat disesuaikan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan.
d) Bersahabat/Akrab (User Friendly)
Pada modul pembelajaran IPA ini disusun menggunakan bahasa yang
pada modul. Selain itu, modul ini juga dilengkapi dengan panduan penggunaan
modul serta petunjuk kerja, sehinggan siswa kemungkinan besar tidak
mengalami kebingungan saat menggunakannya.
2.1.4.3 Prinsip Modul
Ada enam belas prinsip milik Tomlinson (1998: 7-21) untuk mengembangkan bahan pembelajaran yaitu:
1. Materials should achieve impact
2. Materials should help learners to feel at ease
3. Materials should help learners to develop confidence
4. What is being taught should be perceived by learners as relevant and useful 5. Materials should require and facilitate learner self-investment
6. Learners must be ready to acquire the points being taught 7. Materials should expose the learners to language in authentic
8. The learners attention should be drawn to linguistic features of the input 9. Materials should provide the learners with opportunities to use the target language
to achieve communicative purposes
10. Materials should take into account that the positive effects of instruction are usually delayed
11. Materials should take into account that learners differ in learning styles 12. Materials should take into account that learners differ in affective attitudes 13. Materials should permit a silent period at the beginning of instruction 14. Materials should maximize learning potential by encouraging intellectual,
aesthetic and emotional involvement which stimulates both right and left brain activities
15. Materials should not rely too much on controlled practice 16. Materials should provide opportunities for outcome feedback
Berdasarkan keenam belas prinsip pengembangan bahan milik Tomlinson, peneliti hanya menggunakan 9 prinsip untuk mengembangkan bahan berupa modul pembelajaran IPA. Berikut ini adalah kesembilan prinsip yang digunakan peneliti untuk mengembangkan modul:
1. Materials should achieve impact
Bahan harus mencapai dampak. Dampak dicapai ketika bahan memiliki efek yang nyata pada peserta didik, yaitu ketika rasa ingin tahu peserta didik, minat, dan perhatian tertarik. Lebih lanjut, dikatakan bahwa bahan dapat mencapai dampak ketika bahan yang dikembangkan itu baru, bervariasi, disajikan menarik, dan konten menarik.
2. Materials should help learners to develop confidence
Bahan harus membantu siswa untuk mengembangkan kepercayaan diri. Banyak peserta didik cepat merasa tenang dan percaya diri jika mereka berpikir bahwa bahan-bahan yang mereka pelajari tidak terlalu sulit tapi hanya satu langkah lebih jauh atau lebih sulit daripada yang mereka kuasai. 3. What is being taught should be perceived by learners as relevant and useful
Bahan yang diajarkan harus dirasa sebagai yang relevan dan berguna bagi siswa.
4. Materials should require and facilitate learner self-investment
Bahan semestinya diperlukan dan memfasilitasi peserta didik dalam belajar. 5. Materials should take into account that learners differ in learning styles
Bahan harus memperhitungkan bahwa peserta didik berbeda dalam gaya belajar. Tidak semua peserta didik memiliki gaya belajar yang sama.
6. Materials should take into account that learners differ in affective attitudes Bahan harus memperhitungkan bahwa peserta didik berbeda dalam sikap afektif. Sikap peserta didik bervariasi. Idealnya siswa akan membutuhkan motivasi yang kuat dan konsisten, agar tumbuh perasaan positif terhadap guru mereka, sesama peserta didik mereka, dan bahan-bahan yang mereka pelajari. Untuk mencapai kenyataan ini, bahan harus menyediakan pilihan dari berbagai jenis kegiatan.
7. Materials should maximize learning potential by encouraging intellectual, aesthetic and emotional involvement which stimulates both right and left brain activities
Bahan harus memaksimalkan potensi belajar dengan melibatkan kecerdasan, estetika (kepekaan terhadap seni dan keindahan) dan emosional yang dapat merangsang kegiatan otak kanan dan kiri.
8. Materials should not rely too much on controlled practice
Bahan sebaiknya tidak bergantung terlalu banyak pada kebiasaan dikendalikan.
9. Materials should provide opportunities for outcome feedback Bahan harus memberikan kesempatan untuk umpan balik hasil.
2.1.6 Pembelajaran
Pembelajaran merupakan aspek kegiatan manusia yang kompleks, yang tidak sepenuhnya dapat dijelaskan (Trianto, 2010:17). Pembelajaran secara simpel
dapat diartikan sebagai produk interaksi berkelanjutan antara pengembangan dan pengalaman hidup. Pembelajaran dalam makna kompleks adalah usaha sadar dari seorang guru untuk membelajarkan siswanya (mengarhkan interaksi siswa dengan sumber belajar lainnya) dalam rangkan mencapai tujuan yang diharapkan. Disisi lai Sagala (61: 2009) berpendapat bahwa pembelajaran adalah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar yang merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Berdasarkan kedua pendapat ahli tersebut peneliti menyimpulkan bahwa pembelajaran merupakan kegiatan membelajarkan siswa dengan mengarahkan interaksi siswa dengan sumber belajar.
2.1.7 IPA
2.1.7.1 Hakikat IPA
IPA merupakan singkatan dari Ilmu Pengetahuan Alam. Kata-kata Ilmu Pengetahuan Alam merupakan terjemahan dari kata-kata Bahasa Inggris Natural Science secara singkat sering disebut Science (Iskandar, 2001:2). Natural artinya alamiah, berhubungan, dengan alam atau bersangkut paut dengan alam. Science artinya ilmu pengetahuan. Jadi menurut Iskandar, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) atau science itu secara harfiah dapat disebut sebagai ilmu tentang alam ini.
Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 6 ayat (1), IPA termasuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Kelompok mata pelajaran ini dimaksudkan untuk mengenal, menyikapi, dan mengapresiasi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menanamkan kebiasaan berpikir dan berperilaku ilmiah yang kritis, kreatif, dan mandiri.
Sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2007, mata pelajaran IPA merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang diajarkan di SD. Tujuan mata pelajaran IPA di SD/MI menurut BSNP (2006:162) adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.
1. Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan dan keteraturan alam ciptaan-Nya
2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
3. Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positip dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat
4. Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan
5. Meningkatkan kesadaran untuk berperanserta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam
6. Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan
7. Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.