• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penekanan Penularan Bean Common Mosaic Virus oleh Efek Penghambat Makan Kitosan Terhadap Aphis craccivora Koch. (Bean Common Mosaic Virus Transmission Inhibition by Antifeedant Chitosan Against Aphis craccivora Koch.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penekanan Penularan Bean Common Mosaic Virus oleh Efek Penghambat Makan Kitosan Terhadap Aphis craccivora Koch. (Bean Common Mosaic Virus Transmission Inhibition by Antifeedant Chitosan Against Aphis craccivora Koch.)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Penekanan Penularan

Bean Common Mosaic Virus

oleh Efek

Penghambat Makan Kitosan Terhadap

Aphis craccivora

Koch.

(

Bean Common Mosaic Virus Transmission Inhibition by Antifeedant

Chitosan Against Aphis craccivora Koch

.)

Dita Megasari, Tri Asmira Damayanti, dan Sugeng Santoso

Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Insitut Pertanian Bogor, Jln. Kamper, Kampus IPB Dramaga, Bogor, Indonesia 16680 E-mail: ssantoso@apps.ipb.ac.id

Diterima: 6 Agustus 2017; direvisi: 17 Juli 2018; disetujui: 30 Juli 2019

ABSTRAK. Bean common mosaic virus (BCMV) merupakan virus penting pada kacang panjang di Indonesia. Salah satu cara untuk mengendalikan BCMV adalah dengan penggunaan kitosan. Pada penelitian sebelumnya, kitosan komersial dengan konsentrasi 0,9% dilaporkan mampu menekan infeksi BCMV yang ditularkan oleh Aphis craccivora dengan mekanisme yang belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji mekanisme kitosan dalam menekan transmisi BCMV yang ditularkan oleh A. craccivora. Kitosan yang diuji yaitu kitosan murni dengan konsentrasi 0,1%–1,1% dan kitosan komersial konsentrasi 0,9% sebagai pembanding. Kitosan diaplikasikan dengan cara penyemprotan daun dengan volume 3 ml/tanaman pada hari sebelum penularan BCMV menggunakan tiga ekor kutudaun yang mengandung virus. Peubah yang diamati, yaitu periode inkubasi, insidensi penyakit, keparahan penyakit, akumulasi virus pada tanaman dan kutudaun, serta deteksi gen CP BCMV, PR1, dan PR3 dengan RT-PCR. Secara umum perlakuan kitosan mampu menekan transmisi BCMV oleh A. craccivora. Periode inkubasi tanaman perlakuan berkisar antara 7–9 hari. Perlakuan kitosan murni menekan insidensi dan keparahan penyakit antara 40%–80% dan 35,71%–78,57% tergantung konsentrasi kitosan. Kitosan komersial menghambat insidensi dan keparahan penyakit sampai 100%. Perlakuan kitosan pada konsentrasi 0,9% baik kitosan murni maupun komersial menunjukkan akumulasi BCMV yang lebih rendah dibandingkan kontrol tanpa perlakuan, yaitu pada kitosan komersial 0,9% memiliki nilai absorbansi ELISA (NAE) sebesar 0,26 ± 0,29 dan pada kitosan murni 0,9% memiliki NAE sebesar 1,15 ± 1,69, sedangkan kontrol tanpa perlakuan memiliki NAE sebesar 3,13 ± 0,17. BCMV positif terdeteksi pada kutudaun menunjukkan bahwa kutudaun tidak makan inokulasi pada tanaman perlakuan. Amplifikasi gen CP BCMV dengan RT-PCR menunjukkan positif teramplifikasi pada semua perlakuan kitosan kecuali perlakuan kitosan komersial. Gen PR1 tidak teramplifikasi, sedangkan gen PR3 teramplifikasi pada semua perlakuan. Akumulasi PR3 tertinggi terdapat pada perlakuan 0,5% dan 0,7% dibandingkan dengan perlakuan lain dan kontrol. Berdasarkan hasil tersebut, perlakuan kitosan lebih berperan sebagai penghambat makan kutudaun daripada sebagai penginduksi ketahanan tanaman.

Kata kunci: BCMV; Kutu daun; Pathogenesis-related protein;PCR; Vigna sinensis L.

ABSTRACT. Bean common mosaic virus (BCMV) is an important virus on beans in Indonesia. One of methods to control BCMV is by chitosan. The previous report showed that commercial chitosan was able to suppress BCMV infection transmitted by Aphis craccivora with an unknown mechanism. This study aimed to examine the mechanism of chitosan in suppressing the transmission of BCMV by A. craccivora. Chitosan used in this research is a pure chitosan with a concentration of 0.1%–1.1% and 0.9% of commercial chitosan as a comparison. Chitosan is applied by spraying the leaves at one day before the transmission of BCMV. BCMV transmitted by using three viruliferous aphids. The incubation period of virus, disease incidence, and severity, virus accumulation in plants and aphids by ELISA were observed, BCMV CP, PR1, and PR3 genes was detected by RT-PCR. In general, chitosan treatments suppressed the transmission of BCMV by A. craccivora. The incubation period ranges from 7–9 days. The pure chitosan treatments suppressed the disease incidence and severity ranged from 40%–80% and 35.71%–78.57%, respectively depends on concentration of chitosan. The commercial chitosan inhibited disease incidence and severity up to 100%. The treated plants at concentration 0.9% either pure or commercial chitosan showed accumulation of BCMV significantly lower in compared with untreated control plants, i.e. 0.9% in commercial chitosan had ELISA absorbance value (NAE) of 0.26 ± 0.29 and pure chitosan 0.9% had NAE of 1.15 ± 1.69 while the untreated control had an NAE of 3.13 ± 0.17. Further, BCMV were detected aphids which feed on treated plants during inoculation feeding period, indicating virus left over on aphids. Amplification of BCMV CP gene by RT-PCR showed positively amplified by all treatments except commercial chitosan treatment. PR1 gene are not amplified, whereas PR3 gene amplified in all the treatments, but the accumulation higher on treated plants at concentration 0.5% and 0.7% in compare with other treatments. Based on those results, chitosan treatment suppress the BCMV transmission by aphids due to the role of chitosan as anti-feedant which hampered aphids transmit the virus during inoculation feeding period rather than as resistance inducer.

Keywords: BCMV; Aphids; Pathogenesis-related protein; PCR; Vigna sinensis L. Kacang panjang ((Vigna sinensis (L.) Savi ex

Hassk) adalah salah satu tanaman sayuran yang banyak gangguan serangan hama, di antaranya yang utama Aphis craccivora Koch. (Hemiptera: Aphididae). Kutu daun tersebut dapat menyebabkan kerugian secara kualitatif dan kuantitatif serta dapat berperan sebagai vektor virus. Lebih dari 14 virus kacang-kacangan

mampu ditularkan oleh A. craccivora (Thottappilly et al. 1990). Salah satu virus yang dapat ditularkan adalah Bean common mosaic virus (BCMV). Bean common mosaic virus menyebabkan penyakit mosaik pada tanaman kacang-kacangan. Bean common mosaic virus ditularkan oleh A. craccivora secara nonpersisten (Blackman & Eastop 2000). Pada tahun 2008–2009

(2)

panjang di Jawa Barat dan Jawa Tengah, yang salah satunya disebabkan oleh BCMV strain Black-eye cowpea (BCMV-BIC) (Damayanti et al. 2009). Insidensi penyakit BCMV di lapangan dapat mencapai 100% dengan penurunan bobot polong berkisar antara 27,1 sampai 85,2% (Susetio & Hidayat 2014).

Pengendalian BCMV sukar dilakukan, karena BCMV bersifat tular benih dan vektor. Pengendalian BCMV yang telah dilakukan di antaranya adalah penggunaan ekstrak tanaman, barrier crop, dan kitosan (Damayanti & Panjaitan 2014; Damayanti & Pebriyeni 2015; Damayanti & Santoso 2012). Kitosan dilaporkan mampu menghambat infeksi Tobacco mosaic virus (TMV), Tobacco necrosis virus (TNV) (Chirkov 2002), Cucumber mosaic virus (CMV) (Struszczyk,

Pośpieszny & Gamzazade 2002), Peanut stunt virus (PSV) (Pospieszny 1997), dan BCMV secara mekanis sebesar 86,07% (Damayanti, Haryanto & Wiyono 2013).

Fragmen dari kitosan diketahui dapat menginduksi ketahanan tanaman (El Hadrami et al. 2010). Penggunaan kitosan 1% dapat menginduksi ketahanan tanaman dari infeksi potato virus X (PVX) pada tanaman kentang dengan mekanisme callose dan ribonuklease (Chirkov et al. 2001). Penggunaan kitosan komersial melalui penyemprotan pada daun sehari sebelum penularan virus melalui kutudaun mampu menghambat infeksi BCMV sebesar 100% pada konsentrasi 0,9% dengan mekanisme yang belum diketahui (Megasari, Damayanti & Santoso 2015) sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengkaji mekanisme kitosan dalam menekan transmisi BCMV yang ditularkan oleh A. craccivora.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan mulai bulan Maret sampai Agustus 2015 di Rumah Kaca Kebun Percobaan IPB Cikabayan Dramaga dan Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor.

Perbanyakan Kutudaun

Kutudaun dibebasviruskan pada daun talas (Colocasia esculenta (L.) Schott) yang ujung tangkai daunnya dibalut dengan kapas basah. Nimfa yang muncul dipelihara pada tanaman kacang panjang sehat kultivar Parade.

Isolat BCMV strain Black-eye cowpea (BCMV-BlC) yang digunakan adalah isolat asal Cangkurawok, Bogor, koleksi Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman. Inokulum diperbanyak secara mekanis pada tanaman kacang panjang varietas Parade berumur 7 hari setelah tanam (HST) (Damayanti & Panjaitan 2014).

Penanaman Tanaman Uji

Kacang panjang yang digunakan adalah kacang panjang kultivar Parade. Benih kacang panjang ditanam pada media tanah steril dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1. Setiap polibag ditanami dengan tiga benih kacang panjang. Pada umur 7 HST dipilih satu tanaman dengan pertumbuhan terbaik yang akan digunakan sebagai tanaman perlakuan. Tanaman kacang panjang umur 7 HST dipilih karena memiliki periode inkubasi yang singkat dan seluruh gejala akibat infeksi virus dapat muncul (Hamdayanty & Damayanti 2014).

Pembuatan Larutan Kitosan

Kitosan yang digunakan adalah kitosan murni (KM) (Biobasic) yang berasal dari cangkang kepiting (C6H11NO4)n dengan tingkat kemurnian 90% dan sebagai pembanding digunakan kitosan

komersial (KK) (Soft Guard Chitosan Oligo

Saccharin). Konsentrasi kitosan murni yang digunakan dalam perlakuan, yaitu 0,1%, 0,3%, 0,5%, 0,7%, 0,9%, 1,1% (KM 0,1–1,1) dan konsentrasi kitosan komersial 0,9% (KK 0,9). Kitosan murni diencerkan menggunakan asam asetat 1,5% dan akuades steril, sedangkan kitosan komersial hanya diencerkan menggunakan akuades steril. Tanaman kontrol disemprot menggunakan asam asetat 1,5%.

Uji Pengaruh Kitosan Terhadap Penularan BCMV

Sehari sebelum penularan virus menggunakan kutudaun, tanaman kacang panjang umur 2 MST disemprot sesuai dengan perlakuan menggunakan hand sprayer mini dengan volume 3 ml/tanaman. Penyemprotan hanya dilakukan satu kali selama penelitian. Setiap perlakuan terdiri atas 10 tanaman sebagai ulangan. Keesokan harinya, dilakukan penularan BCMV menggunakan tiga imago kutudaun yang mengandung virus per tanaman. Kutudaun diberi periode puasa selama 60 menit, makan akuisisi pada tanaman bergejala selama 30 menit. Kutudaun yang telah mengandung virus dipindahkan ke tanaman perlakuan sehat yang telah diberi perlakuan kitosan sehari sebelumnya untuk periode makan inokulasi selama 1 malam.

(3)

Uji Efek Penghambat Makan

Pengaruh kitosan sebagai penghambat makan dilakukan dengan cara memindahkan kutudaun yang telah diberi periode puasa dan periode makan akuisisi selama 30 menit untuk makan inokulasi pada tanaman perlakuan selama 120 menit.

Peubah Pengamatan

Peubah yang diamati adalah periode inkubasi, tipe gejala, insidensi penyakit (IP), keparahan penyakit serta akumulasi BCMV pada tanaman dan kutudaun, serta deteksi gen CP BCMV, PR1, dan PR3 dengan RT-PCR.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA)

menggunakan program Microsoft Office Excel 2013

dan SPSS versi 20.0 (Statistical Package for Social Sciences, USA). Pengaruh perlakuan yang berbeda nyata diuji lanjut dengan uji selang berganda Duncan (DMRT) pada taraf nyata 5%.

Deteksi Molekuler Uji serologi

Akumulasi virus dideteksi dengan uji serologi pada daun tanaman perlakuan umur 4 MSI. Setiap perlakuan dibuat menjadi tiga sampel komposit. Akumulasi virus pada kutudaun pada uji penghambat makan dilakukan dengan mendeteksi 30 ekor kutudaun yang telah makan inokulasi pada tanaman perlakuan. Deteksi virus dilakukan dengan metode Indirect ELISA (I-ELISA) dengan menggunakan antiserum BCMV. Deteksi dilakukan sesuai dengan protokol yang dibuat oleh produsen antiserum (Agdia). Hasil ELISA dianalisis secara kuantitatif dengan ELISA reader pada panjang gelombang 405 nm. Sampel dinyatakan positif jika nilai absorbansi ELISA (NAE) sampel uji dua kali lebih besar dibandingkan NAE kontrol negatif (tanaman sehat atau kutudaun tanpa virus).

Tingkat hambatan relatif (THR) virus pada tanaman perlakuan ditentukan dengan rumus sebagai berikut:

THR =

Rerata NAE kontrol tanpa kitosan – Rerata NAE perlakuan

Rerata NAE kontrol tanpa kitosanX 100%

RT-PCR. Deteksi gen CP BCMV, PR1, dan PR3 menggunakan metode Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) dilakukan pada 1 MSI. RNA total diekstraksi dari sampel daun tanaman menggunakan metode (Doyle & Doyle 1987)

Sintesis complementary DNA (cDNA) dilakukan terhadap RNA total sesuai protokol yang digunakan Anjarsari, Swastika & Damayanti (2013). cDNA

diamplifikasi dengan teknik PCR. Setiap reaksi PCR

(25 µL) terdiri atas 1 µL cDNA, 12,5 µL green taq

PCR Mix (Thermo Scientific), 1 µL masing-masing

primer 10 µM dan 9,5 µL air bebas nuclease (Anjarsari,

Suastika & Damayanti 2013). Amplifikasi

masing-masing DNA target dilakukan menggunakan mesin Veriti® Thermal Cycler (Applied Biosystem) dengan kondisi reaksi yang spesifik. Amplifikasi gen CP BCMV menggunakan pasangan primer BCMV BIC-cpF dan BCMV BIC-cpR dengan amplikon berukuran

± 861 pb (Anggraini & Hidayat 2014). Amplifikasi

gen PR1 menggunakan pasangan primer rPR1-F dan rPR1-R dilakukan mengikuti protokol yang digunakan dengan amplikon berukuran ± 523 pb (Kurnianingsih

2008). Amplifikasi gen PR3 menggunakan pasangan primer PR3Vu-F [5’-GCA TGG CCG TTT TCA CAT TC-3’] dan PR3Vu-R [5’-CAC ACA GGG AAA GAC GCA GG-3’] dengan amplikon berukuran ± 600 pb. Program PCR untuk amplifikasi gen PR1 dan PR3

dimulai dengan tahapan pre-denaturasi pada suhu 94 °C selama 5 menit sebanyak satu siklus, selanjutnya 35 siklus yang terdiri atas denaturasi 94°C selama 1 menit, penempelan pada 52°C selama 1 menit, dan sintesis DNA pada 72°C selama 1 menit. Siklus terakhir pada tahapan sintesis 72°C selama 7 menit.

Visualisasi hasil PCR. DNA hasil amplifikasi

dielektroforesis pada tegangan 50 volt selama 50 menit menggunakan gel agarosa 1% yang dilarutkan pada bufer 0,5x Tris borate EDTA (TBE).

Gel agarosa kemudian direndam dalam larutan

ethidium bromide selama 15 menit. Visualisasi DNA dilakukan menggunakan UV transluminator dan didokumentasikan dengan kamera digital.

Kuantifikasi intensitas DNA. Kuantifikasi intensitas pita DNA dikonversi menggunakan software ImageJ (imagej.net). Tinggi rendahnya intensitas DNA ditunjukkan dengan tinggi rendahnya histogram.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Perlakuan Kitosan Terhadap Periode Inkubasi dan Gejala

Periode inkubasi

Tanaman perlakuan kitosan menunjukkan periode inkubasi yang cenderung lebih panjang jika dibandingkan dengan kontrol. Semakin tinggi konsentrasi KM yang digunakan, periode inkubasinya

(4)

semakin lama. Periode inkubasi pada tanaman berkisar antara 6–9 hari. Periode inkubasi BCMV pada tanaman kacang-kacangan berkisar antara 8-10

hari (Morales, FJ Bos 1988). Gejala pertama kali

(Effect of chitosan treatment on disease incidence, incubation period, and type of symptoms)

Perlakuan1 (Treatment) Insidensi penyakit

(Disease incidence), (n/N)2 (%) (Incubation periodPeriode nkubasi ),HSI3 Tipe gejala

4 (Type of symptoms) KM 0,1 KM 0,3 KM 0,5 KM 0,7 KM 0,9 KM 1,1 KK 0,9 Kontrol sehat Kontrol sakit 6/105(60) 2/10 (20) 5/105(50) 4/105(40) 2/105(20) 5/105(50) 0/105(0) 0/10 (0) 10/105(100) 7 7 7-8 8-9 9 8-9 -5 -6-7 Mr, Ms, Mb, Mf Ms Mr, Ms, Mf Mr, Ms, Mb Mr Mr, Ms, Mb Tidak ada gejala Tidak ada gejala Ms, Mb, Mf

1 KM 0,1-1.1: konsentrasi perlakuan kitosan murni, KK 0,9: konsentrasi perlakuan kitosan komersial, kontrol sehat: kontrol sehat tanpa perlakuan kitosan, kontrol sakit: kontrol sakit tanpa perlakuan kitosan (KM 0.1-1.1: concentration of pure chitosan, KK 0.9: concentration of commercial chitosan, healthy control, healthy plants without chitosan treatment, infected control: control infected by BCMV without chitosan treatment)

2 n: jumlah tanaman yang terinfeksi, N: jumlah tanaman yang diamati (IP = n/N x 100%) (n: number of infected plants, N: total number of tested plants (IP = n/N x 100%)).

3 HSI: hari setelah inokulasi (HSI: day afer inoculation)

4 Mr= mosaik ringan, Ms= mosaik sedang, Mb= mosaik berat, Md= malformasi daun (Mr= mild mosaic, Ms= moderate mosaic, Mb= severe mosaic, Md= leaf malformation)

5 - = tidak ada (- = not known)

terlihat pada 6 HSI, yaitu pada tanaman kontrol tanpa perlakuan. Tanaman perlakuan KK 0,9 tidak muncul gejala sehingga tidak diketahui periode inkubasinya (Tabel 1).

Gambar 1. Variasi gejala pada tanaman perlakuan. (a) pemucatan tulang daun, (b) penebalan tulang daun, (c) mosaik ringan, (d) mosaik sedang, (e) mosaik berat, (f) malformasi daun [Symptom variations of treated plants. (a) vein-clearing, (b) vein-banding, (c) mild mosaic, (d) moderate mosaic, (e) severe mosaic, (f) leaf malformation]

(5)

Gejala tanaman

Tipe gejala yang muncul akibat infeksi BCMV pada tanaman perlakuan bervariasi tergantung pada konsentrasi kitosan yang digunakan. Secara umum, gejala BCMV ditunjukkan dengan mosaik, pemucatan tulang daun, malformasi daun, tanaman kerdil, dan polong yang dihasilkan sedikit (Flores-Estévez,

Acosta-Gallegos & Silva-Rosales 2003). Variasi gejala

yang muncul pada tanaman perlakuan berupa mosaik ringan (pemucatan/penebalan tulang daun), mosaik sedang (klorosis berwarna hijau muda), mosaik berat, dan mosaik berat dengan malformasi daun yang parah

(Gambar 1). Pada tanaman kontrol tanpa perlakuan,

gejala yang muncul berupa mosaik sedang, mosaik

berat, dan malformasi daun (Gambar 1d, 1e, 1f).

Tanaman perlakuan KM 0,3 hanya menunjukkan

gejala mosaik sedang (Gambar 1d), sedangkan pada

perlakuan KM 0,9 hanya menunjukkan gejala mosaik

ringan (Gambar 1c). Tanaman perlakuan KK 0,9 tidak

menunjukkan gejala infeksi BCMV.

Pengaruh Perlakuan Kitosan Terhadap Insidensi, Keparahan Penyakit, dan Akumulasi BCMV Insidensi penyakit

Beberapa tanaman yang diberi perlakuan kitosan menunjukkan tidak terinfeksi oleh BCMV meskipun telah diinokulasi. Tanaman yang diberi perlakuan KK 0,9 tidak menunjukkan gejala sehingga insidensi penyakitnya 0%. Insidensi penyakit terendah pada

Tabel 2. Pengaruh perlakuan kitosan terhadap keparahan penyakit dan titer virus (Effect of chitosan treatment on disease severity and virus titer)

Perlakuan1

(Treatment) Keparahan

2

(Severity)

Tingkat hambatan relatif keparahan (Severity

relative inhibiton level), %

NAE3 (ELISA

absorbance value)

Tingkat hambatan relatif virus

(Virus relative inhibiton level), %

KM 0,1 KM 0,3 KM 0,5 KM 0,7 KM 0,9 KM 1,1 KK 0,9 Kontrol sehat Kontrol sakit 1,50 ± 1,58 b 0,60 ± 1,27 ab 1,80 ± 1,55 bc 1,20 ± 1,55 b 0,60 ± 1,27 ab 1,50 ± 1,58 b 0,00 ± 0,00 a 0,00 ± 0,00 a 2,80 ± 0,42 d 46,43 78,57 35,71 57,14 78,57 46,43 100 100 0 3,05 ± 0,24 c 2,06 ± 1,71 bc 3,08 ± 0,05 c 2,82 ± 0,39 c 1,15 ± 1,69 ab 3,06 ± 0,48 c 0,26 ± 0,29 a 0,09 ± 0,00 a 3,13 ± 0,17 c 2,56 34,19 1,60 9,90 63,25 2,24 91,69 100,00 0,00

1 KM 0,1–1,1: Konsentrasi perlakuan kitosan murni, KK 0,9: konsentrasi perlakuan kitosan komersial, kontrol sehat: kontrol sehat tanpa perlakuan kitosan, kontrol sakit: kontrol sakit tanpa perlakuan kitosan (KM 0.1–1.1: concentration of pure chitosan, KK 0.9: concentration of commercial chitosan, healthy control, healthy plants without chitosan treatment, infected control: control infected by BCMV without chitosan treatment)

2 Angka yang diikuti huruf mutu berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (uji selang berganda Duncan α=0.05)

(Values within a column follow by the same letters are not significantly different (Duncan Multiple Range Test α=0.05)

3 NAE: rerata nilai absorbansi ELISA dari semua tanaman uji tiap perlakuan. Uji positif jika NAE≥ 0.188 (NAE: Average of ELISA absorbance

values from plants on each treatment. Positive test if NAE≥ 0.188)

tanaman yang diberi perlakuan KM ditunjukkan pada perlakuan KM 0,3 dan KM 0,9 (Tabel 1).

Keparahan penyakit dan akumulasi BCMV

Keparahan penyakit pada tanaman perlakuan sebanding dengan nilai akumulasi BCMV. Tanaman perlakuan menunjukkan keparahan penyakit yang nyata lebih rendah jika dibandingkan dengan tanaman kontrol tanpa perlakuan. Keparahan penyakit terendah ditunjukkan oleh perlakuan KK 0,9. Keparahan penyakit pada tanaman yang diberi perlakuan KM 0,3 dan KM 0,9 lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan KM lainnya. THR perlakuan KK 0,9 mencapai 100%, sedangkan THR perlakuan KM berkisar antara 35,71%–78,57%. Keparahan penyakit pada tanaman perlakuan tidak dipengaruhi oleh peningkatan konsentrasi kitosan yang digunakan (Tabel 2).

NAE perlakuan KK 0,9 dan KM 0,9 menunjukkan nyata lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol tanpa perlakuan. THR virus berkisar antara 2,56%–91,69%. Kemampuan kitosan dalam menghambat virus yang paling tinggi ditunjukkan pada perlakuan KK 0,9 dan KM 0,9.

Beberapa tanaman perlakuan yang telah diinfeksi virus tidak menunjukkan gejala, hal ini diduga karena kitosan mampu menekan infeksi dan multiplikasi virus serta mampu menghambat replikasi dan penyebaran virus dalam tanaman

(6)

(Pospieszny, Chirkov & Atabekov 1991). Kitosan kosentrasi 0,1% dan 1% yang diaplikasikan sebelum dan sesudah inokulasi dapat menurunkan insidensi penyakit BCMV yang diinokulasi secara mekanis (Anjarsari, Suastika & Damayanti 2013). Kitosan dilaporkan mampu menghambat infeksi Tobacco necrosis virus (TNV) pada tanaman Phaseolus vulgaris karena aplikasi pada 12 dan 24 jam setelah perlakuan dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan TNV. Tanaman perlakuan membentuk kalus yang dapat menghambat penyebaran virus (Franco & Iriti 2007). Kitosan yang diaplikasikan pada daun dengan konsentrasi 0,1% dilaporkan mampu menghambat infeksi Alfalfa mosaic virus (ALMV) (Pospieszny, Chirkov & Atabekov 1991) dan Potato spindle tuber viroid (PSTVd) pada tanaman tomat (Pospieszny 1997). Aktivitas penghambatan virus oleh kitosan tergantung pada rerata derajat polimerasi, derajat N-deasetilasi, bobot molekul, jumlah ion positif dan karakter dari modifikasi senyawa kimianya (Chirkov et al. 2001). Aktivitas penghambatan virus pada tanaman juga tergantung pada spesies virus dan kondisi lingkungan (Pospieszny & Atabekov 1989).

in aphids)

Perlakuan1 (Treatment) NAE2 (ELISA absorbance value) Keterangan (Notes)

KM 0,1 KM 0,3 KM 0,5 KM 0,7 KM 0,9 KM 1,1 KK 0,9 KTD makan inokulasi KTD bebas virus KTD makan akuisisi 0,234 ± 0,045 bcd3 0,272 ± 0,087 bcd 0,241 ± 0,074 bcd 0,219 ± 0,054 bc 0,247 ± 0,062 bcd 0,229 ± 0,081 bcd 0,350 ± 0,097 bcd 0,157 ± 0,043 ab 0,095 ± 0,006 a 0,293 ± 0,057 cd + + + + + + + -+

1 KM 0,1–1,1: konsentrasi perlakuan kitosan murni, KK 0,9: konsentrasi perlakuan kitosan komersial, KTD makan inokulasi: kutudaun makan inokulasi pada tanaman tanpa perlakuan kitosan, KTD bebas virus: kutudaun yang telah dibebasviruskan, KTD makan akuisisi: kutudaun makan akuisisi pada tanaman sakit (KM 0.1-1.1: concentration of pure chitosan, KK 0.9: concentration of commercial chitosan,

KTD inoculation feeding: inoculation feeding of viruliferous aphids on untreated plants, KTD virus free: virus free aphids, KTD acquisition

feeding: acquisition feeding of aphid on infected plants)

2 NAE: rerata nilai absorbansi ELISA dari kutudaun tiap perlakuan. Uji positif jika NAE ≥ 0.190 (NAE: Average of ELISA absorbance

values from aphids on each treatment. Positive test if NAE≥ 0.190)

3 Angka yang diikuti huruf mutu berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (uji selang berganda Duncan α=0.05)

(Values within a column follow by the same letters are not significantly different (Duncan Multiple Range Test α=0.05)

Akumulasi BCMV pada kutudaun

Akumulasi BCMV pada kutudaun yang makan inokulasi pada tanaman perlakuan menunjukkan hasil yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kutudaun yang hanya diberi makan akuisisi (Tabel 3). Perlakuan KK 0,9 menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah titer virus yang terdapat pada stilet kutudaun lebih tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan KM. Semua kutudaun yang makan akuisisi pada tanaman perlakuan positif mengandung BCMV kecuali kutudaun makan inokulasi dan kutudaun bebas virus. Akumulasi BCMV tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan KK 0,9 dibandingkan perlakuan lainnya, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata antarperlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa kutudaun yang mengandung virus (viruliferous) tidak makan inokulasi pada tanaman perlakuan. Adanya zat penolak dan ketidaksesuaian nutrisi yang terdapat pada tanaman perlakuan dapat menyebabkan kutudaun tidak mau makan pada tanaman inang tersebut (Joseph & Peter 2007).

Perbedaan konsentrasi dan jenis kitosan yang digunakan juga memengaruhi parameter pengamatan.

(7)

Tanaman yang diberi perlakuan kitosan murni dan kitosan komersial menunjukkan hasil yang berbeda. Kitosan komersial telah dilaporkan mampu menghambat infeksi virus hingga 100% (Megasari, Damayanti & Santoso 2015). Kitosan komersial yang digunakan mengandung unsur hara makro (C organik, P2O5 dan K2O) serta unsur mikro (Fe, Mn, Cu, Zn, B, Co dan Mo). Kitosan komersial yang berasal dari cangkang Crustacea yang telah ditambahkan dengan nitrogen dan mineral serta kalsium yang tinggi dapat menambah kekakuan pada tanaman (Boßelmann et al. 2007). Bobot molekul kitosan murni dan kitosan komersial yang digunakan adalah 50 kDa dan 3 kDa. Bobot molekul kitosan yang rendah memiliki efek

penghambatan yang lebih besar terhadap fitopatogen

dibandingkan dengan kitosan yang memiliki berat molekul yang tinggi (Hirano et al. 1999).

Pengaruh Perlakuan Kitosan Terhadap Amplifikasi Gen CP BCMV, PR1 dan PR3

Amplifikasi DNA

Berdasarkan RT-PCR DNA gen CP BCMV berukuran ~861 bp teramplifikasi pada semua

perlakuan KM, kecuali perlakuan KK 0,9 (Gambar

2a). Pada perlakuan KK 0,9, fragmen DNA BCMV tidak terlihat, hal ini menunjukkan bahwa tanaman yang diberi perlakuan KK 0,9 tidak terinfeksi virus. Hal ini sejalan dengan hasil pengamatan insidensi penyakit. Tanaman perlakuan KM insidensi penyakitnya berkisar antara 20–60%, sedangkan tanaman perlakuan KK 0,9 insidensi penyakitnya

0%. Berdasarkan kuantifikasi gen CP BCMV dengan

program ImageJ, perlakuan KM 0,3 menunjukkan

Gambar 2. (a-b) Amplifikasi dan intensitas DNA gen CP BCMV, (c-d) Amplifikasi dan intensitas DNA gen PR3. Intensitas DNA diukur dengan software ImageJ .[(a-b) Amplification and DNA intensity of CP BCMV gene, (c-d) Amplification and DNA intensity of PR3 gene. DNA intensity was measured with imageJ software]

a b

c d

histogram yang tinggi, diikuti oleh perlakuan KM 0,5, KM 0,7, KM 1,1, KM 0,1, KM 0,9, K 2, KK 0,9 dan kontrol sehat.

Deteksi gen ketahanan PR1 menggunakan primer

spesifik menunjukkan pada semua perlakuan gen PR1 tidak teramplifikasi (data tidak ditampilkan). DNA gen PR3 teramplifikasi pada seluruh tanaman perlakuan (Gambar 2c). Intensitas DNA PR3,

perlakuan KM 0,5 dan KM 0,7 yang menunjukkan lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya, termasuk kontrol. Faktor abiotik kemungkinan mampu menginduksi ekspresi gen PR3, seperti perlakuan kitosan, suhu dan kelembaban, serta faktor biotik seperti infeksi virus.

Hipotesis dari mode of action kitosan adalah terganggunya pemindahan partikel virus oleh aplikasi kitosan dan induksi dari hipersensitivitas tanaman. Fragmen dari kitosan diketahui dapat menginduksi sistem ketahanan tanaman melalui akumulasi fitoaleksin, menginduksi Pathogenesis Related Protein (PR), menghambat proteinase, sintesis lignin, dan pembentukan kalus (Hadrami et al. 2010). PR protein merupakan protein yang terakumulasi sebagai respon terhadap cekaman abiotik dan serangan

beberapa patogen (Song & Goodman 2001).

PR1 merupakan gen yang pertama kali diidentifikasi

dan merupakan kelompok yang paling dominan dari PR protein (Van Loon & Van Strien 1999). Sejak PR1 ditemukan pertama kali dalam merespon infeksi virus, PR1 dipercaya terlibat dalam resistensi tanaman terhadap infeksi virus atau lokalisasi virus. Penyemprotan tanaman menggunakan asam salisilat diduga dapat menginduksi PR1 sehingga tembakau

(8)

tahan terhadap TMV (Buchel 1999). Ekspresi gen

PR1 dan PBZ1 setelah perlakuan bakteri endofit

meningkat sebelum dan sesudah infeksi X. oryzae pv. oryzae pada perlakuan meningkat, namun tidak terekspresi pada tanaman kontrol. Ekspresi gen PR1 dan PBZ1 setelah diinokulasi Xanthomonas oryzae pv. oryzae tidak meningkat, namun meningkat pada kontrol tanpa perlakuan bakteri endofit (Parida,

Damayanti & Giyanto 2015). Oleh karena PR1 tidak teramplifikasi pada semua perlakuan, hal ini

menunjukkan perlakuan kitosan tidak menginduksi ekspresi gen PR1 pada tanaman kacang panjang.

PR3 merupakan endokitinase yang terdiri atas tujuh kelompok (kitinase I-VII) (Santén 2007). Faktor abiotik, seperti kitosan, etilen, polisakarida, asam salisilat, dan larutan garam, dapat menginduksi ekspresi kitinase pada tanaman (Zhang & Punja 1994). Faktor biotik, seperti bakteri, serangga, cendawan dan virus juga dapat menginduksi ekspresi kitinase pada tanaman (Lawton et al. 1992). Penelitian dari kitinase pada kacang-kacangan menunjukkan ekspresi kitinase dapat terinduksi setelah adanya infeksi (Daugrois et al. 1990). Kekuatan dari induksi kitinase tergantung pada patogenisitas dan kompatibilitas antara tanaman dan patogen. Pada tembakau akumulasi kitinase berkorelasi dengan Induced Systemically Resistance (ISR). Namun demikian, kitinase tidak selalu menjadi bagian dari respon ISR (Ye, Pan & Kuc 1990). Akumulasi gen PR3 pada tanaman perlakuan sebelum diinokulasi virus tidak dideteksi. Kemungkinan setelah perlakuan kitosan sebelum penularan virus ekspresi gen PR3 meningkat dan kontrol tanpa perlakuan tidak terekspresi. Data Tabel 3 mendukung dugaan ini, di mana pada tanaman tanpa perlakuan, kutudaun makan inokulasi, BCMV negatif pada kutudaun tersebut. Namun, pada tanaman perlakuan kutudaun tidak makan inokulasi, BCMV terdeteksi positif pada kutudaun. Hal ini kemungkinan karena ekspresi PR3 (endokitinase) pada tanaman perlakuan menghambat kutudaun makan pada tanaman saat makan inokulasi. Setelah diinokulasi BCMV, PR3 terdeteksi pada semua tanaman perlakuan termasuk kontrol. Hal yang sama terjadi pada ekspresi gen PR1 dan PBZ1 pada padi yang diberi perlakuan bakteri endofit dilaporkan mampu menekan infeksi X. oryzae pv. oryzae (Parida, Damayanti & Giyanto

2015).

Berdasarkan hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa kitosan murni dan kitosan komersial memiliki kemampuan menekan penyakit

konsentrasi yang sama yakni 0,9%, kitosan komersial memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan dengan kitosan murni. Penggunaan ditingkat petani lebih efisien menggunakan kitosan komersial dibandingkan dengan kitosan murni, karena kitosan komersial dapat disiapkan dengan cara disuspensikan dengan air, sedangkan kitosan murni harus menggunakan asam asetat 1,5%.

KESIMPULAN DAN SARAN

Semua perlakuan kitosan mampu menekan insidensi penyakit, memperpanjang periode inkubasi, menurunkan keparahan penyakit dan menurunkan nilai titer virus dibandingkan kontrol tanpa perlakuan.

Perlakuan kitosan pada konsentrasi 0,9% baik kitosan murni maupun komersial menunjukkan akumulasi BCMV yang lebih rendah dibandingkan kontrol tanpa perlakuan, yakni pada kitosan komersial 0,9% memiliki nilai absorbansi ELISA (NAE) sebesar 0,26 ± 0,29 dan pada kitosan murni 0,9% memiliki NAE sebesar 1,15 ± 1,69 sedangkan kontrol tanpa perlakuan memiliki NAE sebesar 3,13 ± 0,17. Di antara semua perlakuan, kitosan komersial menunjukkan hasil terbaik dalam menekan infeksi BCMV dengan tingkat hambatan relatif keparahan penyakit 100%.

Perlakuan kitosan tidak berpengaruh terhadap ekspresi gen PR1 dan PR3 setelah penularan BCMV.

Kitosan berperan sebagai penghambat makan kutudaun.

Efek penghambat makan kutudaun pada tanaman perlakuan mungkin karena ekspresi endokitinase (PR3) pada tanaman setelah perlakuan kitosan sebelum diinokulasi virus, namun perlu dibuktikan lebih lanjut.

Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut untuk mengetahui mode of action kitosan dalam menekan infeksi virus, terutama terkait dengan ekspresi gen PR3.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini terlaksana atas dana yang diberikan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) untuk DMS dengan nomor kontrak 1094/E4.4/2013.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anggraini, S & Hidayat, SH 2014, ‘Sensitivitas metode serologi dan polymerase chain reaction untuk mendeteksi Bean common mosaic potyvirus pada kacang panjang’, Jurnal Fitopatologi Indonesia, vol. 10, no. 1, p. 17-22.

(9)

2. Anjarsari, L, Suastika, G & Damayanti, TA 2013, ‘Deteksi dan identifikasi Potyvirus pada ubi jalar di Tana Toraja, Sulawesi Selatan’, Jurnal Fitopatologi Indonesia, vol. 9, no. 6, p. 193–201

3. Blackman, RL & Eastop, VF 2000, Aphids on the world’s

crops: an identification and information guide., John Wiley

& Sons Ltd.

4. Boßelmann, F, Romano, P, Fabritius, H, Raabe, D & Epple, M 2007, ‘The composition of the exoskeleton of two crustacea: The American lobster Homarus americanus and the edible crab Cancer pagurus’, Thermochimica Acta, vol. 463, no. 1–2, pp. 65–68.

5. Buchel, AS 1999, ‘PR-1A group of plant proteins induced upon pathogen infection’, Pathogenesis-Related Proteins in plants, pp. 21–47.

6. Chirkov, SN 2002, ‘The antiviral activity of chitosan (review)’, Prikladnaia Biokhimiia i Mikrobiologiia, vol. 38, no. 1, pp. 5–13.

7. Chirkov, SN, Il’ina, A V, Surgucheva, NA, Letunova, E V, Varitsev, YA, Tatarinova, NY & Varlamov, VP 2001, ‘Effect of chitosan on systemic viral infection and some defense responses in potato plants’, Russian Journal of Plant Physiology, vol. 48, no. 6, pp. 774–779.

8. Damayanti, TA, Alabi, OJ, Naidu, RA & Rauf, A 2009, ‘Severe outbreak of a Yellow mosaic disease on the yard long bean in Bogor, West Java’, HAYATI Journal of Biosciences, vol. 16, no. 2, pp. 78–82.

9. Damayanti, TA, Haryanto & Wiyono, S 2013, ‘Pemanfaatan kitosan untuk pengendalian Bean common mosaic virus (BCMV) pada kacang panjang’, Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika, vol. 13, no. 2, pp. 110–116.

10. Damayanti, TA & Panjaitan, MT 2014, ‘Aktivitas antivirus beberapa ekstrak tanaman terhadap Bean common mosaic virus strain black eye cowpea (BCMV-BIC) pada kacang panjang’, Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika, vol. 14, no. 1, pp. 32–40.

11. Damayanti, TA & Pebriyeni, L 2015,’Tanaman penghalang dari ekstrak daun pagoda untuk mengendalikan Bean common mosaic virus pada kacang panjang di lapangan’, J. Hort., vol. 25, no. 3, pp. 238–245.

12. Damayanti, TA & Santoso, S 2012, ‘Kolaborasi barrier jagung dan kitosan untuk pengendalian Bean common mosaic virus dan serangga vektornya Aphis craccivora koch di lapang’, Prosiding Seminar Hasil-Hasil PenelitianIPB 2012. 13. Daugrois, J-H, Lafitte, C, Barthe, JP & Touze, A 1990,

‘Induction of β‐1, 3‐glucanase and chitinase activity in compatible and incompatible interactions between Colletotrichum lindemuthianum and bean cultivars’, Journal of Phytopathology, vol. 130, no. 3, pp. 225–234.

14. Doyle, JJ & Doyle, JL 1987, ‘A rapid DNA isolation procedure for small quantities of fresh tissue’, Phytochem. Bull., vol. 19, pp. 11–15.

15. El Hadrami, A, Adam, LR, El Hadrami, I & Daayf, F 2010, ‘Chitosan in plant protection’, Marine Drugs, vol. 8, no. 4, pp. 968–987.

16. Flores-Estévez, N, Acosta-Gallegos, JA & Silva-Rosales, L 2003, ‘Bean common mosaic virus and Bean common mosaic necrosis virus’, Plant Disease, vol. 87, no. 1, pp. 21–25.

17. Franco, F & Iriti, M 2007, ‘Callose synthesis as a tool to screen chitosan efficacy in inducing plant resistance to pathogens’, Caryologia, vol. 60, no. 1–2, pp. 121–124.

18. Hamdayanty, H & Damayanti, TA 2014, ‘Infeksi Bean common mosaic virus pada umur tanaman kacang panjang yang berbeda’, Jurnal Fitopatologi Indonesia, vol. 10, no. 6, p. 181.

19. Hirano, S, Nakahira, T, Nakagawa, M & Kim, SK 1999, ‘The preparation and applications of functional fibres from crab shell chitin’, in Progress in Industrial Microbiology, Elsevier, pp. 373–377.

20. Joseph, S & Peter, K V 2007, ‘Non preference mechanism of aphid (Aphis craccivora Koch) resistance in cowpea’, Legum Res, vol. 30, no. 2, pp. 79–85.

21. Kurnianingsih, R 2008, ‘Ekspresi Gen PR1 dan PBZ1 yang terlibat dalam sistem toleransi tanaman padi terhadap penyakit blas (isolat 173)[tesis]’, Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 22. Lawton, K, Ward, E, Payne, G, Moyer, M & Ryals, J 1992,

‘Acidic and basic class III chitinase mRNA accumulation in response to TMV infection of tobacco’, Plant Molecular Biology, vol. 19, no. 5, pp. 735–743.

23. Van Loon, LC & Van Strien, EA 1999, ‘The families of pathogenesis-related proteins, their activities, and comparative analysis of PR-1 type proteins’, Physiological and Molecular Plant pathology, vol. 55, no. 2, pp. 85–97.

24. Megasari, D, Damayanti, TA & Santoso, S 2015, ‘Pengendalian Aphis craccivora Koch. dengan kitosan dan pengaruhnya terhadap penularan Bean common mosaic virus strain Black eye cowpea (BCMV-BlC) pada kacang panjang’, Jurnal Entomologi Indonesia, vol. 11, no. 2, p. 72.

25. Morales, FJ Bos, L 1988, ‘Description of plant viruses: Bean common mosaic virus’, Description of Plant Viruses: Bean

common mosaic virus, diunduh 19 November 2015, <http:// www.dpvweb.net/dpv/showdpv.php?dpvno:337>.

26. Parida, I, Damayanti, TA & Giyanto, G 2015, ‘Potensi bakteri endofit sebagai agens penginduksi ketahanan tanaman padi terhadap Xanthomonas oryzae pv. oryzae’, Prosiding Seminar Nasional Perlindungan Tanaman II, Faperta IPB, pp.189–197. 27. Pospieszny, H 1997, ‘Antiviroid activity of chitosan’, Crop

Protection, vol. 16, no. 2, pp. 105–106.

28. Pospieszny, H & Atabekov, JG 1989, ‘Effect of chitosan on the hypersensitive reaction of bean to alfalfa mosaic virus’, Plant Science, vol. 62, no. 1, pp. 29–31.

29. Pospieszny, H, Chirkov, S & Atabekov, J 1991, ‘Induction of antiviral resistance in plants by chitosan’, Plant Science, vol. 79, no. 1, pp. 63–68.

30. Santén, K 2007, ‘Pathogenesis-related proteins in barley’, Disertasi, Graduate School Swedish University of Agricultural Sciences’.

31. Song, F & Goodman, RM 2001, ‘Molecular biology of disease resistance in rice’, Physiological and Molecular Plant Pathology, vol. 59, no. 1, pp. 1–11.

32. Struszczyk, MH, Pośpieszny, H & Gamzazade, A 2002, ‘Chitin and chitosan’, Polimery, vol. 47, no. 5, pp. 316–325. 33. Susetio, H & Hidayat, SH 2014, ‘Respons lima varietas

kacang panjang terhadap Bean common mosaic virus’, Jurnal Fitopatologi Indonesia, vol. 10, no. 4, p. 112.

34. Thottappilly, G, Rossel, HW, Reddy, DVR, Morales, FJ, Green, SK & Makkouk, KM 1990, ‘Vectors of virus and mycoplasma diseases: an overview.’, Insect Pests of Tropical Food Legumes., pp. 323–342.

(10)

related proteins and activities of peroxidase, β-1, 3-glucanase and chitinase with systemic induced resistance to blue mould of tobacco but not to systemic Tobacco mosaic virus’, Physiological and Molecular Plant Pathology, vol. 36, no. 6, pp. 523–531.

of chitinase isoforms in cucumber (Cucumis sativus L.): effect of elicitors, wounding and pathogen inoculation’, Plant Science, vol. 99, no. 2, pp. 141–150.

Gambar

Gambar 1.   Variasi gejala pada tanaman perlakuan. (a) pemucatan tulang daun, (b) penebalan tulang  daun, (c) mosaik ringan, (d) mosaik sedang, (e) mosaik berat, (f) malformasi daun [Symptom
Tabel 2.  Pengaruh perlakuan kitosan terhadap keparahan penyakit dan titer virus (Effect of chitosan
Gambar 2.   (a-b) Amplifikasi dan intensitas DNA gen CP BCMV, (c-d) Amplifikasi dan intensitas DNA gen  PR3

Referensi

Dokumen terkait

DC magnetron sputtering memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan teknik-teknik pembentukan film tipis lainnya. penumbuhan film tipis dengan metode magnetron

“Manawi ing sejatosipun kisanak, kula piyambak dereng sumerep, sarta dereng terang dhateng nalar-nalaripun, namung nyariosaken lelabuhanipun para sujanma ing jaman

Tokoh utamanya adalah Rapingun (RM.. Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa_Universitas Muhammadiyah Purworejo 24 Sutanta), tokoh tambahannya: Raden Ajeng Tien

Menurut Edward K Morlok, Pemilihan moda itu adalah apabila jumlah dari total masing-masing tempat asal ke setiap tujuan telah diperkirakan untuk setiap maksud perjalanan,

proyek sehingga masyarakat umum tidak mengetahui volume besarnya dana yang dikerjakan. Terdapat fenomena masalah yang penulis temui yaitu, masih rendahnya

Individu yang kecerdasan emosional tinggi akan lebih optimis dalam menghadapi berbagai macam masalah, seharusnya seseorang tidak hanya memiliki IQ yang tinggi saja

Berdasarkan analisis data, dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa kelas IX MTs Negeri 1 Pringsewu dalam menulis iklan baris tergolong baik sekali dengan skor rata-rata

Pada bulan Agustus, yaitu saat kebutuhan energi desa Praingkareha tidak dapat dipenuhi oleh PLTMH Laputi, maka PLTD Tabundung akan membantu dalam memasok energi