ANALISIS PENGEMBANGAN
PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT
DI KABUPATEN BURU PROVINSI MALUKU
IDRIS LOILATU
PROGRAM STUDI
ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN SEKOLAH PASCASARJANA
ABSTRAK
IDRIS LOILATU, Analisis Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat di
Kabupaten Buru Provinsi Maluku. ( HERMANTO SIREGAR sebagai Ketua dan
AFFENDI ANWAR sebagai Anggota Komisi Pembimbing ).
Penelitian ini dilakukan untuk mengungkapkan bagaimana pengaruh harga kakao, tingkat kelayakan usahatani dan dampak intervensi pemerintah terhadap pengembangan komoditi kakao rakyat di Kabupaten Buru. Dalam penelitian ini dikaji sistem kelembagaan yang mendukung pengembangan komoditi kakao; kelayakan usahatani; pengaruh harga terhadap peningkatan luas areal dengan menggunakan analisis regresi; aliran pemasaran dan keterpaduan pasar yang ditelusuri dengan analisis marjin tataniaga, elastisitas trasmisi harga dan integrasi pasar; efisiensi ekonomis dan dampak intervensi pemerintah dengan
menggunakan policy analysis matrix, serta keunggulan komparatif dan kompetitif
suatu wilayah dengan pendekatan analisis lokasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan komoditi kakao rakyat di wilayah Kabupaten Buru memberikan keuntungan secara finansial maupun ekonomi karena memiliki keunggulan komparatif. Petani kakao sangat responsif terhadap perubahan harga. Kajian integrasi pasar memperlihatkan bahwa keterpaduan pasar hanya berlangsung dalam jangka pendek. Marjin keuntungan yang
diterima petani lebih kecil daripada pedagang pengumpul dan pedagang besar.
Key Word : Respon Harga, Kebijakan Intervensi pemerintah, Kelayakan Finansial
ANALISIS PENGEMBANGAN
PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT
DI KABUPATEN BURU PROVINSI MALUKU
IDRIS LOILATU
P053020111
Tesis
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Penelitian : Analisis Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru Provinsi Maluku
Nama Mahasiswa : Idris Loilatu
Nomor Pokok : P053020111
Program Studi : Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah Dan Perdesaan
Program : Magister Sains (S2)
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. H. Hermanto Siregar, M.Ec
Ketua
Prof. Dr. Ir. H. Affendi Anwar, M.Sc
Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan
Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsyah
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc
PRAKATA
Segala puji dan syukur hanya diperuntukan kepada Allahul Wahid yang
telah memberikan rahmat dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat
merampungkan Tesis ini dengan judul: “Analisis Pengembangan Perkebunan
Kakao Rakyat di Kabupaten Buru Provinsi Maluku” yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor.
Penulisan tesis ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak,
maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Dr.Ir. H. Hermanto Siregar, M.Ec, dan Prof.Dr.Ir. H. A. Anwar, M.Sc, selaku
ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bantuan yang
konstruktif selama bimbingan kepada penulis dalam penyelesaian penulisan tesis.
2. Prof.Dr.Ir. Isang Gonarsyah, selaku Ketua Program Studi PWD dan sebagai
penguji luar komisi.
3. Keluargaku tercinta yang telah memberikan motivasi dan pengorbanan yang
begitu besar baik secara material maupun spiritual.
4. Pemerintah Daerah Kabupaten Buru yang telah menfasilitasi dalam
pemberian biaya selama penulis menjalani pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB.
5. Seluruh rekan-rekan mahasiswa S2 di Program studi PWD 2002 yang tidak
bisa saya sebutkan satu persatu, serta semua pihak yang turut membantu penulis dalam penyelesaian penulisan tesis ini.
Semoga segala bantuan yang telah diberikan bernilai ibadah di sisi Allah SWT.
Amin Yaa Robbal A’lamin
Akhirnya, saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaannya dan semoga dapat bermanfaat.
Bogor, Pebruari 2006
RIWAYAT HIDUP
IDRIS LOILATU, dilahirkan di Desa Selasi-Ambalau Kabupaten Buru -
Maluku, pada tanggal 15 Juli 1972, merupakan anak ke enam dari tujuh
bersaudara dari pasangan Ayah H. Majud Loilatu dan Ibu Hj. Sarafiah Loilatu.
Pendidikan dasar dimulai pada tahun 1979 di Madrasah Ibtidaiyah Alhillal
Elara Ambalau dan lulus tahun 1985. Kemudian pada tahun yang sama penulis
melanjutkan pendidikan pada Madrasah Tsanawiyah Alhillal Wailua Ambalau dan
lulus tahun 1988, melanjutkan jenjang pendidikan atas pada SMA
Muhammadiyah Ambon dan lulus pada tahun 1991. Pendidikan perguruan tinggi
ditempuh pada Jurusan Budidaya Pertanian (Agronomi ) Fakultas Pertanian
Universitas Pattimura Ambon dan lulus pada tahun 1998. Selanjutnya pada tahun
2000 penulis diterima sebagai pegawai negeri sipil oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Buru Provinsi Maluku, dan sampai saat ini ditempatkan sebagai staf
pada Dinas Perkebunan dan Hortikultura Kabupaten Buru. Pada tahun 2002
diberikan kesempatan dan kepercayaan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Buru untuk mengikuti pendidikan Program Magister Sains pada Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah
DAFTAR ISI
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 12
1.3.1. Tujuan Penelitian ………. 12
1.3.2. Manfaat Penelitian ………... 12
II. TINJAUAN PUSTAKA ...……… 13
2.1. Pengembangan Usaha Komoditi Kakao Rakyat ………. 13
2.2. Kajian Pengembangan Kakao ……….. 14
2.3. Kelayakan Pemasaran Kakao Rakyat ……… 20
2.4. Kelembagaan Usaha Perkebunan Kakao Rakyat ……….... 24
2.5. Pembangunan Wilayah ……….. 32
2.5.1. Pembangunan Ekonomi Wilayah ………. 32
2.5.2. Teori Basis Ekonomi (Teori Lokasi) ………. 35
2.6. Kelayakan Usaha Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat ..………. 38
2.6.1. Kelayakan Finansial ……… 38
2.6.2. Kelayakan Ekonomi ……… 40
2.6.3. Kelayakan Ekonomi Privat dan Sosial ……….. 42
III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ………. 47
3.1. Kerangka Pemikiran ………... 47
4.4.1. Analisis Kelayakan Usaha Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat ……….. 57
4.4.1.1. Net Present Value (NPV) ………..………. 57
4.4.1.2. Internal Rate of Return (IRR) ………. 57
4.4.1.3. Net Benefit Cost (Net B/C) ………. 58
4.4.2. Model Respon Luas Areal Kakao Rakyat ……… 59
4.4.3. Analisis Marjin Tataniaga ……….. 60
4.4.4. Analisis Elastisitas Trasmisi Harga ………. 60
4.4.5. Analisis Integrasi Pasar ……….. 61
4.4.6. Policy Analysis Matrix (PAM) ………. 62
4.4.7. Analisis Lokasional ……… ……….. 63
4.4.7.1. Analisis Location Quotient (LQ) ……….. 63
4.4.7.2. Shift-Share Analysis (SSA) ……… 64
V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ………... 69
5.1. Letak Geografis dan Fisik Wilayah ………. 69
5.2. Wilayah Administrasi ……….. 73
5.3. Karakteristik Penduduk ……….. 73
5.4. Karakteristik Pertumbuhan Ekonomi Wilayah ……… 77
5.5. Karakteristik Usahatani Kakao Rakyat ……… 81
5.6. Karakteristik Petani Perkebunan Kakao ………. 86
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 89
6.1. Keragaan Kelayakan Usaha dan Kebijakan Perkakaoan ..……… 89
6.1.1. Analisis Kelayakan Finansial dan Ekonomi ……… 89
6.1.2. Analisis Kebijakan Pemerintah ..……… 94
6.1.2.1. Dampak Divergensi dan Kebijakan Pemerintah ..………… 96
6.1.2.2. Dampak Kebijakan Harga Input ……….. 97
6.1.2.3. Dampak Kebijakan Harga Output ..……… 99
6.1.2.4. Dampak Bersih Kebijakan Harga Input-Output ……… 100
6.1.3. Respon Luas Areal Tanaman Kakao ……… 103
6.1.4. Analisis Lokasional ……… 106
6.2. Kajian Sistem Pemasaran Kakao Rakyat …...……… 116
6.2.1. Struktur Pemasaran ……….. 116
6.2.2. Marjin Tataniaga ………. 119
6.2.3. Elastisitas Trasmisi Harga ……… 124
6.2.4. Integrasi Pasar ..……… 125
6.2.5. Opsi Kelembagaan ..……… 127
VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ……… 130
7.1. Simpulan ...……… 130
7.2. Implikasi Kebijakan ..……….. 131
DAFTAR PUSTAKA ...……… 132
LAMPIRAN ………..……… 135
DAFTAR TABEL
1. Luas Areal dan Produksi Komoditas Kakao Indonesia
Menurut Pengusahaan, 1993-2003………. 2
2. Distribusi Presentase PDRB Kabupaten Buru Atas Harga Berlaku
Untuk Sektor Pertanian dan Subsektor Lainnya, 1998-2002 ………. 7
3. Unsur-unsur Perbedaan dalam Analisis Finansial dan Analisis
Ekonomi ……….. 41
4. Formulasi Model Policy Analysis Matrix (PAM)………. 43
5. Jenis dan Jumlah Responden Masing-masing Lokasi Penelitian ….. 56
6. Model Policy Analysis Matrix (PAM) ……… ………... 62
7. Wilayah Administratif dan Luas Wilayah Kecamatan ……….. 72
8. Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten
Buru Menurut Kecamatan ……… 74
9. Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di
Kabupaten Buru ………. 75
10. Hasil PDRB Kabupaten Buru Tahun 1996 sampai 2002 ……… 78
11. PDRB Seluruh Sektor di Kabupaten Buru Atas Harga Konstan
1993. ……… 79
12. Karakteristik Usahatani Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, 2004 …. 81
13. Perkembangan Luas Tanam dan Produksi Beberapa Komoditi
Perkebunan Penting di Kabupaten Buru tahun 2001-2003 ………… 84
14. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Keterlibatan Rumah
Tangga Usahatani Perkebunan Kakao Menurut Kecamatan di
Kabupaten Buru ………. 85
15. Karakteristik Petani Kakao di Kabupaten Buru, 2004 … ………. 86
16. Analisis Kelayakan Finansial (NPV, BC Ratio dan IRR) Perkebunan
Kakao Rakyat di Kabupaten Buru pada Tingkat Suku Bunga 12%
dan 25% dalam luasan 1 Ha, 2004 ………. 90
17. Analisis Kelayakan Ekonomi (NPV, BC Ratio dan IRR) Perkebunan
Kakao Rakyat di Kabupaten Buru pada Tingkat Suku Bunga 12%
dan 38% dalam luasan 1 Ha, 2004 ………. 93
18. Matrik Hasil Analisis Kebijakan pada Perkebunan Kakao Rakyat di
Kabupaten Buru, 2004. ………. 95
19. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Ln Luas Areal dan Nilai
Elastisitas pada Tanaman Kakao dalam Jangka Pendek dan
Jangka Panjang di Kabupaten Buru,1993-2004. ………. 104
20 Hasil Location Quotient Analysis Berdasarkan Luas Areal Komoditi
Perkebunan di Kabupaten Buru, Tahun 2003. ………. 107
21. Hasil Shift Share Analysis Berdasarkan Luas Areal Komoditi
Perkebunan di Kabupaten Buru, Tahun 2003 ……….. 112
22. Marjin Pemasaran Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, 2004 ……….. 121
23. Hasil Pendugaan Koefisien Persamaan Regresi Harga Kakao di
DAFTAR GAMBAR
No Teks Halaman
1 Penentuan Pilihan Institusi Melalui Analisis Ekonomi Biaya-biaya
Transaksi (transaction cost) ……….……… 26
2 Kerangka Berfikir Tiga Dimensi Tentang Keberlanjutan………….. 33
3 Kerangka Pikir Penelitian Analisis Pengembangan Perkebunan
Kakao Rakyat di Kabupaten Buru………... 53
ANALISIS PENGEMBANGAN
PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT
DI KABUPATEN BURU PROVINSI MALUKU
IDRIS LOILATU
PROGRAM STUDI
ILMU PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH DAN PERDESAAN SEKOLAH PASCASARJANA
ABSTRAK
IDRIS LOILATU, Analisis Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat di
Kabupaten Buru Provinsi Maluku. ( HERMANTO SIREGAR sebagai Ketua dan
AFFENDI ANWAR sebagai Anggota Komisi Pembimbing ).
Penelitian ini dilakukan untuk mengungkapkan bagaimana pengaruh harga kakao, tingkat kelayakan usahatani dan dampak intervensi pemerintah terhadap pengembangan komoditi kakao rakyat di Kabupaten Buru. Dalam penelitian ini dikaji sistem kelembagaan yang mendukung pengembangan komoditi kakao; kelayakan usahatani; pengaruh harga terhadap peningkatan luas areal dengan menggunakan analisis regresi; aliran pemasaran dan keterpaduan pasar yang ditelusuri dengan analisis marjin tataniaga, elastisitas trasmisi harga dan integrasi pasar; efisiensi ekonomis dan dampak intervensi pemerintah dengan
menggunakan policy analysis matrix, serta keunggulan komparatif dan kompetitif
suatu wilayah dengan pendekatan analisis lokasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan komoditi kakao rakyat di wilayah Kabupaten Buru memberikan keuntungan secara finansial maupun ekonomi karena memiliki keunggulan komparatif. Petani kakao sangat responsif terhadap perubahan harga. Kajian integrasi pasar memperlihatkan bahwa keterpaduan pasar hanya berlangsung dalam jangka pendek. Marjin keuntungan yang
diterima petani lebih kecil daripada pedagang pengumpul dan pedagang besar.
Key Word : Respon Harga, Kebijakan Intervensi pemerintah, Kelayakan Finansial
ANALISIS PENGEMBANGAN
PERKEBUNAN KAKAO RAKYAT
DI KABUPATEN BURU PROVINSI MALUKU
IDRIS LOILATU
P053020111
Tesis
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Penelitian : Analisis Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru Provinsi Maluku
Nama Mahasiswa : Idris Loilatu
Nomor Pokok : P053020111
Program Studi : Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah Dan Perdesaan
Program : Magister Sains (S2)
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. H. Hermanto Siregar, M.Ec
Ketua
Prof. Dr. Ir. H. Affendi Anwar, M.Sc
Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan
Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsyah
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc
PRAKATA
Segala puji dan syukur hanya diperuntukan kepada Allahul Wahid yang
telah memberikan rahmat dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat
merampungkan Tesis ini dengan judul: “Analisis Pengembangan Perkebunan
Kakao Rakyat di Kabupaten Buru Provinsi Maluku” yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor.
Penulisan tesis ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak,
maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Dr.Ir. H. Hermanto Siregar, M.Ec, dan Prof.Dr.Ir. H. A. Anwar, M.Sc, selaku
ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bantuan yang
konstruktif selama bimbingan kepada penulis dalam penyelesaian penulisan tesis.
2. Prof.Dr.Ir. Isang Gonarsyah, selaku Ketua Program Studi PWD dan sebagai
penguji luar komisi.
3. Keluargaku tercinta yang telah memberikan motivasi dan pengorbanan yang
begitu besar baik secara material maupun spiritual.
4. Pemerintah Daerah Kabupaten Buru yang telah menfasilitasi dalam
pemberian biaya selama penulis menjalani pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB.
5. Seluruh rekan-rekan mahasiswa S2 di Program studi PWD 2002 yang tidak
bisa saya sebutkan satu persatu, serta semua pihak yang turut membantu penulis dalam penyelesaian penulisan tesis ini.
Semoga segala bantuan yang telah diberikan bernilai ibadah di sisi Allah SWT.
Amin Yaa Robbal A’lamin
Akhirnya, saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaannya dan semoga dapat bermanfaat.
Bogor, Pebruari 2006
RIWAYAT HIDUP
IDRIS LOILATU, dilahirkan di Desa Selasi-Ambalau Kabupaten Buru -
Maluku, pada tanggal 15 Juli 1972, merupakan anak ke enam dari tujuh
bersaudara dari pasangan Ayah H. Majud Loilatu dan Ibu Hj. Sarafiah Loilatu.
Pendidikan dasar dimulai pada tahun 1979 di Madrasah Ibtidaiyah Alhillal
Elara Ambalau dan lulus tahun 1985. Kemudian pada tahun yang sama penulis
melanjutkan pendidikan pada Madrasah Tsanawiyah Alhillal Wailua Ambalau dan
lulus tahun 1988, melanjutkan jenjang pendidikan atas pada SMA
Muhammadiyah Ambon dan lulus pada tahun 1991. Pendidikan perguruan tinggi
ditempuh pada Jurusan Budidaya Pertanian (Agronomi ) Fakultas Pertanian
Universitas Pattimura Ambon dan lulus pada tahun 1998. Selanjutnya pada tahun
2000 penulis diterima sebagai pegawai negeri sipil oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Buru Provinsi Maluku, dan sampai saat ini ditempatkan sebagai staf
pada Dinas Perkebunan dan Hortikultura Kabupaten Buru. Pada tahun 2002
diberikan kesempatan dan kepercayaan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Buru untuk mengikuti pendidikan Program Magister Sains pada Program Studi
Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah
DAFTAR ISI
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 12
1.3.1. Tujuan Penelitian ………. 12
1.3.2. Manfaat Penelitian ………... 12
II. TINJAUAN PUSTAKA ...……… 13
2.1. Pengembangan Usaha Komoditi Kakao Rakyat ………. 13
2.2. Kajian Pengembangan Kakao ……….. 14
2.3. Kelayakan Pemasaran Kakao Rakyat ……… 20
2.4. Kelembagaan Usaha Perkebunan Kakao Rakyat ……….... 24
2.5. Pembangunan Wilayah ……….. 32
2.5.1. Pembangunan Ekonomi Wilayah ………. 32
2.5.2. Teori Basis Ekonomi (Teori Lokasi) ………. 35
2.6. Kelayakan Usaha Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat ..………. 38
2.6.1. Kelayakan Finansial ……… 38
2.6.2. Kelayakan Ekonomi ……… 40
2.6.3. Kelayakan Ekonomi Privat dan Sosial ……….. 42
III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ………. 47
3.1. Kerangka Pemikiran ………... 47
4.4.1. Analisis Kelayakan Usaha Pengembangan Perkebunan Kakao Rakyat ……….. 57
4.4.1.1. Net Present Value (NPV) ………..………. 57
4.4.1.2. Internal Rate of Return (IRR) ………. 57
4.4.1.3. Net Benefit Cost (Net B/C) ………. 58
4.4.2. Model Respon Luas Areal Kakao Rakyat ……… 59
4.4.3. Analisis Marjin Tataniaga ……….. 60
4.4.4. Analisis Elastisitas Trasmisi Harga ………. 60
4.4.5. Analisis Integrasi Pasar ……….. 61
4.4.6. Policy Analysis Matrix (PAM) ………. 62
4.4.7. Analisis Lokasional ……… ……….. 63
4.4.7.1. Analisis Location Quotient (LQ) ……….. 63
4.4.7.2. Shift-Share Analysis (SSA) ……… 64
V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ………... 69
5.1. Letak Geografis dan Fisik Wilayah ………. 69
5.2. Wilayah Administrasi ……….. 73
5.3. Karakteristik Penduduk ……….. 73
5.4. Karakteristik Pertumbuhan Ekonomi Wilayah ……… 77
5.5. Karakteristik Usahatani Kakao Rakyat ……… 81
5.6. Karakteristik Petani Perkebunan Kakao ………. 86
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 89
6.1. Keragaan Kelayakan Usaha dan Kebijakan Perkakaoan ..……… 89
6.1.1. Analisis Kelayakan Finansial dan Ekonomi ……… 89
6.1.2. Analisis Kebijakan Pemerintah ..……… 94
6.1.2.1. Dampak Divergensi dan Kebijakan Pemerintah ..………… 96
6.1.2.2. Dampak Kebijakan Harga Input ……….. 97
6.1.2.3. Dampak Kebijakan Harga Output ..……… 99
6.1.2.4. Dampak Bersih Kebijakan Harga Input-Output ……… 100
6.1.3. Respon Luas Areal Tanaman Kakao ……… 103
6.1.4. Analisis Lokasional ……… 106
6.2. Kajian Sistem Pemasaran Kakao Rakyat …...……… 116
6.2.1. Struktur Pemasaran ……….. 116
6.2.2. Marjin Tataniaga ………. 119
6.2.3. Elastisitas Trasmisi Harga ……… 124
6.2.4. Integrasi Pasar ..……… 125
6.2.5. Opsi Kelembagaan ..……… 127
VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ……… 130
7.1. Simpulan ...……… 130
7.2. Implikasi Kebijakan ..……….. 131
DAFTAR PUSTAKA ...……… 132
LAMPIRAN ………..……… 135
DAFTAR TABEL
1. Luas Areal dan Produksi Komoditas Kakao Indonesia
Menurut Pengusahaan, 1993-2003………. 2
2. Distribusi Presentase PDRB Kabupaten Buru Atas Harga Berlaku
Untuk Sektor Pertanian dan Subsektor Lainnya, 1998-2002 ………. 7
3. Unsur-unsur Perbedaan dalam Analisis Finansial dan Analisis
Ekonomi ……….. 41
4. Formulasi Model Policy Analysis Matrix (PAM)………. 43
5. Jenis dan Jumlah Responden Masing-masing Lokasi Penelitian ….. 56
6. Model Policy Analysis Matrix (PAM) ……… ………... 62
7. Wilayah Administratif dan Luas Wilayah Kecamatan ……….. 72
8. Luas Wilayah, Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kabupaten
Buru Menurut Kecamatan ……… 74
9. Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di
Kabupaten Buru ………. 75
10. Hasil PDRB Kabupaten Buru Tahun 1996 sampai 2002 ……… 78
11. PDRB Seluruh Sektor di Kabupaten Buru Atas Harga Konstan
1993. ……… 79
12. Karakteristik Usahatani Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, 2004 …. 81
13. Perkembangan Luas Tanam dan Produksi Beberapa Komoditi
Perkebunan Penting di Kabupaten Buru tahun 2001-2003 ………… 84
14. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Keterlibatan Rumah
Tangga Usahatani Perkebunan Kakao Menurut Kecamatan di
Kabupaten Buru ………. 85
15. Karakteristik Petani Kakao di Kabupaten Buru, 2004 … ………. 86
16. Analisis Kelayakan Finansial (NPV, BC Ratio dan IRR) Perkebunan
Kakao Rakyat di Kabupaten Buru pada Tingkat Suku Bunga 12%
dan 25% dalam luasan 1 Ha, 2004 ………. 90
17. Analisis Kelayakan Ekonomi (NPV, BC Ratio dan IRR) Perkebunan
Kakao Rakyat di Kabupaten Buru pada Tingkat Suku Bunga 12%
dan 38% dalam luasan 1 Ha, 2004 ………. 93
18. Matrik Hasil Analisis Kebijakan pada Perkebunan Kakao Rakyat di
Kabupaten Buru, 2004. ………. 95
19. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Ln Luas Areal dan Nilai
Elastisitas pada Tanaman Kakao dalam Jangka Pendek dan
Jangka Panjang di Kabupaten Buru,1993-2004. ………. 104
20 Hasil Location Quotient Analysis Berdasarkan Luas Areal Komoditi
Perkebunan di Kabupaten Buru, Tahun 2003. ………. 107
21. Hasil Shift Share Analysis Berdasarkan Luas Areal Komoditi
Perkebunan di Kabupaten Buru, Tahun 2003 ……….. 112
22. Marjin Pemasaran Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, 2004 ……….. 121
23. Hasil Pendugaan Koefisien Persamaan Regresi Harga Kakao di
DAFTAR GAMBAR
No Teks Halaman
1 Penentuan Pilihan Institusi Melalui Analisis Ekonomi Biaya-biaya
Transaksi (transaction cost) ……….……… 26
2 Kerangka Berfikir Tiga Dimensi Tentang Keberlanjutan………….. 33
3 Kerangka Pikir Penelitian Analisis Pengembangan Perkebunan
Kakao Rakyat di Kabupaten Buru………... 53
DAFTAR LAMPIRAN
No. Teks Halaman
1. Lampiran 1. Hasil Analisis Finansial Usahatani Perkebunan Kakao
Rakyat untuk Luasan 1 Ha (1100 Tanaman) di Kabupaten Buru ….. 135
2. Hasil Analisis Ekonomi Usahatani Perkebunan Kakao Rakyat untuk
Luasan 1 Ha (1100 Tanaman) di Kabupaten Buru ……….. 136
3. Matrik Analisis Kebijakan Harga dalam Pengembangan Usahatani
Kakao Rakyat di Kabupaten Buru, 2004 ……… 137
4. Data Luas Areal Perkebunan Kakao Rakyat di Kabupaten Buru,
Tahun 1993 sampai 2003 ……… 138
5. Hasil Regresi Respon Luas Areal Tanaman Kakao Rakyat di
Kabupaten Buru, 2004 ……….. 139
6. Data Luas Areal Tanaman Perkebunan di Kabupaten Buru Untuk
Analisis Lokasional ……… 140
7.
Data Harga Kakao di Tingkat Petani dan Pedagang Besar (Pasar Referensi) Untuk Menghitung Elastisitas Transmisi Harga dari Juli
2002 sampai Juni 2004 ……… 141
8. Hasil Regresi Untuk Menghitung Elastisitas Transmisi Harga Kakao
di Kabupaten Buru, Tahun 2003 ………. 142
9.
Data Harga Kakao di Tingkat Petani dan Pedagang Besar (Pasar Referensi) Untuk Menghitung Indek Keterpaduan Pasar dari Juli
2002 sampai Juni 2004 ………. 143
10. Hasil Regresi untuk Menghitung Indek Keterpaduan Pasar Kakao
di Kabupaten Buru, Tahun 2004 ………. 144
11. Peta Kabupaten Buru …….……….. 145
1.1. Latar Belakang
Komoditi perkebunan merupakan salah satu komponen sektor pertanian yang
memberikan peranan penting dan mempunyai kontribusi cukup besar terhadap
pembangunan ekonomi nasional. Ketika Indonesia diterpa krisis multidimensi
pertengahan tahun 1997, hampir seluruh sektor pembangunan ekonomi telah
mengalami kelumpuhan, namun sektor pertanian khususnya subsektor
perkebunan telah memberikan andil dalam meningkatkan devisa negara. Kondisi
tersebut menggambarkan bahwa subsektor perkebunan merupakan sektor basis
yang banyak diusahakan oleh masyarakat di pedesaan, dan merupakan sumber
mata pencaharian utama bagi sebagian penduduk di beberapa provinsi. Dalam
tahun 2002, dari total penerimaan sektor pertanian sebesar US$ 5.364 juta,
subsektor perkebunan telah menyumbangkan sekitar 88,76 % dari perolehan
devisa yang dihasilkan dari sektor non-migas (Ditjenbun, 2004).
Di lain sisi, gambaran kegagalan pembangunan ekonomi pada saat terjadinya
krisis, memberikan hikmah pentingnya merubah paradigma pembangunan yang
selama ini bercorak sektoral, lebih bertumpuh pada kegiatan-kegiatan eksploitasi
sumberdaya alam dan tidak berbasis sumberdaya domestik. Dengan semakin
terbatasnya sumberdaya alam yang tidak terbaharui (unrenewab le) serta
menurunya kapasitas produksi sumberdaya alam terbaharui (renewable
recsources), memberikan isyarat bahwa di masa akan datang paradigma pembangunan ekonomi tidak lagi didasarkan kepada kegiatan-kegiatan
eksploitasi sumberdaya alam, namun lebih mengarah kepada pembangunan
ekonomi wilayah yang berbasis komunitas lokal (local community-based
economy) dan sumberdaya domestik (domestic resource-based economy). Menurut Rustiadi (2000) bahwa pembangunan yang berbasis komonitas lokal
lokal untuk meningkatkan kesejahteraannya secara berkelanjutan yang
disesuaikan dengan kapasitas dan kondisi lingkungan sumberdaya alamnya,
sedangkan pembangunan yang berbasis sumberdaya domestik dalam
penggunaannya harus mencakup sumberdaya fisik-alam (natural resource),
sumberdaya manusia (human capital) sumberdaya sosial (social capital) dan
sumberdaya buatan (man-mad capital).
Sektor pembangunan ekonomi yang memenuhi kriteria dan kondisi paradigma
pembangu nan tersebut adalah sektor pertanian. Salah satu komoditas
perkebunan dari sektor pertanian yang memberikan andil dalam pembangunan
ekonomi nasional adalah tanaman kakao. Ditinjau dari sudut pengusahaan maka
komoditas ini mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar, karena secara
nasional hampir 87 persen pengembangan kakao diusahakan oleh perkebunan
rakyat, sedangkan sisanya diusahakan oleh Perkebunan Besar Negara (PBN)
dan Perkebunan Besar Swasta (PBS), (Ditjenbun 2004).
Tabel 1. Luas Areal dan Produksi Komoditas Kakao Indonesia Menurut Pengusahaan, 1993-2003
Luas Areal (Ha) Produksi (ton)
Tahun
Sumber : Ditjenbun 2004
Keterangan : *) Angka Sementara.
Peranan komoditi kakao terhadap penyerapan tenaga kerja dan penghasil
pengembangan komoditas ini. Kondisi riel di lapangan menunjukkan bahwa pada
tahun 1993 luas areal kakao hanya mencapai 535.285 ha dengan produksi
nasionalnya sebesar 258.059 ton, namun pada tahun 2002 terjadi peningkatan
luas areal sebesar 914.051 ha, pertambahan luas areal tersebut telah
mendorong peningkatan jumlah produksi kakao nasional sebesar 571.155 ton.
Dari peningkatan produksi tersebut perkebunan kakao rakyat memberikan
kontribusi produksi kakao sebesar 511.379 ton dari total produksi nasional.
Pengusahaan perkebunan kakao rakyat di Provinsi Maluku, pada umumnya
hampir sama dengan daerah lain di luar pulau Jawa, yaitu secara monokultur
maupun kebun campuran. Hal ini tidak terlepas dari karakteristik petani pada
wilayah ini yang memiliki keragaman dalam pola usahatani. Secara historis
pengusahaan tanaman perkebunan di wilayah ini, sudah lama berlangsung. Di
mana komoditi perkebunan yang menjadi perioritas pengembangan dan sumber
pendapatan petani, pada mulanya adalah tanaman cengkeh, kelapa dan pala.
Secara umum aktivitas masyarakat Kabupaten Buru masih berorientasi
pada usaha tanaman perkebunan dan menjadikan komoditi perkebunan sebagai
sumber mata pencaharian utama. Pengembangan tanaman kakao di Kabupaten
Buru sebagian besar adalah perkebunan rakyat yang diusahakan oleh petani
lokal dalam skala kecil dan pengelolaannya masih bersifat tradisional, karena
belum ada yang diusahakan oleh perkebunan besar negara maupun perkebunan
besar swasta. Dalam pengembangannya komoditi ini mengalami peningkatan
yang cukup pesat, hal ini selain dipengaruhi oleh perubahan harga berbagai
komoditi perkebunan, di lain sisi karena ditunjang oleh keadaan agroklimat
wilayah yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman perkebunan.
Di tinjau dari aspek agronomis, tanaman kakao mulai berproduksi pada
umur tiga tahun dengan umur ekonomisnya sekitar dua puluh tahun.
sistem usahatani (farming system). Sebab dalam pelaksanaannya, tanaman ini sering dibudidayakan dengan pola sistem tumpangsari dengan tanaman
perkebunan lainnya, seperti kelapa dan tanaman buah-buahan. Bahkan dalam
penanamannya kebanyakan diawali dengan penanaman pohon pelindung yang
nantinya mempunyai nilai ekonomis baik secara langsung maupun tidak
langusng. Penanaman kakao rata-rata diusahakan pada lahan-lahan yang hak
kepemilikannya adalah milik perorangan dan hak kepemilikan bersama (hak
ulayat). Proses pembentukan hak-hak masyarakat atas lahan ini umumnya
bersifat turun-temurun dan pengakuan atas hak-hak (property right) masyarakat
telah berlangsung lama sejak mereka ada dilokasi tersebut.
Sejalan dengan semakin meningkatnya permintaan pasar lokal, nasional
maupun dunia menyebabkan laju pertumbuhan pengusahaan komoditas ini
semakin pesat, bila dibandingkan dengan pengembangan komoditi perkebunan
lainya seperti kelapa, cengkeh, pala, jambu mete dan kopi. Sehingga dalam
kurung waktu delapan tahun pengembangan komoditi ini mengalami peningkatan
yang cukup pesat, baik luas areal maupun produksinya. Di mana pada tahun
1995 luas lahan pengembangan kakao hanya sebesar 830 ha dengan jumlah
produksinya 115,5 ton, maka pada tahun 2003 meningkat menjadi 5.764,43 ha
dengan jumlah produksinya 4.893,18 ton yang diusahakan oleh 9.894 KK
(Disbun dan Hortikultura Kab. Buru, 2004).
Di samping permintaan pasar, pengaruh harga sangat signifikan terhadap
pengembangan komoditi kakao rakyat. Hal ini dikarenakan komoditi kakao
merupakan komoditi ekspor sehingga pengusahaannya lebih banyak disebabkan
oleh adanya isyarat harga komoditas tersebut di pasar internasional. Akan tetapi
peningkatan tersebut tidak signifikan dengan produksi dan kualitas biji (mutu
disebabkan oleh terjadinya spasial monopsoni yang berakibat pada tidak
kompetitifnya harga komoditi kakao.
Dalam sistem tataniaga, permintaan pasar terhadap komoditi kakao oleh
industri pengolahan kebanyakan dalam bentuk biji kakao yang bermutu tinggi
yaitu biji kakao yang fermentasi sempurna (full fermentation), namun dalam
kenyataannya ada juga permintaan pasar dalam bentuk biji kakao setengah
fermentas yang sudah tentu harganya lebih rendah. Pemasaran komoditi kakao
oleh petani di Kabupaten Buru sering dilakukan lewat perdagangan antar pulau
dalam wilayah Provinsi Maluku dan antar Provinsi. Dalam sistem pemasarannya,
pedagang pengumpul dan pedagang antar pulau memiliki peranan yang cukup
kuat dalam menentukan harga komoditi kakao.
Peranan mereka yang cukup menonjol tersebut disebabkan posisi
bargaining petani sangat lemah dalam pengusahaan maupun tataniaga komoditi
kakao, kondisi ini dipicu pula oleh tidak terorganisirnya kelembagaan petani dan
belum tertata sistem kelembagaan pemasaran dengan baik. Di samping itu
institusi-institusi adat yang ada di masyarakat lokal kurang diberdayakan serta
kurang mendapat porsi dalam pemanfaatan potensi sumberdaya alam.
Kelembagaan formal yang dibentuk pemerintah seperti KUD atau koperasi
kurang berperan dalam pengembangan komoditi kakao maupun memberikan
pelayanan yang baik bagi petani dalam peningkatan produksi, perbaikan kualitas
dan pemasaran. Pembentukan kelompok tani yang merupakan wadah
bertemunya para petani dalam mensinergikan berbagai pemikiran dalam
meningkatkan usahanya lebih bersifat temporer, hanya mengejar target dan tidak
berkelanjutan. Sehingga kelembagaan tataniaga yang berkembang di tingkat
petani adalah kelembagaan informal berupa sistem kontrak tradisional melalui
Kegiatan perdagangan memainkan peranan penting dalam perekonomian,
karena untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan
harus diciptakan kondisi yang dapat menjamin kelancaran pemasaran baik di
dalam maupun di luar negeri. Pemasaran kakao tentunya melalui beberapa
lembaga pemasaran yang ada dalam suatu sistem pemasaran. Sistem
pemasaran yang produktif dan efisien tergantung pada efisiensi penggunaan
sumberdaya dan proses penciptaan kegunaan waktu, keguna an bentuk serta
kegunaan tempat dalam pergerakan barang dan jasa dari kegiatan produksi.
Produksi komoditas pertanian yang tinggi yang tidak diikuti dengan sistem
pemasaran yang baik, maka produksi tersebut tidak dapat memberikan manfaat
yang besar dalam usaha peningkatan pendapatan petani, yang pada akhirnya
akan berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan petani.
Kelancaran pemasaran akan tercapai melalui upaya penyempurnaan
lembaga pemasaran serta sistem pemasaran, keadaan ini diharapkan dapat
mendorong kegiatan produksi, sehingga dapat memperluas kesempatan kerja,
meningkatkan pendapatan petani serta pertumbuhan pembangunan wilayah.
Berangkat dari berbagai hal tersebut, maka kondisi ini menarik dilakukan
penelitian untuk mengetahui berbagai faktor dalam “Pengembangan Perkebunan
Kakao Rakyat di Kabupaten Buru Provinsi Maluku”.
1.2. Perumusan Masalah
Pembangunan pertanian tidak saja tercermin dari peningkatan luas areal
dan produksi, tetapi juga harus diikuti dengan perbaikan mutu hasil, penguasaan
managemen usahatani, penataan sistem kelembagaan dan pemasaran.
Sehingga dapat memiliki daya saing baik di pasar nasional, regional maupun
internasional, dengan tujuan akhirnya adalah untuk meningkatkan pendapatan
Pada umumnya struktur perekonomian Kabupaten Buru masih bertumpuh
pada sektor pertanian. Salah satu sektor pertanian yang memberikan andil
terhadap distribusi pendapatan daerah adalah subsektor perkebunan.
Berdasarkan distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Buru
periode tahun 1998-2002 menunjukan bahwa peranan sektor pertanian (tanaman
pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan) sangat besar
terhadap penambahan pendapatan daerah dan pembangunan wilayah.
Tabel 2. Distribusi Presentasi PDRB Kabupaten Buru Atas Dasar Harga Berlaku
Untuk Sektor Pertanian dan Subsektor lainya Tahun 1998-2002
Sektor/Subsektor 1998 1999 2000 2001 2002
Pertanian 47,32 58,49 62,38 62,,48 62,05
Tanaman 11,03 18,16 21,81 21,07 21,86
Perkebunan 16,87 24,69 27,23 29,59 27,05
Peternakan 1,52 2,93 3,05 2,98 3,03
Kehutanan 15,79 9,39 6,69 6,28 6,19
perikanan 2,11 3,31 3,59 3,56 3,90
Sumber : BPS Kabupaten Buru, 2003
Untuk sektor pertanian, kontribusi dari subsektor perkebunan bila
dibandingkan dengan subsektor lainya menunjukan peningkatan yang cukup
signifikan terhadap penerimaan PDRB Kabupaten Buru. Tercatat dari tahun 1998
penerimaan PDRB dari subsektor perkebunan sebesar 16,87 persen, dan terjadi
kenaikan sebesar 29,59 persen (2001), namun mengalami penurunan pada
tahun 2002 yaitu 21,86 persen. Walaupun demikian, subsektor perkebunan
masih tetap memperlihatkan kontribusinya yang besar terhadap penerimaan
PDRB Kabupaten Buru bila dibandingkan dengan sektor lainnya. Kondisi
tersebut mengindikasikan bahwa subsektor perkebunan merupakan subsektor
andalan di Kabupaten Buru yang banyak diusahakan oleh masyarakat dan perlu
mendapatkan perhatian dalam pengembangannya.
Komoditi perkebunan yang banyak diusahakan dan merupakan komoditi
dan kopi. Di mana komoditi kakao merupakan komoditi primadona yang sangat
diminati untuk dibudidayakan oleh petani disamping komoditi kelapa dan komoditi
perkebunana lainnya.
Tanaman perkebunan yang pada awalnya menjadi prioritas pengembangan
oleh masyarakat di Kabupaten Buru adalah tanaman cengkeh dan kelapa.
Namun faktor merosotnya harga cengkeh dan belum membaiknya harga kelapa
di pasar nasional maupun lokal, dan semakin membaiknya prospek harga kakao
di tingkat petani menyebabkan semakin besar perhatian petani pada
pengembagan komoditi kakao. Pilihan petani terhadap pengembangan
komoditas ini juga dipicu oleh begitu besarnya tuntutan kebutuhan pokok
keluarga tani yang terus meningkat, sementara meningkatnya kebutuhan
tersebut tidak seiring dengan pendapatan petani, selain itu pula faktor
keterbatasan lapangan pekerjaan dan tingkat pendidikan menjadi kendala dalam
mencari pekerjaan lain. Kondisi inilah yang menjadikan tanaman kakao sebagai
komoditi perkebunan yang memiliki luas lahan terbesar kedua setelah kelapa.
Pengembangan perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru masih
memiliki peluang dan potensi yang cukup besar, terutama bila dikaitkan dengan
kehidupan masyarakat yang sebagian besar masih mengandalkan tanaman
perkebunan sebagai sumber mata pencaharian utama. Ketersedian lahan
potensial yang masih luas dan didukung oleh kebijakan pemerintah daerah
dalam pengembangan tanaman kakao setelah pemekaran Kabupaten Buru pada
tahun 1999, turut memberikan peluang yang besar terhadap pengembangan
usaha tanaman kakao di wilayah ini. Permasalahan yang perlu dikaji kemudian
adalah terkait dengan penguasaan perkebunan kakao rakyat yang masih
terbatas dengan tingkat produktivitas dan kualitas yang masih rendah, fluktuasi
harga dan pasar komoditi ini yang tidak stabil, serta tingginya harga beberapa
menyebabkan margin yang diterima petani menjadi lebih rendah. Kendala
lainnya yang berhubungan dengan pemasaran kakao adalah yang terkait dengan
aspek kelembagaan tataniaga yang sampai saat ini belum ditata dengan baik
dan penguasaan manajemen usahatani.
Secara teknis pertanian, usaha pengembangan perkebunan kakao lebih
mengarah pada perluasan areal tanaman, peningkatan produktivitas tanaman
serta perbaikan mutu hasil. Berdasarkan laporan Dinas Perkebunan dan
Hortikultura Kab. Buru (2003) bahwa produktivitas tanaman kakao di Kabupaten
Buru sekitar 1,12 ton/ha, angka tersebut masih jauh dibawah tingkat produktivitas
potensial yang bisa dicapai tanaman kakao yaitu sebesar 2,0 ton/ha (Spillane,
1995). Permasalahan rendahnya produktivitas atau produksi ini kemungkinan
juga terkait dengan luas kepemilikan lahan yang rata-rata masih dibawah skala
ekonomi usahatani yaitu 0,66-1,00 ha/KK, karena agak sulit untuk meningkatkan
produksi bila petani memiliki areal yang sempit.
Masalah lain yang sering dialami petani adalah kendala minimnya modal
usaha, rendahnya pengetahuan dan ketrampilan petani, kurangnya penggunaan
teknologi pertanian, maupun penataan kelembagaan petani dan sistem
pemasaran, kemungkinan merupakan penyebab produksi kakao yang dihasilkan
petani belum optimal, sehingga keuntungan yang diperoleh para petani juga
belum maksimum. Disamping itu, optimalisasi lahan sangat rendah, hal ini terkait
dengan cara pengelolaan yang kurang intensif dan masih bersifat tradisional,
yang berakibat pada tingkat efisiensi pengusahaan yang juga belum pada kondisi
yang efisien secara ekonomi. Oleh karena itu, sampai saat ini usahatani kakao
belum mampu menjadi sumber pendapatan utama bagi keluarga tani di
Kabupaten Buru.
Permasalahan produktivitas dan perbaikan mutu produksi sangat
dikaitkan dengan tingkat motivasi dan pengetahuan petani. Hal ini
mengisyaratkan bahwa tingkat marjin dan insentif sangat terkait dengan aspek
kelembagaan pemasaran dan manajemen usaha tani.
Bila peran kelembagaan petani terorganisir dengan baik dan sistem
kelembagaan pemasaran semakin kuat, akan memberikan peluang usaha petani
kakao semakin besar, serta bargaining position petani dengan pemerintah
semakin kuat. Dengan demikian semakin mendorong petani dalam
mengembangkan usaha komoditi kakao dan meningkatkan produksinya, yang
pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan.
Permasalahan lain yang sering dihadapi petani di wilayah pedesaan yaitu
mengalami berbagai kendala infrastruktur dan komunikasi yang masih
sederhana. Informasi pasar langkah dan mahal untuk diperoleh, sehingga harga
tidak berfungsi sebagai kordinator informasi untuk pengalokasian sumber daya
secara efisien serta kelembagaan pertukaran formal seperti KUD dan Koperasi
tani yang tadinya diharapkan dapat memberikan peranan dalam penentuan
harga ternyata kinerjanya semakin kurang mengembirakan. Kondisi inilah yang
menyebabkan petani kakao lebih memilih sistem kelembagaan pertukaran diluar
institusi pasar (extra market institution) dalam bentuk kelembagaan
principle-agent, walaupun konsekuensinya akan menerima harga yang lebih kecil (Anwar, 1998). Opsi kelembagaan sering dihubungkan dengan kuatnya ikatan antara
petani dengan tengkulak, dan hubungan ini lebih bersifat emosional karena
kelembagaan formal yang selalu diharapkan kurang memberikan akses dalam
menampung semua jenis transaksi yang diperlukan oleh petani. Persoalan
mendasar dari hubungan perinciple-agent adalah adanya informasi yang
asimetrik, di mana satu pihak memiliki informasi yang lebih banyak dari pihak lain
sehingga menimbulkan persoalan buruknya pilihan (adverse selection) yang
bersifat ex-post. Hal ini mengakibatkan terjadinya agency cost atau biaya transaksi yang sangat berpengaruh terhadap kelembagaan yang dipilih oleh
petani kakao dalam tataniaga pemasaran hasil.
Komponen permasalahan tersebut, mencerminkan bahwa tingkat
kesejahteraan petani kakao di Kabupaten Buru belum mencapai taraf hidup
optimal. Kondisi ini perlu dikajian lebih mendalam terhadap pengembangan
perkebunan kakao rakyat, baik itu dalam perluasan lahan usaha, produktivitas
tanaman, perbaikan mutu hasil, maupun penataan sistem kelembagaan petani
dan pemasarannya, yang disesuaikan dengan potensi wilayah sehingga dapat
meningkatkan pengembangan pembangunan wilayah yang pada akhirnya adalah
untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan petani.
Mengacu pada berbagai uraian permasalahan tersebut, maka dapat
ditetapkan beberapa masalah yang perlu dikaji, antara lain:
1. Bagaimana keunggulan komparatif dan kompetitif pola pengusahaan
perkebunan kakao rakyat terhadap pemanfatan potensi luas lahan di
Kabupaten Buru ?
2. Bagaimana kinerja finansial dan ekonomi pengembangan perkebunan kakao
rakyat di Kabupaten Buru ?
3. Bagaimana marjin tataniaga dan integrasi pasar sebagai opsi kelembagaan
petani dalam sistem tataniaga komoditi kakao di Kabupaten Buru ?
4. Bagaimana respon luas areal terhadap harga kakao dalam pengembangan
usaha perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru?
5. Bagaimana peran dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan
perkebunan kakao rakyat, khususnya terhadap proteksi harga input dan
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dipaparkan dalam latar belakang dan
perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan yang diharapkan dari
penelitian ini adalah:
1. Mengkaji keunggulan komparatif dan kompetitif pola pengusahaan
perkebunan kakao rakyat terhadap pemanfatan potensi luas lahan di
Kabupaten Buru.
2. Menelaah kinerja finansial dan ekonomi pengembangan perkebunan kakao
rakyat di Kabupaten Buru.
3. Mengkaji marjin tataniaga dan integrasi pasar sebagai opsi kelembagaan
petani dalam sistem tataniaga komoditi kakao di Kabupaten Buru.
4. Mengkaji respon luas areal terhadap harga kakao dalam pengembangan
usaha perkebunan kakao rakyat di Kabupaten Buru.
5. Menelaah peran dan kebijakan pemerintah dalam pengembangan
perkebunan kakao rakyat, khususnya terhadap proteksi harga input dan
ouput di Kabupaten Buru.
1.3.2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai masukan bagi Pemerintah Kabupaten Buru dalam menyusun arah
kebijakan pembangunan pada sektor pertanian, khususnya dibidang
perkebunan.
2. Sebagai masukan bagi petani untuk mengembangkan usahanya dan pihak
investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya pada komoditi kakao di
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengembangan Usaha Komoditas Kakao
Dari segi kesesuaian agroekosistem Kabupaten Buru termasuk daerah
potensial untuk pengembangan kakao rakya t, dengan memiliki topografi wilayah
yang tidak beda jauh dengan daerah-daerah lain di wilayah provinsi Maluku yaitu
sebagian besar merupakan perbukitan dan pegunungan dengan tingkat
kemiringan rata-rata antara 15 persen sampai 40 persen, kondisi topografi
semacam ini sangat cocok untuk pengusahaan tanaman kakao. Secara umum
budidaya kakao (Theobroma cacao L,) terdiri atas : pembibitan, penanaman,
pemeliharaan, pemanenan dan pasca panen. Sebelum dilakukan kegiatan
penanaman, lahan terlebih dulu ditanami pohon pelindung atau dapat dilakukan
penanaman dibawah pohon yang sudah ada sebelumnya, dengan pola sistem
tumpangsari. Kegiatan budidaya diawali dengan pembibitan kakao yang
dilakukan dengan menyamaikan bijinya pada polybag sampai bibit berumur
sekitar 6 bulan. Setelah itu bibit dipindahkan ke lapangan, di mana lubang-lubang
penanaman dan pohon pelindung telah disiapkan sebelumnya. Jarak tanam
kakao yang sangat ideal dalam pola sistem tumpangsari tanaman atau pohon
pelindung adalah 3 meter dalam baris dan 6 meter jarak antar baris, sehingga
barisan pohon pelindung terletak di antara barisan tanaman kakao.
Selama masa pemeliharaan, kegiatan yang perlu dilakukan adalah
mempertahankan kesuburan tanah dengan cara mengadakan pemupukan,
penyiangan, pengendalian hama dan penyakit serta pemangkasan. Maksud dari
pemangkasan adalah agar tajuk tidak saling bersinggungan sehingga
pemangkasan adalah agar dapat merangsang pertumbuhan dan pembuahan
yang lebih baik.
Tanaman kakao mulai berbuah setelah berumur 3 tahun dengan umur
ekonomis 20 sampai 25 tahun. Pemanenan buah kakao dilakukan dengan
mengamati tanda yang terjadi pada buah tersebut. Buah yang masak, setelah
kulit buah yang merah menjadi orange atau kulit buah yang hijau menjadi kuning,
di mana perubahan warna kulit buah tersebut menandakan bahwa buah tersebut
sudah masak dan siap dipanen. Secara fisiologi, pada saat demikian maka
biji-biji dalam buah mulai lepas dari diding buah.
Setelah panen, pengolahan biji kakao untuk siap dipasarkan meliputi
kegiatan antar lain : fermentasi, pencucian dan penjemuran. Waktu yang
diperlukan untuk fermentasi biasanya 2 sampai 3 hari, kemudian dilanjutkan
dengan dilakukan pencucian dengan maksud untuk menghindari kapan atau
jamur. Setelah pencucian, tahap selanjutnya biji kakao dikeringkan yaitu dengan
penjemuran selama kurang lebih tiga hari, kemudian dilakukan sortasi sebelum
dipasarkan ke pabrik pengolahan.
Biji kakao digunakan dalam industri pengolahan untuk dijadikan berbagai
produk makanan, minuman dan bahan campuran kosmetik. Sedangkan sebagai
by product, kulit buah kakao dapat diolah menjadi bahan makanan ternak.
2.2. Kajian Pengembangan Kakao
Penelitian Widyastutik (2005) tentang mungkinkah Indonesia mencapai
swasembada gula secara berkelanjutan?, yang dilakukan di Kabupaten Madium
dengan tujuan untuk menganalisis kemungkinan Indonesia untuk mencapai
proteksi tinggi yang diberikan terhadap industri gula selama ini. Penelitian ini
dengan menggunakan metode analisis Policy Analysis Matrix (PAM).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara ekonomi pengusahaan gula
pada berbagai pola tidak menguntungkan. Nilai DRC>1 mengindikasikan bahwa
pengusahaan gula pada berbagai pola tidak memiliki keunggulan komparatif.
Keunggulan privat yang dimiliki oleh pengusahaan gula lebih banyak disebabkan
oleh kebijakan pemerintah yang terlalu protektif terhadap sistem komoditi, yaitu
dalam bentuk tarif impor dan penentuan harga referensi pada ouput, dan subsidi
pada input. Untuk mencapai DRC=1, analisis simulasi menunjukkan
diperlukannya upaya peningkatan efisiensi pengusahan gula (dari subsistem
agribisnis hulu hingga ke hilir) yang sangat tinggi dan dalam waktu yang sangat
singkat, sehingga upaya mencapai swasembada gula secara berkelanjutan tidak
akan mungkin terwujud. Tambahan pula, proteksi yang tinggi yang diberikan
kepada industri gula selama ini tidak dinikmati oleh petani tebu.
Menurut Siregar dan Romdhon (2004) dalam penelitian tentang dayasaing
industri kecil gula kelapa di Kabupaten Banyumas, dengan menggunakan
pendekatan matriks analisis kebijakan dan opsi kelembagaan. Tujuannya dari
penelitian ini adalah untuk menganalisis kenerja finansial dan ekonomi
pengusahaan gula kelapa dengan pendekatan analisis matriks kebijakan (PAM),
dan mengkaji faktor yang menyebabkan produsen memilih bentuk kelembagaan
pemasaran tertentu.
Hasilnya menunjukkan bahwa pengusahaan komoditas gula kelapa
memiliki dayasaing yang relatif tinggi. Pengusahaan komoditas tersebut
memberikan keuntungan secara privat maupun secara sosial. Hasil analisis
menunjukkan bahwa keuntungan sosial lebih besar dibandingkan keuntungan
privat. Lebih lanjut dikatakan bahwa distorsi ini terutama disebabkan oleh adanya
mengikat produsen gula kelapa (penderes). Sedangkan analisis fungsi logistik
menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga penderes, karakteristik
komoditas yang diusahakan dan karakteristik kelembagaan merupakan
faktor-faktor penentu opsi kelembagaan pemasaran yang akan dipilih oleh penderes.
Aris (2003) melakukan penelitian tentang analisis pengembangan agribisnis
kelapa rakyat di Kabupaten Indragiri Hilir. Peubah penjelas yang dimasukkan
dalam persamaan respon luas areal adalah harga riel kopra, harga riel tandan
buah segar sawit, upah riel tenaga kerja, peubah bedakala dan dummy otonomi
daerah. Hasilnya menunjukkan bahwa secara parsial hanya parameter peubah
bedakala luas areal dan dummy otonomi daerah yang nyata, sedangkan
parameter lainnya tidak nyata terhadap luas areal.
Persamaan produktivitas peubah penjelas yang dimasukkan adalah harga
riel kopra, harga riel tandan buah segar sawit, upah riel tenaga kerja, tingkat suku
bunga investasi, peubah bedakala dan dummy kebijakan pemerintah dibidang
perkebunan kelapa. Hasilnya menunjukkan bahwa produktivitas tanaman kelapa
respon terhadap harga kopra, harga sawit, upah riel tenaga kerja dan dummy
program pemerintah, namun tidak respon terhadap peubah suku bunga investasi
dan bedakala luas areal.
Tetapi secara keseluruhan penawaran kelapa di Indragiri Hilir, luas areal
lebih responsif dibandingkan dengan produktivitas terhadap perubahan harga
kopra dan tingkat upah dalam jangka panjang, namun dalam jangka pendek
produktivitas lebih tinggi dan responsif dibandingkan luas areal. Elastisitas
penawaran terhadap harga kopra dan upah tenaga kerja dalam jangka panjang
lebih besar dibandingkan elastisitas jangka pendek, hal ini disebabkan koefisien
penyesuaian bernilai relatif kecil.
Selanjutnya menurut Aris, dalam kajian kelayakan usaha dan kebijakan
Hilir sudah tidak layak untuk diusahakan. Namun secara ekonomi usahatani
kelapa rakyat di wilayah tersebut masih layak untuk dikembangkan, yang
ditunjukkan dengan nilai B/C ratio lebih besar dari satu, NPV yang positif dan IRR
yang jauh lebih besar dari suku bunga bank. Untuk analisis kebijakan kelapa
rakyat di Indragiri Hilir dengan menggunakan analisis PAM, memperlihatkan
bahwa usahatani kelapa rakyat mempunyai keunggulan baik secara kompetitif
maupun secara komparatif dengan menggunakan kriteria rasio biaya privat
(PCR) dan rasio biaya sumberdaya domestik (DRC) yang diperoleh lebih kecil
dari satu.
Penelitian Bafadal (2000), tentang produksi dan respon penawaran kakao
rakyat di Sulawesi Tenggara. Dalam persamaan luas areal peubah yang
dimasukkan adalah harga riel kakao, harga riel cengkeh, upah riel tenaga kerja,
harga riel pupuk urea dan peubah bedakala. Sedangkan persamaan
produktivitas, peubah penjelas yang dimasukkan adalah harga riel kakao, harga
riel cengkeh, upah riel tenaga kerja, harga riel pupuk urea, curah hujan, luas
areal dan peubah bedakala. Hasilnya menunjukkan bahwa luas areal tanaman
kakao respon terhadap perubahan harga kakao, harga pupuk dan peubah
bedakala. Sedangkan hasil respon produktivitas menunjukkan bahwa
produktivitas tanaman kakao tidak berpengaruh terhadap perubahan harga
kakao, upah tenaga kerja, harga pupuk urea, curah hujan dan luas areal.
Lolowang (1999) dalam penelitian tentang analisis penawaran dan
permintaan kakao Indonesia di pasar domestik dan internasional. Data yang
digunakan adalah data sekunder runtun waktu 1969-1996, dengan
menggunakan pendekatan ekonometrika dengan persamaan simultan.
Hasilnya menunjukkan bahwa perilaku luas areal tanaman di Indonesia
bagian barat dan bagian timur dalam jangka pendek tidak responsif terhadap
tingkat bunga bank. Produktivitas kakao di bagian barat dan bagian timur dalam
jangka pendek tidak responsif terhadap harga kakao domestik, harga pupuk dan
areal tanaman.
Lebih lanjut menurut Lolowang bahwa negara tujuan ekspor kakao
Indonesia yaitu Amerika Serikat, Singapura dan Jerman dalam jangka pendek
tidak responsif terhadap harga kakao dunia, harga ekspor cocoa butter, produksi
kakao Indonesia, nilai tukar rupiah dan tingkat suku bunga. Harga kakao dunia
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang responsif terhadap
penawaran ekspor dunia, sedangkan terhadap permintaan impor dunia tidak
responsif dalam jangka pendek tetapi responsif dalam jangka panjang. Harga
kakao domestik tidak responsif terhadap harga kakao dunia, penawaran kakao
domestik dan nilai tukar rupiah dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Wardani, dkk (1997) menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas untuk
melihat hubungan antara masukan atau input dengan produktivitas kakao serta
pengaruh faktor-faktor endowment (faktor manajemen, lingkungan, intrinsik
tanaman) terhadap pergeseran fungsi produksi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 21 peubah yang dimasukkan,
terdapat 5 peubah yang berpengaruh nyata positif, 4 peubah berpengaruh
negatif dan sisanya berpengaruh tidak nyata terhadap produktivitas kakao.
Peubah yang berpengaruh nyata adalah penggunaan pupuk urea (0,02), pupuk
kieserite (0,02), fungisida tembaga (0,01) dan tenaga kerja tetap untuk
pemupukan (0,02).
Faktor endowment yang paling berpengaruh terhadap pergeseran fungsi
produksi adalah penerapan manajemen. Manajemen kebun yang baik dapat
menggeser fungsi produksi ke atas hingga 284,79 persen, dan manajemen yang
kurang baik menggeser fungsi produksi ke bawah hingga 44,20 persen dari
Menurut penelitian Noorsapto (1994) tentang keunggulan komparatif dan
dampak kebijakan pemerintah pada komoditas kakao di perkebunan rakyat,
perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta, dengan menggunakan
pendekatan metode analisi s matriks kebijakan atau Policy Analysis Matrix (PAM).
Dari penelitian tersebut memperlihatkan bahwa semua sistem komoditas
kakao adalah menguntungkan baik secara finansial maupun ekonomi. Di mana
ketiga bentuk pengusahaan tersebut memiliki keunggulan komparatif dan secara
finansial mempunyai keunggulan kompetitif (sebagai komoditi ekspor).
Hal yang sama dilakukan oleh Yudhistira (1997), dalam penelitiannya
tentang kajian keunggulan komparatif komoditas kakao di PBN Rajamandala
Jawa Barat. Bahwa baik secara finansial dan ekonomi pengusahaan komoditas
kakao menguntungkan atau layak diteruskan. Dari analisis keuntungan privat
diperoleh nilai Rp 303.909/kg kakao kering, dan dengan analisis ekonomi
diperoleh keuntungan sebesar Rp 498,54/kg kakao kering. Artinya baik dalam
pasar persaingan sempurna dan pasar terdistorsi (ada campur tangan
pemerintah) maka pengusahaan kakao layak untuk dijalankan (dikembangkan).
Dengan menggunakan kriteria rasio biaya privat (PCR) dan rasio biaya
sumberdaya domestik (DRC), pengusahaan komoditas kakao memiliki
keunggulan komparatif dengan nilai PCR dan DRC lebih kecil dari satu, yaitu
0,76 dan 0,58.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Iswandi (1996) terhadap
pengusahan kakao oleh petani di Provinsi Sulawesi Tenggara, mengatakan
bahwa secara finansial usaha kakao rakyat masih menguntungkan dengan net
B/C ratio (pada df 18%) sebesar 3,39, artinya setiap investasi sebesar Rp 1 akan
memperoleh penerimaan bersih Rp 3,39. Dengan demikian, dari tinjauan
investasi, pengusahaan ko moditas ini oleh petani memang layak. Sedangkan
secara perorangan petani tidak mampu mempengaruhi volume pasar. Hal
tersebut disebabkan sebagian besar petani kakao memiliki lahan yang berskala
kecil. Lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran biji kakao adalah
pedagang pengumpul desa, pedagang tingkat kabupaten, pedagang besar dan
eksportir di Ujung Pandang, di mana ada hubungan kerjasama yang baik antara
lembaga pemasaran dalam permodalan dan informasi harga.
Bahwa petani menerima bagian harga sebesar 80 persen dari harga yang
berlaku di tingkat eksportir. Harga di tingkat petani adalah Rp 2.000/kg dan di
tingkat eksportir Rp 2.500/kg. Marjin pemasaran kotor yang diperoleh pedagang
pengumpul sebesar Rp 100/kg dengan keuntungan Rp 44/kg. Pedagang di
tingkat kabupaten memperoleh marjin kotor Rp 135/kg, di mana keuntungannya
sebesar Rp 47,7/kg. Sedangkan pedagang besar di Ujung Pandang rata-rata
memperoleh marjin kotor Rp 265/kg, dan dari marjin tersebut keuntungan yang
diperoleh sebesar Rp 112,6/kg.
Sehingga total marjin pemasaran sebesar Rp 500/kg yang dapat diperinci
atas biaya pemasaran Rp 295,7/kg dan keuntungan lembaga pemasaran Rp
204,3/kg. Besarnya biaya pemasaran ini terserap pada bagian angkut, muat,
bongkar dan timbang. Kondisi ini dapat difahami karena komoditas kakao adalah
komoditas ekspor, sehingga kualitas terutama kadar air perlu diperhatikan,
disamping itu faktor jarak antara petani dengan eksportir di Ujung Pandang
menjadi salah satu penyebab tingginya biaya pemasaran.
Dalam analisis elastisitas transmisi harga dan integrasi pasar,
memperlihatkan nilai elastisitas transmisi harga adalah 0,80, artinya perubahan
harga 1 persen pada tingkat eksportir hanya akan menyebabkan perubahan
harga pada tingkat petani sebesar 0,80 persen. Sedangkan indeks keterpaduan
pasar jangka pendek sebesar 0,94 dan dalam jangka panjang (IMC) adalah 0,36,
pasar referensi (eksportir), di mana perubahan harga pada tingkat eksportir tidak
kuat mempengaruhi perubahan harga pada tingkat petani. Hal ini dipengaruhi
oleh faktor jarak yang relatif berjauhan antara kedudukan tempat eksportir
dengan sentra produksi.
Penelitian yang dilakukan oleh Siregar (1991) tentang teknologi produksi
pada tanaman lahan kering dengan menggunakan pendekatan input
multi-output. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa elastisitas harga penawaran
terhadap harga sendiri dan harga tanaman lain dan harga output adalah inelastis.
Elastisitas permintaan pupuk terhadap harga jagung dan harga kacang tanah
adalah elastis, yaitu masing-masing 1.165 dan 1.795. Berdasarkan perhitungan
return to scale dalam jangka pendek diperoleh hasil yang menurun. Hal tersebut memperlihatkan bahwa peningkatan keuntungan tidak dapat dilakukan tanpa
peningkatan areal.
2.3. Kelayakan Pemasaran Kakao
Pengusahaan tanaman perkebunan pada umumnya diorientasikan ke
pasar, bukan untuk dikonsumsi sendiri, oleh karena itu sistem pemasaran
merupakan hal yang harus mendapatkan perhatian dalam memproduksi suatu
komoditas. Aspek yang paling menonjol dalam meningkatkan sektor basis dalam
perekonomian wilayah adalah aktivitas pemasaran komoditas (Esmara, 1984).
Dengan demikian kegiatan pemasaran komoditas secara tidak langsung akan
meningkatkan permintaan barang dan jasa baik dari dalam wilayah maupun dari
luar wilayah bersangkutan, sehingga dapat mendorong motivasi petani untuk
lebih meningkatkan produktivitas usahanya.
Sedangkan pemasaran sering didefenisikan sebagai suatu sisitem
keseluruhan dari kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan,
kebutuhan baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial (Stanton
dalam Swastha dan Handoko, 1982). Sementara itu kegiatan pemasaran adalah proses yang meliputi pengumpulan dari tingkat petani atau sentra-sentra
produksi di mana komoditas itu dihasilkan. Kemudian disalurkan ke pasar lokal,
ke pasar yang lebih luas dan selanjutnya ke tingkat konsumen. Umumnya rantai
pemasarn komoditas pertanian mengikuti rantai pemasaran yang demikian,
namun biasanya ada juga perbedaan rantai pemasaran komoditas yang diekspor
dengan yang tidak diekspor.
Tingkat efisiensi sistem tataniaga dapat diukur antara lain dengan
pendekatan indikator marjin tataniaga, harga yang diterima petani dan
keterpaduan pasar secara vertikal (Nancy, 1988). Indikator marjin tataniaga
didasarkan pada konsep efisiensi operasional yang menekankan pada
kemampuan meminimu mkan biaya-biaya yang digunakan untuk mengerakkan
komoditi dari produsen ke konsumen atau meminimumkan biaya untuk
melakukan fungsi-fungsi tataniaga. Sementara marjin tataniaga (marjin distribusi)
merupakan perbedaan antara harga yang diterima petani dengan harga barang
bentuk akhir yang dibayar konsumen akhir atau kumpulan balas jasa yang
diterima oleh pelaku tataniaga.
Fluktuasi harga komoditi yang diterima oleh produsen akan ditentukan oleh
perkembangan harga di tingkat konsumen, maka untuk mengukur efisiensi
tataniaga menurut Azzaino (1981), digunakan elastisitas transmisi harga, yaitu
semakin besar nilai elastisitas transmisi harga maka semakin efisien sistem
tataniaga tersebut. Secara matematis persamaan elastisitas transmisi harga (Et)
adalah sebagai berikut:
Pf Pf
Et *Pr
Pr
∂ ∂
Parameter tersebut dapat diduga dengan menggunakan model regresi linier
sederhana sebagai berikut:
dimana :
Pf = Harga di tingkat petani kakao (Rp/Kg)
Pr = Harga di tingkat tengkulak/eksportir kakao (Rp/Kg)
b0 = Konstanta; b1 = Koefisien regresi; ei= galat.
Jika Et sama dengan satu berarti laju perubahan harga di tingkat petani
sama dengan laju perubahan harga di tingkat tengkulak/ekportir kakao. Jika Et
lebih kecil dari satu berarti laju perubahan harga di tingkat petani lebih kecil dari
laju perubahan harga di tingkat tengkulak/eksportir kakao. Hal ini menunjukan
adanya kekuatan monopsoni atau oligopsoni pada lembaga tataniaga, sehingga
biasanya kenaikan harga yang terjadi hanya dinikmati oleh lembaga tataniaga.
Jika Et lebih besar dari satu berarti laju perubahan harga di tingkat petani lebih
besar dari laju perubahan harga di tingkat pedagang pengumpul/eksportir kakao.
Sedangkan indikator lain yang dapat digunakan untuk mengukur efisiensi
suatu kelembagaan tataniaga yaitu dengan integrasi pasar secara vertikal
(vertical market intergration). Indikator ini menunjukkan sejauh mana harga di tingkat petani dipengaruhi harga pada tingkat ekportir, secara dinamis dengan
menggunakan Lag operator indikator tersebut dapat diukur dengan
menggunakan rumus berikut :
Pft-Pft- 1 = do + d1(Pft- 1 - Prt-1) + d2 (Prt - Prt-1) + d3 (Prt- 1) + ei …..………..………. (3)
dimana :
Pft = harga kakao di tingkat petani pada tahun t
Prt = harga kakao di tingkat pedagang pengumpul/eksportir pada tahun t
d0,d1,d2,d3 = Koefisiesn regresi
ei = Kesalahan acak
ei b bo
Setelah diperoleh koefisien regresi dari persamaan tersebut, persamaan
tadi disusun kembali untuk memperjelas interpretasi dari koefisien regresi yang
diperoleh menjadi persamaan berikut:
Pf = do + (1+d1)Pft-1 + d2 (Pr-Prt- 1) + d3 (Prt- 1) + ei……… (4)
Sehingga jelas terlihat bahwa koefisien (1+d1) dan (d3-d1) masing-masing
merefleksikan kontribusi dari pergerakan harga di pedagang pengumpul dan
harga di ekportir terhadap pembentukan harga tingkat petani. Selanjutnya
informasi ini dapat digunakan untuk menghitung Index of Market Integration yang
menggambarkan perbandingan dari koefisien pasar di tingkat petani
dengan koefisien pasar pada tingkat ekportir kakao melalui persamaan berikut :
………. (5)
Jika IMC < 1 menunjukkan adanya intergrasi pasar yang tinggi dalam arti
bahwa harga di petani memiliki pengaruh dominan terhdap pembentukan harga
di pasar eksportir. Dalam kondisi ekstrim bila nilai d1 = -1 sehingga diperoleh nilai
IMC = 0, maka faktor-fakor lokal sama sekali tidak memiliki pengaruh terhadap
pembentukan harga pada tingkat petani. Sebaliknya jika diperoleh nilai IMC > 1
maka kondisi lokal memiliki pengaruh yang do minan terhadap pembentukan
harga di pasaran lokal.
2.4. Kelembagaan Usaha Perkebunan Kakao
Kelembagaan diartikan sebagai suatu keeratan sistem manajemen dalam
menunjang pengusahaan kakao yang dibentuk oleh pelaku-pelaku yang terlibat
dalam pengushaan kakao yang sifatnya formal maupun non-formal yaitu petani,
pedagang pengumpul, pedagang besar, eksportir dan industri pengolahan,
institusi masyarakat maupun lembaga pemerintah. Kelembagaan dapat terbentuk
mulai dari pengadaan dan penyaluran sarana produksi sampai pada pemasaran