• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Usahatani Kakao Rakyat

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

5.5. Karakteristik Usahatani Kakao Rakyat

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem usaha pertanian yang mengintegrasikan faktor produksi lahan, tenaga kerja, modal dan teknologi/manajemen sangat dipengaruhi oleh kondisi spesifik wilayah, yang meliputi bio-fisik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Sektor pertanian

hingga saat ini masih diartikan sebagai sistem usaha pertanian (usahatani) yang sangat berkaitan erat dengan sistem lainnya seperti industri hulu, industri hilir, pemasaran/perdagangan dan permintaan dari konsumen. Kondisi seperti ini yang sering berpengaruh terhadap kebijakan petani, baik dalam meningkatkan luas lahan pertanian maupun produktivitas lahan dan tanamannya. Namun demikian sangat tergantung pula pada ketersedian sumberdaya petani, kelembagaan petani dan kebijakan pembangunan pertanian.

Tabel 12. Karakteristik Usahatani Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, 2004

No. Kegiatan Usahatani Jumlah (%) Min. Max.

1. Luas Lahan Kakao (ha) 0,25 3,0

a. 0,25 – 0,99 27 33,75 0,25 0,99

b. 1,0 – 1,99 42 52,50 1,0 1,75

c. > 1,99 11 13,75 2,0 3,0

2. Letak Lokasi Tanaman Kakao

a. Dalam Desa 77 96,25 - -

b. Luar Desa 1 01,25 - -

c. Kombinasi 2 02,50 - -

3. Status Usahatani Kakao

a. Usaha Utama 66 82,50 - -

b. Bukan Usaha Utama 14 17, 50 - -

4. Status Kepemilikan Lahan

a. Milik Sendiri 78 97,50 - -

b. Lainnya 2 02,50 - -

5. Varietas Kakao Yang Ditanam

a. Varietas Lokal 72 90,00 - -

b. Varietas Hybrida 3 03,75 - -

c. Kombinasi 5 06,25 - -

6. Pola Tanam Yang Digunakan

a. Monokultur 43 53,75 - -

b. Tumpangsari 37 46,25 - -

7. Penggunaan Tenaga Kerja

a. Tenaga Kerja Keluarga 40 50,00 - -

b. Tenaga Kerja dari Luar 12 15,00 - -

c. Tenaga Kerja Kombinasi 28 35,00 - -

Sumber : Data Primer Diolah.

Pada Tabel 12 menunjukan bahwa luas kepemilikan lahan kakao oleh petani di wilayah penelitian berkisar antara 0,25-3 ha. Dari seluruh responden hampir sebagian besar petani (52,50%) memiliki luas lahan usahatani kakao antara 1-1,75 ha, sementara luas kepemilikan lahan yang lebih besar yang diusahakan petani yaitu antara 2-3 ha (13,75%). Sedangkan sekitar 33,75 persen

petani yang memiliki luas lahan dibawah 1 ha. Kondisi ini menggambarkan bahwa faktor untuk memperoleh lahan bukan menjadi suatu kendala dalam perluasan lahan oleh petani, namun lebih disebabkan oleh faktor permodalan dan kondisi pasar yang jaraknya cukup jauh dari lokasi serta harga yang sering berfluktuatif. Bila harga dan kondisi pasar membaik dan stabil, dibarengi dengan tambahan modal, maka akan direspon dengan baik oleh petani untuk meningkatkan luas areal dan produktivitas tanamannya.

Permasalahan yang sering dialami petani adalah serangan hama PBK (Penggerek Buah Kakao), intensitas serangan hama ini cukup merepotkan petani karena sangat sulit bagi petani dalam pengendaliannya. Selain karena keterbatasan pengetahuan dan skill petani dalam pemberantasan hama tersebut, juga dipengaruhi oleh hampir sebagian besar petani di wilayah penelitian yang belum menggunakan varietas unggul, karena cukup sulit untuk memperolehnya. Sehingga sekitar 90 persen responden yang masih menggunakan varietas lokal dalam usahatani kakao, hal inilah yang berimplikasi pada menurunnya produksi tanaman dan pendapatan petani. Sedangkan hanya sekitar 10 persen responden dalam usahatani ini yang menggunakan varietas unggul, yang diperoleh dari keterlibatannya dalam proyek bantuan bibit dari pemerintah.

Kendala lainnya seperti cara fermentasi dan penjemuran maupun peralatan yang digunakan masih sangat sederhana, sehingga berpengaruh pada kualitas hasil biji kakao. Namun bila intensitas serangan hama PBK dapat teratasi dan diintensifkan program penyuluhan secara baik dan merata keseluruh petani kakao, serta jika ada kemudahan dalam memperoleh varietas unggul, maka diyakini dapat memberikan kontribusi perubahan dalam meningkatkan produksi kakao baik secara kuantitas maupun kualitas hasil.

Gambaran letak lokasi lahan tanaman, memperlihatkan bahwa hampir sebagian besar petani di wilayah penelitian yang mengusahakan tanamannya di

dalam desa (96,25%), sementara 1,25 persen petani yang mengusahakan di luar desa dan sekitar 2,50 persen yang merupakan kombinasi dari kedua lokasi penanaman yaitu di luar desa dan di desanya sendiri. Kondisi ini mengindikasikan bahwa dalam pengembangan usahatani kakao di wilayah penelitian, petani lebih cenderung untuk memilih lahan yang ada dalam desa, sebab dapat memberikan kemudahan dalam pengelolaan maupun perawatannya.

Usahatani yang dikembangkan petani di wilayah penelitian sebagian besar (82,50%) menjadikan tanaman kakao sebagai usaha utama dalam pembudidayaan dan merupakan pilihan utama petani, yang dijadikan sebagai sumber pendapatan keluarganya. Selain itu dari seluruh responden petani yaitu sekitar 97,50 persen mengemukakan bahwa status kepemilikan lahan yang digunakan dalam pengembangan usahatani kakao tersebut merupakan lahan milik sendiri, dan hanya 2,50 persen yang merupakan milik keluarga (lahan warisan orang tua) dan sistem bagi hasil, dengan penerapan pola tanam yang lebih banyak mengarah pada sistem monokultur (53,73%), serta sekitar (46,25%) yang menggunakan sistem tumpangsari dengan tanaman perkebunan lainnya seperti kelapa dan tanaman buah-buahan. Hal ini menunjukkan bahwa animo petani cukup besar dalam pengembangan usahatani kakao dan menggambarkan pula potensi pengembangan komoditi ini sebagai sektor unggulan di Kabupaten Buru di masa datang.

Untuk itu, perlu adanya terobosan kebijakan pemerintah daerah melalu

program pembangunan perkebunan yang sustaenable, dengan visi

pengembangan komoditi yang memiliki dayasaing di pasar. Serta berupaya untuk mengefektifkan program diversifikasi dan intensifikasi tanaman yaitu melalui program bantuan bibit unggul dan penyuluhan yang sistimatis dan berkelanjutan,

yang diharapkan dapat menjawab segala permasalahan yang selama ini sering dialami oleh petani.

Dengan peranan pemerintah dalam pengembangan perkebunan dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap perkembangan tanaman dan peningkatan produksi, yang pada akhirnya akan memberikan peluang terhadap peningkatan pendapatan petani. Perkembangan luas tanam dan produksi komoditi perkebunan dapat diamati pada Tabel 13.

Tabel 13. Perkembangan Luas Tanam dan Produksi Beberapa Komoditi Perkebunan Penting di Kabupaten Buru Tahun 2001 s/d 2003.

2001 2002 2003 No. Jenis Komoditi Luas Tanam (ha) Produksi (ton) Luas Tanam (ha) Produksi (ton) Luas Tanam (ha) Produksi (ton) 1. Kelapa 8.354,6 5.996,4 9.140,9 8.718,8 9.194,2 8.769,5 2. Kakao 6.937,4 1.820,5 5.553,5 4.157,2 5.764,4 4.893,2 3. Cengkeh 4.890,8 3.562,9 4.482,1 4.336,9 4.747,6 4.559,2 4. Jambu Mete 1.413,7 897,0 1.143,9 902,9 1.187,3 1.049,4 5. Pala 363,9 132,1 299,6 266,0 452,3 281,1 6. Kopi 48,3 24,1 95,1 67,9 148,6 69,7

Sumber : Dinas Perkebunan dan Hortikultura Kab. Buru, 200 4

Dari Tabel 13 memperlihatkan bahwa sektor perkebunan yang paling dominan yang diusahakan oleh petani di Kabupaten Buru adalah komoditi Kelapa, kakao dan cengkeh. Ketiga komoditi perkebunan ini memiliki peranan yang cukup strategis dan penting bagi perbaikan pendapatan petani, dan sekaligus merupakan komoditi andalan yang diusahakan oleh sebagian petani di wilayah penelitian. Disamping ketiga komoditi perkebunan tersebut, tampak pula beberapak komoditi perkebunan lainnya yang sedang dikembangkan oleh petani seperti jambu mete, pala dan kopi, yang memperlihatkan pengembangan laju pertumbuhan.

Dari sisi pengembangan luas tanam maupun produksi menunjukkan bahwa komoditi kelapa yang memiliki pertumbuhan luas tanam dan produksi yang cukup miningkat, sedangkan komoditi kakao sedikit mengalami penurunan luas tanam

pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 2002 sampai 2003. Namun penurunan pada luas tanam tidak berpengaruh pada produksi, malah terjadi peningkatan yang cukup signifikan yaitu dari tahun 2001 (1.820,5 ton/ha) menjadi 4.893,2

ton/ha pada tahun 2003. Sedangkan untuk melihat perkembangan luas panen

dan produksi serta keterlibatan rumah tangga petani dapat disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Keterlibatan Rumah Tangga Usahatani Perkebunan Kakao Menurut Kecamatan di Kabupaten Buru. 2001 2002 2003 Kecamatan KK Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) KK Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) KK Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Buru Selatan 305 59,8 50,9 1.582 384,2 391,6 2.211 1.041,3 1.110,3 Buru Selt. Timur 1.031 129,6 103,7 1.802 236,6 190,0 2.242 667,8 642,9 Buru Utara Timur 484 66,9 46,8 544 483,6 347,9 582 128,1 92,6 Buru Utara Selatan 4.040 926,8 880,4 2.201 1.421,7 1.924,8 2.952 1.263,0 1.416,1 Buru Utara Barat 1.759 829,6 738,7 2.255 1.862,0 1.303,0 1.907 1.254,9 1.631,4 Jumlah 7.619 2.012,7 1.820,5 8.384 4.388,1 4.157,3 9.894 4.355,0 4.893,2

Sumber : Dinas Perkebunan dan Hortikultura Kab. Buru, 200 4

Keterlibatan rumah tangga tani dalam pengembangan perkebunan kakao di Kabupaten Buru, tertinggi pada kecamatan Buru Utara Selatan kemudian disusul oleh kecamatan Buru Utara Barat dan Buru Selatan Timur. Selain itu perkembangan luas panen maupun produksi di setiap kecamatan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Walaupun demikian, pada kecamatan Buru Utara Selatan dan Buru Utara Barat terjadi penurunan baik dalam keterlibatan rumah tangga tani (KK), luas panen maupun produksi. Sementara dibeberapa kecamatan lainnya, mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan, hal ini

kemungkinan diindikasikan oleh adanya degradasi lahan akibat ekploitasi hutan oleh beberapa pengusaha kayu, dan semakin sulit memperoleh lahan yang dekat dengan tempat tinggal. Disamping itu untuk pengembangan perkebunan kakao pada kedua wilayah ini sudah cukup lama, sehingga kemungkinan bisa saja terjadi akibat usia produktif tanaman kakao yang banyak tergolong dalam tanaman tua renta yang di miliki petani, yang berakibat banyak tanaman yang mati atau rusak, sementara untuk mengembangkannya pada lahan yang baru, petani mengalami keterbatasan modal dan jarak lahan yang baru cukup jauh.

Dokumen terkait